Bab 1 Suamiku Ijab Qobul
"Kondangan?" tanyaku pada suamiku, Mas Indra yang sedang bersiap di depan cermin lemari.
"Iya. Di ajak Ibu," balasnya melihat ke arah ku dari cermin di depannya.
"Kenapa mendadak? pekerjaan rumah kan belum selesai," kata ku seraya mendekati Mas Indra yang kini telah menyelesaikan akivitasnya.
Mas Indra mengubah posisinya menghadap ke arahku. "Maaf ya, Na, kata Ibu cukup Mas aja yang mewakili. Jadi, kamu gak perlu ikut," ujar Mas Indra.
Ada rasa menjanggal. Karena biasanya, acara apapun yang dihadiri Mas Indra pasti ia mengajak diriku. Sekalipun acara itu ibunya yang mengajak. Aku tak pernah absen meskipun ibu mertuaku itu tak menyukai keberadaanku.
"Ini kan Mas juga cuma diminta buat nemenin Ibu aja. Maaf, ya," ucap Mas Indra lagi, lalu mengecup keningku.
Aku hanya bisa terdiam tanpa memberi respon. Meski merasa janggal, namun aku mencoba mengabaikan kecurigaanku itu. Mas Indra tak mungkin mengkhianatiku.
Kami sudah menikah selama tiga tahun. Meski belum diberikan momongan, aku dan Mas Indra hidup bahagia. Apalagi soal ekonomi kami terbilang cukup. Mas Indra bekerja di sebuah pabrik dengan jabatan supervisor.
Alhamdulillah, meski sering lembur, tetapi gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah. Itu pun sudah termasuk iuran bersama ibunya untuk biaya kuliah adik perempuan satu-satunya yang bernama Jamilah.
Sedangkan aku, menyibukan diri dengan membantu ibu mertuaku di warung mie ayam dan baksonya setiap hari. Ditambah dengan pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya. Walau demikian, aku tetap ikhlas menjalaninya. Sebab, ada pahala yang aku incar dari apa yang aku lakukan tersebut.
"Ya sudah, sarapan dulu, ya, Mas," ajak ku.
Mas Indra pun berjalan ke luar kamar. Diikuti oleh ku yang berada di belakangnya.
Di meja makan sudah ada Bu Ria, ibu mertuaku, yang memang tak menyukai ku sejak awal rumah tanggaku dibangun bersama anak lelakinya itu, sudah berdandan rapi dengan mengenakan kebayanya yang berwarna kuning kecoklatan.
Tak sendirian, di sebelah Bu Ria ada anak perempuannya yang masih kuliah. Jamilah. Adik iparku itu sama saja dengan ibunya. Sering bersikap jutek padaku.
Betul-betul hanya Mas Indra lah yang menguatkanku untuk bertahan di rumah ini. Menguatkanku supaya terus bersabar dan tak berhenti mendoakan agar keluarganya bisa menerimaku sepenuhnya.
Sungguh, Mas Indra adalah sosok pria yang mendekati sempurna bagiku. Menerima kekuranganku dan tentunya dia setia dengan keadaan rumah tangga kami selama ini.
"Loh, kamu juga mau pergi, Mil?" tanyaku sembari menarik kursi. Melihat adik iparku itu yang juga sudah terlihat rapi dengan sentuhan make up yang menghiasi wajahnya.
"Iya, lah. Biasaaa, anak muda. Libur, ya main," jawab Jamilah.
Aku hanya mangut-mangut di sela tersenyum mendengar jawaban Jamilah.
Entah, aku merasa semakin aneh melihat semua anggota rumah kecuali aku akan pergi hari ini. Padahal Mas Indra hanya pergi kondangan, itu pun hanya menemani ibunya saja. Perasaanku betul-betul tak bisa terkontrol, yang membuatku semakin curiga. Apalagi Bu Ria, yang memang sering memperlihatkan ketidak sukaannya padaku malah memintaku untuk tetap membuka warung miliknya.
