Share

Part 3

"Yu!" teriak Marni--mertuaku

Ada apa lagi dengan mak lampir itu, baru saja membersihkan diri sudah teriak-teriak tidak jelas. 

"Iya Bu," jawabku sedikit kesal

"Kok kamu enggak masak? Jadi, seperti ini kelakuan seorang istri selalu bangun siang dan tidak pernah melayani suaminya?" cerocos mulut embernya sambil berkacak pinggang. 

Aku menyilangkan tangan di atas dada. "Bukannya sekarang ada Ibu?"

Mak lampir itu mendelik saat mengatakan itu. Dia pun mengahampiriku dan menjambak rambut panjang yang baru saja dirapikan. Aduh rasanya sakit juga perih. Aku pun memegang tangannya biar tidak menarik-narik terus. 

"Kamu kira Ibu pembantu? Dasar menantu durhaka pantas saja tidak mempunyai anak." 

Nyes 

Hatiku kembali perih mendengar ocehannya dengan entengnya mengatakan itu. Seperti tak punya dosa. 

"Ibu! Hentikan!" teriak mas Aldi dan melepaskan tangan Ibu. Ada rasa lega, tetapi rambutku acak-acakan. Wajah ini mungkin sangat merah karena menahan amarah. 

"Dia mengatakan kalau Ibu pembantu di sini! Dasar wanita sinting." Mertuaku ah, aku malas menyebutnya. Bagiku dia seperti mak Lampir yang berhati iblis. 

Aku menarik nafas dalam-dalam untuk tidak ikut emosi. Baiklah akan ku tunjukan siapa Ayu sebenaranya. Anaknya sudah menikah lagi tanpa ijinku bahkan  menumpang pula di rumah warisan Papaku. 

"Apa itu benar, Yu?" ujar lelaki yang telah mengkhianatiku. 

Aku menggeleng pelan rasanya kepalaku mau copot. Lekas kutinggalkan mereka di ruang tamu.Tak kuhiraukan teriakan lelaki itu yang terus memanggil. 

“Dasar mertua tidak tahu terima kasih. Anaknya sudah enak tinggal di rumahku, apalagi beberapa tahun ini perusahaan dia yang mengelola " gertuku pelan.

Aku tidak tahan lagi dengan segala perlakuannya. Mertua toxic seperti itu harus diberi pelajaran. Sekarang aku bukan Ayu yang selalu penurut, selama ini aku terlalu bodoh.

"Ayu mau ke mana?" tanya mas Aldi saat aku sudah rapi dengan kemeja putih dipadukan dengan blezer navy bawahannya memakai rok span hitam selutut. Seperti layaknya kerja kantoran dan juga membawa tas kecil.

"Mau kerja di perusahaanku." Tanpa menunggu jawabannya kulangkahkan menuju garasi dan membawa mobil.

Mas Aldi bersama mertuaku berlari kecil keluar mengejarku.

"Aldi? Apa maksudnya dia?" tanya Ibu mertua yang masih bisa kudengar.

Terserah mas Aldi mau berkata apa pada ibunya, kenapa berbohong kalau dia mempunyai perusahaan. Apalagi kalau tahu rumah yang kami tempati itu milikku.

Sekitar lima belas menit aku sudah sampai di perusahaan. Mira sekertaris baru sudah menyambut kedatanganku. Dia memberikan berkas yang dibutuhkan.

"Terima kasih Mira," ucapku dengan tersenyum bahagia.

Aku pun membaca berkas itu dengan teliti di sana sudah ada bukti kecurangan mas Aldi. Dia menggelapkan dana perusahaan dan banyak tranfer uang ke beberapa nomer rekening yang tidak dikenal.

"Ayu," panggil mas Aldi dengan nafas terengah-engah

Datang juga dia, tak akan kubiarkan perusahaan ini bangkrut kalau terus berada di tangannya. Dulu, Papa susah payah membangun perusahaan ini. Tidak akan kubiarkan hancur begitu saja.

"Datang juga kamu, Mas?"

Kutatap tajam lelaki yang telah membersamaiku selama tiga tahun ini. Namun, akan kuakhiri semuanya maaf, Mas. Aku sudah lelah. 

"Kamu kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya dengan sedikit panik.

Aku tidak perlu basa-basi. Berkas di tangan kuberikan padanya. Mata mas Aldi membola saat dia membaca, bahkan berkas itu terlihat bergetar.

"Yu kamu dapat ini dari mana? Ini pasti kesalahan jangan percaya," elaknya dengan wajah pucat. 

Masih belum mengaku juga, tentunya aku dapatkan dari kepercayaan di sini. Awalnya  tidak mempermasalahkan. Namun, akhir-akhir ini mas Aldi sedikit berubah, bahkan uang nafkah dipotong. Dari situ aku mulai curiga dengannya. Dan benar saja mas Aldi melakukan kecurangan. Dia menanipulasi data keuangan. Bahkan, sudah menikah dengan sahabatku sendiri secara diam-diam. 

"Kamu belum mengaku juga, Mas? Entah berapa milyar yang kamu ambil dari perusahaan ini. Lama-lama bisa bangkrut apa kamu tidak memikirkanya, hah!" geramku tangan ini ingin menampar wajah itu. Namun, ku urungkan dan hanya mengambang di udara. 

Mas Aldi sedikit terkejut mungkin tidak menyangka akan seperti ini. Selama menjadi istri, aku selalu menurut tidak pernah sekalipun membentak atau bicara kasar. Namun, kali ini kesabaranku sudah habis.

