MasukSaat ini semua orang yang ada diruangan makan sedang memperhatikan sikap Arsya terhadap Amira saat menuruni tangga tadi.
Cassandra terlihat menundukkan kepalanya setelah melihat sikap Arsya pada Amira.
"Selamat malam Arsya," sapa Cassandra.
Riana menyentuh tangan manta kekasih anaknya itu. "Arsya, Mama yang mengundang Sandra. Nggak apa-apa kan?"
"Lakukan aja yang Mama mau," jawab Arsya dingin.
"Bawakan makanan ke ruang kerjaku."
Pak Heru mengangguk dan segera memberikan instruksi kepada para pelayan untuk segera menyiapkan makanan ke troli.
Arsya melangkah sambil terus menggandeng tangan Amira meninggalkan keheningan di ruang makan itu. Ruangan itu semakin hening, hanya terdengar suara langkah kaki Arsya dan Amira saja saat ini.
Terlihat Pak Heru sedang mendorong troli makanan mengikuti langkah Arsya memasuki ruang kerja.
Arsya menarik tangan Amira untuk segera keluar dari ruang kerjanya.
Begitu pintu ruang kerja terbuka, atmosfer di ruang tengah seketika berubah mencekam. Keheningan yang tadi tercipta kini berganti menjadi ketegangan yang memuakkan.
Sementara itu di meja makan...
"Maaf ya Ma, aku yang udah memaksa Mama untuk mengundangku," ucap Cassandra menunduk.
Hatinya sangat kecewa melihat sikap Arsya pada Amira tadi. Ia mengira bahwa selama ini Arsya tidak mencintai Amira. Tapi ia tadi melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Arsya sedang menggoda gadis itu.
"Sandra, ayo lakukan sesuatu agar kamu bisa kembali dengan Arsya," ucap Riana memberi semangat pada Cassandra.
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Cassandra dan bersiap untuk menetes.
Melihat Arsya pergi meninggalkannya dan masuk ke ruang kerjanya bersama Amira, membuat harga dirinya tercabik-cabik.
"Sandra, jangan lemah seperti ini. Arsya tidak mungkin mencintai wanita kampungan itu. Kamu hanya perlu berusaha lebih keras lagi," ucap Riana sambil menepuk bahu Cassandra.
Cassandra hanya bisa meremas jari jemari nya sendiri. Ia tidak yakin bisa merebut hati Arsya kembali.
Sementara diruang kerja, Arsya dan Amira makan malam dalam diam.
"Kenapa seolah-olah kamu sekarang sedang bermain drama dengan Cassandra? Padahal tinggal bilang aja kalau kamu masih mencintainya dan semuanya beres. Tapi sepertinya kamu suka sekali membuat dirimu kesusahan."
Amira melamun sambil terus melihat Arsya.
Isi otak Amira dan Arsya kini saling berbanding terbalik. Amira berpikir bahwa Arsya masih mencintai Cassandra, tapi kenyataannya Arsya sedang memikirkan cara untuk mengerjai istri kontraknya itu.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Apa kamu sedang merencanakan sesuatu agar bisa menciumku lagi?" tanya Arsya sambil menahan tawa.
Amira segera tersadar dari lamunannya dan coba berakting layaknya drama kolosal. "Tidak, Suamiku, aku hanya sedang merasakan makan malam ini dengan sepenuh hati."
Arsya menahan tawanya yang akan meledak mendengar jawaban Amira.
Arsya dan Amira kembali melanjutkan makan malamnya tanpa berbicara sedikitpun. Amira mempercepat makannya saat melihat makanan di piring Arsya sudah habis tak tersisa.
"Apa kamu sudah selesai?" tanya Arsya.
Amira hanya menganggukkan kepalanya karena mulutnya masih terisi penuh makanan, pipinya terlihat menggembung dan itu terlihat menggemaskan di mata Arsya.
"Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?!"
"Bisakah kamu berakting mencintaiku dan nggak ngungkit perihal validasi kalau aku masih cinta sama Cassandra?”.
