Masih Masa Lalu
Melvin saat ini bekerja di Karawang sebagai seorang staf operasional di sebuah perusahaan bernama PT YMH Corp. Gaji Melvin saat ini adalah UMR yaitu sebesar 4.3 juta rupiah. Lumayan besar untuk seorang anak lulusan SMA. Melvin sangat berusaha bekerja dengan keras untuk mengumpulkan uang demi masa depannya nanti dan keluarganya di Jakarta.
Selama bekerja di Karawang, Melvin masih sering berhubungan dengan Zee malah mereka semakin mesra. Terkadang Melvin yang datang ke Jakarta ataupun Zee yang datang ke Karawang. Mereka selalu membuat waktu khusus untuk pertemuannya.
Setelah 2 tahun berpacaran, akhirnya Zee melanjutkan kuliahnya di sebuah universitas ternama dengan mendapatkan beasiswa. Maklum, Zee adalah seorang siswa teladan di sekolah SMA Harapan Bangsa, jadi sangat tidak aneh ia bisa mendapatkan beasiswa. Bahkan Zee mengambil 2 jurusan sekaligus yaitu sastra Mandarin dan sastra Inggris.
Dengan mengambil 2 jurusan sekaligus tentu saja Zee menjadi semakin sibuk, perkuliahannya sangat padat bahkan untuk menyelesaikan semua tugas, Zee harus begadang sehingga semakin sulit bagi Zee untuk berkomunikasi dengan Melvin.
“Zee, kamu sibuk apa saja sih? Sepertinya kamu melupakan aku?” Protes Melvin di video call.
“Aku sedang kejar deadline tugas, Kak. Bahkan hampir setiap hari aku harus begadang untuk menyelesaikannya.” Ucap Zee yang sudah mulai lemas dan malas bertengkar.
“Memang kamu sudah tidak sayang sama aku ya? Sudah dapat pria yang lebih mapan di sekolah kamu?” Ledek Melvin yang terlihat cemburu buta.
“Enggaklah Kak. Aku kan sudah pernah bilang sama Kakak kalau aku akan setia selalu sama Kakak. Jadi aku harap Kakak tidak berpikir aneh-aneh tentang aku. Aku saat ini sedang fokus menyelesaikan kuliah. Itu saja.” Zee mulai emosi mendengar ucapan Melvin. Dalam beberapa minggu ini, ia hanya video call dengan Melvin dan hasilnya selalu bertengkar. Zee mulai lelah bertengkar dengan Melvin.
“Aku harap kamu memegang janji kamu ya.” Ancam Melvin. Wajahnya mengeras dan sangat kesal karena Zee tidak mempedulikannya, tidak menomorsatukannya seperti dulu. Bahkan sudah hampir 6 bulan Zee tidak pernah pergi ke Karawang untuk menemui Melvin dan saat Melvin ke Jakarta untuk bertemu Zee, ia malah mendapati Zee sedang kerja kelompok bersama temannya. Alangkah kesalnya Melvin melihat tindakan Zee.
“Kamu itu dunia aku, Kak. Tidak mungkin diganti oleh orang lain.” Zee menitikkan air matanya. “Kenapa kamu bisa tidak percaya kepadaku? Kapan aku pernah berselingkuh? Tidak pernah kan? Satu kali pun tidak pernah!” Antara emosi dan sedih yang dirasakan oleh Zee, tidak terasa air mata Zee semakin deras mengalir di kedua pipinya. Ia kecewa karena Melvin tidak percaya pada cintanya yang tulus.
“Maafkan aku, Zee. Aku terlalu cemburu.” Melvin menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah karena tidak percaya dengan Zee yang selama ini selalu ada untuknya bahkan membantu masalah keuangan keluarga Melvin di Jakarta.
“Aku hanya mau Kakak menjadi pendampingku di masa depan. Bukan orang lain. Aku harap Kakak bersabar. Karena memang sekarang tugas sekolahku sedang banyak.” Zee menarik nafas dalam dan menghapus air matanya.
“Maafkan aku, Zee.” Melvin tidak tahan jika harus melihat Zee menangis. Ia menurunkan emosinya yang sudah di ubun-ubun. Ia merasa sudah keterlaluan dalam mengintimidasi dan mencurigai Zee.
