Share

Aku Pemenang Dalam Hidupku
Aku Pemenang Dalam Hidupku
Author: Coco An

Bab 1

Author: Coco An
Pada malam pembatalan pernikahan, Siska mengunggah foto wisuda bersama keluarga di media sosial.

Dia berdiri di tengah, dikelilingi oleh Ayah, Ibu dan Kakak, sementara tunanganku berdiri di belakangnya sambil memegang seikat bunga, seperti seorang pelindung.

Sebagai pusat perhatian, senyuman Siska terlihat begitu bersinar.

Caption di fotonya sederhana, tapi menyakitkan. [Kasih sayang itu tak perlu ditunggu].

Cahaya dari layar ponsel memantul di wajahku.

Dadaku terasa hampa. Bukan marah, melainkan lelah.

Aku hanya mengetik enam kata: [Selamat atas kelulusanmu, aku ikut bahagia].

Kemudian, aku baru saja hendak mematikan ponsel, tiba-tiba pintu terbuka keras.

Kakakku, Stefano menerobos masuk dan dengan nada yang setajam pisau, “Apa maksud komentarmu di postingannya? Mau mempermalukan adikmu sendiri di depan umum?”

Tanpa menunggu penjelasanku, dia melanjutkan tuduhannya, “Kamu sudah cukup memalukan di pernikahanmu hari ini, sekarang malah mau menarik Siska ikut dipermalukan juga?”

Aku meletakkan ponsel di lemari samping ranjang, lalu menjawab datar, “Aku nggak menyindir. Itu ucapan selamatku yang tulus.”

Ketenanganku membuatnya sempat terdiam.

Tatapannya jatuh ke koper di lantai, lalu dia pun dengan dingin berkata, “Mulai lagi? Sudah kemas koper dan mau pura-pura kabur dari rumah untuk mendapat perhatian? Biar semua orang memohonmu untuk tetap tinggal?”

“Selvy, sejak kecil kamu memang suka sekali buat drama seperti ini. Bisa nggak sih, kamu belajar sedikit lebih dewasa? Belajarlah seperti adikmu!”

Stefano pun melanjutkan perintahnya, seolah sedang membagi pekerjaan rumah, “Siska mau makan krim sup seafood. Kamu saja yang masak, sekalian minta maaf padanya.”

Nada bicaranya terdengar seenaknya, seolah aku berutang pada mereka.

Aku tidak berdebat seperti biasanya dan hanya menjawab, “Iya.”

Kemudian, berbalik menuju dapur.

Stefano terkejut dengan perubahanku, lalu tiba-tiba meninggikan suara, “Tunggu. Jangan-jangan kamu mau macam-macam dengan makanannya?”

“Kok kamu nggak menolak kali ini?”

Aku menoleh, mataku berkaca-kaca dan menjawab, “Kak, apa aku orang seperti itu di matamu?”

Mungkin karena ekspresiku terlihat sangat terluka, dia mengerutkan kening dan mengalihkan pandangan, lalu nadanya sedikit melunak, “Kurasa kamu juga nggak berani.”

Kemudian, dengan nada tenang seolah semua yang terjadi hari ini adalah hal sepele, dia berkata, “Acara wisuda Siska hanya sekali seumur hidup. Pernikahanmu yang batal hari ini masih bisa diganti lain hari.”

Diganti lain hari!

Mereka menganggap pernikahanku seperti pesta biasa, bisa dijadwalkan ulang kapan saja.

Di gereja hari ini, di barisan tamu penting di bawah panggung, duduk semua kalangan terpandang seluruh kota, kamera media menyorot kursi pengantin pria yang kosong. Aku berdiri sendirian di bawah lampu sorot selama sepuluh menit, hingga akhirnya pemandu acara menuntunku turun dari panggung.

Jason, seorang bos mafia yang selama ini dikenal memegang janji, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya juga tiga kata itu, “Ganti lain hari!”

Aku menunduk, melangkah pelan ke dapur dan mulai menyiapkan bahan.

Satu per satu kerang simping dikupas, air garam terasa menyengat di kulit. Jariku memerah dan membengkak, aku alergi seafood.

Namun, rasa perih di tangan tak membuatku menangis. Karena yang paling menyakitkan bukan luka di kulit, melainkan rasa terbiasa ini, terbiasa diabaikan.

Sebelumnya, saat acara tunangan, Siska bilang perutnya sakit.

Jason, tunanganku langsung pergi ke rumah sakit tanpa pikir panjang, meninggalkan seluruh tamu di ruangan.

Aku berdiri sendirian di atas pangggung, meminta maaf dan menuntaskan acara seorang diri.

