Dokter sudah memberi izin untukku masuk ke ruangan Papa. Di sini. Di sisi Papa, diruangan dingin yang sudah beberapa hari Papa tinggali, aku duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Papa. Sudah 3 hari Papa belum juga mau membuka matanya.
“Papa ngambek ya, sama Sabia?” tanyaku sendiri. Walaupun Papa tak meresponsku, kata dokter Papa harus tetap diajak komunikasi.“Sabia sudah pulang, Pa. Papa pasti bangga melihat Sabia sudah kurus sekarang. Sabia sudah cantik nih, Pa. Sabia diet loh, Pa, biar mirip dikit kayak Sabrina. Papa tahu kan, Mama akan senang kalau anak-anaknya terlihat cantik."Aku memegang telapak tangan Papa yang baru kusadari kulitnya mulai keriput menandakan usianya tak lagi muda. Tangan itu terasa dingin, tak sehangat biasanya.“Papa bilang mau melihat Sabia menikah, Papa nggak mau lihat calon menantu Papa yang menyebalkan itu? Kenalan kek minimal. Ganteng loh, Pa," lirihku. "Banyak sekali yang ingin Sabia ceritAku harus ke mana?Setelah bertengkar dengan Mama, aku meninggalkan Mama di lokasi syuting. Aku berjalan menyusuri trotoar jalanan yang ramai. Biar saja orang-orang melihatku aneh, yang penting aku terbebas dari Mama.Persetan dengan proyek series itu. Mereka bisa mengganti peranku dengan orang lain. Sejak awal memang aku tak ingin menjadi artis, hanya saja Mama terus memaksaku. Bukan hanya aku, tapi juga memaksa Sabia agar menjadikanku pemeran utama. Aku sudah tak punya muka di depan teman-teman syutingku. Mereka melihatku dengan tatapan mengejek, belum lagi ketikan jari netizen di berbagai media sosial yang terus memojokkanku. Kulihat namaku dan Sabia bahkan trending di sosial media burung putih. Komentar-komentar mereka jelas merusak kepercayaan diriku. Tugas pertamaku adalah mencari pelaku yang merekam dan menyebarkan video itu. Kepalaku hampir pecah memikirkannya.Aku kembali ke rumah Papa yang te
Aku menatap kedua lelaki di hadapanku dengan risi. Pasalnya mereka sudah berjabat tangan lebih dari 5 menit dengan saling melempar tatapan tajam. Aku khawatir mereka jadi jatuh cinta.Astaghfirullah, tobat Sabia!Aku memisah tangan mereka dengan keras membuat mereka menatap ke arahku penuh tanya.“Pamali satu gender saling tatap-tatapan begitu,” ujarku menatap keduanya kesal. “takut ada jin lewat terus bikin kalian jatuh cinta.”Pak Rully dan Kukuh bergidik jijik lalu saling melempar tatapan kesal. Lagian ada-ada saja mereka, perkenalan macam apa yang mereka lontarkan satu sama lain.“Ada apa Bapak datang kemari?” tanyaku pada Pak Rully.“Jadi hanya dia yang boleh datang kemari?” Pak Rully menunjuk Kukuh.Astaghfirullah, salah lagi. Aku menepuk jidatku keras. “Bukan begitu, Pak—““Baperan!” sindir Kukuh sambil menatap sinis Pak Rully.“Kamu men
“Sabrina?!”Aku bergeming. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku di sini? Padahal sudah mati-matian aku pergi dan pulang secara diam-diam menghindari orang-oramg yang mengenalku, termasuk dia. Persembunyian ku ternyata gagal total.Aku memejamkan mata, menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan sebelum membalikkan badan.“Semua orang cariin—““Gue tahu,” selaku tanpa menoleh ke arahnya. “Tadi—“ sebelum dia meneruskan ucapannya, aku membalikkan badan menatapnya nanar. “Kenapa lu tahu gue di sini?” Tanyaku. Kini, kami sudah saling berhadapan.“Nggak sengaja lewat,” jawabnya. “Terakhir saat gue balikin mobil ingat kalau gerbang gue selop. Tadi gue lihat terbuka.”Kukuh berjalan mendekatiku. “Bri, Sabia nyariin lu, dia khawatir sama lu.”Benarkah?Aku tertegun sejenak, kemudian mengembalikan ekspresiku seperti semula.“L
