Sudah jam dua belas siang Amira bolak-balik mengecek ponselnya yang sunyi tanpa kehidupan. Sejak kepergian Alan tadi malam, pria itu tidak bisa dihubungi.
Amira meraih ponselnya, dia berpikir akan ada satu pesan dari sang suami ternyata hasilnya nihil. Amira mendesah panjang, dia bangkit dari tempat duduknya. Lebih baik dia mengisi perutnya yang mulai lapar. Seperti biasa Amira ditemani Luna-sahabatnya menuju kantin perusahaan.
"Ada apa denganmu? Sejak tadi pagi wajahmu ditekuk seperti itu," tanya Luna mulai kesal dengan sikap Amira.
Amira menggelengkan kepala sekaligus menghela napas panjang. "Tidak ada," katanya.
"Kalau tidak ada masalah, kenapa napasmu berat seperti itu? Kamu tidak bisa membohongiku." Jari telunjuk Luna teracungkan tepat di depan wajah Amira. Sekali lagi Amira menghela napas panjang dan kini lebih berat.
"Oh ayolah." Luna sampai memutar bola matanya dengan malas. Dia menahan langkah kaki Amira agar mau menceritakan masalah yang membuat Amira murung.
"Nanti saja setelah kita duduk di kantin," balas Amira tegas. Dia tidak ingin masalahnya ini didengar oleh banyak orang.
Setelah mengambil makanan dan duduk disalah satu meja paling pojok, Luna kembali menatap serius wajah sahabatnya yang tak lain adalah Amira. Amira mengabaikan tatapan itu, dia menyuap sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya.
Luna tidak ingin memaksa Amira bercerita, tetapi rasa khawatir terhadap sahabatnya begitu besar sehingga Luna tidak ingin Amira terluka.
Jika memiliki masalah yang tidak bisa ditangani, mungkin saja Luna bisa membantunya. Karena itulah Luna ingin tahu keluh kesah Amira saat ini.
"Jadi bagaimana? Masalah apa yang kamu hadapi saat ini? Siapa yang telah megganggumu biar aku yang menghadapi mereka."
Amira tersenyum kecil, "Ck, kamu terlalu berlebihan," sahut Amira merasa terhibur dengan candaan Luna yang sangat serius.
"Lalu?"
"Mas Alan belum mengabariku."
Plak...
Luna menepuk dahinya sendiri, dia pikir masalah yang berat ternyata hanya masalah sepele tentang suami Amira yang belum mengirim pesan atau pun menelepon Amira.
Rasa khawatirnya tiba-tiba menguap, masalah yang tak perlu dibesar-besarkan. Luna tahu bahwa Amira begitu mencintai Alan sehingga kabar pun harus 24/7 sampai pada sahabatnya itu. Cinta adalah sebuah anugerah, namun menjadi budak cinta adalah masalahnya.
"Sia-sia saja aku mengkhawatirkanmu, Mir." Luna melahap buburnya dengan kesal.
"Tetapi kali ini berbeda. Mas Alan tidak pernah mematikan ponselnya dan sejak tadi malam ponselnya tidak aktif."
"Dia dokter, dia sibuk."
"Aku tahu... tapi Mas Alan...."
"Hap, makan saja buburmu. Alan tidak akan diculik, percayalah padaku. Mungkin ponselnya kehabisan baterai dan tidak sempat diisi dayanya." Luna menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulut Amira dan pada akhirnya Amira terdiam.
Benar apa kata Luna, dia terlalu berlebihan khawatir terhadap Alan. Pasti suaminya itu tidak akan macam-macam dan sebagai dokter...Alan pasti sibuk mengurus pasiennya. Amira anggap telepon tadi malam itu karena ada pasien darurat yang harus ditangani oleh Alan.
Amira tidak boleh menyimpulkan yang tidak-tidak, Alan pun telah meyakinkah Amira kemarin malam jika pria itu hanya mencintai Amira. Alan sangat memegang teguh prinsipnya, sekali berkata bahwa Amira adalah hidupnya akan selamanya seperti itu.
"Sepulang kerja aku ingin mengunjungi Mas Alan, kamu mau ikut aku ke rumah sakit?" tanya Amira mengajak Luna menuju tempat kerja Alan. Sebenarnya Amira butuh teman, jika tidak bisa bertemu Alan setidaknya ada Luna yang menemani dan menghibur Amira.