Benar. Warung mie ayam dan bakso tersebut adalah satu-satunya usaha ibu mertuaku. Usaha yang sudah ia rintis bersama almarhum suaminya sejak awal-awal mereka menikah.
"Ayo, Ndra, udah jam berapa ini?" ajak Bu Ria, yang padahal anak lelakinya itu belum menyelesaikan sarapannya.
"Biar selesai dulu lah, Bu," kataku.
"Halah, keburu siang. Ayo cepet, Ndra!" seru Bu Ria yang tak mengindahkan perkataanku.
Aku hanya menghela napas melihat suamiku yang terburu-buru menenguk air putih di hadapannya. Lalu dengan tergesa-gesa menyusul ibunya yang sudah lebih dulu berjalan meninggalkannya.
"Aku pergi ya," kata Mas Indra seraya melangkah pergi
Tak lama setelah itu, Jamilah, tanpa meninggalkan sepatah kata pun pada ku lantas ikut pergi.
Aku melihat ke arah jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi yang belum genap. Sedangkan Mas Indra dan Bu Ria terburu-buru pergi. Hendak kondangan di mana hingga membuat mereka takut telat yang padahal masih sepagi ini?
Dan Jamilah? ini hari minggu, tak biasanya anak itu berniat bangun sepagi ini. Aku hafal betul tabiatnya kalau sudah tanggal merah begini. Tak mungkin bangun di jam segini. Lagian, main ke mana dia dengan dandanan seperti itu?
Keadaan pagi ini ... betul-betul membuatku terheran-heran. Ada apa ini?
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, aku pun bersiap untuk berkutat dengan warung yang terletak di samping rumah. Lebih tepatnya memang menyatu dengan rumah milik ibu mertuaku ini.
Baru beberapa menit membuka warung, tiba-tiba aku kedatangan seseorang yang aku kenal. Ia adalah Ayuk, salah satu pekerja ruko pakaian yang memang berada di seberang jalan warung milik Bu Ria.
"Mbak Nana kok masih jualan?" tanya Ayuk yang membuatku terheran-heran.
"Ya mau apalagi? sudah waktunya jualan ya jualan," jawabku sambil tersenyum.
"Haduh, Mbak, bukan itu maksudku," timpa Ayuk yang semakin membuatku bertanya-tanya.
Ayuk pun lebih mendekatkan dirinya padaku, lalu ia menceritakan apa yang ia lihat ketika dalam perjalanan dari rumah menuju tempat bekerjanya. Di mana Ayuk bercerita kalau dirinya melihat Mas Indra dan Ibunya serta Jamilah turun dari mobil di depan gedung serba guna.
"Ooh, iyaa, itu Ibu sama Mas Indra kan emang mau kondangan, jadi ya mungkin acaranya di gedung itu," kata ku setelah mendengar cerita dari Ayuk.
"Tapi kok aneh ya Mbak," balas Ayuk. Aku mengernyitkan dahi seketika.
"Aneh gimana?" tanya ku.
"Mbak, kondangan mana sih buka jam segini?" Ayuk malah balik bertanya. Dan sebenarnya ... aku juga mempertanyakan hal tersebut.
"Ini lho baru setengah delapan. Terus tadi keadaannya juga sepi, makanya aku bisa lihat mereka. Kan jalan arah ke sini pas di depan gedung itu," timpa Ayuk, yang semakin membuat perasaanku tak tenang.
Mas Indra ... ah, tak mungkin ia mengkhianatiku.
Ku telan ludahku. Lalu menoleh ke arah Ayuk.
"Lagian ya Mbak, masa iya kondangan pakai kemeja putih ditambah jas lagi? apa gak takut menyaingi pengantin lakinya ntar?"
Deg!
Aku terkejut. Seingatku ketika berangkat tadi Mas Indra memakai kemeja batik biasa. Bukan kemeja polos apalagi memakai jas.
