Share

Bab 2

Author: Coco An
Aku memakai sarung tangan dan membawa krim sup seafood ke meja makan.

Belum sempat mendekat, pemandangan yang menyilaukan langsung menyambutku.

Ayah, orang yang biasanya tak pernah sabar mendengarkan aku bicara, kini duduk tenang di sofa, tersenyum dan dengan sabar mendengarkan Siska bercerita tentang hal-hal lucu di kampus.

Ibu memeluknya lembut, menata rambutnya dengan penuh kasih.

Stefano duduk di samping dengan mata yang tampak berbinar.

Seluruh keluarga mengelilinginya, seolah-olah dia adalah bintang utama malam ini.

Aku berdiri di ambang pintu, terasa seperti orang asing.

“Makan malam sudah siap,” ucapku pelan.

Siska menatapku, bibirnya terangkat dengan senyuman penuh kemenangan, tapi dia pura-pura memasang wajah sedih.

“Kak, kamu pasti marah padaku, ‘kan? Apa… karena aku, pernikahanmu jadi terganggu?”

Seketika, wajah Ibu menjadi dingin. “Selvy, apa maksudmu?”

“Acara wisuda Siska itu hanya sekali seumur hidup. Kalau kamu keberatan, simpan saja sendiri. Jangan mengganggu suasana hati semua orang!”

Ayah ikut mengerutkan kening dan memarahiku, “Cepat sini! Jangan lelet!”

Suara Ibu pun menjadi semakin tajam, “Kalau kamu masih berani marah pada Siska, jangan panggil aku Ibu lagi!”

Siska meraih tangan Ibu dan berpura-pura membujuk dengan lembut, “Ibu, jangan salahkan Kakak. Pernikahannya batal, tentu saja dia sedih…”

Dia menekankan kata ‘batal’ itu, tatapan matanya penuh dengan provokasi.

Aku menatapnya, lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak marah. Acara wisuda memang acara penting, patut dirayakan.”

Mereka terdiam, sepertinya tidak menyangka aku akan menurut semudah itu.

Tepat saat itu, pintu pun didorong terbuka.

Jason masuk membawa kue yang sangat cantik di tangannya. Suaranya sangat lembut, bahkan tak pernah kudengar sebelumnya.

“Siska, selamat atas kelulusanmu. Ini kue yang khusus kupesan untukmu, ada piano kecil di atasnya, dibuat langsung oleh chefnya.”

Siska tersenyum ceria, matanya berkilat dengan rasa bangga. “Terima kasih, Kak Jason. Tapi… kamu nggak lupa kasih hadiah untuk Kakak, ‘kan?”

Saat itulah, seolah baru sadar aku juga ada di ruangan itu, Jason mengeluarkan sepotong kecil tiramisu dari kantong kertas di belakangnya dan berkata, “Selvy, ini untukmu, rasa cokelat kesukaanmu.”

Aku menatap tiramisu kecil di tangannya, lalu menoleh ke arah kue stroberi mewah di meja dan nyaris tertawa.

Jason tak pernah benar-benar mengingat kesukaanku.

Aku tidak makan cokelat, tapi entah kenapa, dia selalu memberikannya padaku.

Dan selama bertahun-tahun ini, yang selalu jatuh ke tangan Siska bukan hanya kue miilikku, melainkan juga perhatian semua orang.

Aku menerima kue itu dengan senyuman samar dan mengucapkan, “Terima kasih.”

Jariku tak sengaja menyentuh alat tes kehamilan di saku.

Dua garis merah dan sangat jelas.

Pagi ini, aku masih menatapnya di kamar mandi untuk waktu yang lama, jantungku berdebar tidak karuan.

Awalnya aku ingin memberitahunya di pesta pernikahan, membayangkan betapa terkejutnya dia saat mendengar kabar itu, bahkan membayangkan dia akan memelukku dan memutar.

Namun sekarang, semua itu tidak penting lagi.

Anak ini tidak diharapkan oleh siapapun.

Namun, aku akan menjaganya.

Meskipun sendirian, aku tetap akan membawanya pergi dari sini.

Aku menekan perasaanku dan berjalan ke meja makan.

Di meja, selain seafood yang kubuat, hampir semua hidangan lain adalah makanan kesukaan Siska.

Ayah, Ibu dan Kakak terus mengambilkan makanan ke piring Siska, sambil terus memuji, “Siska benar-benar kebanggaan keluarga kita, baru lulus sudah bisa masuk orkestra itu sangat luar biasa.”

“Iya. Nggak seperti Kakakmu, selain bisa memasak, apa lagi yang bisa dibanggakan?”

“Siska, jangan meniru Kakakmu. Minyak dapur bisa merusak tanganmu. Tanganmu itu untuk bermain piano.”

