"Yu!" teriak Marni--mertuaku
Ada apa lagi dengan mak lampir itu, baru saja membersihkan diri sudah teriak-teriak tidak jelas. "Iya Bu," jawabku sedikit kesal"Kok kamu enggak masak? Jadi, seperti ini kelakuan seorang istri selalu bangun siang dan tidak pernah melayani suaminya?" cerocos mulut embernya sambil berkacak pinggang.
Aku menyilangkan tangan di atas dada. "Bukannya sekarang ada Ibu?"Mak lampir itu mendelik saat mengatakan itu. Dia pun mengahampiriku dan menjambak rambut panjang yang baru saja dirapikan. Aduh rasanya sakit juga perih. Aku pun memegang tangannya biar tidak menarik-narik terus.
"Kamu kira Ibu pembantu? Dasar menantu durhaka pantas saja tidak mempunyai anak."Nyes
Hatiku kembali perih mendengar ocehannya dengan entengnya mengatakan itu. Seperti tak punya dosa.
"Ibu! Hentikan!" teriak mas Aldi dan melepaskan tangan Ibu. Ada rasa lega, tetapi rambutku acak-acakan. Wajah ini mungkin sangat merah karena menahan amarah. "Dia mengatakan kalau Ibu pembantu di sini! Dasar wanita sinting." Mertuaku ah, aku malas menyebutnya. Bagiku dia seperti mak Lampir yang berhati iblis. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk tidak ikut emosi. Baiklah akan ku tunjukan siapa Ayu sebenaranya. Anaknya sudah menikah lagi tanpa ijinku bahkan menumpang pula di rumah warisan Papaku. "Apa itu benar, Yu?" ujar lelaki yang telah mengkhianatiku. Aku menggeleng pelan rasanya kepalaku mau copot. Lekas kutinggalkan mereka di ruang tamu.Tak kuhiraukan teriakan lelaki itu yang terus memanggil. “Dasar mertua tidak tahu terima kasih. Anaknya sudah enak tinggal di rumahku, apalagi beberapa tahun ini perusahaan dia yang mengelola " gertuku pelan.Aku tidak tahan lagi dengan segala perlakuannya. Mertua toxic seperti itu harus diberi pelajaran. Sekarang aku bukan Ayu yang selalu penurut, selama ini aku terlalu bodoh."Ayu mau ke mana?" tanya mas Aldi saat aku sudah rapi dengan kemeja putih dipadukan dengan blezer navy bawahannya memakai rok span hitam selutut. Seperti layaknya kerja kantoran dan juga membawa tas kecil."Mau kerja di perusahaanku." Tanpa menunggu jawabannya kulangkahkan menuju garasi dan membawa mobil.Mas Aldi bersama mertuaku berlari kecil keluar mengejarku."Aldi? Apa maksudnya dia?" tanya Ibu mertua yang masih bisa kudengar.Terserah mas Aldi mau berkata apa pada ibunya, kenapa berbohong kalau dia mempunyai perusahaan. Apalagi kalau tahu rumah yang kami tempati itu milikku.Sekitar lima belas menit aku sudah sampai di perusahaan. Mira sekertaris baru sudah menyambut kedatanganku. Dia memberikan berkas yang dibutuhkan.
"Terima kasih Mira," ucapku dengan tersenyum bahagia.Aku pun membaca berkas itu dengan teliti di sana sudah ada bukti kecurangan mas Aldi. Dia menggelapkan dana perusahaan dan banyak tranfer uang ke beberapa nomer rekening yang tidak dikenal."Ayu," panggil mas Aldi dengan nafas terengah-engahDatang juga dia, tak akan kubiarkan perusahaan ini bangkrut kalau terus berada di tangannya. Dulu, Papa susah payah membangun perusahaan ini. Tidak akan kubiarkan hancur begitu saja."Datang juga kamu, Mas?"Kutatap tajam lelaki yang telah membersamaiku selama tiga tahun ini. Namun, akan kuakhiri semuanya maaf, Mas. Aku sudah lelah.
