“Pak, bisa saya minta tolong,” ucapku pada Pak Rully saat aku mengajaknya bertemu di sebuah kafe.“Apa?” Pak Rully asyik memainkan sendok diatas kopinya.“Tolong jadikan Sabrina pemeran utama di series itu.”Pak Rully memandangku terkejut. Tangannya berhenti memainkan sendok. “Kenapa?”“Jangan kepo, Pak.”Pak Rully menyentil jidatku. Eh bukan mahram.“Saya produsernya. Kamu jangan semena-mena,” kesalnya.“Idih, memangnya Bapak saya apain?”“Saya serius, Sabia.”“Kalau begitu, datangi Papa saya,” ucapku asal.“Sabia—“ Pak Rully mulai kehabisan kesabaran. Padahal orang sabar anunya lebar. Eh maksudnya rezekinya. Tolong jangan berpikir yang iya-iya.“Agar Mama mau memberi klarifikasi berita yang sedang viral itu, Pak.”Pak Rully tertegun. Aku menunduk.“Jadi...”“Tolong,” pintaku dengan nada memohon. “bukannya aku juga ada hak untuk memilih siapa pemerannya?”Pak Rully mengangguk. “Akan saya pertimbangkan.”“Terima kasih, Pak.”“Sabia—“Aku bergumam menanggapi panggilan Pak Rully.“Apa
“Hapuslah foto itu jika kamu masih menganggap Sabia saudaramu.”Ucapan Papa masih terngiang dikepalaku. Haruskah aku menghapusnya?Lalu bagaimana dengan Mama?Aku menarik napas dalam. Ponsel yang ada ditanganku hanya kuputar saja tanpa berniat membuka layarnya. Papa, Kukuh.Kedua orang itu sama-sama kecewa terhadapku karena postingan itu. Ku buka akun sosial mediaku. Melihat postingan yang sudah mendapat like puluhan ribu dan komentar dengan jumlah yang tak kalah banyak.Bahkan, foto itu sudah direpost oleh akun gosip. Ada macam-macam pro dan kontra. Banyak pula komentar positif yang membela Sabia, ada juga yang menghujatnya habis-habisan.Aku memilih menghapus saja. Urusan Mama, biarkan nanti aku yang mengatasinya. Ku unggah fotoku jaman sekolah.Cantik dari dulu, kok. Bukan hasil operasi plastik.Caption itu kutulis di bawah empat foto yang kuunggah. Tak ku lihat lagi komentar yang muncul dinotifikasi aplikasi itu. Aku mengembuskan napas lega, lebih baik memang seperti ini.“Sabrin
“Jadi kamu yakin akan melakukan ini?”Aku menatap Tante Mirna sendu. Memegang perutku yang kebanyakan lapisannya adalah lemak yang sangat menggemaskan. Duh, kok tak tega, ya?Aku mengangguk ragu.“Kita mulai dengan mengatur pola makanmu,” kata Tante Mirna. “dimulai dari mengatur defisit kalori yang masuk ke tubuh kamu.”“Apa ini akan berhasil?”“Insya Allah jika dilakukan dengan sungguh-sungguh.” Tante Mirna beranjak dari duduknya.Beliau masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian datang kembali dengan sebuah album foto ditangannya.“Lihat.” Tante Mirna menunjukkan sebuah foto.E buset apaan, tuh? Sudah kayak anak Dugong saja.“Itu foto Tante setelah melahirkan.”Astaghfirullah. Berdosa sekali Sabia. Maafkan Sabia yang telah mengatai Tante Mirna anak Dugong, ya Allah. Untung Cuma dalam hati, coba kalau mulutku keceplosan, bisa langsung jadi gelandangan aku.“Tante melakukan defisit kalori dan olahraga.”Mataku berbinar. Harapan itu selalu ada asal kita mau berusaha.Ya ampun. Sabia pu
Jadi—Adam masih ada dendam masa lalu?Kukira dulu adalah kesalahan kecil saat remaja. Toh, bukan aku dan Sabia yang mencelakainya. Tapi, dirinya sendiri yang terus mengganggu kami. Hingga puncaknya, Sabia menyenggolnya hingga masuk got.Loh, salah kami apa?Kami hanya membela diri, kok. Dasar baperan.Laki-laki kok, cemen.Aku tak mau ambil pusing dengan Adam. Masalahku sudah terlampau banyak. Aku melirik Mama yang sedang tertawa bersama Adam. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya lelaki itu mulai melancarkan aksinya.“Sabrina,” panggil Mama. “Sini.” Tangannya melambai menyuruhku untuk mendekat.Dengan malas kulangkahkan kakiku mendekat ke arah mereka. Adam seperti melemparkan senyum mengejek kepadaku.“Kenapa?”“Ini loh, Adam. Mama nggak tahu kalau kalian ternyata satu SMA dulu,” kata Mama antusias.“Kami tak terlalu kenal dekat,” acuhku.“Adam ini keponakannya Pak Yudis, Bri,” kata Mama lagi dengan senyum mengembang.Lalu?“Mungkin setelah series ini, kalian bisa menjalin lag
Napasku terengah-engah. Sepertinya nyawaku tinggal seperempat lagi. “Ya Allah ampuni Sabia kalau banyak dosa,” lirihku.“Jangan berlebihan, Sabia,” ucap Tante Mirna. “Ini minum.” Aku mengambil botol air mineral yang Tante Mirna berikan.“Baru nge-gym satu jam sudah lemah,” ledek Tante Mirna. “Habis ini boleh makan bubur ayam?” tanyaku dengan mata memohon.Tante Mirna menggeleng. “Kita makan bubur oat.”Lagi?Sudah satu Minggu proses dietku berlangsung. Menyiksa?Tidak terlalu buruk. Karbohidrat pagi diganti dengan roti gandum atau oat.Siang aku makan nasi hanya 100 gram. Lauknya masih seperti biasa.Malam, terkadang makan nasi atau hanya protein seperti ayam ungkep dan sayur.Untuk sesi camilan, Tante menyediakan camilan diet atau buah-buahan.Dan tadi pagi setelah buang air besar, dengan perut kosong Tante Mirna menyodorkan timbangan. Hasilnya?Hayooo penasaran ya?Berat badanku turun 2 kilogram.Hahay. Sebentar lagi Sabia akan glow up. Lisa blackpink bakalan lewat, yakin deh.