Mama menatap sengit Pak Rully sementara aku menatapnya tak percaya. “Bagi saya, cukup Sabia membalas cinta saya, maka saya akan lakukan apa pun untuknya. Termasuk jika dia meminta Sabrina keluar dari series itu.”Perkataan Pak Rully menari di benakku. Seperti ada bunga yang bermekaran di dalam hatiku. Ibarat seperti Padang tandus yang di guyur air hujan satu tahun yang mengakibatkan rumput tumbuh tanpa izin.Anggap saja begitu.Aku tak bisa mengungkapkannya, tapi aku yakin wajahku sudah semerah buah naga.Kalau tomat asem, buah naga saja yang ada manis-manisnya seperti aku.“Pak—“Tatapan kami beralih ke beberapa perawat dan seorang dokter yang masuk ke ruangan Papa. Mama yang mau memprotes ucapan Pak Rully pun mengurungkan niatnya saat melihat mereka masuk ruangan Papa.Ada apa?Jiwa kepo ku bergejolak. Melirik dari balik celah pintu, aku bernapas lega karena mereka hanya
Aku menjatuhkan diri di atas kasur. Mataku menerawang menatap langit-langit kamar Sabia dengan hiasan bintang dan bulan. Entah kenapa kamar Sabia jadi terasa nyaman, dan membuatku betah berdiam diri di dalamnya. Aku akan meneruskan membaca novel karya Sabia yang lainnya. Dulu, membaca adalah hal yang sangat aku jauhi, buku pelajaran saja aku enggan membacanya, apalagi sebuah novel. Tapi, buku-buku Sabia benar-benar membuatku merasa candu untuk terus membuka lembarannya. Pikiranku tiba-tiba saja mengingat kejadian sebelum aku memasuki rumah.Apa maksud ucapan Kukuh tadi?Apa dia juga menyukaiku seperti aku menyukainya?Dadaku menghangat mengingat perkataan lelaki yang katanya sudah bersahabat lama dengan Sabia itu. Membayangkan mereka dekat lalu tertawa bersama membuatku sedikit panas. Kenapa tidak aku saja dulu yang mengenal Kukuh?Ah, Sabia, kamu benar-benar beruntung.Aku merogoh saku, tering
“Alhamdulillah, Pak Surya sudah membuka matanya.”Aku memegang. Bukan karena tak senang, tapi karena aku sudah berprasangka buruk terhadap Mama.Astaghfirullah.Urusan dengan Mama akan kuurus nanti setelah Papa benar-benar pulih. Aku yakin Mama juga mungkin akan memakluminya.Setelah memastikan kondisi Papa stabil, dokter akan memindahkan Papa ke ruang rawat inap. Setelah itu, barulah kami boleh menemuinya. “Pa,” lirihku setelah dokter memperbolehkan aku menemui Papa.Papa tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahku. Segera mendekat, aku mencium tangan Papa takzim, sementara Pak Rully masih menunggu di luar ruangan.“Kamu nggak pernah makan?” tanya Papa dengan suara parau.Aku tertawa. “Kamu kurus sekali. Apa selama tinggal dengan Mamamu, dia tak memberimu makan?” tanya Papa lagi.Aku menggeleng. “Maafkan Sabia, Pah.”“Papa senang kamu baik-
“Kalian pacaran?”Aku dan Kukuh saling melempar pandangan lalu menunduk bersama. Kami sudah seperti anak muda yang sedang terkena cinta monyet. Sabia tertawa mengejek. Suasana seperti ini tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Siapa yang menyangka jika sakitnya Papa akan membuat kecanggungan aku dan Sabia sedikit mengikis. “Gue mau ketemu Papa,” ucapku menghindari tatapan meminta penjelasan dari Sabia.“Gue juga,” kata Kukuh.Sabia mengumpat kesal. Kami yang seperti ini seperti anak kecil yang berebut mainan. Senang sekali rasanya, kami tertawa bersama. Suasana rumah sakit padahal sudah sepi karena sudah larut malam. Tapi bagi kami seolah tak masalah dengan keadaan, tetap tertawa bersama. Hingga kami masuk ke dalam ruangan Papa sedikit tertegun dengan pemandangan di depan mata.Papa, sedang tertawa bersama Pak Rully. Aku melirik Sabia yang juga menatap tak percaya. Pandai sekali lelak
“Bi.” Aku membuka mata saat ada yang menyebut namaku. Aku melonjak ketika wajah Pak Rully hanya berjarak sepuluh senti dari wajahku. “Bapak ngapain?!” aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.Apa dia sudah tak sabar anu? Astaghfirullah. Di rumah sakit saja berani mau macam-macam, apalagi nanti kalau sudah menikah?Bisa—aku menggelengkan kepala tak sanggup membayangkan. Kepalaku di dorong oleh Pak Rully“Mikir apa kamu Sabia?” Pak Rully menatapku kesal.“Bapak yang ngapain dekat-dekat saya? Astaghfirullah, Pak, belum halal, Pak. Sabar.”“Jadi kamu mau saya halalin?”“Ya, mau, lah.” Aku membekap mulutku sendiri dengan tangan begitu sadar dengan apa yang kuucapkan barusan.Keceplosan!Ya ampun Sabia, jaga image. Jadi perempuan harus pura-pura jual mahal.Aku menggetok kepalaku sendiri.“Ya, sudah, ayo!”