Siska tersenyum manis, bahkan sengaja menambahkan, “Ayah, Ibu, kalian juga harus coba masakan Kakak. Sebenarnya Kakak juga sudah bekerja keras.”

Barulah Ibu teringat denganku dan secara simbolis mengambil sepotong udang ke piringku. “Selvy, kamu juga sudah capek memasak, makanlah.”

Aku perlahan meletakkan alat makanku dan berkata, “Aku sudah kenyang.”

Wajah Ibu langsung menjadi dingin dan Siska pura-pura polos. “Ibu, Kakak masih kesal karena pernikahannya dibatalkan?”

Ibu menatapku dengan tajam dan berkata, “Mau makan silakan, nggak makan juga nggak ada yang memaksamu!”

Detik berikutnya, tiba-tiba Siska memegangi lehernya, wajahnya pun langsung memerah.

“Ibu! Tolong aku… aku nggak bisa bernapas…”

Aku mendongak, kulitnya langsung dipenuhi ruam merah, itu reaksi alergi.

Ayah langsung berdiri, matanya tajam mengunci ke arahku. “Selvy, ada masalah dengan masakanmu!”

Suara nyaring Ibu pun menyusul, “Sudah kuduga! Kamu nggak puas dan sengaja mencelakai Siska, ‘kan?”

Stefano berdiri di depan Siska, melindunginya seperti harta yang rapuh dan berkata, “Seharusnya aku sudah menduga ini. Kamu begitu tenang dari tadi, pasti sedang merencanakan sesuatu!”

Tatapan Jason juga tertuju padaku, tampak dingin dan asing tanpa sedikit pun keraguan.

Empat pasang mata menatapku tajam, seolah ingin menelanku hidup-hidup.

Padahal aku tidak berbuat apa-apa, tapi aku sudah menjadi ‘pelaku’ yang meracuni di mata mereka.

Dadaku terasa dingin dan sesak.

Ternyata di hati mereka, aku benar-benar bukan siapa-siapa.

Bukan seorang putri, bukan kakak, apalagi tunangan.

Hanya bayangan yang bisa diabaikan kapan saja dan dijadikan ‘kambing hitam’.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 9

    Mendengar akhir nasib Siska, Jason dan Stefano, anehnya aku tidak merasakan kegembiraan balas dendam yang kubayangkan, juga tidak ada rasa puas karena berhasil membalas sakit hati.Yang tersisa hanya sebersit rasa getir.Bagaimanapun hidup mereka, itu sudah tidak ada hubungannya denganku.Aku mencurahkan seluruh energi dan fokusku pada pekerjaan dan putriku. Hidupku sangat damai dan tenang.Saat putriku berusia tiga tahun, berkat hasil penelitianku yang unggul, aku pun kembali ke dalam negeri dan menjadi tulang punggung di pusat medis nasional.Selain bekerja, waktuku kuhabiskan untuk menemani putriku setiap hari.Dia cerdas, lincah dan menggemaskan. Dia adalah hadiah paling berharga dalam hidupku.Ayah, Ibu dan Stefano melalui berbagai cara, akhirnya mengetahui kabarku dan mencoba menghubungiku.Hari ini, aku sedang sibuk di laboratorium saat asisten terburu-buru masuk."Bu Selvy, ada yang mencarimu di bawah."Aku mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?""Mereka bilang mereka keluarg

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 8

    "Semuanya sudah berlalu," ujarku pelan, nadaku sangat tenang, seolah sedang membicarakan urusan orang lain.Aku berbalik dan hendak naik ke lantai atas, tapi pergelangan tanganku ditahan kuat oleh Stefano."Selvy, kamu benar-benar nggak mau pulang bersama kami?"Suaranya penuh kecemasan, seolah kepergianku adalah kesalahan fatal yang tak bisa diperbaiki.Pada saat itu juga, tiba-tiba emosiku runtuh."Pulang?"Aku membalikkan badanku dengan cepat. Dengan mata berkaca-kaca, aku menatap mereka dan berkata, "Kalian pikir hanya dengan satu kata maaf, penderitaanku bertahun-tahun ini bisa terhapus begitu saja?""Aku yang dikorbankan! Tapi sejak kecil sampai sekarang, yang menikmati kasih sayang Ayah dan Ibu itu Siska!""Aku yang diabaikan, aku yang dikhianati Jason! Atas dasar apa kalian berpikir hanya dengan permintaan maaf yang begitu ringkas, aku harus memaafkan semuanya?""Hidupku di keluarga ini selama ini begitu menyakitkan! Kenapa sekarang kalian datang dengan kata maaf dan mengharapk

