Share

Label Janda Panas

Kabar burung dari mulut ke mulut memang menyebar begitu cepat, mengalahkan ultraman yang melawan musuhnya. Membutuhkan durasi hingga lima belas menit hanya untuk melumpuhkan satu monster. 

Berita pernikahan Ayumi dengan pengusaha kaya raya di kota Surabaya akan dilaksanakan besok telah menyeruak di telinga para warga. Sebagian dari mereka merasa senang dan antusias mendengar kabar bahagia ini, karena itu berarti posisi kekayaan Hamasaki Paint bertambah. Dan akan membuka lapangan pekerjaan untuk warga di sana lebih banyak lagi.

Foto-foto hot prewedding mereka juga sudah tersebar luas di internet. Posisi keduanya berciuman, berpelukan, saling bertukar tindih tubuh mereka juga terekspos begitu saja di media sosial yang mereka punya.

Hiko yang mendengar kabar sekaligus melihat foto-foto itu, makin dihantam kebencian dan kekecewaan di dalam hatinya. Pemuda miskin seperti dia memang tak akan mempunyai daya apapun untuk merubah takdir yang ada.

Yang begitu Hiko sesalkan adalah, kenapa Ayumi terlihat begitu menikmati perannya di dalam foto itu.

Berciuman dengan mesra, berpelukan, mengekspos lekuk demi lekuk tubuhnya. Apa ia tak bisa menolaknya sedikitpun? Apa cinta yang sudah mereka jalin selama tiga tahun ini tak berarti apa-apa di hati Ayumi? Sehingga dengan mudahnya ia langsung berpindah ke lain hati. Lagi -lagi Hiko hanya bisa mengumpat dalam hati, dan memejamkan matanya sejenak untuk mengurangi rasa sakit di hatinya.

Tangan kekar menepuk kedua pundak Hiko, membuat ia sementara sadar dari lamunan rasa dendam dan kecewanya. Matanya yang tadi terpejam menahan hawa panas di dalam hatinya, terpaksa ia membuka kedua matanya. Berbalik badan dan melihat siapa yang datang.

"Kenapa?" tanya Hiko kepada Niko yang sudah membuyarkan lamunannya.

"Set dah, jutek banget lu jadi cowok. Gimana mau ada yang deketin coba kalau begini," Pandangan Niko mengedar, dua botol kosong bir hitam sudah berjejer di meja.

"Ga usah ngejek, lu pasti seneng kan kalau temen lu ini menderita? Suek lu."

"Udah mulai mabuk lu? Masa cuma dua botol aja lu udah mabuk? Cemen lu, pasti lu begini gara-gara denger Ayumi mau nikah besok ya?"

Hiko hanya diam mendapat pertanyaan seperti itu dari Niko.

"Ya udah, lu diem di sini sebentar. Gue mau beli kaya yang lu beli dulu." Tak butuh waktu lama, kini Niko kembali di kursi yang sama dengan membawa empat botol besar bir hitam.

"Kita puas-puasin mabuk malam ini Hiko! Karena ini mabuk-mabuk terakhir kita." Niko langsung menenggak habis botol pertamanya.

"Anjiiir, kuat juga lu sekali tenggak habis satu botol. Suueek lu, gaya-gaya mabuk terakhir. Besok juga palingan lu minum-minuman lagi, cih!" umpat Hiko kesal dengan sahabatnya yang terlalu naif malam ini.

"Mumpung gue belum mabuk, ini gue ngomong serius. Lu harus usaha keras kalau beneran mau ke Jepang, harus lulus semua tes kesehatan. Mulai besok lu harus mulai hidup sehat, balas rasa kecewa lu dihina sama keluarga Hamasaki dengan lu tunjukan kepada mereka. Bahwa lu bisa sukses suatu saat nanti, meskipun gue ga bisa lihat kesuksesan lu suatu hari nanti."

"Maksud lu gimana si? Kalau gue pulang jadi orang sukses, udah pasti lu orang pertama yang bakal gue cari dan gue bahagiain juga. Emang lu mau kemana? Kok bilang lu ga bisa lihat kesuksesan gue membalas Hamasaki?"

"Ya simpel si Hiko, kita ga tau yang namanya umur kan?" ucap Niko tersenyum lalu kembali menenggak habis botol bir nomor dua.

"Ya walaupun kita banyak dosanya, pasti kita berharapnya diberi umur panjang bukan?"

"Amiin ...."