"Kamu kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya dengan sedikit panik.Aku tidak perlu basa-basi. Berkas di tangan kuberikan padanya. Mata mas Aldi membola saat dia membaca, bahkan berkas itu terlihat bergetar."Yu kamu dapat ini dari mana? Ini pasti kesalahan jangan percaya," elaknya dengan wajah pucat. Masih belum mengaku juga, tentunya aku dapatkan dari kepercayaan di sini. Awalnya tidak mempermasalahkan. Namun, akhir-akhir ini mas Aldi sedikit berubah, bahkan uang nafkah dipotong. Dari situ aku mulai curiga dengannya. Dan benar saja mas Aldi melakukan kecurangan. Dia menanipulasi data keuangan. Bahkan, sudah menikah dengan sahabatku sendiri secara diam-diam. "Kamu belum mengaku juga, Mas? Entah berapa milyar yang kamu ambil dari perusahaan ini. Lama-lama bisa bangkrut apa kamu tidak memikirkanya, hah!" geramku tangan ini ingin menampar wajah itu. Namun, ku urungkan dan hanya mengambang di udara. Mas Aldi sedikit terkejut mungkin tidak menyangka akan seperti ini. Selama menjadi istri, aku selalu menurut tidak pernah sekalipun membentak atau bicara kasar. Namun, kali ini kesabaranku sudah habis."A-aku ...."Aku menarik nafas dalam-dalam degup jantungku tidak karuan. Sebelumnya tak pernah terbayangkan akan seperti ini. Dulu, aku sangat mencintainya walaupun pernikahan kami karena perjodohan. Terdengar pintu diketuk dari luar sehingga kualihkan perhatian."Maaf Bu, ada yang harus ditandatangani." Mira menyerahkan beberapa berkasKutatap wajah mas Aldi dengan sinis seakan berkata aku bisa tanpamu, Mas. Silakan pergi dan bawa pelakor itu jauh-jauh, aku pun segera mendatanganinya."Maaf Mas, aku mau kerja lagi." Usirku secara halus. Terlihat wajahnya sendu, dia pun keluar ruangan dengan langkah gontai. Tak ada niatan untuk hentikan langkahnya.
“Kamu yang memulai semua ini, Mas.”
Masih ada satu lagi kejutan untukmu, tetapi, tak akan kuberikan sekarang. Kufokuskan kembali pada beberapa tumpukan berkas di atas meja. Waktu cepat berlalu kini sudah pukul 15.30 aku siap-siap untuk pulang. Namun, ponselku berdering lalu, melihat nama Mila keningku bertaut ada apa dengannya tumben sekali menghubungiku.
"Yu, kok kamu tidak datang di acara pernikahanku?" tanyanya dengan suara manja. Jijik aku mendengarnya. Halah bangga menikah dengan suami orang.
"Oiya, maaf aku tiba-tiba ada acara mendadak," kilahku ingin muntah rasanya. Dia pun akhirnya menceritakan tentang pernikahan mewahnya. Mila selalu pamer kepadaku seakan tidak mau tersaingi. Rasanya aneh, dia temanku. Namun, kelakuannya membuatku ilfeel. Ku jauhkan ponsel dari telinga tak ingin kudengar apapun darinya. Karena itu semua uang aku, pasti mas Aldi menggunakan uang perusahaan hanya untuk menikahi Mila. "Maaf ya Mil, aku mau pulang kerja. Nanti sambung lagi.""Hah? Kamu kerja di mana? Bukannya selama ini selalu mengandalkan duit suamimu? Atau jangan-jangan bangkrut?" cecarnya sambil tertawa. "oiya, suamiku pengusaha sukses, dia bekerja di perusahaan terkenal."Ck, perusahaan yang mana? Kalau aku memberitahukan di mana kerjaku pastinya dia akan pingsan. Atau mungkin tak akan sanggup berjalan lagi.“O. Memangnya suami kamu bagian apa?” Aku makin penasaran sejauh mana mas Aldi mengakui statusnya.
"Dia pemiliknya lho! Kereen 'kan suamiku? Aku juga mau dibelikan rumah mewah nanti kamu main ya, pasti iri lihatnya." Mila terus memanasi ku. Lihatlah setelah ini siapa yang akan tertawa puas. Bangga banget dengan laki orang. Jadi, Mila tidak tahu kalau aku istrinya mas Aldi? Bahkan, mas Aldi berjanji akan membelikannya rumah mewah. Apa dia mampu? Sekarang suamimu tidak akan bekerja lagi di perusahaanku."Kerenn banget, aku jadi ingin kepo dengan suamimu kapan-kapan boleh dong kenalin siapa tahu aku bisa bekerja di perusahaannya." Kupegang dada ini yang kian sesak. Terasa konyol istri sah sedang bicara dengan pelakor dan pura-pura tak mengetahui pernikahan itu.
