Perlahan aku membuka amplop berwarna putih yang tertulis namaku. Alesha menulis surat untukku.Amelia, Sahabatku. Mungkin sekarang aku tidak pantas lagi disebut sahabat, setelah apa yang aku lakukan padamu. Aku sudah menduga jika kamu pasti tidak akan mau menemuiku, makanya aku sengaja menulis surat ini. Maafkan aku, teman. Aku sudah iri dengan apa yang kamu miliki, bahkan aku berusaha merebutnya darimu. Tapi nyatanya ikatan cinta kalian begitu kuat, aku tidak bisa memiliki suamimu dan aku sendiri yang terbakar didalam api yang aku ciptakan sendiri.Ibu mas Damar sudah menyuruhku pergi dari rumah itu, saat ini aku sudah tidak ada disana lagi. Raka bersama bunda sekarang, bunda sangat kecewa padaku saat aku menceritakan semuanya dengan sebenar-benarnya. Mungkin aku tidak berhak meminta, tapi jika boleh aku tidak ingin Raka diambil dan diasuh oleh Bisma, lelaki itu tidak boleh merawatnya. Aku juga titip bundaku, Amel. Jenguklah dia sesekali, hiburlah dirinya, aku tahu kamu akan mau m
Mas Damar tampak menghela nafas panjang, seolah-olah menata hati dan ucapan yang hendak dia sampaikan pada bunda Zahra. "Sebelumnya saya minta maaf bunda, saya tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan saya dengan Alesha. Selain karena pengacara sudah mengurus semuanya dan mungkin akan segera selesai, sejak awal tidak ada perasaan yang terjalin diantara kami. Jika kami terus mempertahankan hubungan ini, tidak akan ada yang bahagia, baik saya maupun Alesha. Lebih baik saya melepaskan, dan berharap suatu saat nanti Alesha akan mendapatkan laki-laki yang baik, yang mau menerimanya dan menjaganya dengan baik," tutur mas Damar panjang lebar. Dalam hatiku aku merasa lega mendengar jawaban dari suamiku itu, disisi lain bunda tampak kecewa dengan jawaban mas Damar. "Bunda tidak bisa memaksa ataupun berbuat apa-apa karena kesalahan putri bunda memang tidak bisa di toleransi, dan memang perasaan tidak bisa di paksakan. Buktinya anak bunda sendiri yang mengalaminya. Mungkin nak Damar begitu n
Gelombang cinta sudah kurasakan sejak tadi pagi di perutku. Aku pikir sepertinya aku akan melahirkan, biasanya rasa ini akan segera menghilang begitu beberapa saat aku rasakan. Dokter bilang itu kontraksi palsu. Tapi hari ini, rasa itu semakin lama semakin sering muncul, dan rasanya luar biasa. Aku sejak tadi mencoba menahannya karena kupikir ini akan hilang lagi seperti biasanya, karena perkiraan kelahiran masih satu minggu lagi. Namun ternyata makin siang rasanya semakin sering muncul. Sejak pagi tadi aku sudah berjalan-jalan di sekeliling rumah seperti biasanya selepas mas Damar pergi bekerja, dan saat ini aku tengah berisitirahat di dalam kamar sambil menikmati rasa sakit di perutku yang datang dan pergi secara intens. "Maaa," aku berteriak memanggil mama. Tidak ada jawaban, mungkin mama sedang sibuk di dapur. Perlahan-lahan aku turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar untuk mencari mama. Sepertinya aku harus segera kerumah sakit. "Maaa," seruku lagi, memanggil calon
Suasana desa yang sejuk dan asri kembali menyapa kami. Pada akhirnya mas Damar dan aku memutuskan untuk pulang juga ke kampung. Kami berangkat selepas subuh dan sampai di kampung ini selepas Zuhur. Kami akan tinggal di rumah besar itu lagi, dimana untuk mempertahankannya bapak rela mengorbankan banyak hal. Beliau seperti diriku, menghargai sesuatu yang memiliki banyak kenangan di dalamnya.Jika di jual rumah dan tanah ini pasti bernilai fantastis, makanya hanya rumah ini dan beberapa aset saja yang di dapat oleh bapak. Mobil di rumah yang dulunya berjejer-jejer sekarang tinggal dua saja. Mobil yang bisa di pakai mas Damar dan di pakai bapak. Mobil-mobil untuk angkut barang sudah berpindah ke rumah Bisma dan orang tuanya semua, karena itu memang aset untuk peternakan yang sekarang di kuasai oleh mereka. Adik perempuan bapak yang paling kecil mendapatkan beberapa hektar kebun, bagian perempuan memang hanya setengah dari bagian laki-laki. Peternakan yang begitu besar dan jumlah ayam r