Hiko merasa tertegun untuk beberapa saat dengan kata-kata yang dilontarkan Niko , ia mulai mengusir pikiran-pikiran jelek dari dalam otaknya. Menghisap sebatang rokok yang ada di sela-sela jarinya, Hiko memainkan bentuk-bentuk asap yang keluar dengan bibirnya.

"Gue mau rokok juga," ucap Niko yang beranjak dari tempat duduknya dengan sedikit sempoyongan.

"Ini rokok gue kan ada,"

"Sorry, lu tau lah selera gue. Kalau ga Marlrioboro gue ga bisa," berselisih beberapa menit, kini Hiko melihat jika Niko tengah berdiri di bibir jalan raya.

"Woi! Ngapain? Lu mau nyebrang?" teriak Hiko.

"Iya! Di situ ga ada rokok gue! Gue mau ke warung seberang tuh!"

"Oh! Oke! Pelan-pelan!"

"Ya!"

Hiko kembali duduk dan menyesap rokoknya lagi hingga habis, dan tiba-tiba suara kecelakaan menggema. Sebuah truk menabrak sesuatu di hadapannya.

Spontan Hiko menoleh kearah jalanan, beberapa pengendara sudah berkerumun di sana. Bahkan beberapa pengendara wanita berteriak histeris di sana.

Hiko langsung beranjak dari tempat duduknya. Mencoba mencari tau apa yang terjadi di sana.

"Heh bro! Kayanya temen lu minum barusan yang ketabrak truk."

Bak suara petir yang menyambar jantungnya, Hiko langsung berlari mencari kebenarannya. Dan tubuh Hiko mendadak dingin dari ujung kaki hingga ubun-ubunnya. Niko tergeletak bersimbah darah di atas aspal yang berwarna hitam pekat itu.

"Niko!" teriak Hiko yang langsung bersimpuh di dekat kepala Niko.

Mata Niko masih melihat itu, tangannya yang bersimbah darah menyambut tangan Hiko yang mencoba memeganginya.

"Tolong panggil ambulance sekarang! Siapapun! Tolong!" teriak Hiko histeris.

"Saya sudah menghubungi Ambulance sekaligus polisi, seharusnya sebentar lagi mereka tiba," jawab 

"Hiko, ingat kata-kataku tadi," suara itu begitu lirih, namun Hiko masih bisa mendengarnya.

"Bertahan Niko, sebentar lagi Ambulance akan datang," 

Kerongkongan Hiko merasa tercekat melihat Niko dalam keadaan sekarat di hadapannya. Bahkan setelah melafalkan kalimat syahadat, Niko telah berpulang di depan mata Hiko langsung.

Hiko hanya bisa terdiam bagaikan orang yang bisu. Otaknya bahkan tak bisa mencerna sedikitpun keadaan ini. Begitu menyedihkan tapi Hiko sama sekali tak bisa mengungkapkan.

Semenjak kematian Niko, Hiko lebih banyak berdiam diri. Tak pernah lagi mabuk-mabukan, bahkan kini Hiko rajin beribadah dan selalu menyelipkan nama Niko dalam setiap doanya.

Sehari sebelum keberangkatannya ke Jepang, Hiko masih bisa menyaksikan pernikahan mewah Ayumi dan suaminya di layar televisi nasional.

"Jodoh sudah ada yang atur nak. Mungkin sekarang kamu tidak berjodoh dengan Ayumi, tapi ada gadis lain yang ternyata jodohmu, sudah menantimu di tempat yang berbeda," ucap Ibu memberi semangat kepada Hiko.

"Ibu ga perlu khawatir lagi sama Hiko, Hiko sudah ga ada rasa buat Ayumi. Ibu lihat sendiri kan, Hiko baik-baik saja melihat mereka menikah. Doakan yang terbaik untuk Hiko ya bu, insyaAllah Hiko bisa sukses mengais rezeki di Negara orang."

"Iya nak ...." Seorang laki-laki berwujud sebagai anak itu kini mencium kaki sang ibu.

######

Lima tahun berlalu, Hiko dengan telaten menekuni pekerjaannya sebagai Cargiver di Jepang. Hiko bertugas merawat pria sebatang kara yang memilih tidak menikah selama hidupnya.

Kekayaan pria tua itu memang sengaja ia gunakan untuk menopang dirinya selama ia masih hidup dan bergantung pada perawat yang merawatnya.

