Miranda mengibaskan tangan. “Tidak ada, sayang. Kendrik memang jahil, dia senang membuat lelucon tentang kami. Tapi sesungguhnya ini memalukan dan tidak sopan.”
“Kita selesaikan nanti, Kendrik. Jangan kekanak-kanakan seperti ini!” Sorot mata Ferry menyiratkan sesuatu yang lain.
Alana penasaran video apa yang Kendrik miliki sehingga membuat kedua mertuanya berang.
Kendrik meminta maaf lalu meminta handphonenya kembali.
Sebelum menyerahkannya, Miranda menghapus video tersebut lebih dulu.
Alana terus menatap Kendrik, meminta penjelasan. Namun, Kendrik hanya mengangkat kedua bahunya.
Miranda lantas merangkul Alana, mengajaknya mendekat ke jendela ruang perawatan putranya.
“Sekarang kita fokus pada keadaan Nathan. Cucu kesayangan Mama itu pasti akan baik-baik saja.” Miranda mulai tergugu, dia menangis yang justru membuat Alana risi padanya.
Tangis Miranda semakin mengaung, suaminya sigap menenangkan. Kedua orang tua penuh drama tersebut lalu duduk sambil berpelukan.
Kendrik memperhatikan bagaimana ekspresi kesal tercetak jelas di wajah Alana.
Kendrik mendekat kemudian membisikkan sesuatu, “Tahan dirimu, Lana. Bersikaplah sebagaimana biasanya.”
Alana refleks berdecak kesal. “Lebih baik aku mencari angin segar dengan menjauh dari dua penyihir itu,” ketus Alana bergumam. “Kamu jangan kemana-mana. Jaga Nathan untukku,” lanjutnya sambil lalu.
.
Setelah membeli kopi, Alana duduk termenung di taman dekat parkiran. Dia merasa bersalah harus meninggalkan ruangan tempat putranya dirawat. Tetapi, jika tidak seperti itu Alana justru takut jika dia tidak bisa menahan diri terhadap Miranda dan Ferry.
Alana mengembuskan napas panjang, kepalanya berdenyut-denyut dengan pikiran yang kusut.
Cukup lama Alana memandang cangkir kopi di tangannya yang sudah mulai dingin sampai akhirnya dia meneguknya, berbarengan dengan itu, sepasang mata Alana menangkap sesosok yang sangat familiar turun dari sebuah mobil.
Alana tersedak, kopi yang menghambur dari mulut bahkan sampai mengotori bajunya.
“Astaga, sial!” pekiknya, dia berdiri. Pandangannya kembali fokus pada Lukas yang datang bersama Yasmin.
Dada Alana kembali memanas, dia meremas cangkir yang masih menyisakan cairan di dalamnya.
Takut Lukas dan si wanita bisa menangkap kehadirannya, Alana segera bersembunyi di tempat yang lebih tertutup.
“Lukas brengsek! Dia berani membawa wanita jalang itu ke sini?” Alana tidak habis pikir.
Sejurus kemudian, Alana membuntuti mereka menuju bangunan rumah sakit.
Lukas dan Yasmin berpisah di dekat front office. Mereka berpelukan, tidak lupa Lukas mengecup singkat pipi wanita pujaan hatinya.
Alana yang menyaksikan dari kejauhan marah sampai ke ubun-ubun. Dia cemburu sekaligus jijik.
Bayangan singkat tentang Lukas yang selama ini selalu memperlakukan dirinya dengan romantis terlintas di benak Alana.
“Bajingan!” geramnya tertahan.
Alana kembali membuntuti Yasmin, ternyata wanita itu pergi ke sisi lain rumah sakit. Sepertinya Yasmin akan menunggu Lukas.
Sebagai wanita cerdas, Alana tentu akan mengambil tindakan dengan hati-hati dan penuh perhitungan.
Alana memotret Yasmin beberapa kali, setelahnya, dia mengirim pesan pada anak buah keluarganya yang tempo hari dipercaya mengurus pemakaman Kakek Bramanta.
“Bersiaplah. Kedamaian hidupmu akan segera berakhir!”
*
1 minggu kemudian, pengacara kakek Bramanta meminta seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan persoalan pembagian harta warisan.
Dalam kurun waktu singkat namun terasa sangat berat untuk Alana jalani, dia tetap berupaya menjalankan peran sebagai istri, ibu, dan menantu seperti biasanya.
Bedanya, Alana mulai sering bepergian untuk mencari ketenangan sebatas agar dirinya masih bisa waras.
Terbukti dengan hari ini Alana menjadi orang terakhir yang tiba di ruang pertemuan, untungnya dia tidak sampai terlambat.
Alana menatap satu kursi kosong di seberang. Dia memang sudah menduga bahwa Bibinya tidak akan datang ke sana.
“Kemana dulu kamu, sayang? Bukannya Kafe teman kamu tidak terlalu jauh dari sini? Kamu hampir terlambat, padahal ini hari yang penting.” Lukas menyambut istrinya dengan pertanyaan yang membuat Alana ingin mengumpat.
Miranda mendengar ucapan anaknya. “Kamu tidak akan mengerti, Lukas. Saat para wanita sudah duduk bersama, maka mereka akan lupa waktu saking serunya mengobrol. Benar begitu, sayang?” Miranda terkekeh membela menantunya, bertingkah seolah ibu mertua yang amat pengertian.
“Lukas mana tahu, Ma. Dia kan robot. Waktunya habis hanya untuk bekerja,” sahut Alana menyindir.
Jika dulu obrolan macam itu akan terasa hangat dan seru untuk dibahas, kali ini justru Alana muak.
Untungnya, pengacara senior yang akan membacakan surat wasiat mulai mengambil alih perhatian semua orang.
Pengacara memberikan masing-masing orang yang ada di sana satu lembar kertas yang merupakan salinan dari surat wasiat utama.
Lukas dan kedua orang tuanya sungguh tidak tahu malu, mereka tampak girang saat mulai membaca isi di dalamnya.
Berbeda dengan Alana, dia spontan menggebrak meja. Sontak semua terdiam.
Alana terpaku beberapa detik, tidak sadar sudah bereaksi demikian.
“Apa maksud Kakek? Ini ….” Aliran darah Alana berdesir hebat, suaranya tercekat di tenggorokan.
Lukas merangkul pundak Alana, memintanya untuk tenang.
“Apa yang salah, sayang? Bukankah kakek sangat tahu bahwa kita saling mencintai dan melengkapi satu sama lain? Mungkin itu sebabnya kakek sampai menulis surat wasiat ini.”
Kali ini Alana tidak bisa mengontrol diri. Dia tidak mengerti kenapa kakeknya sampai menuliskan hal semacam itu.
Ferry dan Miranda saling bersitatap, mereka seperti menangkap kegelisahan dari Alana.
“Bu Alana, Pak Bramanta hanya tidak mau terlalu membebani anda. Kalau bukan Pak Lukas, siapa lagi yang bisa membantu anda mengelola perusahaan? Anda tidak memiliki anggota keluarga lain yang bisa diandalkan.” Pengacara membuka suara melihat kekecewaan Alana.
Kakek Bramanta meninggalkan wasiat yang berbunyi bahwa Alana akan mendapatkan saham perusahaan saat dia masih menjadi istri sah Lukas. Artinya, jalan Alana untuk menyingkirkan Lukas dan keluarganya dari kehidupannya akan semakin terjal.
“Apa kamu merasa aku tidak berhak atas wasiat dari kakek?” Lukas menarik kedua tangan Alana yang terkepal di atas meja.
Lukas mencium tangan Alana lembut. Terbawa suasana hati yang buruk, Alana menarik kasar tangannya, tidak sudi disentuh oleh seseorang yang bermain kotor di belakangnya.
Lukas terkejut, dia mengerutkan kening dalam-dalam.
Alana berdiri siap meninggalkan ruangan. Tapi langkahnya terhenti ketika pengacara mengangkat sebuah amplop berwarna hitam yang sejak tadi tersembunyi di bawah map dokumen.
"Maaf, ada satu lagi," ucapnya hati-hati.
"Ini ditulis langsung oleh Pak Bramanta. Beliau memerintahkan agar surat ini hanya dibacakan jika kondisi kematiannya ... dianggap mencurigakan."
Suasana ruangan menegang.
Tidak tinggal diam, Miranda berkata, “Mencurigakan bagaimana? Sudah jelas kematian Pak Bramanta karena sakit yang dideritanya. Faktor usia juga tidak bisa dibantah.”
