Ana mendekati Pen, lalu meringis. Sang ibu semakin melotot ke arahnya. Pen masih shock melihat lelaki itu yang sudah diberi sumpah olehnya, “dalam keadaan apa pun, jangan pernah menemui aku. Bersumpahlah,” ucapnya saat terakhir bertemu dengan Anggara. Hingga sekarang Ana membuat sumpah itu dilanggar. Walaupun saat itu Anggara memang tidak mengiyakan sumpah itu.
“Ana, maafkan ibumu. Ibu harap, kau bisa menerima ayahmu kembali,” ucap Ana lalu memeluk Pen. Sang ibu mengeratkan pelukannya sampai Ana tidak bisa bernapas. Sementara, para siswa tidak segera masuk ke dalam kelas dan tetap melihat drama menghebohkan itu. Padahal, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Semua guru pun dan Kepala Sekolah masih terpaku dan penasaran. Ini benar-benar sebuah hal besar, di luar dugaan mereka.
“Ana, ibumu tidak bisa bernapas,” lanjut Ana segera melerai pelukannya.
“Kau!” tunjuk Pen ke arah Ana. “Kenapa kau melakukan hal itu? Sekarang juga kita harus pulang!” lanjutnya semakin berteriak.
“Ana, yang sopan dengan ibumu!” balas Anggara tegas. Pen semakin tidak terima. Dia mendekati Anggara dan mendorongnya. Raden semakin kesal dan berkata, “Ana, aku ini--,” ucapnya terhenti saat Pen meremas mulut seksi Anggara. “Ah!” teriak Anggara sambil menepuk-nepuk bibirnya.
Ana dan semua orang spontan terkejut melihat itu. Bagaimana bisa, anak paling tidak dianggap di sekolah sangat berani membuat bibir lelaki terkaya sangat merah.
“Jangan katakan apa pun!” ucap Pen sangat frustasi. Dia tidak mau rahasia itu terbongkar.
“Adew, kok malah ribet gini,” ucap Kepala Sekolah kebingungan. Semua orang masih terdiam kaku tak mengerti dengan drama di hadapannya.
“Ana, kau tidak bisa seperti ini. Maafkan aku. Yah, dia seperti ini karena sering makan ceker ayam,” balas Ana meringis ke semua orang. Berusaha meredam kemarahan Pen.
“Jangan pernah berkata apa pun, karena aku akan menghukummu!” tunjuk Pen ke arah Ana. Seketika Ana berdiri kaku dan menelan ludah melihat kemarahan Pen.
“Hei, gadis bodoh. Dia itu Raden pemilik sekolah ini. Sangat tidak sopan.” Amel menarik tangan Pen dan akan menamparnya. Ana tidak terima dan menahan tangan itu.
“Kau menyentuhnya, aku akan menghajarmu,” balas Ana sembari mencengkeram lengan Amel dengan keras. Gadis itu menatap Anggara dan merengek.
“Paman. Aku tahu kau ke sini karena aku bukan? Paman. Mereka sangat jahat.”
Anggara menarik Ana dan mengambil ponsel di saku jasnya sebelah kanan. Amel tidak percaya ketika melihat hal itu. Selama ini Anggara selalu bersikap baik kepadanya. Ini adalah pertama kalinya Anggara melakukan itu kepada Amel. Gadis itu semakin kesal ketika Anggara segera menghubungi Joko. “Sekarang bawa Amel pulang. Aku mau bicara dengan keluargaku.”
“Apa? Paman, apa maksudmu?” tanya Amel terkejut. Dia semakin tak percaya melihat pamannya menggandeng Ibu Ana yang selama ini dianggapnya super buruk!
Ana berjalan dengan tersenyum menatap semua teman-temannya yang masih menganga melihat semuanya. Selama ini mereka menganggap Ana siswa paling nakal dan selalu bermasalah. Parahnya, tidak ada siapa pun menghormati Ana. Mereka menganggap remeh Ana karena miskin.
Ana bisa bersekolah karena Anggara yang memang diam-diam membantu. Pen mendapat surat dari Manajer kantornya bekerja, kalau Ana memperoleh beasiswa di SMA paling mahal. Hanya kalangan elit yang bisa bersekolah di sana. Semua itu Anggara lakukan agar Ana bisa memperoleh pendidikan yang baik.
“Paman!” teriak Amel kesal melihat keakraban mereka. Sementara, Brian dan semua orang masih terdiam kaku di sana.
