Prolog

"Alexia, menikahlah denganku..."

Pria itu mengulas senyum tipis yang tulus, tak perlu diragukan dari caranya berlutut sembari mengutarakan hal yang ingin dikatakan. Sekalipun kini mereka berdua tengah berada di tengah-tengah badai pasir serta kobaran api yang berhembus dari sekian banyak perumahan di pemukiman setempat dan para manusia yang berlarian karena takut sekaligus panik. Kenyataan aneh luar biasa ketika pria itu justru mengajukan pertanyaan bodoh pada situasi yang amat genting.

Alexia jelas bimbang, kalau dirinya menolak, badai mungkin akan berlangsung lebih lama disertai kobaran api yang membesar dan merambat kemana-mana tanpa pandang korban. Tapi kalaupun diterima, akankah semuanya kembali seperti semula?—terlebih memikirkan masa depannya atau lebih pantas disebut waktu sisa hidup yang tidak menentu. Apa itu akan berakhir lebih buruk dari yang diperkirakan selama ini?

Dengan segenap keberanian dan hembusan nafas penuh kepercayaan diri, Alexia mengulurkan telapak tangannya ke atas kepala pria itu, menepuk pelan sesekali mengusak lembut seperti tuan memperlakukan hewan peliharaannya agar menjadi penurut.

Ia kembali terdiam mengingat betapa naas nasib seseorang yang terbujur kaku di samping kakinya dengan kondisi berlumuran darah, remasan Alexia pada surai legam tersebut menguat.

Sontak iris mata pria itu berubah runcing membentuk garis seperti predator berbahaya. Tampak ia menyadari perubahan kepercayaan diri Alexia, terlebih sempat memergoki gadisnya menoleh pada mayat manusia yang baru saja dikoyak oleh taring-taringnya. Tidak ada yang boleh mengalihkan perhatian darinya, karena itu sudah dianggap melewati batas.

"Sudah cukup, Alexia, bagaimana jawabanmu?" ia bangkit berdiri, menepis kasar tangan gadis yang masih berusaha menyentuh kepalanya seperti mengusak bulu labrador. Ia sadar Alexia baru saja menakhlukan kelemahannya, yaitu diperlakukan seperti binatang—dan jujur saja, dirinya tak bisa menolak karena kenyataannya ia adalah bagian dari sejenis hewan buas itu sendiri.

Alexia meneduhkan pandangan, berusaha mencari belas kasih sekalipun ia harus melakukannya dengan cara menjilat, "Kau baru membunuh temanku, merusak rumahku, dan menghancurkan lingkungan tempat tinggalku. Bagaimana menurutmu perasaanku sekarang?"

Pria itu menggulirkan bola mata malas, "Aku tidak peduli, mau bagaimanapun kau adalah perempuan yang ku cari selama ribuan tahun berlalu, tak akan ku lepaskan sedetikpun!" bentaknya, "Apapun jawabanmu, aku akan menganggapnya sebagai persetujuan."

"Izinkan aku mengatakan ini," Alex menggigit bibir, "Kau akan menyesal Christopher! Kau akan menyesal!"

TBC