Home / Romansa / Aku Hamil Anak Kamu, Mas! / Bab 2. Saling menguatkan.

Share

Bab 2. Saling menguatkan.

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-10-05 12:47:10

Evan merasa hancur ketika menandatangani persetujuan kuret untuk Zola. Entah bagaimana dia menggambarkan perasaannya saat ini, ketika dia tahu istrinya tengah hamil justru ketika janin tersebut gagal untuk bertahan. 

"Ya Allah, maafkan aku, maafkan aku!" ucapnya berbisik berulang kali. Dia menyangga kepalanya yang terasa berat, dan semakin berat sejak mengetahui kehamilan Zola. 

Awan setia menemaninya dan duduk mendampingi majikannya itu. 

Selagi mereka menunggu proses kuret di dalam ruangan tindakan, Evan terlihat gelisah dan tidak tenang. Wajahnya tegang dan penuh dengan gurat kecemasan di sana. 

"Minum dulu, Tuan," ucap Awan sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Evan.

Lelaki berwajah campuran dengan jambang halus di rahangnya itu menerimanya seraya mengucapkan terimakasih.

Saat itu Surendra datang, dia baru saja selesai melaksanakan shalat sunnah sekaligus mendoakan keselamatan putrinya.

"Bagaimana?" tanyanya ketika dilihatnya Evan masih saja berada di depan pintu ruang tindakan.

Evan menggeleng lesu, "Mereka masih di dalam," jawabnya sambil menghela nafas berat.

Bagas pun ikut menarik nafas, "Semoga Zola baik-baik saja," ucapnya menggumam pelan, dan diamini oleh Evan dan Awan.

Ketiga lelaki berbeda usia itu kemudian duduk menunggu dengan harap-harap cemas. Evan yang paling tidak sabar, entah sudah berapa putaran dia berjalan mondar-mandir di depan pintu itu, berharap segera terbuka dan dokter keluar membawa kabar baik.

Selang beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Mereka bertiga pun langsung berdiri dengan wajah tegang.

Pemandangan yang terlihat pertama adalah dua orang perawat mendorong ranjang dimana Zola terbaring tak sadarkan diri diatasnya. Evan pun segera menghampiri namun dihalau oleh perawat lain.

"Zola ...."

"Maaf, Pak, pasien masih harus ditangani di ruang observasi, silahkan menunggu sebentar lagi!" kata perawat itu sambil bergegas mengikuti rekannya.

Evan hanya bisa melihat saja sampai ranjang Zola menghilang di belokan.

"Dia akan baik-baik saja!" ucap Surendra menepuk bahu Evan.

Lelaki itu pun mengangguk mengiyakan. Sekarang pikirannya berkecamuk sendiri, bagaimana mengatakan hal ini pada Zola? Istrinya itu pasti shock mendengar calon bayi mereka harus gugur bahkan sebelum benar-benar terisi ruh.

"Dia pasti sangatlah terpukul!" ucapnya lirih.

***

Efek anastesi berlangsung hingga beberapa jam kemudian dan Zola akhirnya sadar. Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. 

"Mas," panggil Zola lirih ketika melihat Evan masuk bersama Surendra, ayahnya.

Evan segera mendekat dan menggenggam tangan istrinya itu dengan hangat.

"Hai, Sayang," sapanya tersenyum, berusaha terlihat ceria meski jantungnya berdebar, jangan sampai Zola bertanya tentang keadaan yang sebenarnya.

"Aku kenapa, Mas?" tanya Zola masih dengan suaranya yang lemas. 

Evan menelan saliva, melirik ke arah Surendra yang juga terlihat gugup dan kebingungan. 

"Kamu hanya kelelahan, Sayang, sebentar lagi juga sembuh!" ucap Evan mengusap kepala Zola dengan sayang.

Zola menatapnya sejenak lalu menarik nafas panjang, dia tampak letih dan wajahnya masih terlihat pucat.

"Mas nggak usah berbohong, aku tahu apa yang terjadi," ucapnya lirih. 

Evan pun tertegun, sontak saja dia pun gugup sekaligus menahan tangis sedih di wajahnya.

"Ma-maaf, Sayang, aku tidak bermaksud seperti itu!" ucapnya sedih.

Zola menggeleng lemah, bibirnya lalu tersenyum tipis.

"Harusnya aku yang minta maaf karena ceroboh dan tidak menyadari kehamilanku sendiri," kata Zola, air matanya mengalir dari sudut matanya lalu terisak-isak menangis lirih.

Evan menggeleng dan mengeratkan genggaman tangannya.

"Tidak, Sayang, jangan menyalahkan diri! Mungkin ini belum saatnya kita mendapatkan buah cinta kita," tepisnya menghibur Zola, "Allah sedang memberi ujian, dan kita harus kuat melaluinya, jangan berputus asa!" 

Zola mengangguk, "Sekali lagi maafkan aku, Mas!" bisiknya.

Evan berdiri dan mencondongkan tubuhnya, mencium kening Zola dengan penuh haru dan berbagi kekuatan dengannya.

"Sekarang, fokus saja pada kesehatanmu, InsyaAllah kita pasti bisa segera mendapatkan gantinya suatu hari nanti!" ucap Evan.

Zola pun tersenyum mengiyakan.

Surendra yang sedari tadi memperhatikan anak dan menantunya itu, terlihat lega dan menarik nafas panjang. Semoga dengan kejadian ini keduanya semakin harmonis dan saling menguatkan satu sama lain.

***

Keesokan harinya ...

Zola masih harus mendapatkan perawatan karena kondisinya yang lemah, dan Evan menemaninya. 

"Mau makan apa? Nanti Mas carikan," kata Evan sambil mengelus kepala istrinya itu.

Zola tersenyum, dia ingin makanan berat seperti bakso atau nasi padang. Terbaring sakit selama 2 hari rasanya seperti berlangsung 2 minggu. Tapi kondisinya masih tidak memungkinkan untuk itu.

"Aku ingin salad aja, Mas, boleh?" pinta Zola, sepertinya menikmati cacahan sayuran dan suwiran ayam ditambah lelehan bumbu khas minyak zaitun akan sangat nikmat.

"Jangan dulu makanan mentah, Sayang! Bubur saja, ya? Mau?" tawar Evan yang langsung membuat wajah Zola berubah masam.

"Tadi nawarin makan, sekarang malah nggak boleh!" ujarnya ketus, merajuk.

Evan terkekeh, "Iya, maksud Mas makanan yang lebih lembut," katanya tersenyum geli melihat wajah istrinya yang cemberut.

Zola menghela nafas panjang, memang seharusnya seperti itu. Dia saja yang tidak sabar!

"Iya maaf, Mas! Habisnya aku bosan makan masakan rumah sakit, rasanya hambar semua!" gerutu Zola seraya bergidik jijik. 

Evan terbahak karenanya. "Nggak seburuk itu, Sayang! Buktinya tadi sup ayam dan perkedel itu aku yang habiskan!" gelaknya.

Zola kembali menekuk wajahnya. 

Ya menu rumah sakit 'kan biasanya semacam itu, mungkin karena yang makan orang-orang sakit, jadi indera perasa mereka masih terganggu. Itulah sebabnya semua makanan yang disajikan terasa hambar dan kurang garam, menurut Zola.

"Iya bagaimana dong? Aku juga lapar!" keluh Zola. 

Evan pun iba melihatnya.

"Sabar, Sayang! Nanti Awan datang membawa masakan rumah," ucapnya mengusap-usap tangan Zola dalam genggamannya.

Zola pun mengangguk. Itu lebih baik daripada makan masakan rumah sakit.

"Sudahlah, sambil menunggu Awan, kamu mau apa?" tanya Evan lagi, tak ingin membuat istrinya suntuk dan suasana hatinya semakin memburuk.

Zola tersenyum, tahu upaya Evan untuk menghiburnya. 

"Nggak apa-apa, Mas, aku senang kamu ada di sini!" ucap Zola, tangannya yang masih terpasang jarum infus menjangkau wajah Evan dan membelainya.

Evan menatapnya dengan penuh cinta. Maka dia pun bangkit sejenak dari kursi dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di kening Zola. 

"Semangat ya, Sayang! Jangan berputus asa!" ucapnya sembari duduk di pinggir tempat tidur.

"Kita terus berusaha, InsyaAllah nanti pasti kita bisa mendapatkan bayi mungil yang kita dambakan!" hibur Evan.

Zola mengangguk membenarkan.

"Bagiku, Mas, selama kamu masih bisa menerimaku seperti ini, hatiku tenang dan berusaha yang terbaik di lain waktu!" ungkapnya, ada sedikit rasa haru menyeruak ke tenggorokan dan itu membuat air matanya meleleh.