"Yuk, kamu yakin yang kamu lihat itu Mas Indra sama Ibunya? yang pakai jas itu?" tanyaku tak sabaran. Perasaan takut kalau Mas Indra menikah lagi mendadak menyelimuti pikiranku.
"Yakin, Mbak. Demi Allah, aku yakin itu Mas Indra," balas Ayuk.
Seketika badanku terasa lemas. Bagaimana jika benar Mas Indra ... menikah lagi.
Tanpa pikir panjang, sekaligus ingin membuktikan kalau firasatku salah, aku lantas mengajak Ayuk untuk pergi menuju gedung yang ia maksud pagi ini. Syukurlah, Ayuk mau membantuku dengan mengantarku ke sana.
Dan ternyata benar. Sesampainya di gedung serba guna itu, aku melihat mobil milik Mas Indra yang terparkir di sana.
Aku pun meminta Ayuk untuk parkir di dekat mobil suamiku itu. Lalu, mencoba mengintip ke dalam mobil berwarna hitam tersebut. Sayangnya aku tak bisa melihat apa yang ada di dalamnya dengan jelas lantaran kacanya yang berwarna hitam gelap. Walau begitu aku menyakinkan diri, benda yang aku lihat dengan samar-samar yang tergantung di dekat kaca mobil itu adalah sebuah kemeja.
Melihat kenyataan itu, aku langsung berlari ke dalam gedung yang tak banyak orang di dalamnya.
Sayangnya aku terlambat. Baru satu langkah aku masuk ke dalam gedung, terlihat dari kejauhan Mas Indra sudah berada di tengah orang-orang yang menghandiri acara ini. Suamiku itu tengah bersalaman dengan seorang pria paruh baya yang sedang mengucapkan ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Tiyem Lestari binti Suparman dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas 10 gram dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi?" Sah?"
"Sah!"
Tubuhku seketika terasa lunglai disaat terdengar jelas prosesi ijab qobul yang dilakukan Mas Indra, suamiku. Perlahan aku pun memundurkan langkahku dan berbalik berjalan dengan gontai meninggalkan gedung dengan perasaan hancur sekaligus tak percaya.
Bab 2 Peringatan Dari Ibu Mertua"Saya terima nikah dan kawinnya Tiyem Lestari binti Suparman dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas 10 gram dibayar tunai.""Bagaimana para saksi?" Sah?""Sah!"Tubuhku seketika terasa lunglai disaat terdengar jelas prosesi ijab qobul yang dilakukan Mas Indra, suamiku. Perlahan aku pun memundurkan langkahku dan berbalik berjalan dengan gontai meninggalkan gedung dengan perasaan hancur sekaligus tak percaya. "Loh, bukannya itu Nana, istrinya Indra?" bisik orang-orang saat aku melewati mereka. "Aku pikir dia ada di sana sama mereka. Duh, kasihan, ya."Aku terus berjalan di tengah bisikan orang-orang yang menatapku iba. Ku abaikan mereka demi kebaikan hatiku. Tubuhku tergoncang hebat dan tangisanku semakin menjadi-jadi ketika aku sampai di dekat motor milik Ayuk. Aku terlambat. Mas Indra telah menikah lagi dengan wanita yang juga aku kenal.Tiyem Lestari, atau yang bisa dipanggil Tiyem, dia adalah pemilik salon yang berada di salah satu ruko
