Share

Bertemu Kembali

Author: Aksara_Lizza
last update Last Updated: 2025-03-03 13:21:15

Pertanyaan yang diucapkan dengan sedih itu menusuk ke relung hati Liam, membuatnya ikut merasakan kesedihan yang entah bagaimana caranya menjalar ke dalam dirinya.

Suara lirih itu seolah membawa luka yang terpendam, membuat hatinya terhimpit oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Liam menghela napas pelan, mencoba memahami percakapan dua bocah yang hanya bisa ia lihat puncak kepalanya dari balik meja.

Dari obrolan mereka, satu hal yang bisa ia simpulkan—sang ibu telah menyembunyikan sesuatu. Sebuah kebenaran yang barangkali terlalu menyakitkan untuk diungkapkan, terutama tentang sosok ayah mereka.

Saat bersamaan, tatapan Liam tertarik pada selembar foto yang jatuh di lantai, tepat di samping mejanya. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya dengan niat baik untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Namun, ketika tanpa sengaja ia membalik foto itu, dunianya seakan berhenti berputar.

Tangannya gemetar. Napasnya tercekat.

Di sana, dalam lembaran foto berukuran 4R itu, ada dua wajah yang begitu familiar.

Aleena dan dirinya.

Kening Liam berkerut, alisnya bertaut dalam kebingungan yang semakin menghantam dadanya. Foto itu diambil tujuh tahun yang lalu—sebelum ia mengusir Aleena dari hidupnya. Kenangan itu begitu jauh, tetapi luka yang mengiringinya masih terasa nyata hingga kini.

“Terima kasih sudah mengambil foto itu. Tolong kembalikan, Paman. Itu milik kami.”

Liam tersentak. Ia mendongak dan seketika dadanya seolah dihantam sesuatu yang begitu kuat. Berdiri di depannya seorang bocah lelaki dengan wajah yang…

Ya Tuhan.

Bocah itu seperti dirinya ketika masih kecil dulu. Mata yang sama, bentuk wajah yang sama. Bahkan cara bocah itu menatapnya pun seperti refleksi dirinya di cermin masa lalu.

Jantung Liam berdebar tak beraturan.

Saat itulah, ia merasa dunianya sedang dijungkirbalikkan hingga ia tak tahu mana yang nyata dan mana yang ilusi. Tenggorokannya terasa kering saat pertanyaan getir meluncur dari bibirnya tanpa ia sadari.

“Siapa namamu?”

Bocah itu, yang kini ia tahu bernama Aiden, hanya menatapnya tanpa ekspresi sebelum akhirnya menjawab dengan ketus. “Tidak mau. Mommy bilang, jangan memberitahu nama pada orang asing. Nanti akan diculik!”

Di sudut ruangan, seorang gadis kecil yang sejak tadi duduk di kursinya ikut menyaksikan interaksi kakaknya dengan Liam.

Gadis kecil itu bangkit dan melangkah mendekat, berdiri di samping bocah lelaki yang kini memenuhi kepala Liam dengan sejuta tanda tanya.

“Tumben sekali kau menuruti apa kata Mommy,” komentar gadis itu dengan nada mencemooh.

Ucapan itu membuat si bocah lelaki mendelik sebelum tanpa ragu menarik kuciran rambut si gadis kecil. “Aw, sakit, Aiden!” seru si gadis, mengusap kepalanya yang ditarik oleh kakaknya dengan ekspresi kesal.

“Hei, hei, jangan bertengkar."

Seumur hidupnya, Liam merasa kesulitan untuk akrab dengan anak kecil selain keluarganya sendiri.

Namun, anehnya, kali ini ia merasa cukup luwes saat harus turun tangan memisahkan dua bocah yang sedang berseteru di hadapannya.

Tangan kirinya dengan sigap merangkul bahu Eve, menariknya menjauh dari Aiden yang masih bersemangat menyerang.

"Nama dia Aiden, Paman,” ujar Eve dengan suara kecil namun tegas, meskipun pipinya masih kemerahan akibat amarah yang belum sepenuhnya reda. "Dan namaku Evelyn, panggil saja Eve."

Belum sempat Liam mencerna informasi itu, Aiden tiba-tiba kembali menarik kucir rambut Eve dengan gerakan cepat dan usil.

Mata bocah laki-laki itu menyipit penuh kecurigaan, seolah Liam adalah penyusup yang tak seharusnya berada di sana.

"Aku sudah bilang padamu jangan memberitahu nama kita pada orang asing, Eve!"