Luna mengecek jam tangan, dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu. Setelahnya Luna menatap Amira dengan senyum lebar yang dibuat-buat.
"Maafkan aku, aku ada janji dengan mas pacar, hehe." Dua jari Luna teracungkan sebagai tanda bahwa Luna benar-benar meminta maaf.
"Ya sudah tidak apa-apa."
Waktu berlalu begitu cepat, jam kerja telah usai dan Amira menyelesaikannya dengan baik. Sebelum ke rumah sakit, Amira mampir terlebih dahulu menuju toko kue. Dia membeli slice cake matcha kesukaan sang suami. Dengan hati yang riang, langkah kaki Amira melebar ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuannya.
Sudut ekor netra Amira menangkap seorang pria tengah berjalan menenteng dua gelas kopi di tangannya. Amira tersenyum lebar, rasanya sudah lama ia tidak bertemu dengan pria itu.
"Sandi." Amira melambaikan sebelah tangan saat pria yang dipanggil menoleh ke arahnya. Amira terseyum lebar, berbeda dengan pria yang dipanggil Sandi tersebut, wajahnya terkejut saat melihat Amira.
Sandi menghampiri, "Mbak ngapain di sini?" tanyanya. Pria itu tampak canggung.
"Aku ingin mengunjungi Mas Alan."
Sandi menunduk, pria itu kebingungan membuat Amira mengernyitkan dahinya.
"Ada apa? Apa Mas Alan tidak ada di rumah sakit? Tadi malam dia pergi karena ada pasien darurat," jelas Amira saat Sandi hanya bergeming di tempatnya berdiri.
"Oh emm, Dokter ada di dalam, di...dia sedang menangani pasien," jawab Sandi terbata-bata. Sekedar menatap manik mata Amira, dia tidak mampu, hal itu membuat Amira mengerutkan dahinya.
"Ya sudah ayo ke dalam." Amira berjalan terlebih dahulu. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu Alan.
Baru saja memasuki lobi rumah sakit, langkah Amira ditahan oleh Sandi. Dokter magang yang berada di bawah pengawasan Alan itu tiba-tiba berhenti di depan Amira.
"Mbak, tunggu saja di sini. Aku akan memanggil Dokter Alan," ucap Sandi. Dia menuntun Amira untuk duduk di kursi tunggu yang ada di lobi rumah sakit. Amira mengernyitkan dahinya sekali lagi karena Sandi bersikap sangat aneh.
"Aku bisa menemui Mas Alan di ruangannya, Sandi." Amira mulai jengkel karena waktunya terbuang.
"JANGAN!!!"
Amira tercenung sejenak, suara Sandi yang lantang mengejutkannya.
"Apa maksudmu?" tanya Amira dengan tatapan mengintimidasi. Sandi pun kebingungan, pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seperti orang kesusahan.
"Ruangan Dokter Alan sangat berantakan, beliau sedang menjalani riset. Kemarin saya dimarahi beliau karena masuk tanpa izinnya padahal saya hanya ingin menaruh riwayat pasien." Sandi menghembuskan napas sejenak, lalu melanjutkan kalimatnya.
"Saya tidak ingin dimarahi lagi, Mbak." Sandi mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Baiklah, aku bisa mengerti." Amira tersenyum lebar, setelahnya menepuk pundak Sandi agar pria itu bisa tenang.
Sandi berlari terburu-buru menuju salah satu kamar pasien yang ada di lantai dua. Dia membuka pintu tanpa permisi bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Bunyi bantingan pada pintu mengejutkan dua penghuni yang ada di dalamnya.
"Mengapa kamu bersikap tidak sopan seperti itu?" sentak seorang pria yang baru saja berdiri dari duduknya.
"Dokter Alan...." Sandi terengah-engah, tangan kanannya menunjuk-nunjuk tak tentu arah.
"Kalau bicara yang jelas!" Alan semakin kesal.
"Di lobi rumah sakit ada Mbak Amira."
"APA?!" Mata Alan membulat lebar, yang tadinya marah kini berubah menjadi panik. Bahkan kedua kaki Alan seketika lemas dan pria itu tidak bisa mengatur ritme detak jantungnya.
"Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s
Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B
Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men
"Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda
"Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya
"Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal