Share

Aku Dan Pengkhianatan Suamiku
Aku Dan Pengkhianatan Suamiku
Author: OptimisNa_12

Suamiku Ijab Qobul

Author: OptimisNa_12
last update Last Updated: 2024-02-09 14:29:24

Bab 1 Suamiku Ijab Qobul

"Kondangan?" tanyaku pada suamiku, Mas Indra yang sedang bersiap di depan cermin lemari.

"Iya. Di ajak Ibu," balasnya melihat ke arah ku dari cermin di depannya.

"Kenapa mendadak? pekerjaan rumah kan belum selesai," kata ku seraya mendekati Mas Indra yang kini telah menyelesaikan akivitasnya.

Mas Indra mengubah posisinya menghadap ke arahku. "Maaf ya, Na, kata Ibu cukup Mas aja yang mewakili. Jadi, kamu gak perlu ikut," ujar Mas Indra.

Ada rasa menjanggal. Karena biasanya, acara apapun yang dihadiri Mas Indra pasti ia mengajak diriku. Sekalipun acara itu ibunya yang mengajak. Aku tak pernah absen meskipun ibu mertuaku itu tak menyukai keberadaanku.

"Ini kan Mas juga cuma diminta buat nemenin Ibu aja. Maaf, ya," ucap Mas Indra lagi, lalu mengecup keningku.

Aku hanya bisa terdiam tanpa memberi respon. Meski merasa janggal, namun aku mencoba mengabaikan kecurigaanku itu. Mas Indra tak mungkin mengkhianatiku.

Kami sudah menikah selama tiga tahun. Meski belum diberikan momongan, aku dan Mas Indra hidup bahagia. Apalagi soal ekonomi kami terbilang cukup. Mas Indra bekerja di sebuah pabrik dengan jabatan supervisor.

Alhamdulillah, meski sering lembur, tetapi gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah. Itu pun sudah termasuk iuran bersama ibunya untuk biaya kuliah adik perempuan satu-satunya yang bernama Jamilah.

Sedangkan aku, menyibukan diri dengan membantu ibu mertuaku di warung mie ayam dan baksonya setiap hari. Ditambah dengan pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya. Walau demikian, aku tetap ikhlas menjalaninya. Sebab, ada pahala yang aku incar dari apa yang aku lakukan tersebut.

"Ya sudah, sarapan dulu, ya, Mas," ajak ku.

Mas Indra pun berjalan ke luar kamar. Diikuti oleh ku yang berada di belakangnya.

Di meja makan sudah ada Bu Ria, ibu mertuaku, yang memang tak menyukai ku sejak awal rumah tanggaku dibangun bersama anak lelakinya itu, sudah berdandan rapi dengan mengenakan kebayanya yang berwarna kuning kecoklatan.

Tak sendirian, di sebelah Bu Ria ada anak perempuannya yang masih kuliah. Jamilah. Adik iparku itu sama saja dengan ibunya. Sering bersikap jutek padaku.

Betul-betul hanya Mas Indra lah yang menguatkanku untuk bertahan di rumah ini. Menguatkanku supaya terus bersabar dan tak berhenti mendoakan agar keluarganya bisa menerimaku sepenuhnya.

Sungguh, Mas Indra adalah sosok pria yang mendekati sempurna bagiku. Menerima kekuranganku dan tentunya dia setia dengan keadaan rumah tangga kami selama ini.

"Loh, kamu juga mau pergi, Mil?" tanyaku sembari menarik kursi. Melihat adik iparku itu yang juga sudah terlihat rapi dengan sentuhan make up yang menghiasi wajahnya.

"Iya, lah. Biasaaa, anak muda. Libur, ya main," jawab Jamilah.

Aku hanya mangut-mangut di sela tersenyum mendengar jawaban Jamilah.

Entah, aku merasa semakin aneh melihat semua anggota rumah kecuali aku akan pergi hari ini. Padahal Mas Indra hanya pergi kondangan, itu pun hanya menemani ibunya saja. Perasaanku betul-betul tak bisa terkontrol, yang membuatku semakin curiga. Apalagi Bu Ria, yang memang sering memperlihatkan ketidak sukaannya padaku malah memintaku untuk tetap membuka warung miliknya.

Benar. Warung mie ayam dan bakso tersebut adalah satu-satunya usaha ibu mertuaku. Usaha yang sudah ia rintis bersama almarhum suaminya sejak awal-awal mereka menikah.

"Ayo, Ndra, udah jam berapa ini?" ajak Bu Ria, yang padahal anak lelakinya itu belum menyelesaikan sarapannya.

"Biar selesai dulu lah, Bu," kataku.

"Halah, keburu siang. Ayo cepet, Ndra!" seru Bu Ria yang tak mengindahkan perkataanku.

Aku hanya menghela napas melihat suamiku yang terburu-buru menenguk air putih di hadapannya. Lalu dengan tergesa-gesa menyusul ibunya yang sudah lebih dulu berjalan meninggalkannya.

"Aku pergi ya," kata Mas Indra seraya melangkah pergi

Tak lama setelah itu, Jamilah, tanpa meninggalkan sepatah kata pun pada ku lantas ikut pergi.

Aku melihat ke arah jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi yang belum genap. Sedangkan Mas Indra dan Bu Ria terburu-buru pergi. Hendak kondangan di mana hingga membuat mereka takut telat yang padahal masih sepagi ini?

Dan Jamilah? ini hari minggu, tak biasanya anak itu berniat bangun sepagi ini. Aku hafal betul tabiatnya kalau sudah tanggal merah begini. Tak mungkin bangun di jam segini. Lagian, main ke mana dia dengan dandanan seperti itu?

Keadaan pagi ini ... betul-betul membuatku terheran-heran. Ada apa ini? 

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, aku pun bersiap untuk berkutat dengan warung yang terletak di samping rumah. Lebih tepatnya memang menyatu dengan rumah milik ibu mertuaku ini.

Baru beberapa menit membuka warung, tiba-tiba aku kedatangan seseorang yang aku kenal. Ia adalah Ayuk, salah satu pekerja ruko pakaian yang memang berada di seberang jalan warung milik Bu Ria.

"Mbak Nana kok masih jualan?" tanya Ayuk yang membuatku terheran-heran.

"Ya mau apalagi? sudah waktunya jualan ya jualan," jawabku sambil tersenyum.

"Haduh, Mbak, bukan itu maksudku," timpa Ayuk yang semakin membuatku bertanya-tanya.

Ayuk pun lebih mendekatkan dirinya padaku, lalu ia menceritakan apa yang ia lihat ketika dalam perjalanan dari rumah menuju tempat bekerjanya. Di mana Ayuk bercerita kalau dirinya melihat Mas Indra dan Ibunya serta Jamilah turun dari mobil di depan gedung serba guna.

"Ooh, iyaa, itu Ibu sama Mas Indra kan emang mau kondangan, jadi ya mungkin acaranya di gedung itu," kata ku setelah mendengar cerita dari Ayuk.

"Tapi kok aneh ya Mbak," balas Ayuk. Aku mengernyitkan dahi seketika.

"Aneh gimana?" tanya ku.

"Mbak, kondangan mana sih buka jam segini?" Ayuk malah balik bertanya. Dan sebenarnya ... aku juga mempertanyakan hal tersebut.

"Ini lho baru setengah delapan. Terus tadi keadaannya juga sepi, makanya aku bisa lihat mereka. Kan jalan arah ke sini pas di depan gedung itu," timpa Ayuk, yang semakin membuat perasaanku tak tenang.

Mas Indra ... ah, tak mungkin ia mengkhianatiku.

Ku telan ludahku. Lalu menoleh ke arah Ayuk.

"Lagian ya Mbak, masa iya kondangan pakai kemeja putih ditambah jas lagi? apa gak takut menyaingi pengantin lakinya ntar?"

Deg!

Aku terkejut. Seingatku ketika berangkat tadi Mas Indra memakai kemeja batik biasa. Bukan kemeja polos apalagi memakai jas.

"Yuk, kamu yakin yang kamu lihat itu Mas Indra sama Ibunya? yang pakai jas itu?" tanyaku tak sabaran. Perasaan takut kalau Mas Indra menikah lagi mendadak menyelimuti pikiranku.

"Yakin, Mbak. Demi Allah, aku yakin itu Mas Indra," balas Ayuk.

Seketika badanku terasa lemas. Bagaimana jika benar Mas Indra ... menikah lagi.

Tanpa pikir panjang, sekaligus ingin membuktikan kalau firasatku salah, aku lantas mengajak Ayuk untuk pergi menuju gedung yang ia maksud pagi ini. Syukurlah, Ayuk mau membantuku dengan mengantarku ke sana.

Dan ternyata benar. Sesampainya di gedung serba guna itu, aku melihat mobil milik Mas Indra yang terparkir di sana.

Aku pun meminta Ayuk untuk parkir di dekat mobil suamiku itu. Lalu, mencoba mengintip ke dalam mobil berwarna hitam tersebut. Sayangnya aku tak bisa melihat apa yang ada di dalamnya dengan jelas lantaran kacanya yang berwarna hitam gelap. Walau begitu aku menyakinkan diri, benda yang aku lihat dengan samar-samar yang tergantung di dekat kaca mobil itu adalah sebuah kemeja.

Melihat kenyataan itu, aku langsung berlari ke dalam gedung yang tak banyak orang di dalamnya.

Sayangnya aku terlambat. Baru satu langkah aku masuk ke dalam gedung, terlihat dari kejauhan Mas Indra sudah berada di tengah orang-orang yang menghandiri acara ini. Suamiku itu tengah bersalaman dengan seorang pria paruh baya yang sedang mengucapkan ijab.

"Saya terima nikah dan kawinnya Tiyem Lestari binti Suparman dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas 10 gram dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi?" Sah?"

"Sah!"

Tubuhku seketika terasa lunglai disaat terdengar jelas prosesi ijab qobul yang dilakukan Mas Indra, suamiku. Perlahan aku pun memundurkan langkahku dan berbalik berjalan dengan gontai meninggalkan gedung dengan perasaan hancur sekaligus tak percaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   TAMAT

    Part 20 TAMAT"Aku gak mau basa-basa, to the poin aja, mau apa kamu ke sini?" tanya ku pada Mas Indra. "Na, Mas ke sini mau bilang—""Bilang apa? cepetan, aku gak ada waktu!"tukas ku masih tetap memasang wajah cuek. "Mas minta maaf ya sama kamu."Aku tertawa kecil seraya menatap tajam sebentar ke arah Mas Indra. "Gak usah minta maaf—""Tapi, Na," tukas Mas Indra yang membuat ku menoleh ke arahnya. "Mas banyak salah sama kamu. Jadi sudah seharusnya Mas minta maaf ke kamu."Aku menghela napas kasar. "Udah ya, Mas, Nana capek sama semua drama ini.""Drama? maksud kamu?" timpal Mas Indra. Kamu menatap serius ke arah pria di hadapan mu itu. "Mas, aku udah tau ya hubungan kamu sama Tiyem itu gimana."Mas Indra terkejut mendengar ucapan ku barusan. Ekspresinya yang tadi tampak melas pun mendadak berubah gelisah disertai keringat yang mulai membasahi wajahnya. "Kalian udah nikah, kan?""Na, Mas minta maaf ya," ucap Mas Indra cepat. "Aku bilang Mas gak perlu minta maaf!""Nana ...."Aku

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Mulai Terang-terangan

    Bab 19 Mulai terang-terangan "Mulai sekarang kamu bukan menantuku lagi!" Seketika aku menoleh ke arah Bu Ria dan Mas Indra yang menatapku dari teras rumah. "Aku juga udah gak sudi punya mertua kayak kamu!" balasku, lalu melajukan sepeda motorku. Karena sudah terlanjur diusir, kini tak ada lagi yang perlu aku tutup-tutupi perihal usahaku. Benar, setelah diusir dari rumah mertua ja*ha*nam itu, aku melajukan sepeda motorku ke arah ruko tempat aku jualan. Tentu saja tanpa memedulikan Bu Ria ataupun Mas Indra yang masih memperhatikanku dari teras rumah mereka. "Mbak Nana!" seru Lia yang melihatku tiba-tibadatang dengan membawa banyak barang. Mendengar seruan dari Lia barusan, membuat sahabatku Rika juga muncul dari dalam ruko. Ria berjalan menghampiriku dengan raut wajah terheran-heran sekaligus tak menyangka. "Kamu diusir, Na?" tanya Rika. Entahlah, sudah jelas aku membawa koper dan juga banyak barang, kenapa masih ada pertanyaan seperti itu. Aelah Rika. "Tolong bantuin dong,"

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Di Usir

    Bab 18 Di UsirMendapati hal tersebut aku hanya tersenyum senang. Benar-benar merasa di atas angin lantaran pihak musuh yang akhirnya membutuhkanku. Sampai tiba-tiba panggilan telepon dari Mas Indra kembali masuk. Karena penasaran dengan apa yang ingin dikatakan suamiku itu, aku pun mengangkat panggilannya tersebut."PULANG!!!" bentak Mas Indra tepat setelah aku menerima panggilannya.Terkejut. Jelas aku terkejut karena dari satu kata yang keluar dari mulut pria jelek itu membuatku langsung naik pitam. Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan sehingga membentakku seperti itu? mungkinkah karena aku pergi tanpa pamit?"Gak usah teriak, Mas, aku gak budeg!" balasku. Enak saja mau marah-marah tak jelas."Alah udah lah! mending kamu pulang sekarang atau kamu bakal menyesal." Tanpa menunggu respon dari ku, Mas Indra malah mematikan hp nya begitu saja."Dasar mokondo! awas aja ya lu!" gerutuku."Kenapa, Na?" tanya Rika.Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Menghela napas sejenak lalu menjelaska

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Pergi Tanpa Pamit

    Bab 17 Pergi Tanpa Pamit"Udah lah, Na, jangan marah terus," ujar Mas Indra. "Aku ke sini mau tanya sesuatu ke kamu."Aku tersenyum kecut. Dugaanku benar rupanya. Mas Indra mendatangiku bukan untukku melainkan karena hal lain. Dasar laki-laki kampret!Tapi ... kira-kira hal apa ya yang ingin ditanyakan suamiku itu?"Udah lah, Mas, kamu ngapain ke sini?" tanyaku ketus.Mas Indra tak langsung menjawab. Ia malah tampak ragu namun pada akhirnya berucap juga."Ibu ... nanyain soal sawah kamu gimana?""Ha?!" aku terkejut. Baru saja mengomeliku dan sekarang sudah menanyakan soal sawah. Betul-betul mertua mata duitan!"Emang kenapa sawahnya? lupa ya tadi abis marahin aku?""Udah dong, Na ... maafin ibu, ya? ibu tadi cuma gak pengen kamu berantem sama Tiyem.""Terus kenapa yang dibela Tiyem? bukannya aku? aku masih menantunya, kan?" tukasku.Mas Indra menelan ludahnya mendengar ucapanku barusan. Dari ekspresinya aku bisa menebak kalau ia mulai tak nyaman dengan sikapku. Biarlah, lagian siapa s

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Si Pengkhianat Itu ...

    Bab 16 Si Pengkhianat Itu ..."Emang sepenting apa, sih?" tanya Tiyem dengan nada meremehkan.Aku menatap secara bergantian tiga orang di hadapanku ini. Lalu mulai bersuara untuk menjelaskan maksud dari perkataanku sebelumnya. Namun sebelum itu, aku mengajukan syarat kepada Bu Ria untuk menelepon Mas Indra agar secepatnya pulang."Kenapa harus ada Indra?" tanya Bu Ria."Gak usah banyak tanya, tinggal mau gak Buuu?" balasku.Dengan menghela napas kesal akhirnya Bu Ria menuruti kemauanku. Ia menelepon anaknya untuk segera pulang.Dan benar saja, kurang dari dua puluh menit setelah Bu Ria menghubungi anak lelakinya itu, Mas Indra sudah srumah. Tentu saja hal itu semakin memperkuat dugaanku kalau suamiku itu pasti sudah tidak bekerja lagi. Sebab, normalnya jarak tempuh yang dilalui Mas Indra dari rumah ke tempat kerjanya itu bisa sampai tiga puluh hingga empat puluh menit."Ada apa, Bu? kok mendadak minta Indra pulang?" tanya Mas Indra sesaat setelah ia sampai."Loh, ada Tiyem juga to?" M

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Nana Ketahuan

    Bab 15 Nana KetahuanBelum sempat aku membalas perkataan Bu Ria, tiba-tiba adik iparku si Jamilah datang dengan hebohnya."Ibuuuu!!!" teriak Jamilah."Kenapa sih kamu?" tanya Bu Ria."Ibu harus liat ini. Ternyata ada pengkhianat di warung kita, Bu," ucap Jamilah cepat.Mendengar kata pengkhianat, spontan aku sadar diri. Jangan-jangan Jamilah ....Aku semakin deg-degan ketika Jamilah menunjukkan layar hp nya ke hadapan ibunya. Saat itu aku teringat dengan postinganku yang ada di facebook mengenai promosi yang aku lakukan untuk usahaku.Dan benar saja, Bu Mirna langsung membelalakkan kedua matanya ketika melihat apa yang ada di layar ponsel Jamilah. Dengan raut wajah yang siap menerkam, ibu mertuaku itu lantas menghampiriku yang berada tak jauh darinya.Plakk!!Dengan keras Bu Ria melayangkan tangannya ke pipiku yang membuatku tertegun seketika.Perang antara mertua dan menantu kembali dimulai!"Mantu kurang aj*r kamu, ya! bisa-bisanya nusuk ibu mertuamu sendiri!" sergah Bu Ria sambil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status