“Lepaskan dia,” ucap Pen sangat kesal. Dia segera menarik Ana yang masih digandeng Anggara.
“Ana, aku ingin berbicara dengan ibumu. Ayah mohon,” balas Anggara.
Anggara semakin menarik Ana dan mengajaknya keluar dari sana. Pen pun mengikuti mereka dari belakang. Kakinya melangkah cepat menuju ke halaman belakang sekolah yang sudah sangat sepi. Beberapa pengawal melarang siapa pun masuk ke sana. Anggara menghentikan langkah di bawah pohon yang cukup rindang, kemudian memegang kedua pundak Ana yang dia kira Pen. Mengatur napasnya dan memandang sangat tajam.
“Gawat!” Pen merasakan sesuatu yang sangat tidak enak. Dia pun segera mendekat dan memukul punggung Anggara.
“Kau mau apa?” lanjutnya dengan pandangan menekan.
“Ana. Aku ingin berbicara dengan ibumu. Kau sebaiknya diam saja dan jangan berkata apa pun. Ini sangat penting,” ucap Anggara membalas tatapan tajam yang masih menyorot ke arahnya.
“Kalau ini ada hubungannya dengan ibuku, tentu saja aku juga harus mengetahuinya,” balas Pen, masih saja dengan amarah.
“Ana mengertilah. Ayah hanya membutuhkan waktu sebentar saja.”
Pen semakin kesal melihat Ana menganggukkan kepala. Dia bertambah kebingungan saat Anggara mendadak mengangkat tangannya ke arah pengawal yang melihatnya dari kejauhan. Kedua lelaki garang itu mendekati Pen dan memegangnya sangat kuat. Ana yang masih berada di dalam tubuh ibunya, semakin kebingungan dengan semuanya. Apalagi, Anggara memegang kedua pundaknya semakin kuat.
“Pen, dia anak kita. Wajar kalau marah seperti itu.”
“Dia tidak marah. Itu hanya akting,” balas Ana. Dia semakin kesal melihat Pen masih saja berteriak dan melarangnya mendekati Anggara. “Duh, Ibu ini menyebalkan,” batin Ana.
“Ana, aku akan menghukummu!” teriak Pen.
“Apa?” Ana melotot mendengar Pen tidak sengaja mengatakan hal itu. Dia segera memegang kedua pipi Anggara agar menatapnya kembali. Ana tidak mau Anggara tahu sebenarnya, jika jiwa mereka tertukar.
“Biarkan saja, dia,” ucap Ana meringis. “Apa yang ingin kau katakan?”
“Pen, anak kita membutuhkan aku. Pen, aku tidak mau dia membenciku seperti itu. Maukah kau bersamaku lagi? Lagipula, perceraian itu palsu,” ucap Anggara membuat Ana semakin melotot. Pen pun menghentikan gerakannya setelah mendengar hal itu.
“Pal-su?” tanya Pen dan Ana bersama-sama.
“Maafkan aku ...,” balas Anggara semakin menarik napas panjang. “Pen, aku sangat ....”
Ana semakin menatap tajam ayahnya. Dia memegang pipi Anggara dengan sangat kuat. Membuat sang ayah menatapnya.
“Jadi, maksud kamu ... Penelope dan Anggara masih sepasang suami istri?” tanyanya memastikan. Anggara menganggukkan kepala, membuat Ana tertawa kegirangan.
“Apa? Bagaimana mungkin?” ucap Pen lemas.