Mata Eve langsung membelalak, bibirnya bergetar sebelum akhirnya ledakan tangisnya pecah tanpa peringatan.

"Huwaaaa, Aiden jahat!!!”

Liam sontak terbelalak, terkejut dengan tangisan yang begitu mendadak dan nyaring. Suara Eve menggema, memenuhi ruangan dengan isakan memilukan.

Gadis kecil itu mengucek matanya yang basah dengan tangan kecilnya, sesenggukan dalam kemarahan dan kepedihan yang hanya bisa dirasakan oleh seorang anak yang baru saja dikhianati oleh saudaranya sendiri.

“Huu! Dasar cengeng!” ejek Aiden tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat dengan ekspresi sok berkuasa.

Liam menghela napas panjang, merasa seolah dirinya berada dalam situasi yang jauh di luar kapasitasnya.

Di hadapannya, ada seorang bocah laki-laki yang entah kenapa wajahnya terasa familiar—berwajah bandel dan angkuh, dengan tatapan yang tajam dan penuh tantangan.

Di sisi lain, ada gadis kecil yang tak kalah mirip dengannya, menangis dengan pipi basah dan mata yang kini merah karena terlalu banyak digosok.

Dan kini, seolah semua belum cukup kacau, langkah kaki yang terdengar dari belakang membuat ketiganya secara reflek menoleh.

Suara ketukan sepatu bertemu dengan lantai kayu memberikan ritme yang tenang, sebelum akhirnya pemiliknya muncul dengan ekspresi panik yang terukir jelas di wajahnya.

Seorang perempuan dengan setelan kasual yang stylish—tipe wanita urban yang tetap anggun meski dalam kesibukan—berjalan cepat ke arah mereka.

Rambutnya tertata rapi, meski beberapa helai tampak sedikit berantakan, menambah kesan bahwa ia datang dalam keadaan tergesa-gesa.

"Eve?" Suaranya dipenuhi kepanikan, dan tanpa berpikir dua kali, ia langsung berjongkok untuk melihat wajah anak perempuannya lebih dekat.

Matanya menyapu wajah Eve dengan cermat, mencari tanda-tanda luka atau sesuatu yang membuat putrinya menangis begitu keras.

“Ada apa denganmu, Eve?”

Namun, sebelum Eve sempat menjawab, Aiden sudah lebih dulu menunjuk lurus ke arah Liam dengan dramatis.

"Paman ini mau menculik kita, Mommy!"

Liam langsung membelalak. “Apa?!”

“No, Mommy!” Kali ini Eve-lah yang bersuara lebih dulu. Ia bergegas memeluk kaki ibunya erat-erat, seolah takut jika sang ibu benar-benar mempercayai omongan Aiden.

“Aiden berbohong. Aiden juga mengambil foto Mommy dan Daddy di kotak milik Mommy.”

Sejenak, keheningan yang canggung mengisi udara. Mata perempuan itu membulat, ekspresinya seketika berubah.

Dalam sedetik, sorot matanya yang awalnya penuh kekhawatiran kini justru dipenuhi keterkejutan yang lebih dalam.

“Aleena?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Kembar Milik Sang Cassanova   Permainan belum Selesai, Aleena

    Aleena menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa datang dan tiba-tiba mengklaim hak atas mereka! Kau tidak tahu apa-apa soal mereka! Aiden suka dinosaurus, Eve suka bunga matahari, dan mereka punya rutinitas, punya dunia yang tenang tanpamu!”“Dunia yang kau bentuk karena kau takut menghadapiku!” bentak Liam, kini hanya berjarak setengah meter dari Aleena. “Bukan karena mereka tidak butuhku, tapi karena kau tidak ingin aku kembali dalam hidupmu!”Aleena merasakan dadanya sesak. “Karena aku takut… mereka akan mencintaimu. Karena aku tahu, kau selalu bisa membuat siapa pun percaya padamu. Dan saat kau pergi lagi—”“Aku tidak akan pergi,” potong Liam tajam. “Tidak kali ini.”Keheningan menggantung di antara mereka. Suara hujan di luar terdengar samar, denting waktu seolah melambat. Tatapan Liam mengunci mata Aleena, seolah ingin menembus benteng pertahanannya.“Liam, tolong,” bisik Aleena dengan suara bergetar. “Pergilah. Aku mohon... jangan buat semuanya makin rumit.”Tapi pria itu tidak