"A-aku  ...."

Aku menarik nafas dalam-dalam degup jantungku tidak karuan. Sebelumnya tak pernah terbayangkan akan seperti ini. Dulu, aku sangat mencintainya walaupun pernikahan kami karena perjodohan. 

Terdengar pintu diketuk dari luar sehingga kualihkan perhatian.

"Maaf Bu, ada yang harus ditandatangani." Mira menyerahkan beberapa berkas

Kutatap wajah mas Aldi dengan sinis seakan berkata aku bisa tanpamu, Mas. Silakan pergi dan bawa pelakor itu jauh-jauh, aku pun segera mendatanganinya.

"Maaf Mas, aku mau kerja lagi." Usirku secara halus. Terlihat wajahnya sendu, dia pun keluar ruangan dengan langkah gontai. Tak ada niatan untuk hentikan langkahnya. 

“Kamu yang memulai semua ini, Mas.” 

 

Masih ada satu lagi kejutan untukmu, tetapi, tak akan kuberikan sekarang. Kufokuskan kembali pada beberapa tumpukan berkas di atas meja. Waktu cepat berlalu kini sudah pukul 15.30 aku siap-siap untuk pulang. Namun, ponselku berdering lalu, melihat nama Mila keningku bertaut ada apa dengannya tumben sekali menghubungiku.

"Yu, kok kamu tidak datang di acara pernikahanku?" tanyanya dengan suara manja. Jijik aku mendengarnya. Halah bangga menikah dengan suami orang. 

"Oiya, maaf aku tiba-tiba ada acara mendadak," kilahku ingin muntah rasanya. 

Dia pun akhirnya menceritakan tentang pernikahan mewahnya. Mila selalu pamer kepadaku seakan tidak mau tersaingi. Rasanya aneh, dia temanku. Namun, kelakuannya membuatku ilfeel. Ku jauhkan ponsel dari telinga tak ingin kudengar apapun darinya. Karena itu semua uang aku, pasti mas Aldi menggunakan uang perusahaan hanya untuk menikahi Mila. 

"Maaf ya Mil, aku mau pulang kerja. Nanti sambung lagi."

"Hah? Kamu kerja di mana? Bukannya selama ini selalu mengandalkan duit suamimu? Atau jangan-jangan bangkrut?" cecarnya sambil tertawa. "oiya, suamiku pengusaha sukses, dia bekerja di perusahaan terkenal."

Ck, perusahaan yang mana? Kalau aku memberitahukan di mana kerjaku pastinya dia akan pingsan. Atau mungkin tak akan sanggup berjalan lagi. 

“O. Memangnya suami kamu bagian apa?” Aku makin penasaran sejauh mana mas Aldi mengakui statusnya.

"Dia pemiliknya lho! Kereen 'kan suamiku? Aku juga mau dibelikan rumah mewah nanti kamu main ya, pasti iri lihatnya." Mila terus memanasi ku. Lihatlah setelah ini siapa yang akan tertawa puas. 

Bangga banget dengan laki orang. Jadi, Mila tidak tahu kalau aku istrinya mas Aldi? Bahkan, mas Aldi berjanji akan membelikannya rumah mewah. Apa dia mampu? Sekarang suamimu tidak akan bekerja lagi di perusahaanku.

"Kerenn banget, aku jadi ingin kepo dengan suamimu kapan-kapan boleh dong kenalin siapa tahu aku bisa bekerja di perusahaannya." Kupegang dada ini yang kian sesak. Terasa konyol istri sah sedang bicara dengan pelakor dan pura-pura tak mengetahui pernikahan itu. 

Pasti akan seru kalau kami bertemu akan kukenalkan juga padanya kalau mas Aldi suamiku juga. Lama-lama telepon sama dia membuatku sedikit muak, bagaimana kalau bertemu setelah menikah dengan suamiku. 

"Maaf ya, Mil. Bukannya tidak mau mendengarkan cerita kamu, tetapi ini sudah sore."

Sambungan pun terputus tanpa menjawab ucapanku. Aku menarik nafas dalam rasanya dada ini sesak saat berbicara basa-basi dengan pelakor. Namun, belum saatnya dia tahu kalau aku istrinya.

Aku pun menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, jalanan mulai macet karena ini jam pulang kerja.

"Gara-gara Mila telpon. Jadi, aku kejebak macet memang orang itu kalau bicara tiada hentinya terus saja menceritakan tentang dirinya."

[Ayu cepat pulang suamimu marah-marah]

Satu pesan masuk di aplikasi hijau dari nomer mak lampir. Memangnya aku peduli, tetapi kenapa juga mas Aldi marah-marah penasaran sih. 

Kubiarkan saja tanpa membalas pesannya. Enak saja menyuruhku bukannya mas Aldi mempunyai istri lain, kenapa tidak bilang saja sama istri barunya? Kenapa aku yang repot

Karena jalanan sangat macet tiba-tiba perutku lapar, sebelum pulang ke rumah aku sempatkan makan di pinggir jalan terlebih dahulu. Pastinya di rumah tidak ada makanan. Mana pernah mau mertuaku masak, biasanya aku yang sering melayani. 

"Mbak, aku minta satu porsi nasi lauknya pakai ayam geprek juga lalapannya. Minumnya teh manis saja," ucapku setelah sampai di tempat favoritku.

Tiba-tiba seseorang menyapaku. Dia  …

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mimi Fatma
sudah menikah 3 tahun.. masa suami sahabat gak tau
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status