Tujuan pertama, kami ke Juragan Sarno. Memastikan pesananku bisa dikerjakan dan berapa harganya.
Sesampai di sana, langsung disambut Juragan Sarno. Seperti Emak, penampilannya juga berubah drastis. Sebelumnya terlihat nyentrik, sekarang lebih terlihat mau pergi malam mingguan.
Dia pakai celana bahan berwarna hitam, berkemeja panjang berwarna biru tua yang di lipat sampai siku. Udengnya juga tidak terlihat, terganti dengan rambut panjang diikat tersisir rapi. Emak yang di sebelahku, sejenak diam terpana dan sadar setelah aku tepuk tangannya.
"Tumben Kang, tidak memakai baju kebangsaan?" sindir Pakde Jangin.
"Ini baju spesial untuk menyambut tamu yang spesial," jawabnya dengan melirik Emak di sebelahku, dan mereka bertukar senyuman.
Wuaduh!
"Monggo-monggo, masuk," ajak Juragan Sarno mengajak kami masuk ke pendopo. Di sana sudah disiapkan kelapa muda dan beberapa camilan. Benar-benar disambut istimewa. Sambutan rancu, untukku sebaga
Mas Joni tetap bersikukuh tidak memperbolehkan aku pergi pulang kampung. Apapun alasannya terutama untuk cek barang yang siap kirim. "Bahaya, Dek. Jaraknya jauh, nanti kamu kecapekan." "Kan bisa pakai pesawat. Turun Jogja," sahutku sambil menghempaskan bokong ke sofa. Aku menerima segelas susu hamil yang disodorkan suamiku. "Dek. Dari Jogja ke kampung itu membutuhkan waktu empat jam. Jalannya juga belak-belok. Trus kamu nanti naik apa? Tidak mungkin pakai travel, kan?" "Ya gak papa. Dulu aku santai aja. Kenapa dipersulit, sih," seruku setelah meneguk susu sampai tandas. Mas Joni menghela napas, menerima gelas kosong dan meletakkan di meja dapur. Dia kembali dan duduk mensejajariku. Mengalungkan tangan dan menarikku untuk bersandar kepadanya. "Dek Tia, Sayang. Mas melarang itu demi kalian. Dedek dan Mamanya." Suamiku mengecup dan membelai perutku yang mulai membuncit sedikit. "Tapi aku bosan." "Mengerti. Gimana kalau kita jalan-jalan di dekat sini?" "Gak minat," jawabku s
Keseharianku semakin membosankan. Biasanya blusukan mengecek barang ini dan itu adalah tugasku, sekarang diambil alih oleh Mas Joni. Dia bahkan menggaet pihak lain untuk quality control pesanan barang yang akan dikirim.“Tapi, tugas Mas Joni untuk marketing bagaimana? Bukankah sebentar lagi akan pameran di Singapure?” Biasanya saat mendekati hari H, dia pasti sibuk setengah mati. Ini malah tenang-tenang saja di rumah.“Tenang saja, Dek. Semua aku titipkan ke teman-teman,” ucapnya dengan santai. Suamiku sekarang sedang berkutat dengan lap top nya. Itu pun tidak di ruang kantor, tapi di dalam kamar menemaniku yang rebahan.“Loh, Mas. Kita mau punya anak kok malah kerjanya kendor. Sebentar lagi kita mendapat tanggung jawab yang membutuhkan biaya tidak sedikit.”“Iya, Mas mengerti banget,” ucapnya kemudian beralih ke ranjang sambil membawa laptop. “Ini aku tunjukkin, ya.”Layar lap top dihadapkan ke arahku. Aku pun beringsut duduk di sebelahnya. Mengikuti arah kursor yang mulai menjelaja
Katanya kalau wanita seperti aku sekarang ini pasti dimanja suami. Namun, yang aku rasakan justru omelan dan anjuran yang bikin kepala semakin pusing. Alih-alih merasa dimanja, aku justru seperti dipenjara.“Jangan loncat!”“Awas kesandung. Tunggu sebentar batunya Mas sisihkan.”“Hati-hati!”Dan, peringatan-peringatan yang lain. Rumah biasanya tenang, sekarang berisik.Kemerdekaanku terasa dirampas tuntas. Kebiasaanku yang suka berkelana dengan motor kesayanganku pun tidak diizinkan lagi. “Jangan naik motor. Berbahaya! Mas antar pakai mobil.”Tidak hanya itu, kesukaanku jajan rasa micin pun tidak diperbolehkan lagi. Aku hanya bisa menelan ludah menatap pedagang cilok yang mengguyur saus kacang dan sambal super pedas.“Tahan, Dek. Mulai sekarang harus makan makanan sehat. Karena makananmu itu lah yang nantinya untuk bayi kita. Hindari yang banyak mengandung micin apalagi bahan pengawet dan bahan sintetis,” ucapnya sambil memalingkan wajah ini dari jendela mobil.Ingin rasanya menyelina