Evan mengangguk seraya menghapus air mata Zola. Dia lalu berpindah tempat ke samping Zola dan membiarkannya bersandar di dadanya.

"Iya, Sayang! Sekarang kamu harus sehat dulu, dan setelah itu jangan terlalu memaksakan diri bekerja dan berkegiatan penuh," ucap Evan mengusap-usap bahu Zola. 

Zola menghela nafas panjang lalu mengangguk.

"Mungkin pekerjaan aku di kantor akan aku limpahkan sebagian pada asisten pribadiku saja, jadi aku bisa fokus pada kalian, suami dan ayahku!" kata Zola.

Evan sedikit tertegun mendengar kata terakhir Zola, ada perasaan tidak nyaman di hatinya. Tapi kemudian segera ditepisnya pikiran buruk yang datang, lalu mengangguk.

"Ya, selama kamu bisa menjaga kesehatan dan nyaman, itu boleh saja!" ucap Evan, sedikit lega dengan posisinya yang berada di belakang Zola sehingga istrinya itu tak harus melihat ekspresi wajahnya yang mungkin kurang mengenakkan.

"Hanya saja, jika suatu hari kamu sakit, maka aku sebagai suami berhak meminta kamu untuk berhenti kalau kamu terlalu memaksakan diri," kata Evan lagi.

"Aku tidak akan memaafkan itu semua!" lanjutnya kemudian yang membuat Zola pun terdiam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Hamil Anak Kamu, Mas!    Bab 95. Niat Pensiun

    Abraham mengumpulkan semua bawahan dan anak buahnya di aula kediamannya yang luas. Jika ada orang biasa yang melihat mereka, mungkin dia akan terkesima dengan banyaknya orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.Abraham duduk di depan sana, di atas kursi kebesarannya, didampingi oleh jajaran para tangan kanan dan juga asistennya. Yang mana semuanya memiliki visual yang tidak main-main, hanya saja semuanya tampak berwajah dingin dan kejam.Mungkin anak buahnya hanya sebagian yang datang dari berbagai perwakilan mereka, dan itu semua sudah berjumlah ratusan. Tidak terbayang jika semuanya hadir, mungkin akan menimbulkan kepanikan tersendiri bagi masyarakat yang melihat.Suasana terasa dingin dan hening, tidak ada yang berani bersuara atau bahkan bergerak dari tempat mereka berdiri.Abraham melayangkan pandangan ke seluruh ruangan."Aku mengumpulkan kalian semua di sini dengan tujuan yang pastinya sudah kalian dengar sebelumnya," ucapnya membuka pertemuan itu. Suara tenang dan dala

  • Aku Hamil Anak Kamu, Mas!    Bab 94. Kevin menjenguk Nathan.

    Kevin terkejut dengan perkataan Abraham."Apa maksudmu?" tanyanya dengan mata menatap lurus pada ayah mertuanya itu.Abraham menarik nafas panjang, "Kevin, aku sadar jika duniaku ini tidak tepat dimasuki oleh Nathan, buktinya sudah jelas. Aku membahayakannya dan sekali aku mendengar namanya disebut oleh musuhku, aku tidak bisa tinggal diam!" ucapnya.Kevin mengeratkan rahangnya, "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sedikit emosi."Hal yang seharusnya sudah menjadi sangat wajar bagi kami, tapi untuk sekarang itu menjadi hal yang fatal bagiku!" ucap Abraham menatap kosong ke arah lantai."Mereka mengancam akan mengusik cucuku jika kami tidak berhenti ikut campur dengan urusan perebutan wilayah yang terjadi kemarin," tuturnya.Kevin pun sontak naik pitam, tangannya mengepal dengan erat."Lalu sekarang di mana anakku?" geramnya, kecemasan seketika merayapi pikirannya.Abraham tersenyum, "Tidak usah khawatir, Nathan sudah berada di tempat yang aman, aku mengan

  • Aku Hamil Anak Kamu, Mas!    Bab 93. Keputusan Abraham.