“Kamu yang fokus dong, begitu saja nggak becus!” Seru Pak Yudis saat aku memerankan satu adegan.Padahal aku sudah melakukannya dengan maksimal, tapi tetap saja salah dimatanya. Apa dia tidak tahu kalau aku juga lelah?Beberapa pasang mata menatapku iba. Ada juga yang menatapku kesal karena tak kunjung istirahat gara-gara ulahku yang selalu melakukan kesalahan.Aku melirik Mama yang juga kelihatan kesal."Beginilah kalau ambil artis yang baru netas, susah ngajarinnya," keluhnya lagi.Lalu bagaimana dengan keponakannya sendiri? Bukankah Adam juga baru masuk ke dunia entertainmen?Aku masih ingat bagaimana Adam beberapa kali melakukan kesalahan, tapi seolah Pak Yudis justru memakluminya. Sangat ketara pilih kasih. Apa karena Adam keponakannya sendiri?Aku menjatuhkan bokongku di sebelah Mama. MUA membantu membetulkan makeup ku.“Fokus Sabrina!” seru Mama. “Apa yang kamu pikirkan?”Aku menatap Mama jengah. Sudah hampir 10 kali mengambil adegan tapi tak ada satu pun yang benar dimata Pak
E buset!Yang benar saja Papa mau jodohkan aku dengan Kukuh. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.Aku dan Kukuh sudah seperti lebah yang bersatu padu membentuk satu kesatuan membentuk madu, tapi tak bisa membentuk bunga.Sok puitis sekali Sabia.Kami sudah berteman puluhan tahun, biasa dengan keusilan dan kekonyolan. Kalau menikah kelas akan seperti kanebo kering. Kaku.Lagian, di hatiku ada dia.Siapa?Besok kita intip namanya di Lauhul Mahfuz. Mati dulu.Kamu saja tapi, aku masih muda dan belum kawin.“Nggak bisa, Pa!” seruku sambil menggebrak meja membuat Papa sedikit melonjak.“Loh, kenapa? Bukannya kalian selama ini dekat?” tanya Papa.“Dekat kan bukan berarti saling cinta, Pa. Lagian nih, ya, aku sama Kukuh sudah kek minyak dan air. Tak bisa menyatu.”“Halah, nanti kalau sudah nikah juga saling jatuh cinta.”“Pokoknya nggak mau,” tolakku. “Kalau Papa dulu yang nikah gimana?”“Uhuk.”Ya ampun , Papa tersedak gelas! Eh maksudnya air di dalam gelas.“Pelan-pelan, Pa.” Aku menepuk pel
“Gue lihat lu semakin dekat sama Adam.” Tere—salah satu artis mendekatiku.“Kenapa?” tanyaku acuh. “Lu cemburu?”“Nggak. Buat apa?”“Terus?”Tere duduk di sebelahku. “Lu harus hati-hati sama dia.”Aku menaikkan kedua alisku. Maksudnya?“Yang gue tahu dia seorang pemakai.” Tere memberi kode tanda kutip dua.Masa sih?Adam yang ku kenal dulu memang anak yang susah diatur. Menjadi berandal di sekolah dan sering sekali mengajak teman-teman lainnya tawuran.Belum lagi beberapa kali tertangkap aparat karena balap liar, tapi lagi-lagi Adam bisa bebas dengan mudah karena anak seorang penjabat. Sedangkan temannya ada beberapa yang ditahan selama beberapa hari untuk efek jera.Kami hanya sering mengobrol karena Adam sering mendekatiku ketika kami break syuting. Lama-lama memang terasa biasa saja, tak seperti awal bertemu. Tapi, jujur saja aku tak tahu jika Adam seorang pemakai.“Gue sering lihat dia di belakang sana dengan benda itu.” Tere menunjuk pada gudang perlengkapan.Mataku sontak tertuj