Pen menginjak kaki salah satu pengawal. Membuat cengkeraman mereka terlepas. Dia segera mendekati Anggara, dan menarik jasnya.“Aku melihat sendiri persidangan itu. Kau benar-benar bercerai.”Anggara semakin tidak mengerti. Saat itu Pen masih mengandung Ana. Bagaimana mungkin Ana menanyakan itu? Dia mengangkat salah satu alisnya, semakin memandang kedua mata Ana. Anggara sangat mengenal tatapan tajam itu.“Ana ... bukankah kau saat itu belum lahir? Bagaimana kau ...”“Ah, hahaha,” sela Ana kembali menarik lengan Anggara. “Aku sudah menceritakan kepadanya. Mana mungkin ada rahasia Ibu dan anak,” lanjutnya sambil melotot tajam ke arah Pen yang kini semakin lemas.“Betul. Aku sekarang lega. Tidak ada lagi rahasia di antara kita. Pen ...,” ucap Anggara kembali menatap Ana dan memegang kedua pundaknya. “Katakan kepada anak kita kalau kita sering bertemu diam-diam,” lanjutnya membuat Ana spontan menatap Pen yang menunduk dan mengurut pelipisnya.“Tunggu!” Ana menatap Anggara sambil bersedek
Pen hanya bisa pasrah. Apa yang bisa dia lakukan melawan Anggara? Apalagi, Ana melompat kegirangan saat mendengar. Dengan lemas Pen berjalan masuk ke dalam loby. “Hah?” Dia semakin terkejut saat melihat puluhan pengawal Raden berada di dalam dan menundukkan kepala.“Aku lupa sudah berhubungan dengan Bos, dari semua Bos yang ada,” gumamnya pelan sembari melihat Ana sangat mesra bergandengan tangan dengan Anggara saat memasuki apartemen. “Ini sangat kacau. Aku harus berubah kembali menjadi diriku. Tapi, bagaimana caranya?”Pen yang semula menatap kaku, tiba-tiba tersenyum ketika melihat Anggara sangat mesra dengan dirinya yang masih dihuni Ana. Dia mengingat masa lalu yang sangat indah walaupun hanya sejenak saja.“Tidak! Aku tidak akan pernah lengah.” Pen menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya lagi. Dia segera mendekati Anggara dan menampis tangan lelaki itu yang masih mencengkeram tangan Ana.“Anakku, kau tidak bisa begitu dengan ayahmu,” ucap Ana sembari meringis.“Kau!” tu
Ana tertegun melihat Anggara keluar dengan menggunakan jas mahal. Dia selama ini tidak pernah membayangkan akan bertemu ayahnya. Ternyata seorang pria gagah dan super tajir. Sangat berwibawa sekali. Ana sebenarnya hanya ingin sosok ayah yang bisa membuatnya hangat. Bisa melindunginya. Kehidupan keras membuat dia tidak tahan dengan keadaan. Apalagi sang ibu harus berjuang sendiri menghidupinya. Hingga kini dia sangat lega, sang ayah mau menerimanya. Yang paling penting, masih mencintai ibunya.Selama ini Ana hanya bisa melihat Anggara berada di media sosial dengan semua kekayaan dan aset yang dimilikinya. Kini Ana bisa tersenyum melihat sosok ayahnya dengan jelas. Anggara pun menatap Ana yang masih dia kira Pen. Membelai pipi Pen yang selama ini dia rindukan. "Pen, kau cantik sekali," ucap Aggara pelan.Ana menerima belaian itu, karena dia selama ini tidak pernah menerima kehangatan sosok ayah. Tapi, wajah Anggara semakin mendekat seperti sebelumnya.DEG!"Adew, gak lucu Ayah menciumk
Ana spontan menutup kedua matanya. Tamparan keras akan melayang ke pipinya. Namun, kenapa dia tidak merasakan apa pun? Kedua mata Ana yang semula memejam sangat kuat, kini perlahan terbuka. Dia semakin tak percaya. Anggara dengan cepat menampis tangan Gracia yang semula akan menampar ke arahnya, malah mendarat di pipi Joko. Gracia adalah anak seorang Walikota. Dia sangat kaya. Keluarganya disegani semua orang. Namun, justru itu semua membuat Gracia berbesar kepala. Wanita sangat angkuh dan ingin selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah menghargai orang lain. Tapi, siapa yang berani kepadanya. Semua orang hanya terdiam ketika mendapatkan amarahnya yang sewenang-wenang. Tujuh belas tahun lalu, dia ketika itu masih sangat remaja, menyukai Anggara saat pertama kali bertemu di acara perayaan ulang tahun Romo ayah kandung Anggara. Ayahnya adalah sahabat dekat Romo. Gracia sejak itu berusaha keras, ingin merebut hati Anggara. Hingga dia terkejut Anggara mengalami kejadian malam tak terdug
