Share

Dua orang yang malang

Pitaloka sekarang sedang berada di balkon kelasnya. Ia menutup mata sambil menikmati setiap hembusan angin yang berhembus. Perlahan ia membuka mata, seiring dengan hembusan angin yang mulai perlahan menghilang. Matanya tertuju kepada salah satu orang murid yang sedang duduk di bawah pohon.

"Wajah lama," ucap Pitaloka. Ia melihat seksama muka laki-laki tersebut. Walau dari kejauhan masih terlihat jelas bentuk wajah laki-laki itu. Ia sangat ingin berada di samping itu lalu menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki itu.

"Kayaknya ada yang belum move on nih," sindir Azkia sambil berdiri di kiri Pitaloka. Ia tau kalau Pitaloka masih mencintai Cakra, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan sahabatnya itu terus-menerus bersedih.

"Apa gua salah kalau masih cinta sama dia?"

"Entah lah, tapi gua akan langsung bertindak kalau lo mulai deketin Cakra lagi. Gua nggak mau lo jadi alatnya." Azkia masih ingat betul saat-saat itu. Di saat sahabatnya diperlakukan seperti alat oleh Cakra. Sebuah masa yang sangat ia benci.

"Maaf, bukanya gua nggak mau lo jadiin si Aksa sebagai pelampiasan. Tapi, gua nggak suka sama sifat dia," sahut Fanny.

"Gua tau kalau lo khawatir sama gua. Tapi, ini hidup gua, jadi lo nggak berhak ngatur perasaan gua."

"Oke! Gua kasih satu kesempatan. Tapi, kalau dia bikin lo nangis, gua langsung bertindak."

Fanny mungkin akan menyesali perkataannya tadi. Tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan Pitaloka selalu berada dalam bayang-bayang Cakra. Ia ingin Pitaloka melupakan Cakra, tetapi ia juga tidak mau kalau Pitaloka dekat dengan Aksa.

"Kalau emang ini jalan satu-satunya, gua ikhlas," gumam Fanny. Ia tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh begitu saja dari mata Pitaloka. Ia tau seberapa berat beban hidup yang sedang ditanggung oleh Pitaloka. Ia ingin dengan kehadirannya di hidup Pitaloka bisa membuat beban-beban perempuan itu sedikit ringan.

*****

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Semua murid langsung berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing. Ada yang langsung menuju parkiran untuk mengambil kendaraannya, dan ada juga yang langsung ke depan sekolah untuk menunggu jemputan.

Pitaloka masih duduk di atas motor matic. Tentu saja itu bukan motornya. Ia duduk di atas motor itu agar ia bisa bertemu dengan sang pemilik motor tersebut. Ia tau kalau ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa bertemu dengan laki-laki itu.

Ternyata rencana berhasil. Ia melihat satu sosok laki-laki sedang berjalan ke arahnya. Laki-laki yang sudah ia tunggu selama 5 menit. Ia tersenyum melihat laki-laki itu sudah berada tepat di depannya.

"Berani-beraninya lo telat," ucap Pitaloka sambil berdiri.

"Emang kita punya janjian?" tanya Aksa. Seingatnya ia tidak memiliki janji dengan senior perempuannya itu. Tetapi, kenapa seniornya itu sekarang berada di dekat motornya.

"Harus berapa kali gua bilang. Lo itu tukang ojek pribadi gua."

"Ngaco, saya nggak pernah ngelamar kerja jadi ojek pribadi Anda."

"Hmm, apa lo yakin mau nolak pekerjaan ini," ucap Pitaloka sambil mendekatkan kepalanya ke kepala Aksa.

"Saya sama nggak tertarik dengan penawaran yang Anda tawarkan."

"Gua tau lo lagi butuh uang buat biaya sekolah, sama keperluan toko," bisik Pitaloka di telinga Aksa. Ia tersenyum puas saat melihat Aksa diam terpaku. Tak ada hal yang paling menyenangkan selain melihat orang lain terkejut.

