“Kurang ajar kau!” Rosa berteriak histeris sambil menunjuk Alva. “Maaf, sekarang silahkan dilanjutkan main kuda-kudaannya! Permisi!” kata Alva lalu berjalan pergi. Baru beberapa langkah dia dia sudah berbalik lagi. Binsar menerjangnya dari belakang. Namun, terjangan itu tidak tepat sasaran. Yogi yang sudah mengantisifasi segala kemungkinan langsung menerjang betis telanjang Binsar. “Auuuw! Bangs*t kau!” Binsar terjatuh membentur dinding sambil mengaduh. “Jangan suka main belakang, Bung! Jujur aku kasihan pada istri Anda. Wanita sebaik dia Anda permainkan dari belakang! Segala tante-tante Anda embat juga! Hehehe …. Padahal istri Anda jauh lebih cantik dan seksi sebenarnya. Kalau saja dia tidak sakit dan makan hati. Saya sudah melihat wajah aslinya. Jujur, sepertinya saya tertarik sama dia. Tapi, saya tidak akan pernah main belakang seperti Anda, hehehehe ….” Alva terkekeh panjang. “Oh, jadi itu tujuanmu sebenarnya? Kau membela Elma karena kau menyukai perempuan kerempeng, pe
“Bang Arfan tak mungkin mau menceraikan Kakak! Karena aku tahu. dia itu laki-laki idiot tapi begitu tergila-gila pada Kakak!” “Kau yakin?” “Sangat yakin.” “Tapi, terus terang. Sebenarnya justru itu yang aku tunggu.” “Maksud Kakak?” “Sebenarnya, sudah beberapa kali aku minta cerai darinya. Aku bosan hidup miskin, dan yang paling penting, aku tak perbah cinta sama dia. Aku merasa hambar. Apalagi masalah ranjang. Dia itu tak pernah bisa memuaskan aku.” “Hemh, gak pernah puas kok, bisa punya anak dua?” “Kau tidak paham maksudku, Binsar! Apa perlu aku jelaskan secara mendetail? Lebih baik kita praktekkan saja langsung. Ayolah, kita ulangi yang tadi! Daripada stres! Kita lupakan sejenak beban pikiran kita.” Rosa menyibak selimut yang menutup tubuh polosnya, lalu berjalan tampa sungkan ke arah Binsar. Tangannya langsung mengalung di leher sang pria. “Maaf, Kak! Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan. Kepalaku sakit!” tolak Binsar. Namun, bukan Rosa namanya bila dia tak berhasil m
“Alva? Kau?” “Eh, Bang Arfan? Abang dari mana? Kenapa Bu Elma ditinggal sendirian?” Alva langsung bangkit. “Aku tadi di dalam, tapi mendapat telpon dari istriku, jadi aku bawa ke luar. Takut Elma terganggu.” “Oh, Istri Abang nelpon? Ada apa?” Alva mengerutkan kening, sengaja menyelidiki situasi ini. “Rosa kehabiasan uang. Dia minta ditransfer segera. Aku akan bangunkan Elma, takut Rosa kenapa-napa.” “Buat apa bangunkan Bu Elma?’ “Pakai uang Elma dulu, aku tidak punya uang sepeserpun.” Alva tercekat! Pria itu memutar otak, memikirkan cara menghalangi niat pria lugu ini. Tapi, bagaimana caranya? Dia teringat video yang sempat dia rekam tadi di penginapan kawasan Bandar Baru. Saat Rosa main kuda-kudaan dengan Binsar. Haruskah dia buka topeng si istri durjana itu sekarang? Apakah ini saat yang tepat bila video itu dia tunjukkan? Bagaimana kalau Arfan pingsan saat melihatnya? Atau tiba-tiba darah tingginya kumat, Arfan lalu drop, stroke, atau … aaach, Alva tak bisa membayangk
Entah apa jawaban dari sana. Arfan tak mengaktifkan loud speaker ponselnya. Namun, kalimat Arfan berikutnya sungguh membuat Alva kaget tak percaya. “Dua puluh juta? Sinting, kau, Dek! Pulang kau sekarang! Entah buat apa kau uang sebanyak itu! Mau apa kau rupanya, ha!” teriak Arfan makin kencang. Alva tak habis pikir. Pasti si Binsar yang telah mempengaruhi Rosa agar meminta uang sebanyak itu. “Apa? Mau buka usaha? Yang udah gak waras nya, kau Rosa!” senggak Arfan. “Kita itu akan pulang ke kampung lagi bila Elma sudah keluar dari rumah sakit! Buat apa kau buka usaha di dekat rumah Bapak Uda kau itu? Kita balik ke kampung, Dek! Tidak cocok kita tinggal di kota ini! Di kampung kita udah hidup tenang, kan? Biarpun aku capek kerja di kebun dan di sawah, badanku gosong dipanggang sinar matahari, tak apa! Yang penting kita hidup tenang! Kita bahagia!” bujuk Arfan akhirnya merendahkan volume suaranya. “Pulang kau, cepat! sekarang juga harus pulang, pokoknya!Kalau kau tidak pulang, ak