Walaupun di Bali itu everyday is holiday, tapi bagi kami tetap hari minggu lah hari kemerdekaan. Gimana, wong kami di sini untuk bekerja dan malah sampai lembur-lembur.Seperti minggu-minggu kemarin, selain mengurus pekerjaan juga disibukkan menyiapkan kebutuhan si Eliana nya Jonathan. Sekarang semua sudah aman. Tempat tinggal sudah lumayan nyaman, dengan pembantu dan Jonathan menyewakan mobil bulanan.“Pokoknya Mas Joni, ya. Kita hanya bantu Jonathan sebatas itu saja. Aku tidak mau lagi urusan dengan pasangan selingkuh!” ucapku sambil menyelusup di ketiaknya, tempat ternyaman bagiku. Usai subuhan tadi, kami pun bergelung kembali sampai sinar matahari menyelusup dari sela-sela tirai. “Iya, Dek Tia. Aku mengerti. Tapi kita juga menyelesaikan kewajiban yang sudah dibayarkan Jonathan.”“Tapi, Mas. Pekerjaan ini bertentangan dengan hati nurani. Terkesan kita mendukung orang kumpul kebo. Ogah aku.”“Ya, anggap saja kita handle tamu bule. Kita kan juga tidak tahu yang dibawa itu istrinya
Benar kata orang, kalau kebohongan akan memicu kebohongan lain. Aku harus bersandiwara bak artis saja. Walaupun itu membuatku cepat lapar. Emak begitu antusias mengatur ini dan itu. Ada saja yang disarankan tapi tidak masuk di otakku. Secara logika kok aneh.“Pokoknya yo, Nduk. Orang hamil itu ada pamali yang tidak boleh dilanggar. Ini wejangannya simbah dulu. Jangan duduk di depan pintu, jangan keluar malam, terus kalau ada baju yang sobek tidak usah dijahit.”“Loh, kenapa, Mak?” Dahiku berkerut. Aku yang mempunyai kesukaan baju tertentu, walaupun lusuh tapi membuatku nyaman. Bahkan sobek sana-sini pun aku belani jahit sendiri.“Kenapa? Kamu lebih sayang celana batikmu yang tembelan itu ketimbang anakmu, hah? Buang sana, beli lagi di pasar banyak!”“Bukan gitu, Mak. Maksudku apa hubungannya.”Wajah Emak di layar ponsel terlihat tegang, dia menoleh kanan-kiri sebelum mendekat dan berbisik. “Ini dipercaya menyebabkan bayinya cacat,” ucapannya berhenti untuk mengetuk meja tiga kali, “a
“Emak tadi nelpon? Aku….”“Alhamdulillah, Nduk! Akhirnya apa yang Emak inginkan terkabul! Sudah tidak sabar Emak menggendong cucu.” Perkataanku terpotong oleh Emak. Aku menghela napas menuai sabar.Kebiasaan.“Mak. Emak jangan salah----”“Kamu ini bagaimana, sih. Tidak ada yang salah kalau orang tua itu bangga. Kamu tahu tidak, selama ini kalau arisan Emak itu mlipir kalau orang-orang cerita bagaimana lucunya cucu mereka. Diem saja, la wong apa yang diceritakan. Tapi sekarang kan lain. Emak sudah ___”“Salah paham, Mak. Perlengkapan bayi yang kita belanja itu bukan---”“Iya, Emak mengerti. Bukan pemborosan, kok. Biasa kalau anak pertama itu ingin beli ini dan itu. Wajar. Tidak apa-apa lanjutkan saja. Yo wes, Emak mau metik bayam untuk urap-urap, bikin selamatan cucu,” sahutnya kemudian layer ponsel menggelap sebelum aku menjawab.“Gimana Emak, Dek?” tanya Mas Joni yang sedari tadi memperhatian perkacapan lewat telpon ini. Aku menggeleng dan menaikkan kedua bahu.“Emak mikirnya aku ham