“Iya … iya … aku maafkan. Sudah dulu ya, Kak. Aku mau mengerjakan tugas. Nanti lagi kita video call.” Tutup Zee. Ia menutup wajahnya dengan bantal dan menangis sekeras-kerasnya. Zee sangat kesal terhadap Melvin yang sudah beberapa bulan ini selalu cemburu dan menuduhnya berselingkuh atau ada pria lain. Padahal sama sekali tidak terpikir oleh Zee untuk melakukan hal itu. Melihat pria lain? Tidak pernah terpikir oleh Zee. Yang menjadi pikiran Zee saat ini hanyalah menyelesaikan kuliahnya dengan cepat agar bisa bersama Melvin selamanya. Tapi apa yang dipikirkan Melvin tadi membuat Zee sangat kesal. Banyak pria yang datang kepada Zee untuk menyatakan cinta tapi selalu Zee tolak karena ia sudah terlalu cinta kepada Melvin, tidak ada pria lain lagi untuknya yang pas selain Melvin.
Besok adalah deadline pengumpulan tugasnya Inggris dan Mandarin. Zee sendiri tidak menyangka akan sesibuk ini mengambil 2 jurusan perkuliahan. Terkadang Zee merutuki diri sendiri karena terlalu sombong mengambil 2 jurusan bahasa yang sulit itu.
“Zee … ” Panggil Zidan, kakak kandung Zee yang berbeda 3 tahun dari Zee. Sedari tadi ia berada di samping Zee dan mendengarkan semua ucapan Melvin di video call. “Apakah kamu tidak sebaiknya mencoba dengan pria lain saja? Melvin sepertinya sangat posesif dan terlalu cemburu.” Zidan mengelus-elus kepala Zee dengan lembut. Ia sangat menyayangi adik semata wayangnya.
“Aku sudah terlalu cinta sama Melvin, Kak. Sulit bagi aku untuk berpindah pada pria lain.” Zee menangis tersedu. Ia sakit hati karena Melvin menuduhnya macam-macam. Menutup wajahnya dengan bantal karena air matanya tidak berhenti mengalir.
“Kakak rasa kamu bukan sulit berpindah, tapi tidak mau mencoba.” Ucap Zidan lembut. “Ini cinta pertama kamu makanya kamu berkata seperti itu. Kakak juga pernah merasakan seperti kamu, tapi lihat, sekarang bahkan kakak sudah beberapa kali mengganti pacar.” Zee tersenyum dengan perkataan Zidan. Kakaknya ini selalu bisa menghiburnya di kala Zee sudah pusing atau marah pada Melvin.
“Itu karena kakak playboy!” Ledek Zee melemparkan bantal basahnya kepada Zidan.
“Dih! Kamu itu! Masa kamu menghina kayak sendiri!” Zidan sebal melihat adiknya yang ia hibur malah balas meledeknya.
“Abis kakak memang suka pacaran tanpa perasaan. Coba nanti kalau kakak sudah serius terhadap satu wanita, pasti berbeda rasanya deh! Pasti kakak akan melakukan apa saja untuk dia.”
“Ampun deh adik kakak yang cantik. Sekarang malah menceramahi kakaknya sendiri!” Zidan menjewer telinga Zee.
“Ish, jangan jewer telinga Zee! Zee sudah bukan anak kecil!” Protes Zee. Ia bahkan memajukan bibirnya beberapa cm untuk protes kepada kakaknya.
“Hmm … Kakak rasa kamu boleh mencoba membuka hati untuk orang lain. Jangan terlalu cinta pada seseorang yang belum menjadi suami kamu. Nanti penyesalan kamu lebih besar.” Zidan mengelus kepada Zee dengan lembut. Ia sangat menyayangi adiknya satu-satunya. Ia tahu Melvin pekerja keras dan sangat mencintai Zee, tapi yang ia tidak suka adalah Melvin terlalu cemburu dan cemburunya sangat tidak masuk akal.
“Tapi, Kak … ” Zee sudah tidak bisa berpikir. Ia selalu membela Melvin di depan keluarganya, bahkan tidak jarang Zee membangkang terhadap ayah dan ibunya karena ingin terus bersama Melvin.