Pasti akan seru kalau kami bertemu akan kukenalkan juga padanya kalau mas Aldi suamiku juga. Lama-lama telepon sama dia membuatku sedikit muak, bagaimana kalau bertemu setelah menikah dengan suamiku.
"Maaf ya, Mil. Bukannya tidak mau mendengarkan cerita kamu, tetapi ini sudah sore."
Sambungan pun terputus tanpa menjawab ucapanku. Aku menarik nafas dalam rasanya dada ini sesak saat berbicara basa-basi dengan pelakor. Namun, belum saatnya dia tahu kalau aku istrinya.Aku pun menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, jalanan mulai macet karena ini jam pulang kerja."Gara-gara Mila telpon. Jadi, aku kejebak macet memang orang itu kalau bicara tiada hentinya terus saja menceritakan tentang dirinya."
[Ayu cepat pulang suamimu marah-marah]
Satu pesan masuk di aplikasi hijau dari nomer mak lampir. Memangnya aku peduli, tetapi kenapa juga mas Aldi marah-marah penasaran sih. Kubiarkan saja tanpa membalas pesannya. Enak saja menyuruhku bukannya mas Aldi mempunyai istri lain, kenapa tidak bilang saja sama istri barunya? Kenapa aku yang repotKarena jalanan sangat macet tiba-tiba perutku lapar, sebelum pulang ke rumah aku sempatkan makan di pinggir jalan terlebih dahulu. Pastinya di rumah tidak ada makanan. Mana pernah mau mertuaku masak, biasanya aku yang sering melayani. "Mbak, aku minta satu porsi nasi lauknya pakai ayam geprek juga lalapannya. Minumnya teh manis saja," ucapku setelah sampai di tempat favoritku.Tiba-tiba seseorang menyapaku. Dia …
Part 33EndingTak kusangka lelaki yang berperawakan tak terlalu tinggi itu melangkah mendekat. Lalu, dia bersujud di kaki ibunya Imas. Wanita itu hanya terdiam seribu bahasa mulutnya menganga seakan tak percaya apa yang dikatakan lelaki tadi. Wajahnya sangat pucat pasi seperti tak ada darah yang mengaliri. HeningTak ada yang bersuara sama sekali. Terlihat wajah ibunya Imas nampak lesu. Mungkin bisa menebak apa yang telah terjadi pada putrinya. Ingin hati mendengarkan percakapan di antara ketiganya. Namun, tangan ini sudah diapit dengan lembut oleh suamiku. "Ayo pulang jangan kepo urusan orang lain. Masalah kita sudah selesai," ajaknya setengah berbisik. Sebelum benar-benar keluar rumah, sudut mataku menangkap kalau Imas melihat mas Daren dengan sendu. Aku hanya cuek dan mengangkat bahu acuh. "Ayu, kok melamun itu suamimu sudah masuk mobil. Apa mau tetap tinggal di sini?" ujar uwa mengagetkanku.Aku terhenyak dengan perkataan uwa dan tersenyum tipis padanya. Malu kalau ketahuan m
Part 32Hari ini terkahir kami berada di Bandung. Sebenarnya aku tak ingin pergi dulu karena suasana di sini sangat membuatku nyaman. Namun, mas Daren juga tak bisa lama-lama untuk cuti banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakan. Kami sudah bersiap-siap untuk berangkat, uwa ikut mengantar ke depan karena jalan ini tidak akan muat untuk mobil. "Yu, sehat-sehat ya jangan lupa nanti main lagi ke sini." Mata uwa berkaca-kaca. Aku pun ikut merasakan ketulusan darinya. Uwa juga memiliki satu putra tunggal yang bernama Dirja tetapi, dia sedang kuliah di Surabaya. Kami pun berpelukan untuk melepas rindu. Dari arah depan terlihat Imas hanya menatap kepergian kami. Dia tidak mau mendekat lagi karena sebelumnya sudah kuperingatkan walaupun beberapa kali selalu abai. Namun, beruntungnya aku sudah mempunyai rencana untuk melaporkan pada ibunya. Tentunya ada bukti untuk menjatuhkan calon pelakor itu. "Seandainya dirimu wanita baik-baik mungkin tak akan merusak rumah tangga orang lain. Namun