  • Anak Kembar Milik Sang Cassanova   Perdebatan di Malam Hari

    Sementara itu, Aleena duduk di balkon rumahnya, memandangi langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan basah oleh hujan.Di pangkuannya, Eve tertidur dengan napas teratur, tangan mungilnya menggenggam ujung syal milik Aleena.Di dekat jendela, Aiden duduk dengan serius, matanya menelusuri halaman-halaman buku dongeng kesukaannya. Suasana terasa damai, sejenak seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia.Ponsel Aleena bergetar pelan di sampingnya. Ia menoleh dan meraihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eve. Sebuah pesan singkat masuk, dari nomor yang tak ia simpan:Kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan. Tapi sebagai ayah dan ibu dari dua anak luar biasa.–LiamAleena menatap layar itu lama. Jemarinya gemetar ringan, tapi bukan karena dingin.Ia tahu, pembicaraan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Apa pun yang akan dikatakan Liam nanti, itu akan menja

  • Anak Kembar Milik Sang Cassanova   Membuat Laluna Murka

    Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.Laluna.

  • Anak Kembar Milik Sang Cassanova   Kemarahan Aleena

    Esok paginya, Aleena bangun lebih awal. Ia sengaja menyiapkan sendiri sarapan anak-anak meski tubuhnya masih terasa lelah.Ia ingin menghindari segala kemungkinan bertemu Liam lagi, apalagi setelah ketegangan yang terjadi semalam. Ia tak ingin anak-anak berharap lebih. Dan yang paling penting—ia tak ingin hatinya goyah lagi.Namun rencana tinggal rencana.Saat ia sedang mencuci tangan di dapur, suara bel rumah mengejutkannya. Ia menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul 06.45 pagi. Alisnya langsung berkerut.Ia berjalan ke pintu depan, membuka sedikit tirai di jendela samping—dan jantungnya langsung berdegup kencang. Liam berdiri di sana.Membawa dua kotak makan putih dan dua kantong kecil berisi susu cokelat dengan gambar kartun kelinci di depannya. Susu favorit Aiden dan Eve.Aleena menghela napas panjang sebelum membuka pintu dengan cepat, menahan tubuhnya agar tidak langsung meledak.“Kau pikir bisa masuk semudah itu ke hidup kami?” desisnya kemudian menghadang pria itu sebelum sem

  • Anak Kembar Milik Sang Cassanova   Jangan Bohong Padaku

    Aleena menatap kedua anaknya, lalu Liam. Ia tahu ini awal dari sesuatu yang besar—pertempuran panjang yang tak lagi bisa ia hindari.Tapi melihat tatapan tulus Liam pada anak-anak mereka, hatinya melemas, meski ia mencoba mengingkarinya.Liam masih berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis yang tak bisa disembunyikan.Tatapannya jatuh pada Eve yang menggenggam tangan Aleena erat, dan Aiden yang tampak ragu namun memancarkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.“Ayo cepat, sebelum Om Liam berubah pikiran,” ucap Liam sambil mengedip pada Eve. Suaranya ringan, tapi ada getaran harap yang dalam.Eve cekikikan kecil, dan Aiden menoleh ke arah Liam dengan senyum malu-malu. Ada sesuatu yang berubah dari anak laki-laki itu sejak mereka bertemu Liam—Aleena bisa merasakannya.Aleena tidak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, dengan segudang pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki dan hatinya tak lagi sejalan.Ia menunduk, mem

  • Anak Kembar Milik Sang Cassanova   Sesuatu Terjadi Pada Aiden

    Aleena terpaku. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menghilang. Nama itu—John—keluar dari bibir Liam seperti peluru yang menghantam jantungnya.Ia tak tahu dari mana pria itu tahu, atau seberapa banyak yang sudah ia ketahui, tapi satu hal pasti: Liam tidak main-main.“Apa maksudmu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, matanya menatap Liam dengan campuran ketakutan dan kebingungan.Liam mengendurkan genggamannya, tapi tetap berdiri tak jauh darinya. Tatapannya masih menusuk, namun kini diselimuti aura yang lebih gelap.“Maksudku jelas, Aleena. Pria itu bukan seseorang yang bisa kau andalkan. Dia hanya datang saat keadaan tenang, saat semuanya baik-baik saja. Tapi ketika badai datang, dia akan lari.”Aleena menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Kau tidak tahu apa-apa tentang John!”“Tapi aku tahu segalanya tentangmu,” balas Liam tenang. “Aku tahu bagaimana caramu menyembunyikan luka. Aku tahu nada suaramu ketika kau berpura-pura bahagia. Dan ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status