"Ben, kau darimana saja?" Tanya sang ibunda saat melihat pakaian Ben yang tampak berantakan, dengan kancing yang terpasang asal dan dasi yang menggantung tanpa diikat. Selain itu, wanita paruh baya itu bisa melihat ada bekas kissmark samar di leher putra bungsunya. Jangan lupakan bau parfum vanilla khas wanita yang begitu menyengat menempel di tubuh Ben.Ben membuka matanya sebentar lalu kembali menyimpan tangannya di atas wajahnya, tepatnya di wajah untuk menghindari cahaya silau dari lampu agar tak mengusik waktu istirahatnya."Habis bersenang senang,""Kau mampir ke klub dan menyewa jalang lagi?!" Tanya sang ibu dengan nada marah. Mata wanita paruh baya itu melotot seolah akan keluar dari tempatnya.Pertanyaan dengan nada suara tinggi itu cukup untuk mengusik Ben yang saat ini sedang mencoba untuk tidur. Ben menyingkirkan tangan dari wajahnya dan menatap sang ibu dengan tatapan mengantuk."Hah...aku tak menyewa jalang, Mom. Aku hanya minum wine saja," ujar Ben sambil meregangkan t
"Terra, apa yang kau katakan sayang?" Ivy berkata lembut pada putri kecilnya, mencoba membuat Terra nyaman dan tak merasa disudutkan. Wanita beranak dua itu ingin mengetahui mengapa Terra sampai berkata kasar seperti itu. Karena tak biasanya Terra yang merupakan orang yang jauh lebih ramah pada orang asing dibanding Terry menolak keberadaan Steve yang telah membantu dirinya.Terra menggembungkan pipinya, lalu segera memeluk kaki Ivy dengan posesif, seolah Ivy adalah boneka kesayangannya yang tak boleh dipinjam oleh siapapun.Selain itu, mata hijau milik Terra menatap Steve dengan tatapan tajam, melotot untuk memberikan kesan garang dan juga menakutkan. Tatapan itu tak bersahabat, bagaikan menatap pada musuh yang memiliki dendam kesumat. Lain halnya dengan Terry. Bocah laki laki itu justru memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada pintu apartemen yang terbuka lebar, menampilkan isi apartemen sederhana yang terlihat begitu nyaman dan hangat.Tangannya ia silangkan di depan dada, membe
"Neva?" Tanya Ivy mengulang perkataan Steve dengan nada bingung. Steve menganggukkan kepala dengan semangat. Tatapan matanya terlihat begitu berbinar dengan wajah penuh harap."Iya, Neva Claudia. Apakah kau adalah orang itu?"Wanita beranak dua itu mengerjapkan mata sembari memiringkan kepala. Tak lupa, bibirnya terlihat mengerucut seperti anak bebek dengan alis yang menukik tajam, yang merupakan ciri khas Ivy jika tengah berpikir.Nama itu terasa tak asing di telinga Ivy. Ia seperti pernah mendengar nama itu, tapi tak tahu dimana tempatnya ataupun siapa yang mengatakannya. Wanita beranak dua itu berpikir sebentar, mencoba mengingat hal yang sudah terkubur jauh dalam ingatannya. Tangannya mengepal kuat, bersamaan dengan bergulirnya pupil mata miliknya ke arah kiri atas. Karena tak berhasil mengingatnya, Ivy pun memilih untuk menyerah. Ini terlalu sulit, seperti mencari jarum di tumpukan jerami."Kenapa anda menyangka jika saya adalah Neva?""Karena kau—""Mommy, aku mengantuk," ujar
Ivy mendongak untuk melihat siapa orang yang telah menolongnya dari kejadian mengerikan seperti barusan. Matanya membulat sempurna saat mata hijaunya kembali berpapasan dengan mata amber yang memikat, dengan rambut pirang yang terlihat mencolok dibanding orang di sekitarnya.Orang yang menolong Ivy barusan adalah Kai, pemuda yang menjadi tetangganya dulu. Wajah Kai begitu dekat sehingga Ivy bisa merasakan tamparan napas hangat berbau mint dari pria itu. Wajah Kai menunjukkan raut wajah cemas saat Ivy tak berkata ataupun bereaksi akibat kejadian barusan."Hei, kau tak apa?" Tanya Kai pelan dengan nada selembut mungkin.Pria itu merasa sesak karena para pejalan kaki yang berada di sekitar sana mengerubungi dirinya dan Ivy. Maka dari itu, Kai menggendong tubuh Ivy yang masih terpaku ke sebuah taman kecil yang berada di dekatnya. Terra dan Terry mengikuti Kai —yang menurut mereka orang asing— untuk memastikan Mommy mereka baik baik saja."Ivy? Kau bisa mendengarku?"Ivy tak merespon. Tu