"Bukannya aku udah melakukannya selama ini?" tanya Amira kebingungan.
"Lakukan lebih gila lagi. Setelah keluar dari ruangan ini kita berakting seolah seperti dua orang yang saling mencintai." Arsya menjelaskan secara rinci. Sedangkan Amira menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku nggak ahli dalam melakukan hal itu," ucap Amira udah geli sendiri. “Tapi, aku bakal coba, moga aja keluargamu nggak marah sama tingkahku ini!”
Arsya menarik tangan Amira untuk segera keluar dari ruang kerjanya.
Di meja makan, Riana masih duduk dengan punggung tegak, matanya menyorot tajam penuh kebencian begitu melihat putranya keluar menggandeng Amira.
Di samping Riana, Cassandra tidak lagi menunduk sedih. Wajahnya kini terangkat, namun sorot matanya telah berubah.
Kesedihan palsu yang tadi ia tampilkan perlahan memudar, berganti dengan kilatan licik yang tersembunyi rapi di balik riasan wajahnya yang sempurna.
Di bawah meja, jari-jemarinya dengan lincah mengetik pesan singkat pada ponselnya.
“Saka, percepat rencananya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Hancurkan reputasi perempuan kampung itu malam ini juga. Buat dia menyesal pernah menginjakkan kaki di rumah ini.”
Pesan terkirim.
Cassandra menyunggingkan senyum tipis yang hampir tak terlihat.
Saka adalah kartu as-nya. Jika air mata tidak bisa membuat Arsya kembali, maka skandal dan kehancuran harga diri Amira pasti bisa. Ia dan Saka akan memastikan Amira terusir dengan cara yang paling memalukan.
"Mau ke mana kalian?" Suara Riana memecah keheningan, dingin dan menusuk. "Mama belum selesai bicara, Arsya."
Arsya menghentikan langkahnya tepat di ujung ruang makan, namun ia tidak melepaskan genggaman tangannya pada Amira. "Aku lelah, Ma. Kami butuh istirahat."
"Istirahat?" Riana tertawa sumbang, sebuah tawa yang meremehkan. Ia berdiri, menatap Amira dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan jijik yang terang-terangan. "Kau lebih memilih istirahat dengan wanita udik ini daripada menemani Cassandra, wanita yang jelas-jelas selevel dengan keluarga kita? Sadarlah, Arsya. Dia hanya benalu yang beruntung masuk ke rumah ini. Lihat penampilannya, tidak ada satu pun yang pantas bersanding denganmu."
Amira merasakan dadanya sesak. Kalimat itu seperti tamparan keras di wajahnya. Ia hendak menunduk, namun Arsya mempererat genggamannya, menahannya untuk tetap tegak.
"Jaga bicara Mama!"
Cassandra melihat celah itu dan segera berdiri, memasang wajah malaikatnya lagi. Ia berjalan mendekat, seolah ingin melerai. "Tante, sudahlah, jangan marahi Arsya. Mungkin Arsya memang khilaf atau mungkin gadis itu punya sesuatu yang bikin Arsya terancam.”
Ucapan Cassandra terdengar halus, namun isinya jauh lebih beracun daripada teriakan Riana.
"Dengar itu, Arsya? Cassandra bahkan masih berbaik hati memaafkanmu. Ceraikan perempuan tidak jelas ini sekarang juga karena Mama tidak sudi punya menantu yang tidak punya asal-usul jelas dan hanya mempermalukan nama besar keluarga kita!"
Arsya terdiam sejenak. Tatapannya beralih dari ibunya, lalu ke Cassandra yang tersenyum penuh kemenangan, dan terakhir mendarat pada Amira yang kini gemetar di sampingnya.
Amira tampak rapuh, namun ia berusaha keras untuk tidak menangis.
Cukup sudah.
Arsya sudah muak dengan drama ini.