Arfan menoleh kepada Alva.”Tolong transfer lima juta lagi! Begitu Elma bangun, dia akan segera mengganti uangmu!" perintahnya tanpa sungkan sedikitpun.Alva meraih ponsel miliknya, menyalakan benda itu, mengutak-atiknya sebentar, lalu …. “Sebelum aku transfer lagi, tolong lihat dulu Video ini, Bang!”Alva memutuskan untuk membongkar kebejatan istri Arfan. Keputusan yang sangat terpaksa. Dia siap dengan segala resikonya. Daripada Arfan memaksa transfer uang lagi. Semoga pria polos tapi bucin ini tidak kena serangan jantung saat melihat kenyataan yang sebenarnya.“Maaf, Bang! Saya tidak bermaksud merendahkan istri Abang!” ucapnya seraya menunjukkan layar ponsel kepada Arfan. Suara desahan dan erangan bersahutan sepasang manusia langsung terdengar dari benda pipih itu.“Apa ini?” gumam Arfan dengan wajah memucat. Matanya tertuju tepat ke layar ponsel. “Ini sipa? Ini … ini Rosa? Sama siapa? Ini aku? Apakah laki-laki ini aku?”Bagai orang tolol Arfan sempat kebingungan. Posisi si pria ya
Arfan tersenyum tipis. Pria itu lalu menelpon istrinya. “Sayang? Abang sudah bicara dengan Elma. Dia setuju meminjami Abang seratus juta. Kamu mau buka usaha di kampung, kan, Sayang!” “Se se seratus juta?” teriak Rosa tergagap dari ujung sana. “Iya, Sayang! Abang berhasil merayu dia. Tapi, kamu buka usahanya di kampung, ya!” “Ya, udah enggak apa-apa! Di kampung juga boleh. Transfer sekarang, ya, Abang! Adek tunggu, nih!” “Tapi, kata Elma, uangnya gak usah di transfer. Dia mau nyerahinnya langsung sama kamu! Dia juga mau ngasi sedikit nasihat buat kamu, Dek. Biar kamu bertanggung jawab untuk usaha kamu nanti! Kamu tidak tersinggung, kan, Sayang?” “Ya, enggaklah! Gak masalah meski si Elma menasehati aku, sampai berbuih mulutnya pun tak apa-apa. Asal duitnya ada!” “Gak boleh ngomong, gitu, Sayang!” “Eh, iya. Maaf. Lupa kalau Elma itu adek kamu! Jadi gimana, Bang?” “Kamu datang ke rumah sakit, ya! Ambil uangnya, lalu kamu duluan pulang kampung! Aku pulang dua hari lagi, setelah
“Jangan lupa bawa uang bayar ongkos taksinya!” perintah Rosa mengingatkan. “Hem!” Arfan memutuskan panggilan, lalu menoleh kepada adiknya. “El, aku pinjam mobil kamu, ya?” pintanya dengan wajah dingin. “Abang mau ke mana? Di luar ada kak Rosa, kan? Kenapa tidak disuruh masuk saja?” tanya Elma penasaran. “Ya, aku ada urusan sebentar dengan Rosa. Sekalian, em, aku pinjam uang kamu dulu seratus ribu, isi bensin. Dan dua ratus ribu buat ongkos taksi Rosa menuju kemari tadi!” “Tadi sudah saya isi full minyak mobilnya, Bang!” Alva menyela. “Hem terima kasih! Kapan kapan pasti aku ganti. Aku utang lima juta seratus ribu sama kamu!” kata Arfan datar. Elma mengeluarkan lima lembar kertas berwarna merah dari dalam amplop coklat. “Pakai saja, Bang!” titahnya menyerahkan uang itu kepada sang kakak. “Terima kasih!” Arfan menepuk pelan pundak Alva, meraih kunci mobil di dekat kepala Elma, lalu berjalan tergesa menyongsong sang istri pengkhianat. Alva sama bingungnya dengan Elma. Sikap
“Kamu tunggu di warung seberang itu saja! Nanti aku telon begitu aku dapat uangnya! Kamu udah janji mau bawa aku pergi beberapa hari, kan? Kita akan segera berangkat begitu uangnya aku dapat!” kata Rosa penuh semangat. “Iya, Sayang! Kamu mau kita ke mana, hem?” “Kita bulan madu ke Danau Toba, ya, Sayang! Kamu udah janji mau muaskan aku tujuh hari tujuh malam, kan?” rengek Rosa kembali bergelayut di lengan kekar Binsar. “Ya, tentu, Sayang! Bawa uang seratus jutanya, ya!” jawab Binsar seraya mengecup kening Rosa. Itu tak luput dari perhatian Arfan. Pria itu membeku menyaksikan tingkah sepasang manusia tak tau malu itu. Keduanya tak menyadari kalau Arfan telah berdiri tegak di teras rumah sakit, terhalang para pengunjung yang ramai berlalu lalang. “Sudah, sana! Nanti kita lanjut, ya! Tunggu aku di warung itu!” Rosa melepas rangkulan, mengukir senyum penuh birahi kepada sang adik ipar. “Ya, Sayang! Sukses, ya! Oh, iya, jangan bersikap agresif juga pada suamimu! Aku tidak akan kuat