Part 31Uwa tidak menanggapi perkataan Imas. "Heh wanita sinting tak tahu malu, aku istrinya mas Daren. Kamu menanyakan dia kan? Karena tidak ada lagi lelaki di rumah Uwa kecuali suamiku!" Kutatap wajah polos itu tanpa rasa takut. Dadaku naik turun, Uwa terus menarik tanganku agar menjauh dari wanita sialan itu. "Istri?" balasnya yang melihat penampilanku dari atas sampai bawah. Seperti tengah mengejek karena saat ini aku memaki baju seperti dirinya. Ini gara-gara mas Daren yang tak mau bilang ingin menginap hingga aku minjam baju uwa saat masih gadis. Memang terlihat sangat lusuh apalagi sandal jepit yang kupakai menambah kesan jelek. "Iya memangnya kenapa? Apa ada yang salah?" tanyaku dengan menatap tajam. Aku tak akan mengalah hanya untuk wanita seperti dirinya. Meskipun aku diam pasti mas Daren tak akan tergoda dengan wanita seperti dirinya. "Aku tahu tipe mas Daren. Mana ada wanita kucel macam kamu bisa jadi istrinya!" Dia pun berdecih sambil bertolak pinggang. Ingin ku jamb
Part 30Seorang wanita tengah menatapku tak suka, dia berdiri di tembok pagar rumah uwa yang tingginya hanya satu meter. Dia terus memerhatikan ku yang tengah menyantap buah mangga muda. Tiba-tiba mas Daren datang sambil membawa garam yang kupinta, seketika raut wajah wanita itu tersenyum. Matanya berbinar menatap suamiku. Siapa dia? Dia masih saja setia berada di sana meskipun kutatap tajam wanita itu seolah mengatakan jangan macam-macam. Sengaja diri ini bermanja-manja pada mas Daren ingin disuapin buah mangga. Terlihat suamiku ngilu saat aku memakan buah itu yang masih mengkal serta renyah saat digigit. "Kamu mau, Mas?" tanyaku dengan sedikit manja. Aku mengeluskan kepala pada dada bidangnya ingin mengetahui saja bagaimana reaksi wanita itu. Benar dugaanku wanita itu makin melotot seraya mengangkat kedua tangannya mengepal seakan ingin mengajak perang. Siapa sih dia, tidak dimana-mana tak suka dengan kebahagiaan ku. "Enggak, apa enak?" ujarnya. Aku pun mengalihkan perhatian p
Bab 29Ada rasa sesak di dada saat menyaksikan teman yang kita sayangi dibawa sama polisi. Aku tak sanggup melihatnya, tetapi harus bisa kuat ini demi kebaikan dirinya. Semoga kamu bisa menyadari kesalahannya, Sya. Sudut mataku mengeluarkan cairan bening. Tiba-tiba ada tangan kekar yang melingkar di pinggang, hangat. Deru nafasnya bisa kurasakan, mas Daren memang suami yang sangat pengertian. "Mas," ucapku dengan suara sedikit gemetar. "Jangan menyesal, ini yang terbaik buat dia," balasnya memelukku dengan erat. Syasya sudah dibawa ke kantor polisi kini kami meninggalkan apatermen milik Syasya. Ada rasa lega di hati. "Kenapa kamu tidak melibatkan Mas, hem." Aku sedikit salah tingkah dengan tatapannya yang begitu menyejukan hati. Dia memandangku tanpa berkedip. "A-aku tak ingin merepotkan. Bukannya, Mas sedang ada rapat penting?" Aku menelan saliva saat tangan kekar itu m*ny*ntuh bibir. Ada desiran aneh ditubuhku. "Ayo pulang." Mas Daren tidak melakukan apapun. Dia kembali
Part 28Pov SyasyaAku sangat benci Ayu, dia telah merebut segalanya. Rasanya malas untuk berpura-pura baik lagi, akan ku tunjukan siapa Syasya sebenarnya. Suatu hari aku membuat kekacauan, meneror rumah Ayu dan seakan-akan bukan aku yang melakukan itu. Betapa bodohnya si Ayu itu dia wanita yang sangat polos, aku sudah muak dengan pura-pura baik padanya.Seperti yang kuduga, Ayu memang percaya bukan aku dibalik semua ini. Dan, ya aku tak bisa lagi diam. Saat ada kesempatan, aku ingin memb*nhnya. Akhirnya semua yang kuinginkan kembali padaku. Rasanya sangat bahagia ketika orang yang kucintai kembali. Syukurnya Mila mau kuperalat untuk memudahkan rencana ini dengan mulus. Aku sangat bahagia saat melihat dirinya menderita, tujuanku sudah tercapai. Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berselang lama, entah mengapa aku dipertemukan kembali dengan si Ayu. Walaupun sekarang penampilannya berubah, tetapi aku masih mengenalinya. Amarah ini tak bisa lagi dibendung, mengapa dirinya bisa selamat.