"Saya nggak butuh rasa kasihan Anda," bisik Aksa di telinga Pitaloka. Ia tidak suka kalau ada orang lain merasa kasihan padanya. Selagi ia masih punya kekuatan untuk berdiri, ia akan berusaha sendiri tanpa pertolongan belas kasih seseorang.

"Lo bisa pikir-pikir dulu, pokoknya sekarang lo anterin gua."

Aksa hanya bisa pasrah, ia tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan seniornya itu. Ia memilih untuk mengantar seniornya itu, dari pada harus berdebat tidak jelas.

"Pakai," ucap Aksa sambil menyodorkan sebuah helm ke Pitaloka.

"Kalau gua pakai ini, lo pakai apa?" tanya Pitaloka. Ia tau kalau Aksa hanya membawa satu helm, jadi jika ia memakai helm ini, berarti Aksa tidak mengenakan helm.

"Kepala saya lebih keras dari pada kepala Anda," ucap Aksa sambil memasangkan helm ke kepala Pitaloka. Tangannya masih sibuk mengunci tali helm.

Saat selesai ia menjauhkan tangannya dari kepala Pitaloka. Saat itu juga ia sadar kalau Pitaloka sedang memandanginya. Mereka saling bertatapan hingga beberapa detik, dan akhirnya Aksa memilih untuk menghadap ke arah lain.

"Besok-besok kalau mau gonceng, bawa helm sendiri," ucap Aksa sambil menutup kaca helm yang digunakan Pitaloka.

"Gua kira lo orangnya nggak pekaan," sindir Pitaloka.

"Anda bilang seperti itu, karena Anda belum tau sedikit pun tentang saya," ucap Aksa sambil naik ke motornya.

"Kalau gitu, kasih tau gua semua tentang lo," ucap Pitaloka sambil naik ke motor Aksa.

"Saya nggak tau alasan Anda mendekati saya apa, tapi lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan saya."

"Kenapa? Lo takut baper ya,"

"Saya nggak mungkin suka sama Anda."

"Kenapa nggak suka? Gua cantik, gua kaya, body gua lebih bagus dari semua perempuan yang pernah lo temuin. Kurang apa gua coba?"

"Baru pertama kali ini, saya bertemu dengan orang yang muji dirinya sendiri."

"Kan emang benar."

"Iya, semua yang Anda katakan benar, tapi Anda kekurangan satu hal, yaitu senyuman."

"Apa pentingnya senyuman?"

"Sangat penting, bahkan saya bisa saja jatuh cinta kepada Anda, jika saya melihat senyuman Anda."

Pitaloka tersenyum mendengar itu. Ia tidak tau apa yang membuat senyumannya merekah. Tetapi, ia benar-benar bahagia mendengar perkataan Aksa.  Mungkin itu hanyalah ucapan simple, tetapi belum tentu bisa membuat Pitaloka sebahagia sekarang.

"Kalau gua tersenyum terus, lo bakal cinta sama gua?"

"Enggak akan, saya nggak mau cinta sama perempuan yang masih menunggu orang di masa lalunya kembali," ucap Aksa sambil melajukan motornya. Ia tau benar kalau Pitaloka masih sangat mencintai Cakra, karena itulah ia ingin sebisa mungkin jaga jarak dengan perempuan yang sedang ia bonceng, agar perasaan cinta tidak tumbuh.

Aksa tau kalau sebanyak apapun dirinya menolak keberadaan Pitaloka, tetap saja Pitaloka akan terus mengganggu hidupnya. Ia tidak ingin merasakan cinta lagi. Baginya sudah cukup perempuan itu saja yang pernah menghadirkan warna dalam hidupnya. Ia ingin menutup hatinya agar dirinya tidak melupakan perempuan itu. Ia tidak rela kalau semua kenangan bersama perempuan itu tergantikan dengan kehadiran Pitaloka di hidupnya.

Kamu terlihat cantik ketika tersenyum

Jadi, kamu tau harus apa sekarang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status