    Abraham menghela nafas panjang, perlahan tangannya bergerak mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah segar. Matanya menatap dengan dingin pada mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya. Suasana hening yang menegangkan itu selesai, hanya saja di depan sana, Mark masih asik menginjak-injak wajah orang yang disebut sebagai pimpinan musuh. Orang itu bahkan sudah menjadi mayat dengan puluhan peluru di tubuhnya, tapi Mark masih saja menyiksanya. Dan yang lebih menyeramkan adalah ekspresi wajahnya yang dingin dan kosong."Mark, sudah!" kata Abraham dengan suaranya yang dalam. Laki-laki yang menjadi tangan kanannya itu memang memiliki sedikit kelebihan mengenai emosi dan nafsu membunuhnya.Mark yang mendengar suara Abraham seolah tersadar. Bak anak anjing yang menuruti perintah majikannya, dia menghentikan perbuatannya dan kembali berjalan mendekati Abraham. Anak buah yang menjadi bawahannya tampak ngeri dan menelan saliva melihat sisi gelap laki-laki itu, tak terbayang jika mereka m

  • Aku Hamil Anak Kamu, Mas!    Bab 92. Dua sisi gelap Abraham.

    Zola berlari menyambut kedatangan Nathan dengan gembira, kedua tangannya terbuka lebar tak sabar ingin segera memeluk anak itu. Dan begitu keduanya bertemu, langsung saja dia memeluknya."Assalaamu'alaikum, Bunda!" kata Nathan seraya tertawa riang melihat sambutan ibu angkatnya itu."Waalaikum salaam, Nak!" balas Zola mencium kepala Nathan dengan penuh rindu. Evan dan dan Surendra ikut tertawa melihatnya, begitu juga dengan Abraham."Kamu apa kabar? Kamu sehat 'kan?" tanya Zola seraya memutar tubuh Nathan melihat keadaanya."Alhamdulillah sehat, Bunda!" jawab Nathan tak berhenti tertawa geli dengan perlakuan Zola.Menyadari kelakuannya, Zola pun kemudian tertawa geli sendiri, lalu merangkul Nathan dengan lebih kalem."Maaf, Bunda sudah sangat rindu sama kamu soalnya!" ujarnya terkekeh.Nathan tersenyum, "Bunda sendiri bagaimana kabarnya?" tanyanya."Alhamdulillah kami juga sehat," jawab Zola dengan raut wajah terlihat cerah.Nathan lalu menyalami Evan dan Surendra."Hanya beberapa min

  • Aku Hamil Anak Kamu, Mas!    Bab 91. Nathan ingin pulang.

    Pagi menjelang, suasana rumah Abraham terlihat tenang. Para pelayan dan penjaga bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.Mark, tangan kanan Abraham baru saja tiba di sana. Dia mencari keberadaan bosnya itu di kamar, namun dia tidak mendapati Abraham di sana. Mark pun terlihat kebingungan lalu keluar dari kamar untuk mencari Abraham.Saat dia menyusuri lorong, alisnya terangkat ketika melihat melihat Abraham keluar dari kamar Nathan bersama anak itu.Mark pun segera menghampirinya dengan wajah cemas."Bos!" sapanya seraya mengangguk hormat, matanya menyorot dengan penuh tanda tanya menatap Abraham dan Nathan.Abraham menoleh pada Mark lalu tersenyum ringan, "Apa kamu mencariku? Maaf semalam kami ketiduran setelah shalat," tutur Abraham seraya merangkul bahu Nathan.Nathan tersenyum tipis mengiyakan.Mark yang mendengar itu semakin terheran-heran, dia merasa asing dengan apa yang dilakukan oleh Abraham. Tapi untuk saat ini dia tidak berani bertanya, biarlah.Karena nanti Abraham ju

  • Aku Hamil Anak Kamu, Mas!    Bab 90. Tahajud.

    Malam pun turun dengan lambat, angin berdesir pelan menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Sepertinya malam ini akan turun hujan karena langit pun tampak gelap gulita.Zola keluar dari kamar si kembar, dia baru saja menidurkan mereka. "Mereka sudah tidur?" tanya Evan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.Zola pun melompat kaget karenanya, dia menoleh dengan wajah cemberut."Bisa nggak jangan membuat aku kaget begitu, Mas!" ujarnya menggerutu pelan.Evan terkekeh merasa gemas melihat wajah Zola yang terlihat terkejut barusan."Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan mu!" katanya seraya merangkul bahu Zola. Zola pun hanya menarik sudut bibirnya, kemudian mereka berjalan bersama menuju ke ruangan belakang untuk bersantai sejenak di sana. Tampak Surendra pun masih duduk di sana seraya membaca sebuah buku hadits di tangannya, dengan kacamata baca bertengger di hidungnya."Papa belum tidur?" sapa Zola seraya duduk di samping Surendra, menggelayut manja di bahu ayahnya itu.Sejenak S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status