“Sudahlah Zee, sekarang lebih baik kamu pikirkan terlebih dahulu. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena memaksa harus menikah dengan Melvin. Kakak merasa ada yang tidak baik di dalam diri Melvin.”
“Iya, Kak. Zee akan berpikir ulang lagi. Terima kasih support kakak.” Zee memeluk Zidan dengan erat. Hanya Zidan yang mengerti tentang cintanya Zee terhadap Melvin dan Zidan selalu mendukungnya. Ia tidak pernah berkata kasar atau memarahi Zee karena terlalu cinta terhadap Melvin. Zidan hanya memberikan nasihat yang lembut yang dapat memberikan kesejukan kepada Zee saat mendengarnya.
Setiap pagi wajah Theo datang dengan cerah. Wajahnya berbahagia. Kali ini ponsel di tangannya masih aktif. Kakinya menapaki lantai dari lift menuju ruangannya melewati receptionis. "Sayang, aku sudah sampai Kantor. Aku akan pulang jam 5 sore. Kita makan malam ya? Aku tak sabar menunggu malam lagi" Theo terkekeh. Semenjak bersama Zee, jiwa romantisnya seakan tidak ada habisnya saja. Setiap hari, Theo selalu ingin cepat pulang dan bertemu dengan Zee.Theo mendengar jawaban lawan bicara di ponselnya, ia yakni Zee sedang mengecup mesra di ponselnya walau hanya kecupan di udara sambil mengatakan "Zee, aku sangat mencintaimu." Zee juga bahagia, "Terima kasih Kak Theo untuk semua hal yang indah sejak kamu menjadi suamiku. Aku juga mencintaimu.""Bye, Sayangku. I love you."Theo tak menyadari Vivi berada di belakangnya juga keluar dari lift. Hati Vivi tersayat. Vivi tahu bahwa Theo akan selalu menelepon istrinya dengan ucapan yang sangat manja dan penuh cinta sementara dulu Theo bukanlah o
Vivi merenung masih memikirkan Theo. Mamanya Melani masuk ke kamarnya. "Waktunya bagimu meninggalkan perusahaan Theo. Dia tidak mencintaimu. Kita punya perusahaan, Sayang. Kau harus belajar memimpin perusahaan ayahmu."Vivi menggeleng. "Aku lebih suka masak, Ma. Aku tidak berminat pada usaha Papa.""Hfff..." Melani menarik nafas berat. Vivi anaknya memang keras kepala. "Maksudmu? tetap menjadi sekretaris Theo, seorang bawahan. Diperintah sana dan sini?" Melani kecewa pada putrinya. "Mama mendampingi Papamu agar perusahaan kita maju. Kami berharap Kamu juga berjuang bersama kami agar kita tetap sejahtera.""Mama masih mengerti dengan bisnis Choco chipmu yang kini punya banyak cabang di mall-mall. Iseng-iseng untuk belajar memulai bisnis besar. Mama masih mengerti kamu melamar pekerjaan sekretaris padahal lulisan Hardvard. Untuk mengejar Theo orang yang sudah lama kamu sukai."Vivi acuh mendenagar omelan Mamanya. Melani menarik nafasnya kesal. "Tetapi tolong sudahi main-mainnya kamu
Virny dan Alex menyambut haru kedatangan Zee. Virny menangis memeluk putrinya. Jangan pergi lagi sayang, Mama rindu" "Zee juga rindu, Ma. Zee baik-baik saja, Ma. Jangan menangis." Zee memang merindukan Mamanya. Alex juga memeluk putrinya. Zidan menaruh semua tas di kamar Zee. Semua berbahagia untuk kedatangan Zee.Zee melihat pada Theo. Virny tersenyum pada Theo, "Bagaimana kamu bisa menemukan tempat persembunyian Zee, Theo?""Selama ini selalu bilang baik-baik saja. Tidak mau memberi alamatnya dengan alasan ingin menenangkan diri?" Virny penasaran."Setahun lebih mencari Zee, Tante. Terombang ambing tak menentu, Theo tidak ingin lagi kehilangan dia."Semua tersenyum, memandang dua sejoli ini. "Sebenarnya Zee hanya memintamu menyelesaikan masalahmu dengan Vivian. Itu langkah yang tepat, lihatlah kasusmu usai kita bisa berkumpul lagi." ujar Alex mengerti jalan pikiran Zee."Om, Tante perkenankan Theo tidak membuang waktu terlalu lama. Theo meminta restu kalian berdua. Theo ingin mel