Joko semakin menatap Ana dengan tajam. Dia tidak mengerti dengan semuanya. Tapi, dia sangat penasaran. "Sebentar. Kamu tadi manggil dirimu sendiri, Ana. Lalu, manggil Raden, ayahku. Kenopo iki? Aku kok bingung." Joko segera mengunci pintu ruangan. Dia bergegas duduk kembali di hadapan Ana. Joko selama ini selalu mendampingi Anggara sejak Raden itu remaja. Joko adalah adik dari Kepala Manajer perusahaan ayah Bambang sahabat Ana. Dia mendapatkan tawaran untuk menjaga Anggara setelah menjadi lulusan terbaik di salah satu universitas Jakarta dengan bayaran sangat mahal. Apalagi, Joko sangat pintar, yang mengajarkan Anggara semuanya sampai Raden bisa hebat seperti ini. Anggara tidak bisa hidup tanpa Joko. Dia sangat menyayangi Anggara seperti adiknya sendiri. Hingga Anggara harus menjalani masalah rumit tujuh belas tahun lalu. Joko sebagai saksi semua rahasia Anggara dan Pen. Sepanjang malam Ana memang sudah memikirkan ini dengan sangat matang. Hanya Joko yang bisa membantunya. "Kamu t
Ana semakin panik. Pen berteriak keras saat menghubunginya. Tapi, Ana malah melompat kegirangan. Dia tertawa sambil membayangkan semua temannya pasti akan menganggap dia keren. "Ah, pasti Amel si genit dan kemayu itu terkaget-kaget. Ana, kau kurang ajar sekali. Hahaha," batinnya sambil menirukan gaya bicara Amel. Ana tidak sadar semua yang masuk ke dalam toilet memperhatikannya. Dia meringis sambil merapikan rambutnya. Keluar sambil berjalan dengan percaya diri. Dia lupa jika Gracia masih mengejarnya."Kau!" tunjuk Gracia segera mendekati Ana."Ah, aku lupa ama mahkluk satu ini," gumamnya semakin membuat Gracia geram. Wanita itu seperti biasanya akan menampar Ana. Plak!"Rasakan," ucap Gracia puas. "Kau belum tahu berhadapan dengan siapa, wanita murahan," lanjut Gracia tersenyum puas. Dia berkacak pinggang sambil menginjak tubuh Pen yang tersungkur di lantai."Gracia!" teriak Anggara keras. Wanita itu mendadak menolehkan pandangan ke belakang. Tangan yang semula ada di pinggang rampin
Ana membuat kedua lelaki yang semula berwajah semringah di hadapannya, seketika terdiam kaku. Lelaki kembar itu tidak menyangka akan bertemu wanita yang selama ini tidak mau mereka lihat. Wanita yang mengetahui semua rahasia hebat yang mereka simpan. Hingga kini mereka benar-benar tidak menyangka. Bertemu Penelope, berarti sama saja dengan mimpi buruk mereka."Kenapa kita bertemu wanita ini? Bukankah kau sudah memastikan dia menghilang? Kenapa kau bodoh!" umpat salah satunya. Dia menjitak kepala saudara kembarnya yang hanya menggaruk-garuk kepalanya.Ana berjalan cepat. Berhadapan langsung dengan kedua lelaki yang ada hubungannya dengan Penelope. Lelaki kembar itu mendadak mengangkat dada dan wajah. Mereka tidak mau terlihat ketakutan. Menganggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun."Ya, ada apa Penelope? Apa Raden Anggara sudah bisa kita temui? Apa jadwalnya kosong?" Mereka masih berusaha santai berhadapan dengan Ana."Kalian ... tidak bisa membohongi gelagat itu. Apa kalian pik
Joko buru-buru mengikuti Ana masuk ke dalam mobil. Dia resah menatap Ana yang berubah menjadi pendiam. Pertama. Joko tahu masa lalu itu, dan sebaiknya menceritakan semuanya. Kedua, dia juga ingin masalah Anggara dan Penelope segera terselesaikan."Jadi, aku memang harus cerita semuanya? Kau benar-benar sudah siap?" "Tentu saja iya!" sela Ana menggebu. Joko sampai tersentak. "Baiklah, aku akan cerita. Ok, dengarkan."Joko menepikan mobil di pinggir pantai. Dia menekan tombol, membuat atap mobil terbuka. Ana menganga, bahkan tidak berkedip."Argh ... kau ... menyebalkan." Ana mendengus kesal. Dia menempuk pundak Joko sambil menggeleng."Oke, oke. Kalau begitu dengarkan baik-baik."Ana mengernyit saat menatap wajah Joko yang semakin teduh. Ada rahasia besar yang akan terungkap. Joko mulai membuka mulutnya dan cerita. Ana semakin terpaku mendegarnya.Ketika itu Joko menyelamatkan Pen dan membawa ke apartemennya. Dia mendengarkan Pen bercerita sambil menangis. Pen sangat bersedih, ketika