Itu adalah kesembilan puluh sembilan kali diriku diabaikan.

Dan hari ini adalah keseratus kali.

Dari ruang tamu, terdengar suara lembut Siska, “Kakak, bungkusan cemilan ini susah dibuka.”

Stefano langsung berdiri, langkahnya tergesa-gesa dan berkata, “Jangan dibuka sendiri, gimana kalau sampai terluka? Tanganmu itu untuk bermain piano.”

Nada suaranya penuh dengan kasih sayang.

Aku kembali ke kamar dan menutup pintu.

Melepas kancing gaun pengantin di punggungku, kain putih itu jatuh ke lantai seperti ombak laut.

Aku duduk di meja kerja dan membuka laptop. Kursor berkedip-kedip, berhenti di email yang sudah setengah diketik: [Program Dokter Lintas Batas].

Aku menambahkan kalimat terakhir: [Bisa berangkat kapan saja dalam dua minggu ke depan.] Kemudian, klik kirim.

Ini bukan pertama kalinya mereka mengecewakanku.

Ini adalah kali keseratus mereka mengecewakanku.

Aku meraih ponsel, membuka riwayat obrolan kami. Pesan terakhir adalah [Hanya pernikahan saja, bisa digantikan lain hari.]

Aku menelungkupkan ponsel di atas meja.

Jika mereka hanya menyukai Siska, biarkan saja Siska menjadi segalanya bagi mereka.

Dan aku akan meninggalkan kota ini, meninggalkan rumah ini dan juga meninggalkan pria yang menganggap pernikahan denganku hanyalah hari yang bisa ‘dijadwalkan ulang’.

Tanpa berpamitan, tanpa menoleh.

Stefano menerima piring dari tanganku tanpa menatapku. Kemudian, dia berkata pelan pada Siska, “Hati-hati, masih panas.”

Stefano tersenyum tipis, pandangannya meluncur melewatiku, seolah aku hanyalah seorang pelayan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 9

    Mendengar akhir nasib Siska, Jason dan Stefano, anehnya aku tidak merasakan kegembiraan balas dendam yang kubayangkan, juga tidak ada rasa puas karena berhasil membalas sakit hati.Yang tersisa hanya sebersit rasa getir.Bagaimanapun hidup mereka, itu sudah tidak ada hubungannya denganku.Aku mencurahkan seluruh energi dan fokusku pada pekerjaan dan putriku. Hidupku sangat damai dan tenang.Saat putriku berusia tiga tahun, berkat hasil penelitianku yang unggul, aku pun kembali ke dalam negeri dan menjadi tulang punggung di pusat medis nasional.Selain bekerja, waktuku kuhabiskan untuk menemani putriku setiap hari.Dia cerdas, lincah dan menggemaskan. Dia adalah hadiah paling berharga dalam hidupku.Ayah, Ibu dan Stefano melalui berbagai cara, akhirnya mengetahui kabarku dan mencoba menghubungiku.Hari ini, aku sedang sibuk di laboratorium saat asisten terburu-buru masuk."Bu Selvy, ada yang mencarimu di bawah."Aku mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?""Mereka bilang mereka keluarg

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 8

    "Semuanya sudah berlalu," ujarku pelan, nadaku sangat tenang, seolah sedang membicarakan urusan orang lain.Aku berbalik dan hendak naik ke lantai atas, tapi pergelangan tanganku ditahan kuat oleh Stefano."Selvy, kamu benar-benar nggak mau pulang bersama kami?"Suaranya penuh kecemasan, seolah kepergianku adalah kesalahan fatal yang tak bisa diperbaiki.Pada saat itu juga, tiba-tiba emosiku runtuh."Pulang?"Aku membalikkan badanku dengan cepat. Dengan mata berkaca-kaca, aku menatap mereka dan berkata, "Kalian pikir hanya dengan satu kata maaf, penderitaanku bertahun-tahun ini bisa terhapus begitu saja?""Aku yang dikorbankan! Tapi sejak kecil sampai sekarang, yang menikmati kasih sayang Ayah dan Ibu itu Siska!""Aku yang diabaikan, aku yang dikhianati Jason! Atas dasar apa kalian berpikir hanya dengan permintaan maaf yang begitu ringkas, aku harus memaafkan semuanya?""Hidupku di keluarga ini selama ini begitu menyakitkan! Kenapa sekarang kalian datang dengan kata maaf dan mengharapk