Siang ini sepertinya semua bunga dibumi ini tumbuh hanya untuk Theo, dipetik dan dicurahkan begitu saja untuk hatinya. Kehadiran Zee siang ini memasak makananya tak diperkenankan olehnya. "Aku akan memasak untuk Kak Theo" ujar Zee bersiap ke dapur. Dipikirannya di kulkas ada banyak bahan untuk dimasak."Jangan Zee kita pesan makanan on line saja, aku tak mau kamu meninggalkanku bahkan hanya ke dapur. Aku takut Zee"Zee tertawa tak percaya, Theo seperti anak kecil yang takut ibunya pergi, Theo tak perduli. Ia tetap mengenggam tangan Zee. Bahkan Zee kesulitan untuk menggapai ponselnya. Zee membalas genggaman Theo. Memandang Theo. "Kak aku berjanji padamu, bersedia menjadi istrimu. Besok kita kerumah orang tuaku. Maafkan aku pernah meninggalkanmu. Tolong percayai aku." kedua netra mereka beradu. Theo melihat kesungguhan dan tatapan kerinduan pada netra Zee yang indah itu. Theo tersenyum. "Maafkan aku, Zee. Kamu benar, aku percaya padamu, Zee. Kita pesan on line dan makan berdua ya, Z
Theo hari ini merekah. Hatinya bak dilingkari pelangi. Ia tak dapat menangisi Zee lagi, Robin telah menemukan keberadaan Zee."Bos, Aku berhasil menemukan Zee." Robin sumringah menyampaikan laporannya. "HAH? Jangan bohongi aku. Aku butuh buktinya." tantang Theo tak percaya."Buka file yang kukirim. Ini Zee yang Bos maksud kan?"Theo membuka email, dan melihat file pdf yang terkirim dengan hati berdebar . Tampaklah gambar seorang wanita. 'Zee?' wajahnya cantik natural seperti biasanya tanpa make up berlebih, berbulu mata lentik, putih, rambutnya kini panjang kecoklatan. Zee mengecat rambutnya. Zee semakin cantik. Theo tak sanggup berkata, menyentuh gambar itu dengan hati berdebar. 'Zee.... Kamu cantik, sayang. Aku suka menatapmu dan mengetahui kamu baik-baik saja.' Batinnya bergemuruh."Katakan dimana foto ini diambil, Robin?" Suara Theo bergetar menahan sesuatu yang hangat yang seakan ingin tumpah dari matanya. Theo tak dapat mengendalikan perasaannya."Ada apa Bos? Dia Zee, atau Ze
"Melvin bangu...un, buka matamu. Bangun nak!! Lihat Mama!" Teriak Nina mengguncang bahu anaknya. Dokter Adrian menggeleng lemah. "Ikhlaskan Nyonya," kata Dokter itu iba melihat histetis Nina. Robert mencoba meraih tangan istrinya.Nina menggeleng. "Pa, dokter ini bohong. Kita jangan mau percaya." Tangan Nina melepas tangan Robert yang berusaha menggengamnya. Wajah Melvin ditutup kain putih oleh Suster."Tidaaaak .... Hiks. Anakku, tidak. Apa yang kalian lakukan? Kamu pikr dia mati? Dia memang bersalah, tapi dia anakku, dia berhak mendapat maaf dari siapapun percayalah dia anak baik, Suster!" tegas Nina. Vina memeluk anaknya. Metadang dan mengamuk pada siapa saja. "Ma... Tenanglah Ma, jangan seperti ini." Rio menenangkan Nina. Wajahnya juga sendu.Vina membiarkan Suster itu melaksanakan tugasnya. Menutup wajah Pasien "Vina, apa ini maksudnya?" tanya Nina pada anak perempuannya. Vina menangis. Terisak menjawab, "Kak Melvin tiada, Ma." Rio mengangguk meyakinkan Mamanya lagi. "Hu ...