Bab 3 Bantuan Dari Bu Intan Tak perlu menunggu lama, balasan dari Ayuk pun datang. [Besok ya kita ketemu bos ku] [Iya, siap] Tak henti-hentinya aku berucap syukur. Lalu meminta hatiku untuk berhenti merasa sakit. Karena dengan bantuan Bu Intan, semoga saja apa yang aku usahakan ini akan menjadi langkah awal diriku memulai kehidupan baru yang lebih baik. Serta menjadi jalan untuk ku membalikkan kehidupan orang-orang licik seperti mereka. ***"Nana!" Aku terperanjat mendenger panggilan dari Bu Ria. Segera aku menemui ibu mertuaku itu yang kini sedang sibuk menghitung uang di meja kasir. Yaa begitulah. Meski kesehariannya sama dengan ku, tetapi wanita yang telah melahirkan Mas Indra itu hanya menghabiskan waktunya duduk manis di depan meja kasir. Jarang sekali ia membantuku sekalipun keadaan warung sedang ramai-ramainya. "Iya, Bu?" tanyaku. Tanpa menoleh dan tetap sibuk dengan lebaran-lebaran rupiahnya, ibu mertuaku itu pun berkata," Bu Intan pesen dua mie ayam. Cepet kamu buatk
Bab 4 Izin Pulang Kampung"Iyaa ...," jawabku dengan suara lemah. Lantas berjalan ke arah gerobak yang tak jauh dari ku seraya menatap tajam ke arah Mas Indra yang malah ikut memerintah ku dan bukannya membantuku. Di momen itu, aku melihat jelas perubahan suamiku. Wajar, mungkin karena sekarang bukan aku lagi yang mengisi hatinya. Tak apa, toh, setelah ini aku akan berpisah dengannya. "Tunggu saja, Mas. Pernikahan keduamu ini adalah langkah awal menuju kesuksesanku."Dengan perasaan yang harus dipaksa untuk kuat, aku mengantarkan pesanan untuk Tiyem dan lainnya. "Permisi, Mbak," ucapku seraya meletakkan satu per satu mangkok bergambar ayam jago di atas meja. "Makasih, ya, Na," balas Tiyem sambil mengembangkan senyumannya. Betul-betul merasa tak bersalah pada ku. Aku menyunggingkan senyumku. "Iya, Mbak.""Oya, kamu gabung sekalian aja, soalnya kan aku mau bahas kerja sama antara salonku sama warungnya Bu Ria," ujar Tiyem yang membuatku terheran-heran. Kerja sama? kerja sama apa y
Bab 5 Usaha Sendir Mulai BerdiriTanpa berkata lagi, Bu Ria lantas meninggalkan ku. Jelas sekali raut wajahnya tampak kesal sekaligus khawatir. Sebab, dengan apa yang barusan aku sampaikan, hal itu pasti membuat Bu Ria takut lantaran akan ada orang yang menyaingi usahanya."Ini baru awal, Bu," batinku. Menatap ibu mertuaku yang dilanda kegelisahan.***Di pagi harinya, ketika fajar mulai menampakkan sinarnya, aku telah bersiap untuk menjalankan rencanaku hari ini. Dengan berpura-pura akan balik ke kampung halamanku, yang padahal sebenarnya akuingin menemuiseseorang untuk kumintai bantuannya."Aku pamit, ya, Mas," kataku saat melewati Mas Indra yang baru saja keluar dari kamar mandi."Loh, sepagi ini kamu berangkatnya?" tanya Mas Indra heran. Langkahku pun terhenti seketika."Iya, biar gak macet di jalan. Lagian kan jauh. Dah, ya, aku pergi. Assalamualaikum." Aku kembali melanjutkan langkahku."Gak salim dulu?!" tanya Mas Indra sedikit berteriak. Namun, aku abaikan karena memang tak
Bab 6 Persaingan Dimulai "Udah, jangan nangis lagi. Sekarang waktunya kamu berjuang," papar Rika. "Iya, makasih, ya."Sebelum pulang, aku dan Rika kembali membahas bagaimana kedepannya aku akan menjalankan usaha ku ini. Karena bagaimanapun aku tetap harus bekerja di warung mie ayam milik Bu Ria. Sedangkan, untuk juru masak di warung ku sendiri aku belum mendapatkannya. Di tengah-tengah kebingungan yang sedang melanda, tiba-tiba Rika bersuara. "Tetep kamu yang masak, Na. Kan, untuk ayamnya gak tiap hari masak, to? Jadi kedepannya bisa lah diakalin. Dan untuk pelayannya nanti biar aku minta dua pekerja ku bantu di sini. Lagian kan sekarang kita parnert kerja," kata Rika lalu menyunggingkan senyuman. Mendengar apa yang dikatakan teman baik ku itu, sontak membuat semangat ku kembali terbakar. Aku kembali bersemangat untuk bisa membangun usaha ku kali ini. Sampai akhirnya Aku dan Rika mengurungkan niat kami untuk pulang. Kami memutuskan untuk pergi ke pasar guna membeli kebutuhan bah