Terry melepaskan pelukannya sebentar agar tercipta jarak diantara keduanya. Bocah laki-laki itu menatap Kai dengan lekat, lalu dengan cepat tangan mungil miliknya mencubit paha milik Kai. Kai meringis dengan aksi yang Terry lakukan padanya."Hei, kenapa aku malah dicubit?" Tanya Kai tak terima. Pria berambut pirang itu segera melepaskan cubitan Terry dari pahanya, lalu mengelus bekas cubitannya dengan perlahan sembari menggerutu kecil berapa menyakitkannya cubitan bocah kecil itu.Terry segera kembali ke sisi ibunya dengan wajah tertekuk, seperti baju yang belum di setrika. Terlihat gurat kecewa yang begitu kentara di wajah tampannya. Wajahnya terlihat layu, tak semangat seperti sebelumnya.Melihat hal itu, Terra segera menghampiri kembarannya sembari menatap Terry dengan mata berkedip lucu. "Kenapa kau terlihat marah?""Bukan apa apa. Ayo lanjutkan perjalanan kita sebelum kita terlambat," ujar Terry dingin, lalu berjalan lebih dulu, meninggalkan ketiganya yang menatap punggung kecil
Ivy berlarian di koridor TK tempat kedua anaknya bersekolah. Wanita beranak dua itu terlihat terkejut setelah mendapat telepon jika salah satu anaknya melakukan kekerasan di sekolah. Ivy bisa memperkirakan jika Terry lah yang mereka maksud, mengingat anak sulungnya itu memiliki sifat yang mudah marah apabila diusik.Ivy bahkan tak mempedulikan dirinya yang masih mengenakan apron berwarna coklat. Kebetulan, Ivy kini tengah bekerja paruh waktu sebagai tukang roti di salah satu toko roti yang cukup terkenal di New York.Ketika berada di depan pintu dengan tulisan "kepala sekolah", Ivy berhenti sejenak untuk menetralkan napasnya yang terasa memburu. Wajah gadis itu terlihat memerah dan penuh dengan keringat karena berlari dari jarak sejauh satu kilometer dari tempatnya bekerja. Tubuhnya terasa panas dengan detak jantung yang berdetak dengan cepat seolah akan keluar dari tempatnya.Setelah dirasa napasnya sudah tenang, Ivy mengetuk pintu tifa kali dengan pelan, seolah takut mengganggu or
"Kenapa kau mendatangiku?"Ben terkejut saat mendapat tamu yang tak terduga ketika dirinya tengah berjibaku dengan pekerjaan yang menumpuk akibat banyaknya tawaran kerjasama yang belum sempat ia periksa.Orang itu tersenyum tipis sembari menertawakan Ben yang mejanya sudah tak terlihat permukaannya akibat banyaknya tumpukan map yang harus ia tangani."Aku diperintahkan oleh kakakku untuk datang menemuimu," balas orang itu santai sembari melangkahkan kakinya menuju sisi sebelah kanan, tempat sofa berada. Tanpa disuruh duduk pun, pria itu langsung mendaratkan bokongnya di sofa berwarna hitam pekat yang begitu mewah dengan menyilangkan kaki, bergaya layaknya bos yang memimpin.Mata ambernya memindai ke seluruh ruangan yang cukup luas ini. Kesan minimalis namun berkelas tampak begitu kental ketika ia masuk. Ruangan ini juga cukup bersih dan rapi, tak seperti ruangan milik kakaknya yang selalu bertebaran kondom ataupun celana dalam milik para wanita yang ia sewa.Tak ada yang spesial sebe
"Ingatlah tentang file itu tuan Clayton. Aku harap anda tak lagi melakukan hal gila demi mendapatkan apa yang anda butuhkan. Jangan sampai tragedi mawar hitam kembali terulang untuk kedua kalinya," ujar Kai setelah sekian lama terdiam sembari menyunggingkan senyuman tipisnya. Pria dengan mata amber itu menikmati setiap detik perubahan ekspresi Ben yang saat ini bercampur aduk, dari marah, sedih, kecewa, bahkan putus asa. Entah kenapa, ada sensasi puas tersendiri untuknya."Baiklah. Aku juga tak ingin tragedi mengerikan itu akan kembali terjadi untuk kedua kalinya. Jangan sampai project kedua ini gagal hingga menelan banyak korban jiwa seperti tragedi mawar hitam dua tahun yang lalu," balas Ben menimpali perkataan Kai.Setelah memberikan bukti berupa selembar foto dan dua buah kertas yang diperintahkan oleh Jayden, pria berambut pirang dengan mata amber itu segera berdiri dari duduknya, lalu meregangkan tubuhnya sejenak, menghilangkan rasa pegal yang entah sejak kapan merayap pada tu