"私を心から世話してくれるのはあなただけです"

Watashi o kokorokara sewa shite kureru no wa anata dakedesu

(Hanya kamu orang yang tulus merawatku)

ucap lirih pria tua itu kepada Hiko.

Hiko hanya bisa membungkukkan badannya, pertanda ia menghormati majikannya.

"私は死んでから長くは生きません。私の富を最大限に活用し、困っている人を助けてください"

Watashi wa shinde kara nagaku wa ikimasen. Watashi no tomi o saidaigen ni katsuyō shi, komatte iru hito o tasuketekudasai

(Umur saya tidak akan lama lagi, setelah aku mati. Pergunakanlah hartaku sebaik mungkin, dan bantulah orang-orang yang susah)

Pria tua itu menyerahkan beberapa lembar sertifikat kepemilikan hartanya kepada Hiko.

Hiko sudah mencoba menolak secara halus, tapi pria tua itu tetap bersikeras dan sudah membubuhkan nama Hiko di dalam surat wasiatnya.

Seakan Tuhan dan semesta juga ikut membantunya. Setahun setelah kematian majikannya, Hiko masih berada di Jepang. Namun kali ini dia sudah mempersiapkan dirinya dengan membeli dan ikut menanam saham di beberapa sektor perusahaan besar yang berdiri di Jakarta.

Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, diam-diam Hiko juga membeli tanah kosong seluas 12 Hektar, yang lokasinya hanya berjarak 5 Km dari lokasi pabrik milik  Hamasaki Paint.

Tepat di tahun ke sembilan, Hiko memutuskan untuk pulang ke Negeri Indonesia tercinta. Sebelum memutuskan untuk langsung ke Surabaya, Hiko lebih memilih mendarat di Jakarta. Banyak pengesahan bisnis waralabanya selama ini dalam bentuk franchise yang sudah ia tanamkan modalnya sedari empat tahun yang lalu.

Bisnis franchise atau waralaba merupakan salah satu usaha yang cukup digandrungi. Sebab, bisnis dengan skema kemitraan tersebut tergolong cukup mudah untuk dicoba.

Apalagi, segala prosedurnya, mulai dari izin buka usaha, hingga penjualan sudah tersusun secara detil dan sistematis. Pola bisnis tersebut dianggap menjadi langkah yang tepat bagi calon wirausahawan yang tidak ingin membuat bisnis baru dari awal seperti Hiko. Yang tak mau ambil pusing mengurus semuanya sendiri, karena mitra terkaitnya dari PT Indonesia sudah menghandle semuanya. Mulai dari barang, jasa , karyawan dan hasil keuntungan. Hiko hanya tinggal menerima bagi hasil keuntungan tiap bulannya yang otomatis masuk ke dalam rekening pribadinya.

Semua urusan ia anggap beres, Hiko langsung terbang menuju Surabaya. Hiko dijemput di Bandara oleh tetangga rumahnya yang bernama Erik. Erik hanya terpaut lebih muda dari Hiko tiga tahun.

"Bagaimana kabar kampung Erik, sudah sepuluh tahun ... pasti banyak yang berubah," tanya Hiko saat mengajak makan Erik di warung padang yang berjarak 3 km dari rumahnya.

"Alhamdulilah baik, cuma ya gitu Kak Hiko. Banyak pemuda-pemuda yang nganggur."

"Kenapa begitu? Bukannya banyak pemuda yang bekerja di Hamasaki Paint?" kening Hiko mengernyit mendengar penuturan Erik.

"Hamasaki Paint sudah tak sehebat dulu Kak Hiko. Semenjak Ayumi bercerai dengan suaminya empat tahun yang lalu, Pabrik Hamasaki Paint mulai morat-marit. Dan berimbas pada pemberhentian separuh karyawan secara sepihak."

"Berarti Ayumi sekarang seorang janda?" Hiko bermonolog di dalam batinnya. Senyum tipis juga spontan muncul dari bibir manisnya, Tuhan tidak pernah tidur. Sepertinya itu istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan saat ini.

"Bukannya Kak Hiko dulu pernah pacaran sama Kak Ayumi? Sekarang dia terkenal dengan sebutan Janda Panas di kampung Kak,"

"Kenapa bisa begitu?" tanya Hiko penasaran.

"Nanti Kak Hiko cari tau aja sendiri, hehehehe."

Ledekan Erik semakin membuat rasa penasaran Hiko membuncah, apa yang sebenarnya terjadi kepada Ayumi sekarang. Kenapa ia sampai diberi label Janda Panas?

To be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status