"Betul. Tetapi saya hanya menjalankan tugas saya sesuai permintaan beliau,” sahut pengacara.
Pria yang duduk di depan semua orang itu kemudian menghela napas. "Maka saya wajib membacakannya sekarang. Betul begitu, Bu Alana?"
Alana menoleh cepat. Lukas mengeraskan rahang. Miranda menggigit bibir. Sementara, Ferry diam memperhatikan.
"Jika kamu mendengar wasiat ini, berarti dugaanku benar. Aku tidak mati karena takdir. Aku dibunuh. Dan pelakunya ... ada di antara kalian yang sedang mendengarkan ini." Suara pengacara terdengar berat.
Lukas terhenyak. Miranda seketika memegang lengan Ferry.
"Kebenaran tidak akan lama terkubur. Alana, kamu harus menemukan apa yang tersembunyi. Jika tidak, kamu akan menyusulku."
Pengacara berhenti. Dia tampak ragu membaca sisa kalimat berikutnya.
Alana berdeham, perasaanya campur aduk. "Lanjutkan …."
Sebelum sang pengacara membuka mulutnya lagi, pintu ruangan terbuka lebar.
Dua orang yang tidak diundang tiba-tiba datang.
Berdasarkan hasil rapat, dewan direksi dan para pemegang saham setuju untuk melakukan pemungutan suara guna menentukan siapa yang berhak menduduki posisi CEO di perusahaan Golden Stone Corporation.Lukas sempat menampik keputusan tersebut karena CEO sebelumnya, yang tidak lain adalah Kakek Bramanta sudah memberinya mandat dengan menjadi CEO pengganti, yang mana hal tersebut sudah membuktikan bahwa Lukas layak dan berhak berada di posisinya saat ini.Akan tetapi, jajaran direksi mematahkan alibi Lukas dengan mengatakan bahwa mereka memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan.Alana puas, dia pulang dengan satu kemenangan di tangan. Dua Minggu lagi Alana dan Lukas sama-sama akan melakukan presentasi di depan orang-orang yang memiliki kendali di perusahaan.Mereka akan bertarung menentukan siapa yang memang layak menjadi penerus perusahaan batu mulya tersebut.Sayangnya, Alana masih memiliki PR yang tidak kalah penting, dia masih belum bisa meyakinkan Ketua
[Aku menemukan invoice yang agak mencurigakan. Cepatlah datang ke sini.] Membaca pesan lanjutan dari Alana, Kendrik menelan ludah, dia lalu menyalakan mesin mobil dan beranjak dari sana. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak.Beberapa waktu kemudian, Kendrik tiba di sebuah apartemen yang terletak di dekat perbatasan antara kota Jakarta dan Bandung.Seorang wanita muda membukakan pintu. Sejenak, lelaki itu termangu melihat wajah seorang gadis yang cukup menarik perhatiannya. Gadis dengan perawakan mungil, kulit kuning langsat, berwajah manis dengan hidung bangir dan bibir tipis.“Silakan masuk, Pak. Anda pasti Pak Kendrik, kan?” Si gadis membuat Kendrik tersadar.“Ehem.” Kendrik berdeham. “Iya, saya Kendrik. Terima kasih.” Pria itu mengatakannya sambil melangkah masuk.Begitu masuk ke ruangan utama, Kendrik melihat Alana duduk terpekur di depan komputer. Alana tampak serius dengan dua orang pemuda yang juga sedang fokus menatap layar laptop masing-masing.“Ternyata d
Setelah sambungan telepon terputus Lukas mengirimkan lokasi sebuah rumah sakit. Alana memberitahu ke mana tujuan mereka saat ini pada pria yang duduk di kursi kemudi.Setengah jam kemudian, Alana sampai. Dia menggendong Nathan yang masih mengantuk. Lukas ada di luar, sepertinya dia tidak sabar menunggu Alana. Begitu mereka bertemu, Lukas langsung memeluk Alana berikut putranya.Alana mematung. Dia sampai harus menahan napas karena Lukas memeluknya begitu erat.Merasa terhimpit, Nathan bangun. Dia mengucek mata dengan punggung tangan. Lukas merenggangkan pelukan. Dia mengecup pipi Nathan, lalu Alana. Sialnya, Alana refleks menjauhkan wajahnya.Lukas mengernyitkan kening. “Kenapa?”Lidah Alana kelu. Bodoh, pikir Alana. Dia mestinya bersikap biasa saja, bahkan seharusnya dia sedikit berakting dengan pura-pura khawatir karena Lukas tiba-tiba memintanya datang ke sana.Nathan turun dari gendongan ibunya. “Siapa yang masuk rumah sakit, sayang?” Alana mengalihkan pembicaraan.Lukas membuan
