Seketika semua orang tertuju pada Allea yang menangis karena tidak mau maju ke depan kelas untuk diberikan penghargaan dari sekolah, bukan hanya pengasuhnya saja yang mencoba membujuknya tetapi bocah tersebut masih tidak mau untuk ikut berjajar dengan murid berprestasi lainnya. "Ya sudah, tolong wakilkan sama Ibu saja," kata wali kelas Allea. "Baik, Bu," ucap Inah yang kemudian ikut berbaris di depan kelas bersama kedua murid berprestasi serta orang tua mereka. Pemberian hadiah diberikan dari juara tiga terlebih dahulu, lalu ke juara dua dan terakhir untuk juara satu diwakilkan oleh Inah yang sudah berdiri di depan kelas. Bahkan wali kelas Allea sudah memegang piala dan bingkisan untuk sang juara. "Tunggu!!!" Suara bariton menggema yang menjadi perhatian. "Uncle?" gumam Allea. Kini semu mata tertuju pada laki-laki yang membawakan buket boneka, permen dan cokelat yang lucu. Ia tersenyum pada wali kelas Allea untuk meminta ijin masuk, kemudian berjalan menuju gadis kecil yang seper
Kenan memberikan Allea pada Inah supaya digendong. Sementara ia berlari meraih tubuh Nayla yang tergolek di lantai. "Nay? Nayla? Kamu kenapa?" Kenan mencoba menepuk-nepuk pipi Nayla perlahan, tetapi wanita itu masih memejamkan matanya rapat-rapat dan tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Tentu saja Kenan menjadi panik, tanpa memikirkan apa-apa lagi ia menggendong tubuh Nayla dan merebahkannya di kasur. Sementara Inah mendudukkan Allea di dekat ibunya untuk ia tinggal mengambil kotak P3K. "Mom? Mommy, bangun, Mom." Allea membangunkan ibunya bersama air mata yang tertumpah. "Ini kotak P3K-nya, Tuan, di sana ada minyak angin yang mungkin bisa membantu untuk menyadarkan Non Nayla dari pingsannya," ujar Ijah setelah memberikan kotak itu pada Kenan. "Makasih, Bi." Kenan mengambil minyak angin tersebut di dalam kotak P3K. Perlahan ia membubuhkannya pada secarik kain kecil, lalu mendekatkan pada hidung Nayla. Bersyukur Nayla siuman, Kenan dan Allea menyunggingkan senyum menyambut kesadaran
Kenan merencanakan berlibur dengan Nayla dan Allea ke Puncak Bogor. Ia mempersiapkan segalanya termasuk urusan kantor yang diserahkan pada asistennya di kantor, tetapi ia tidak lepas dari tanggung jawab, Kenan masih membawa laptop untuk mengerjakan tugas kantor melalui internet. Tentu saja Allea senang karena akan berlibur ketika kenaikan kelas. Apalagi ia mendapat juara satu di kelasnya sehingga membuat Nayla dan Kenan semakin bangga memilikinya. Ia anugerah yang tidak diinginkan oleh sang nenek, tetapi ia begitu disambut baik oleh kedua orangtuanya. Mungkin ia bagaikan noda, tetapi noda yang menciptakan banyak warna dalam hidup. Noda yang memberikan banyak pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi. Malam tiba. Nayla berangkat ke bar setelah Allea terlelap. Seperti biasanya ia mencium kening putrinya sebelum bekerja. Sudah lebih dari enam tahun Nayla tidak bisa tidur menemani putrinya. Mungkin bisa dihitung memakai jari ketika ia menemani tidur putrinya karena Nayla lebih sering masu
Setelah perbincangan panjang lebar bersama Madam Sahara, akhirnya Nayla sekalian pamit meminta ijin untuk beberapa hari tidak masuk kerja. Ini kali pertama ia meminta libur cukup panjang setelah lebih dari enam tahun bekerja di bar. "Oke, saya ijinkan. Selamat bersenang-senang, Nay. Tidak usah memikirkan hal lain, cukup pikirkan keinginan dan masa depanmu," ucap Madam Sahara. *** Fajar telah bangkit dari peraduannya, menggantikan eksistensi rembulan yang sudah lelah menjelang pagi. Bersama warna kuning keemasan sang fajar memeluk bumi. Inah sudah menyiapkan keperluan apa saja yang dibutuhkan oleh majikannya. Ia terlihat mengecek ulang agar semua yang ditulis oleh Nayla sudah ada dalam koper. Sedangkan Nayla sibuk membangunkan Allea. "Ayo, Sayang. Hari ini kita akan jalan-jalan," ucap Nayla membangunkan putri kecilnya. "Mataku masih ngantuk, Mom," kilah Allea. "Kita mau pergi ke mana si? Kok, pagi banget," keluh Allea. "Nanti Lea tau, pokoknya pemandangannya indah, Lea pasti suka