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 7

    Aku pikir penolakanku sudah cukup jelas, tapi ternyata mereka malah datang mencariku.Hari ini, aku kembali dari rumah sakit ke apartemen. Begitu tiba di lantai bawah, aku pun terdiam.Ayah, Ibu, Stefano dan Jason, keempatnya sudah menunggu di depan pintu apartemenku dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda.Begitu melihatku, mereka langsung mengerumuniku.Baru saja Stefano mau berbicara, Jason sudah mendesak maju di depanku.Matanya tampak berkaca-kaca. Beberapa hari tidak bertemu, dia terlihat jauh lebih kurus.“Selvy, lama nggak bertemu,” ujarnya dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Aku tahu, kamu hanya sedang mengambek, kita nggak akan putus.”Aku menatapnya, tapi tidak ada gejolak apapun di hatiku.“Jason, putus itu nggak perlu persetujuan darimu.”Ucapanku tenang, tapi tegas.Jason terdiam. Dia sepertinya tidak percaya, aku yang dulu begitu mencintainya, kini bisa menjadi sedingin ini.Aku berpaling menatap keluargaku.Ekspresi mereka bermacam-macam, tapi di mata mereka terp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 6

    Begitu menutup telepon, rasanya seperti beban di dadaku akhirnya terangkat.Di sisi lain, Jason sempat terdiam beberapa detik, lalu terdengar suara lembut Siska,“Kak Jason, mungkin suasana hati Kakak lagi nggak baik dan butuh waktu sendiri.”“Kamu juga jangan terlalu khawatir. Dia begitu menyukaimu, mana mungkin benar-benar pergi. Bukannya dia paling suka main tarik ulur? Seperti yang dia lakukan sebelumnya.”Jason terdiam beberapa saat, sepertinya menerima penjelasannya.“Kamu benar, mungkin dia hanya sedang mengambek.”“Siska, kamu paling mengerti dia.”Yang tidak kuketahui, setelah kepergianku, semuanya tidak berjalan seperti yang Jason dan Siska bayangkan.Awalnya, mereka mengira aku hanya mengambek dan akan kembali dalam beberapa hari.Namun, seiring hari berlalu, hati orang tuaku dan Jason semakin tidak enak.Jason melihat nomor kontakku yang sudah lama senyap dan samar-samar merasa seperti telah kehilangan sesuatu.Siska sendiri tidak peduli. Dia dengan terang-terangan menikmat

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 5

    Stefano yang pertama bereaksi. Tatapannya tampak penuh tuduhan dan permusuhan, seperti sedang menghakimi seorang penjahat.“Kamu mau kabur? Mau lepas tangan dari tanggung jawab karena sudah membuat Siska alergi?”Ayah dan Ibu pun langsung mendekat, wajah mereka tampak kecewa dan menyalahkan.Ibu berkata dengan nada dingin, “Selvy, kok kamu bisa begitu egois? Siska masih di rumah sakit, kamu malah berpikir untuk pergi?”Ayah juga mengerutkan keningnya dan berkata, “Kamu nggak punya rasa tanggung jawab sama sekali.” Aku memandang mereka, hatiku terasa dingin.Ternyata di mata mereka, setiap tindakanku akan selalu diartikan sebagai keegoisan.“Kabur?” Aku mengangkat sudut bibirku, senyumanku terasa pahit. “Sejak kapan aku bilang mau kabur?”Aku mengambi ponselku, menghubungi Siska di depan mereka dan mengaktifkan pengeras suara.Setelah beberapa kali dering, terdengar suaranya yang lemah, tapi tetap angkuh,“Kakak? Kamu meneleponku untuk menyalahkanku?”Siska mengira aku masih ingin memp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 4

    Begitu koperku tertutup rapat, kamar itu terasa sangat sunyi, hanya tersisa suara napasku sendiri.Tiba-tiba ponsel bergetar, nama familiar yang muncul di layar membuat jariku sedikit bergetar.Aku tetap menekan tombol jawab.“Halo?” jawabku dengan serak.Terdengar suara Jason dari balik telepon. Suaranya tak lagi lembut seperti sebelumnya, hanya ada nada dingin dan kemarahan.“Selvy! Siska sudah masuk rumah sakit dan kamu masih belum muncul juga? Bahkan satu kata maaf pun nggak ada?!”Nada suaranya seperti sebilah pisau, menutup rapat semua celah bagiku untuk menjelaskan.Bibirku tertutup rapat dan terdiam sejenak. Kemudian, barulah aku berkata, “Jason, aku nggak mungkin main-main dengan nyawa orang.”Namun, dia sama sekali tak mau mendengarku, suaranya pun semakin dingin. “Jangan coba-coba mengelak lagi! Siska lebih nggak mungkin main-main dengan nyawanya sendiri!”Aku menggenggam erat ponsel. Jari-jariku memutih, sementara rasa getir menyebar di dada.Kenapa mereka bahkan tidak mau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status