Alana yang tidak mampu mengutarakan tawarannya membuat waktu bergerak lambat menciptakan atmosfer yang tidak nyaman. Kendrik memutuskan keluar agar dapat berpikir jernih dengan menghirup udara segar.Alana yang terdiam di dalam mobil melihat koper hitam di tempat duduk Kendrik sebelumnya. Dia sudah memulai, otomatis harus berani menyelesaikan, termasuk mengambil risiko sebesar apa pun.Wanita dengan kulit wajah pucat dan tatapan mata sayu itu mencibir dirinya sendiri yang malah ragu-ragu dalam bertindak. Alana ikut keluar. Dia berdeham lalu berkata, “Ada banyak rencana besar bahkan gila yang sudah tersusun rapi di kepalaku. Sayangnya, aku terlalu pengecut.”Kendrik berpangku tangan. Rambutnya yang sedikit panjang lagi ikal diterpa angin sore. “Aku tahu kamu pasti sangat muak dan marah atas segala hal buruk yang terjadi. Tapi, itu bukan berarti kamu boleh menjadi orang yang kehilangan hati nurani.”Alana terdiam.Kendrik mengembuskan napas panjang, tangan kanannya menyugar rambut yang
Pintu yang terbuka lebar memperlihatkan dua orang berpakaian sipil yang diikuti oleh seorang karyawan di kantor pengacara tersebut. Salah satu dari mereka mengeluarkan kartu identitas polisi.“Selamat siang. Kami dari Satuan Reskrim Polres Kota. Saudari Miranda Arvenzo, anda ditangkap atas dugaan tindak kekerasan terhadap saudari Citra Ayu,” ungkap petugas seraya memperlihatkan surat penangkapan.Seisi ruangan tersentak. Miranda nyaris kehilangan keseimbangan, untungnya Ferry sigap menahan istrinya.Lukas tidak percaya, dia membaca surat perintah penangkapan yang dibawa petugas.“Pasti ada kesalahan. Tidak mungkin,” racau Miranda. Dia bersembunyi dalam dekapan suaminya.Lukas menatap kedua orangtuanya, meminta penjelasan.Alana menyaksikan segalanya dengan kepala yang penuh tanya. Dia tidak bisa mengasumsikan apa-apa.Satu petugas yang lainnya bersiap membawa Miranda yang bersikukuh tidak mau beranjak. “Silakan ikut kami ke kantor untuk dimintai keterangan lebih lanjut.”“Saya tidak b
Miranda mengibaskan tangan. “Tidak ada, sayang. Kendrik memang jahil, dia senang membuat lelucon tentang kami. Tapi sesungguhnya ini memalukan dan tidak sopan.” “Kita selesaikan nanti, Kendrik. Jangan kekanak-kanakan seperti ini!” Sorot mata Ferry menyiratkan sesuatu yang lain.Alana penasaran video apa yang Kendrik miliki sehingga membuat kedua mertuanya berang.Kendrik meminta maaf lalu meminta handphonenya kembali.Sebelum menyerahkannya, Miranda menghapus video tersebut lebih dulu.Alana terus menatap Kendrik, meminta penjelasan. Namun, Kendrik hanya mengangkat kedua bahunya.Miranda lantas merangkul Alana, mengajaknya mendekat ke jendela ruang perawatan putranya.“Sekarang kita fokus pada keadaan Nathan. Cucu kesayangan Mama itu pasti akan baik-baik saja.” Miranda mulai tergugu, dia menangis yang justru membuat Alana risi padanya.Tangis Miranda semakin mengaung, suaminya sigap menenangkan. Kedua orang tua penuh drama tersebut lalu duduk sambil berpelukan.Kendrik memperhatikan