Perlahan, Arsya memutar tubuhnya, menghadap sepenuhnya kepada Amira, mengabaikan keberadaan ibu dan mantan kekasihnya. Tangannya terulur, menyentuh dagu Amira dan mengangkat wajah istrinya itu agar menatap matanya.
"Kau bilang aku sedang bermain drama?" bisik Arsya, cukup keras untuk didengar oleh seisi ruangan. "Kalau begitu, lihat baik-baik karena pernikahan ini bukan drama seperti yang kalian kira!"
Tanpa peringatan, Arsya menunduk dan menyambar bibir Amira.
Saat ini semua orang yang ada diruangan makan sedang memperhatikan sikap Arsya terhadap Amira saat menuruni tangga tadi.Cassandra terlihat menundukkan kepalanya setelah melihat sikap Arsya pada Amira."Selamat malam Arsya," sapa Cassandra.Riana menyentuh tangan manta kekasih anaknya itu. "Arsya, Mama yang mengundang Sandra. Nggak apa-apa kan?""Lakukan aja yang Mama mau," jawab Arsya dingin."Bawakan makanan ke ruang kerjaku."Pak Heru mengangguk dan segera memberikan instruksi kepada para pelayan untuk segera menyiapkan makanan ke troli.Arsya melangkah sambil terus menggandeng tangan Amira meninggalkan keheningan di ruang makan itu. Ruangan itu semakin hening, hanya terdengar suara langkah kaki Arsya dan Amira saja saat ini.Terlihat Pak Heru sedang mendorong troli makanan mengikuti langkah Arsya memasuki ruang kerja.Arsya menarik tangan Amira untuk segera keluar dari ruang kerjanya.Begitu pintu ruang kerja terbuka, atmosfer di ruang tengah seketika berubah mencekam. Keheningan
“Tunggu, kalian malam pertama beneran?” serunya sambil menunjuk Amira, yang berada dibawah Arsya seolah menunjuk setan.“Astaga! Kalau jadi cucu gimana? Ya Tuhan, Mama pusing!” Ia memijat pelipisnya dramatis.Dikamar Amira dan Arsya menghela napas panik di bawah selimut yang sama.Arsya baru-buru mengenakan celana, sementara Amira memeluk bantal tameng seakan senjata itu adalah hidup dan matinya, sedangkan Riani yang sudah kepalang tidak habis pikir dengan kelakuan anak dan menantunya, seketika meninggalkan ruangan itu.Keduanya kini merebahkan tubuhnya. “Tuan, kamu curang, kamu sengaja jatuhin diri!”Arsya memandang Amira seolah ia korban “Amira, kamu yang tarik handuk aku! Kamu yang nodai tubuhku, terus mau ambil kesucianku!”"Buaya buntung, sorry ya? Timbang ganteng secuil pake merasa ternoda. Kamu jujur sama aku, kamu punya kelainan eksibisionis ya, suka pamer-pamer begituan?”Arsya melotot mendengar tuduhan Amira. ”Itu kamu yang jatuhin pake nuduh aku kelainan! Kamu pikir aku sen
Arsya segera meraih microphone dan mengucapkan kalimat yang membuat para tamu kecewa."Kami tidak akan melakukannya disini karena istri saya adalah orang yang sangat pemalu. Dia sangat menjaga, dan saya harus menghargai itu. Silahkan kalian menikmati hidangan yang sudah kami persiapkan," ucap Arsya tegas tanpa ekspresi.Arsya dan Amira kini sudah duduk di atas pelaminan."Kita udah sah jadi suami istri ya?"Arsya mencondongkan tubuh, suaranya nyaris berbisik namun cukup membuat jantung Amira berdetak cepat."Sudah, dan jangan lupa, hanya satu tahun sebagai istri pura-pura, paham?” kata Arsya tersenyum, berakting seakan bahagia dan mesra bicara pada istrinya. "Tentu suamiku, sayang." Amira melingkarkan tangannya pada Arsya erat. Sementara di sudut ruangan pesta itu seorang wanita sedang bicara dengan Riana."Aku akan membuktikan kalau itu bukan istri sesungguhnya Arsya. Dia pasti wanita yang disewa Arsya. Beri aku kesempatan mengambil kembali Arsya dari wanita kampung itu!" Cassandra