Kenan tersenyum sepanjang jalan melewati setiap sudut vila saat keluar dari kamar utama menuju halaman untuk mengambil koper yang ada di mobilnya. Langit saat ini cukup cerah dan cuaca di Bogor memang cukup dingin meskipun siang hari. Ia membayangkan indah sekali kalau sampai dirinya, Nayla dan Allea bercanda di atas ranjang seperti keluarga kecil yang harmonis dan bahagia. Setelah koper dan barang-barang lain sudah berada di tangan, akhirnya Kenan kembali ke kamar dengan imajinasi membahagiakan di dalam otaknya. "Daddy sudah ba––" ucap Kenan terhenti saat melihat di dalam kamar sudah kosong. "Ke mana mereka?" gumam Kenan setelah meletakkan koper Nayla di kamarnya. Kenan mendekat ke jendela, lalu membuka tirai kamar yang masih tertutup gorden putih. Cahaya mentari kini menerangi kamar dengan leluasa dan ia melihat sosok bidadari di pinggir kolam. Dua bidadari berbeda usia, tetapi wajah mereka sama-sama cantik di mata Kenan. Saat ini hanya Nayla dan Allea yang ia prioritaskan dalam
Sedikit demi sedikit semuanya terkuak meski sesungguhnya Kenan belum percaya sepenuhnya tentang apa yang ia dengar. Namun, tidak mungkin juga Nayla berbohong padanya apalagi hingga memfitnah ibunya. Berkali-kali Kenan meminta maaf, tetapi hal ini tidak dapat menyembuhkan luka terlebih Kenan bukanlah orang yang bersalah. "Sudah, Kak. Hal ini sudah berlalu, sesungguhnya aku hanya ingin hidup tenang tanpa dibayang-bayangi ancaman dari mama Kak Ken aja," ucap Nayla. Sesungguhnya terlalu banyak kata-kata dan sumpah serapah yang menyakitkanku dulu, Kak. Tetapi aku tidak ingin menguak kembali rasa sakit itu dan sudah cukup, biar hanya aku yang tau. Nayla berbicara dalam hatinya saat menatap lekat wajah Kenan. "Nay?" Kenan memanggil Nayla saat ia berjongkok di hadapan kekasihnya yang sedang duduk di ayunan."Iya," jawab Nayla."Nikah, yuk!" ajak Kenan dengan binar penuh pengharapan. "Tidak untuk sekarang, Kak. Aku belum memiliki apa-apa." "Tapi aku berkewajiban untuk menafkahi kalian. Ak
Kenan yang baru saja bangun dan membekap mulut Nayla seolah langsung tersadar. Mata sipitnya terbuka meski terlihat bersemu merah. Wajah Kenan semakin mendekat hingga tubuh mereka hampir merapat dan detak jantung Nayla semakin kencang saat wajah mereka sangat dekat. "Ssstttt ... nanti Lea bangun," bisik Kenan tepat di telinga Nayla. Wanita itu mengangguk meski ia sadar sedang mengatur napasnya yang masih memburu. Kenan melepaskan tangannya yang sedang membekap bibir Nayla, perlahan ia merapikan rambut Nayla. Saat ini keduanya masih sama-sama tidur menyamping. Sungguh, hal ini membuat Nayla menjadi tidak keruan akan debar yang sedang ia rasakan. "Kak, jangan macam-macam," gumam Nayla di sela mengatur debar yang semakin menjalar. Kenan tersenyum. "Untuk apa? Dengan seperti ini, pun, aku sudah bahagia. Biarkan aku menikmati wajahmu, Nay. Aku rindu saat menatap wajahmu sedekat ini," ucap Kenan pelan. Hati ingin menolak tetapi bibir enggan bersua. Seolah membiarkan tangan Kenan mema
Allea dan Nayla sama-sama beristirahat dalam kamar, Kenan juga masuk ke kamarnya yang hanya bersisian dengan kamar utama. Nayla menceritakan dongeng untuk Allea hingga akhirnya putri kecilnya tertidur pulas di pangkuannya. Merasa putrinya telah terlelap, perlahan Nayla memindahkan kepalanya ke bantal. Nayla benar-benar bersyukur melihat putri kecilnya tumbuh dengan sehat juga pintar. Tidak terasa kebersamaan dengan putri membuat dirinya tumbuh menjadi sosok yang kuat dan mandiri. Mungkin awalnya Allea bukanlah sosok anak yang didambakan kehadirannya, tetapi setelah tangisnya pecah di ruang persalinan, pada saat itu Nayla bertekad untuk selalu menjaga sekuatnya. Ia tidak ingin anaknya terluka oleh siapapun. Allea tampaknya sudah tertidur pulas, tenggorokan Nayla terasa begitu kering, ia haus dan memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum karena gelas yang ada di nakas sudah ikut mengering. Saat Nayla berjalan keluar dari kamar, tiba-tiba ia mendengar suara gigil dari dalam kamar