Bab 7 Kedatangan Bu Ria Di Warung Nana Sementara aku, merasa mood-ku mulai kembali setelah mendengar semangat yang disebarkan oleh teman baikku itu. Lalu bersiap di depan gerobak untuk meracik pesanan dari pelanggan pertama. Dari depan tungku, netra ku terus saja memperhatikan mobil yang baru saja terparkir. Dan setelah pemilik mobilnya itu turun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa orang tersebut. Dia adalah ... Bu Intan. Aku benar-benar tak menyangka kalau pelanggan pertamaku adalah Bu Intan. Tentu saja mendapati hal demikian, aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk wanita yang sudah membantuku itu. Bu Intan berjalan dengan elegan memasuki warung. "Assalamualaikum, Nana," sapa Bu Intan sambil tersenyum. "Wa'alaikumsalam, Bu Intan ...," balasku ramah seraya mengulas senyum manis ke arah wanita yang cukup berjasa untuk ku itu. "Tolong buatin dua puluh porsi mie ayam bakso, ya," pesan Bu Intan. Kedua mataku terbuka lebar seketika. "Du-dua puluh, Bu?" balasku
Bab 8 Diminta PulangDengan memasang wajah tegap, Rika berkata, "memangnya ada urusan apa sampai mencari pemilik warung ini? Ada masalah kah?" Rika menatap tajam ke arah Bu Ria.Setelah mendapat balasan demikian, aku pikir ibu mertuaku itu akan menciut nyalinya. Tapi ternyata aku salah. Malah, Bu Ria bertindak di luar sangkaan ku yang membuatku tercengang. "Awas kamu!!" peringat Bu Ria dengan dua bola matanya yang hampir keluar. Lalu, meludah di depan Rika dan pergi dengan angkuhnya.Di momen itu, aku melihat sahabatku itu hanya bergeming sambil menatap dua wanita set*n itu pergi. Mungkin Rika terlalu syok lantaran baru kali ini ada orang yang meludah di depannya, yang mana hal itu bukanlah tindakan yang baik."Astaghfirullah ... ternyata sejahat itu ibu mertuaku," ucapku melihat sikap kasar dari Bu Ria.Aku tak pernah menyangka kalau wanita yang telah melahirkan suamiku itu rupanya bisa sekasar itu pada orang lain. Sekarang, aku sadar bahwa Bu Ria bukan hanya orang yang jahat, namun
Bab 9 Menjalankan Perintah dari Ibu Mertua "Halah! Kamu tuh tau apa soal usaha. Ibu itu minta kamu pulang buat ngerjain sesuatu. Bukan nasehatin Ibu!" balas Bu Ria ketus. "Ngelakuin sesuatu? Apa, Bu?" jawab ku yang sedikit terkejut sekaligus penasaran. Jangan-jangan, ibu mertuaku itu meminta ku untuk .... "Jangan bilang Ibu mau Nana pergi ke warung baru itu terus taruh kecoa mati lagi," tebak ku. "Hus! Ngawur kamu!" tegur Bu Ria tak terima. Aku terheran, ternyata tebakan ku salah. Lantas, apa yang dimaksud ibu mertuaku itu? "Ibu itu cuma minta Mbak Nana buat pergi ke warung baru itu!" timpal Jamilah dengan muka sinis nya. Hah? Aku tercengang mendengar perkataan adik iparku barusan. Apa aku tak salah dengar? Ya kali wanita tua itu memintaku pulang hanya untuk mendatangi warung baru yang katanya adalah saingan bisnisnya itu. Lagipu