Adik iparku, Nisa, terlihat cantik dalam balutan gamis pesta berwarna silver. Kepalanya di tutupi dengan jilbab dengan warna yang senada. Hari ini adalah hari yang membahagiakan buatnya, setelah menjalani ta'aruf dengan mas Fariz beberapa waktu lalu akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan hari ini adalah acara lamaran mereka. Mas Fariz yang pernah mengajar Nisa dan bertemu di pondok pesantren, membuat proses perkenalan mereka berjalan lancar dan tidak lama. Akhirnya adik iparku itu akan menjadi pendamping lelaki yang diam-diam dikaguminya. Entah gimana dulu perasaannya saat dia tahu lelaki itu hendak ingin berta'aruf denganku. Ah, ta'aruf berbeda dengan pacaran bukan. Proses itu hanya untuk saling mengenal saja. Pasti Nisa tidak memikirkan apapun soal masa lalu itu. "Amma tatntik," ucap Yumna berceloteh sambil menatap kearah Nisa.Bocah dengan usia dua tahun dua bulan itu sudah pandai berbicara dengan lancar, kedua putra-putriku itu begitu lincah dan pandai, juga saling menjag
"Papa ... Papa!" pekik Yumna dan Zikri saat melihat papanya pulang dari kandang. Sebenarnya peternakan kami sudah mulai berkembang dengan baik, sudah mulai menghasilkan lagi dan bisa mengaji karyawan lebih banyak. Mas Damar ke sana hanya untuk mengecek keadaan saja. Dia mulai sibuk lagi dengan kegiatan penjualan hasil beternak. Aku ikut menghampiri suamiku dan menyambutnya, mengambil barang bawaannya jika dia membawa sesuatu. Kadang kala dia akan membawa telur-telur yang tidak bisa di jual karena mengalami keretakan. "Tumben pulang lambat mas?"Papa dari kedua anakku itu pulang lebih lambat dari biasanya, biasanya sebelum tengah hari sudah pulang jika ke kandang tapi kali ini dia pulang lewat tengah hari. "Oh, lagi ada pembeli yang langsung membeli kesana dalam jumlah besar dan aku menungguinya," jawab mas Damar menjelaskan. Aku hendak ikut ikut masuk kedalam rumah mengikuti anak-anak dan papanya, namun sebuah suara memanggilku. Mbak Yani, tetangga depan rumah yang satu bulan la
POV DAMAR______&&_____Tengah malam buta aku memacu kuda besi menuju peternakan, aku abaikan dinginnya udara malam, meninggalkan istriku yang sepertinya dikuasai oleh ribuan pertanyaan. Jono, orang yang bertugas menjaga peternakan mengatakan jika dia menangkap orang yang beberapa hari ini bikin rusuh di peternakan kami. Lelaki itu mengatakan jika yang menyuruhnya adalah sepupuku, Bisma. Mau apa lagi sih nih orang, tidak puas-puasnya menganggu kehidupan keluarga kami. Padahal harapan bapak setelah membagi semuanya secara rata, agar dia tidak akan berulah lagi. Apa lagi dia mendapatkan sesuatu yang memang dia inginkan, peternakan yang sudah sukses dan banyak menghasilkan. Sedangkan bapak dan bulek hanya mendapatkan sebagain kecil, bapak yakin padaku dan pada dirinya sendiri jika kami akan bisa mengembangkan apa yang kami dapatkan, dan saat ini hasilnya memang sudah mulai terlihat. Begitu sampai di tujuan, aku segera menemui Jono dan Yudi yang sedang menunggui seorang laki-laki yang
Bisma tertawa lebar untuk menyembunyikan rasa khawatir dalam dirinya. "Apa maksudmu, perzinaan? itu sudah lama terjadi sudah telat jika mau melaporkan. Lagi pula kamu sudah menceraikan istrimu, untuk apa lagi di laporkan. Lalu pembunuhan, siapa yang aku bunuh?""Calon anakku, bukankah kamu yang sengaja melakukannya. Kamu pikir aku tidak tahu semuanya itu. Bukan Zahra yang sengaja mencelakai Amelia saat hamil tapi kamu kan. Begitu serakahnya kamu hingga rela melakukan apa saja.""Mana buktinya?" Aku mengirimkan pesan video ke nomor ponselnya. Video pengakuan Beni, lelaki yang menabrak Amelia kala itu. Setelah Amelia bercerita bertemu dengan Beni dan dia di jebak oleh Bisma dan Zahra, aku pun berusaha mencari lelaki itu. Setelah berhasil menemukannya dan mengancamnya baru aku bisa mendapatkan video pengakuannya itu. Aku hanya menyimpannya untuk berjaga-jaga jika diperlukan dan sepertinya memang sekarang aku memerlukannya. Setidaknya untuk mengancam sepupuku ini. Wajah Bisma berubah