Hening.Bahkan David tak berani bernapas.Arsya memandang Amira antara kaget, geli, dan tak percaya gadis itu berani berucap begitu di depan umum, sementara Cassandra memelototinya, seperti singa betina yang terusik. “Kamu tak tahu dengan siapa kamu bicara, hah?”Amira hanya menatapnya dengan mata bulat, lalu tersenyum tipis. “Saya tahu. Mbaknya model sabun mandi dan iklan berlian, kan? Saya sering lihat wajah Mbak di halte bus. Cantik kok, Mbak, tapi nggak malu pake handuk gitu, terus dilihatin banyak orang?”David menunduk dalam-dalam, pura-pura mengatur hanger.Ken menatap langit-langit, menahan tawa.Sedangkan Arsya menoleh ke arah lain, bibirnya terangkat sekilas, sepertinya dia makin menyukai Amira yang ceplas-ceplos dan polos, menunjukkan kalau gadis itu benar-benar lugu ala gadis desa.Cassandra menghela napas keras dan melangkah pergi dengan langkah panjang, meninggalkan wangi parfum yang menyengat."Silahkan ikut Nona, semua pakaian untuk Anda sudah disiapkan bibi di rumah T
"Saya utusan dari Arkana Group. Bisakah kita bertemu sekarang di Cafe Victoria?""Ehm, apa ini benar tentang lamaran kerja? kok bicaranya di cafe ya, bukan di gedung Arkana seperti saat tes," jawab Amira hati-hati."Ya, saya Ken dan anda akan bicara dengan pimpinan Arkana Group untuk penempatan Anda. Jika Nona bisa, saya bisa mengatur jadwal dengan pimpinan untuk membicarakan kontrak kerja ini?" "Bisa Pak. Kalo bukan penipuan, tentu saja saya bisa." Amira tersenyum sampai melompat kegirangan hingga lupa dirinya sedang berada di jalan. Beberapa orang menatap dengan tatapan aneh, tapi ia tidak peduli.Tanpa pikir panjang, Amira memesan taksi online menuju cave Victoria. Begitu masuk, Amira merasa minder dengan penampilannya yang sederhana.Seorang staf cafe menuntunnya ke ruang VVIP.Matanya terpaku ketika melihat lelaki muda tampan menunggunya. Ia berdiri kaku saat lelaki itu menarik kursi. "Silakan duduk, Nona. Sebentar lagi tuan Arsya akan datang.”Tak lama, pintu terbuka.Seorang l
“Mana Amira?!” suaranya menggelegar, membuat Damini tergetar.Belum sempat sang ibu menjawab, Amira muncul dari dalam rumah. “Pak, saya mohon ... beri saya waktu dua minggu lagi. Adik saya sedang sakit, saya masih butuh biaya untuk pengobatannya ke rumah sakit.”Pak Herman menyeringai sinis. “Alasan! Kau boleh saja tidak membayar tapi ...."Tangan Pak Herman tanpa permisi mencolek pipi mulus Amira dengan mata berbinar, "nurut sama Mas ya? Hahaha bagaimana?""Saya minta waktu, maaf pak Herman, jangan coba kurang ajar.""Sok jual mahal! Awas aja kalau dua minggu lagi kamu belum bisa bayar, jangan salahkan aku kalau kamu bakal resmi jadi istri ketigaku.”Deg!Menikah dengan lelaki itu demi melunasi utang?Secara resmi istrinya dua, faktanya rentenir itu selalu bergonti-ganti wanita-wanita seenaknya dan menambah koleksi wanita setiap saat. “Nak, Ibu berat melepasmu hidup sendirian di kota besar. Kamu anak gadis, Ibu takut terjadi apa-apa padamu.” Damini mengelus pipi putrinya dengan mata







