Share

Aku Bukan Satu-Satunya
Aku Bukan Satu-Satunya
Penulis: Rose Bloom

Pesan Pembawa Gundah

Amira tidak bisa tidur karena membaca sebuah pesan masuk yang dikirimkan ke ponsel suaminya. Pasalnya, bukan hanya satu kali ataupun dua kali, melainkan pesan itu dikirim hampir setiap hari membuat Amira takut setengah mati.

[Jangan lupa beli susu untuk anak kita, Mas.]

Begitulah kiranya salah satu pesan yang masuk ke dalam ponsel Alan, suami Amira. Saat membacanya tangan Amira bergetar hebat. Namun, Amira berusaha menepis pikiran buruk di otaknya. 

Dia berpikir bahwa pesan itu dari orang iseng karena tidak ada nama yang tercantum. Bahkan, Alan tidak pernah membalas pesannya. Hingga jam satu malam Amira tetap terjaga karena memikirkan pesan masuk itu. Amira beringsut dari ranjang, dia bangkit menuju kamar mandi yang ada di pojok kamar.  

Amira membasuh wajahnya dengan air. "Tidak mungkin Mas Alan mengkhianatiku. Kita baru menikah tiga bulan," lirih Amira menguatkan hatinya. 

Tangis Amira lepas saking sesaknya. Alan sangat mencintainya, begitupun Amira. Setidaknya itu yang Amira tahu. Sebisa mungkin Amira meneguhkan hati bahwa Alan tidak akan mengkhianati kepercaaannya.

"Apa yang aku pikirkan?" gumam Amira menyesal. Tak sepatutnya dia menaruh curiga kepada sang suami. Hanya pesan anonim itu tidak membuktikan bahwa Alan berselingkuh.

Tok... Tok...

"Sayang, apa kamu ada di dalam?" Suara Alan mengejutkan Amira. Kontan dia mengusap sisa-sisa air mata yang ada di pipi. 

"Iya, tunggu sebentar." Amira bangkit lalu membuka pintu kamar mandi.

Haruskah Amira bertanya kepada Alan? Jika bertanya, apa mungkin Alan akan sakit hati karena Amira mencurigainya? Amira tidak akan tenang jika tidak mendapatkan jawaban. 

"Ada apa?" tanya Alan khawatir saat melihat wajah Amira begitu sendu. Kedua tangan kekar itu mengusap lembut wajah Amira. 

Perhatian Alan inilah yang membuat Amira yakin bahwa suaminya itu tidak akan pernah berselingkuh. Perasaan takut itu hanya bisikan setan saja, Amira menyesal karena berperasangka buruk terhadap Alan. Namun, setiap Amira ingin mempercayai suaminya, pesan itu datang lagi. Itulah yang membuat Amira tidak memercayai Alan.

Alan mengecup dahi Amira, berangsur mengecup kedua mata, kedua pipi lalu berakhir pada bibir merah muda milik Amira. Alan memberikan pelukan hangat untuk menenangkan sang istri. Tangis Amira pecah kembali, dia benar-benar resah saat ini.

"Mimpi buruk, hem?" tanya Alan yang dibalas dengan anggukan kepala sang istri.

"Mimpi apa?" tanya Alan lagi sangat lembut. Amira melepaskan pelukannya dan menatap lekat manik mata sang suami.

"Mira bermimpi kalau Mas Alan menggandeng wanita lain."

Deg...

Raut wajah macam apa itu? Mengapa tubuh Alan seketika menegang dan matanya menatap kosong wajah Amira? Jangan bilang dugaan Amira benar bahwa Alan ada main belakang dengan wanita lain. 

Banyak pertanyaan yang ingin Amira sampaikan, hanya saja tercekat di dalam tenggorokannya. Amira tidak berani bahkan tidak akan mampu jika harus mendengarkan fakta terberat dari bibir suaminya itu.

"Wanita lain itu seperti apa? Cantikkah?" Alan berkata dengan dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Amira mengernyitkan dahi.

"Ih, apa maksud Mas Alan bertanya seperti itu?" Amira mencubit lengan Alan, sedangkan pria itu hanya terkekeh melihat wajah Amira yang cemberut.

"Kalau jelek Mas gak mau, tetapi kalau cantik Mas yakin masih cantikan kamu. Jadi... Mas juga gak mau," balas Alan dengan sorot mata begitu meyakinkan.

"Jadi, Mas Alan maunya sama siapa?"

"Lah, belum cukup buktinya kalau Mas maunya kamu seorang?" kata Alan lagi seraya mencubit gemas pipi Amira. 