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 7

    Aku pikir penolakanku sudah cukup jelas, tapi ternyata mereka malah datang mencariku.Hari ini, aku kembali dari rumah sakit ke apartemen. Begitu tiba di lantai bawah, aku pun terdiam.Ayah, Ibu, Stefano dan Jason, keempatnya sudah menunggu di depan pintu apartemenku dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda.Begitu melihatku, mereka langsung mengerumuniku.Baru saja Stefano mau berbicara, Jason sudah mendesak maju di depanku.Matanya tampak berkaca-kaca. Beberapa hari tidak bertemu, dia terlihat jauh lebih kurus.“Selvy, lama nggak bertemu,” ujarnya dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Aku tahu, kamu hanya sedang mengambek, kita nggak akan putus.”Aku menatapnya, tapi tidak ada gejolak apapun di hatiku.“Jason, putus itu nggak perlu persetujuan darimu.”Ucapanku tenang, tapi tegas.Jason terdiam. Dia sepertinya tidak percaya, aku yang dulu begitu mencintainya, kini bisa menjadi sedingin ini.Aku berpaling menatap keluargaku.Ekspresi mereka bermacam-macam, tapi di mata mereka terp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 6

    Begitu menutup telepon, rasanya seperti beban di dadaku akhirnya terangkat.Di sisi lain, Jason sempat terdiam beberapa detik, lalu terdengar suara lembut Siska,“Kak Jason, mungkin suasana hati Kakak lagi nggak baik dan butuh waktu sendiri.”“Kamu juga jangan terlalu khawatir. Dia begitu menyukaimu, mana mungkin benar-benar pergi. Bukannya dia paling suka main tarik ulur? Seperti yang dia lakukan sebelumnya.”Jason terdiam beberapa saat, sepertinya menerima penjelasannya.“Kamu benar, mungkin dia hanya sedang mengambek.”“Siska, kamu paling mengerti dia.”Yang tidak kuketahui, setelah kepergianku, semuanya tidak berjalan seperti yang Jason dan Siska bayangkan.Awalnya, mereka mengira aku hanya mengambek dan akan kembali dalam beberapa hari.Namun, seiring hari berlalu, hati orang tuaku dan Jason semakin tidak enak.Jason melihat nomor kontakku yang sudah lama senyap dan samar-samar merasa seperti telah kehilangan sesuatu.Siska sendiri tidak peduli. Dia dengan terang-terangan menikmat

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 5

    Stefano yang pertama bereaksi. Tatapannya tampak penuh tuduhan dan permusuhan, seperti sedang menghakimi seorang penjahat.“Kamu mau kabur? Mau lepas tangan dari tanggung jawab karena sudah membuat Siska alergi?”Ayah dan Ibu pun langsung mendekat, wajah mereka tampak kecewa dan menyalahkan.Ibu berkata dengan nada dingin, “Selvy, kok kamu bisa begitu egois? Siska masih di rumah sakit, kamu malah berpikir untuk pergi?”Ayah juga mengerutkan keningnya dan berkata, “Kamu nggak punya rasa tanggung jawab sama sekali.” Aku memandang mereka, hatiku terasa dingin.Ternyata di mata mereka, setiap tindakanku akan selalu diartikan sebagai keegoisan.“Kabur?” Aku mengangkat sudut bibirku, senyumanku terasa pahit. “Sejak kapan aku bilang mau kabur?”Aku mengambi ponselku, menghubungi Siska di depan mereka dan mengaktifkan pengeras suara.Setelah beberapa kali dering, terdengar suaranya yang lemah, tapi tetap angkuh,“Kakak? Kamu meneleponku untuk menyalahkanku?”Siska mengira aku masih ingin memp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 4

    Begitu koperku tertutup rapat, kamar itu terasa sangat sunyi, hanya tersisa suara napasku sendiri.Tiba-tiba ponsel bergetar, nama familiar yang muncul di layar membuat jariku sedikit bergetar.Aku tetap menekan tombol jawab.“Halo?” jawabku dengan serak.Terdengar suara Jason dari balik telepon. Suaranya tak lagi lembut seperti sebelumnya, hanya ada nada dingin dan kemarahan.“Selvy! Siska sudah masuk rumah sakit dan kamu masih belum muncul juga? Bahkan satu kata maaf pun nggak ada?!”Nada suaranya seperti sebilah pisau, menutup rapat semua celah bagiku untuk menjelaskan.Bibirku tertutup rapat dan terdiam sejenak. Kemudian, barulah aku berkata, “Jason, aku nggak mungkin main-main dengan nyawa orang.”Namun, dia sama sekali tak mau mendengarku, suaranya pun semakin dingin. “Jangan coba-coba mengelak lagi! Siska lebih nggak mungkin main-main dengan nyawanya sendiri!”Aku menggenggam erat ponsel. Jari-jariku memutih, sementara rasa getir menyebar di dada.Kenapa mereka bahkan tidak mau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status