Part 27"Mas sudah pulang?" tanyaku dengan lembutTerlihat raut wajah mas Daren menyiratkan sesuatu. Dia hanya tersenyum tipis tanpa mau membalas perkataanku. Apakah ada sesuatu hal yang sangat serius hingga dirinya seperti itu?Kenapa dengannya? Apa aku salah bicara?Mas Daren membuka kemeja satu persatu. Lalu, dia mengambil handuk tanpa membuka bajunya ke dalam kamar mandi. Terdengar suara guyuran shower, aku duduk di sudut ranjang menunggu suamiku menyelesaikan mandinya. Sudah dua puluh menit, dia belum juga keluar membuatku khawatir dengan keadaanya. Ku ketuk pintu kamar mandi, tetapi tidak ada jawaban. "Mas," panggilku. Namun, masih sama. Mungkin tidak terdengar karena terkalahkan dengan suara gemercik air. Aku mondar-mandir di depan kamar mandi, biasanya tak lama. Ada apa dengannya? Apa aku telah membuat kesalahan? Ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Aku tak mau kejadian dulu terulang lagi karena masalah komunikasi yang tak saling mengungkapkan pikiran masing-masing. "Mas
Part 26Akhirnya yang kutakutkan terjadi. Mila menjambak sanggul yang indah itu dan kini tergerai acak - acakan. "Dasar wanita tua, ayo lawan aku." Mila terus menjambak dengan kasar, aku pun tak tinggal diam dan segera melerai mereka. Syasya hanya acuh melihat kami seperti ini. Astagfirullah bukannya dia bibinya? Lalu kenapa diam saja. "Sya tolong aku pisahkan mereka," ujarku. Namun pengakuannya membuatku jengkel. "Kamu tidak lihat kalau aku gak ada kaki Ini juga salahmu, terus gimana caranya coba melerai mereka yang ada aku yang kena amukan." Dengan santainya berkata demikian, tanpa melihat sedikitpun ke arah kami. Entah mengapa, aku sudah tak menemukan sosok Syasya yang penyayang darinya.Seenggaknya dia berteriak meminta tolong karena aku sibuk memisahkan mereka. "Mil, sudah. Kamu 'kan baru operasi, aku takut kamu kenapa-kenapa." Aku terus saja melerai mereka mencoba membawa Mila untuk menjauh dari wanita gemuk itu. Akhirnya aku berhasil walaupun badanku kena pukulan bibinya
Part 25Pandangan kami saling tatap entah kapan bibir itu meny*tu, aku terpejam sedikit terbuai dengan permainan suamiku. Walaupun terasa kaku, tetapi aku sangat menikmatinya. Degup jantungku bertalu-talu saat tangan kekar itu masuk ke celah yang di tutupi kain. Benda ke*y*l yang tidak terlalu besar. Namun, cukup pas berada digenggamannya. Tanpa terasa bibirku mengeluarkan suara indah yang membuat suamiku makin menggila. "Bolehkah Mas memintanya?" tanyanya dengan lembut. Aku hanya mengangguk pelan. Mengapa bilang dulu tidak langsung saja. Wajah ini mungkin merah merona bak kepiting rebus. Sebelum memulai, mas Daren membaca doa terlebih dahulu. Dia memang agamis sekali, tidak lama kami melakukannya. Aku meringis menahan nyeri. Tiba-tiba mas Daren menghentikan aktivitasnya. "Kenapa Sayang? Apa Mas menyakitimu?" Aku menggeleng seraya tersenyum. Menatap tubuh p*l*s itu yang penuh dengan peluh. Aku terlelap terlebih dahulu, sebelum tidur mas Daren sempat menci*m keningku lama"Terima