"Mas hanya mencintai kamu, Sayang. Tekad dan kegigihan Mas waktu meminta kamu dari kedua orang tuamu, dengan tangan dan kaki yang bergetar belum lagi detak jantung yang berdegup kencang. Mas yakin bahwa kamu adalah jodoh Mas yang Tuhan kirimkan."

"Waktu kita menikah, satu yang Mas lihat dan teringat sampai sekarang," lanjut Alan lagi dan menggantung kalimatnya.

"Apa itu?" tanya Amira.

"Wajah kedua orang tuamu. Raut sedih dan bahagia mereka saat melihatmu menggandeng tangan Mas. Tugas Mas ini belum usai, bukan hanya sekedar menikahimu saja, tetapi memberi nafkah sekaligus membahagiakanmu."

"Tidak cukupkah bukti itu bahwa Mas mencintaimu dan menginginkanmu?"

 Ah... Wajah Amira menghangat dan sudah pasti kedua pipinya memerah. Perkataan Alan yang panjang kali lebar itu mampu membuat hati Amira luluh kembali. Amira termenung panjang, lidahnya terasa kelu untuk menanyakan pesan itu. 

"Heih... Kok bengong, sih? Mas lagi bicara serius." Alan menepuk pelan pipi Amira.

"Mas tidak selingkuh, kan? Mas tidak punya wanita simpanan lain, bukan?" tuduh Amira. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol rasa ingin tahunya lagi. Amira ingin membahasnya malam ini.

Alan mengerutkan dahinya dalam, "Apa yang kamu bicarakan? Mas mencintai kamu, Sayang." Alan menangkup pipi Amira dengan kedua tangannya.

Tangis Amira kembali pecah, sesak yang sejak tadi ia pendam meluap begitu saja. Amira butuh pembuktian, Amira mencintai Alan dan berharap apa yang Amira pikirkan itu tidak akan pernah terjadi. Jika pun pengkhianatan yang Amira dapatkan, Amira rela mengorbankan cintanya itu.

"Kalau Mas memang punya wanita lain, biarkan Amira yang mundur, Amira akan pergi dari hidup Mas Alan." Amira sesegukan lagi, kedua tangannya terkepal kuat dan berusaha menahan isak tangisnya.

"Apa yang kamu katakan? Jangan bicara seperti itu, kita sudah berjanji untuk selalu bersama bukan? Sampai kapanpun Mas akan mencintai kamu, menyayangi kamu dan akan buat kamu bahagia."

Amira menatap lekat manik mata Alan. Amira mendapatkan keseriusan pada netra sang suami. Semakin kencang tangis Amira, dia menunduk dalam melihat kedua kakinya dan juga kaki Alan. 

Mungkin selama ini hanya pikiran buruk Amira saja. Dia terlalu banyak menonton sinetron sehingga pikiran buruk itu menghantuinya. 

"Maaf ya, Mas." Amira memeluk erat tubuh sang suami. Dia merasa bersalah atas pikiran-pikiran buruk dan tuduhan yang ia ucapkan tadi kepada Alan.

"Maafin Mas juga." Alan mengecup puncak kepala Amira. "Ya sudah, ayo tidur lagi."

Amira digiring menuju tempat tidur mereka. Baru saja Amira mendudukkan tubuhnya di atas kasur, ponsel Alan berdering nyaring. Kontan keduanya saling melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas nakas. 

Alan memang sering mendapatkan panggilan mendadak bahkan tengah malam pun harus siaga menerima panggilan itu. Sebagai dokter dia harus siap menangani pasien bahkan tengah malam sekalipun.

Alan mengangkat panggilan teleponnya, namun yang membuat Amira tak suka suaminya itu menjauhkan diri. Padahal Alan tidak pernah seperti itu, Amira selalu tahu siapa yang menelepon Alan. Kali ini Alan seperti tidak ingin Amira tahu siapa peneleponnya.

"Apa? Aku akan segera ke sana."

Alan mengambil jaketnya di lemari, lalu menuju nakas di samping tempat tidur untuk mengambil kunci mobil. Alan menatap sekilas Amira dan menghembuskan napasnya panjang.

"Mas akan kembali." Hanya itu yang Alan ucapkan.

Amira kembali dibuat takut, dia memegang dadanya yang ke sesak. Amira tidak tahu perasaan macam apa ini? Rasa takutnya berubah menjadi sembilu pilu. Dia benar-benar takut kehilangan Alan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
di amira kelihatan dungu banget. isi pesan itu pertanda tapi dasar si dungu yg digombali dikit langsung ko
goodnovel comment avatar
Aisyahnee
Dedek selalu bisa buat jantung teteh naik turun.. aawaass kau Alan berani bikin Amira sedih. Rugi kamu Alan.. ihhh gemess deh dek..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status