LOGIN
"Kamu hamil anak siapa, Dek? Katakan kamu hamil anak siapa!"
Rivan menatap sang istri dengan nyalang. Kilatan amarah terlihat jelas di wajahnya. Berikut dengan bentakan dan cengkeraman kuat, tak peduli meski istrinya meringis sakit. "Mas ... kamu ini kenapa? Aku hamil anakmu, Mas." "Bohong! Kamu pasti selingkuh!" sahut Rivan masih dengan intonasi tinggi. Lantas, ia langsung mendorong tubuhnya hingga membentur dinding. "Mas!" Tangis Senja berderai. Lima tahun menikah, punya anak adalah impian terbesarnya. Namun, entah mengapa sang suami malah murka ketika ia memberitahukan kehamilannya. Tes pack sampai terlempar entah ke mana karena reaksi yang kasar barusan. "Jawab, Dek! Anak siapa yang kamu kandung?" Sekali lagi Rivan mempertanyakan kejujuran Senja. Akan tetapi, wanita itu hanya bisa menangis. Karena sebenarnya, dia memang tidak pernah selingkuh. Lima tahun ini, ia tetap menjadi istri yang setia. "Brengsek kamu, Dek! Mati-matian aku kerja keras untuk mencukupi kebutuhanmu. Tapi, ternyata kamu malah selingkuh di belakangku! Mura-han kamu, Dek!" "Aku nggak pernah selingkuh, Mas. Ini—" Senja gagal mengutarakan pembelaan, karena tamparan keras mendarat di pipi kanannya, menyisakan rasa panas dan perih. Untuk pertama kalinya Rivan main tangan padanya. "Sini! Ikut aku! Akan kutunjukkan buktinya kalau itu bukan anakku!" Rivan berkata sambil menarik kasar tangan Senja. Wanita itu kesulitan mengimbangi langkah Rivan. Namun, Rivan tak peduli. Tangan Senja terus ditarik dengan kuat, sampai berbekas merah di pergelangannya. Seolah tak mendengar rintihan dan permohonan Senja, Rivan mengempas tubuh sintal itu ke atas ranjang dengan kasar. Perut Senja sampai mulas karenanya. Kehamilannya baru memasuki bulan kedua, masih rentan dengan segala tekanan. Namun, seperti kerasukan setan, Rivan tak menatap Senja sedetik pun. Ia malah fokus mengacak-acak laci meja yang berisi dokumen-dokumen penting. Lantas, ia kembali berbalik setelah menemukan dokumen yang dicarinya. Sebuah surat hasil pemeriksaan dokter terkait kesuburannya. "Lihat baik-baik, Dek! Kamu ngotot hamil anakku, padahal jelas-jelas aku ini mandul!" Rivan membentak, sembari melemparkan kertas hasil pemeriksaan itu ke wajah Senja. Sontak, Senja kaget dan tak percaya. Bagaimana mungkin Rivan mandul, sedangkan saat ini dirinya hamil anak lelaki itu. Dengan perasaan dan pikiran yang kacau, Senja meraih kertas tersebut dan membacanya. Sepasang mata itu pun membelalak setelah mendapati kata demi kata yang terangkai menjadi kalimat di sana. Benar apa yang dikatakan Rivan barusan. Dari hasil pemeriksaan dokter, dinyatakan jelas bahwa Rivandi Alvaro mandul dan tidak akan bisa punya anak. Tubuh Senja bergetar setelah membaca semuanya. Sekilas ia berharap keterangan itu palsu. Namun, melihat adanya stempel resmi dari rumah sakit terkait, mau tak mau Senja harus percaya kalau itu asli. Akan tetapi, bagaimana mungkin itu bisa terjadi? "Sekarang jelaskan padaku, Dek! Kamu selingkuh dengan siapa? Apa kurangnya aku sampai kamu melakukan itu dengan lelaki lain? Hah!" teriak Rivan dengan frustrasi. "Mas, aku berani bersumpah. Demi Allah aku nggak pernah mengkhianatimu, Mas! Hanya denganmu aku melakukan itu, Mas." Senja menangis histeris. Sesak dadanya mendapati sang suami meragukan kesetiaan yang ia jaga sekian lama. Sekali lagi Rivan melayangkan tamparan. Pipi Senja yang barusan sudah memerah, kini biru lebam karena kuatnya tangan Rivan. "Nggak usah bawa-bawa Allah! Kamu munafik! Mau menutupi perilaku be-jatmu dengan sok agamis. Iya!" "Tapi, aku memang nggak selingkuh. Tolong percaya padaku, Mas." "Percaya kamu bilang? Setelah ada bukti ini kamu masih memintaku percaya?" "Aku ... aku ...." "Setelah ini kita cerai saja! Aku nggak mau punya istri mura-han sepertimu!" "Mas!" Teriakan Senja tidak digubris. Rivan pergi begitu saja keluar kamar. Sedikit pun enggan menoleh dan melihat istrinya. Sebenarnya Senja berniat mengejar. Namun, keinginan itu urung karena tiba-tiba perutnya melilit sakit. Senja sampai tak bisa bergerak, bahkan untuk berdiri tegak saja ia kesulitan. "Ahhh!" Lantas Senja merintih dengan tiba-tiba, sendirian, sembari memegangi perutnya yang kian menusuk. Sampai kemudian, mata sembab itu membelalak tatkala melihat darah mengalir di kakinya. *** Senja terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Separuh tubuhnya ditutup selimut, sementara tangan kanannya dipasang infus. Ia nyaris saja keguguran. Beruntung Rivan dengan cepat membawanya ke rumah sakit. Sekarang, lelaki itu sedang duduk di samping Senja. Tatapannya tetap dingin. Tak ada senyum dan sirat kasih seperti biasanya. "Kamu lihat, Dek, meski itu bukan anakku, tapi aku masih mau membawamu ke sini. Kalau saja aku pendendam, sudah kubiarkan kamu berdarah-darah di kamar dan kehilangan anak itu," ucap Rivan, sangat pedas. Namun, Senja tak membantah. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berdebat, sekalipun itu untuk membela diri. Jadi, ia memilih diam dan menarik napas dalam-dalam, menenangkan perasaan yang masih kacau tak karuan. "Aku akan pulang dulu. Badan masih lengket, tadi belum sempat mandi." Tanpa menunggu persetujuan Senja, Rivan langsung bangkit dan beranjak pergi. Pertengkaran mereka tadi memang terjadi sewaktu Rivan baru pulang dari pabrik—tempatnya bekerja sebagai staf keuangan. Senja pikir, kehamilannya akan menjadi kejutan yang membahagiakan. Tak disangka, justru menjadi petaka dalam rumah tangganya. "Ya Allah, sebenarnya kenapa ini? Kenapa aku bisa hamil jika Mas Rivan mandul?" batin Senja sambil menitikkan air mata. Tangan kirinya dengan pelan mera-ba perut yang masih rata. Ada kehidupan baru di sana. Namun, ayah dari anak itu tak mengakuinya. Entah akan bagaimana nanti. "Ya Allah ... semoga hamba tetap kuat menerima ujian dari-Mu ini." Senja kembali membatin. Air matanya makin deras mengalir, membasahi pipi dan kerudung yang ia kenakan. Sesakit itu rasanya dituduh selingkuh oleh suami sendiri. Padahal, sekali pun ia tak pernah melakukannya.Bahkan, tercetus niat saja belum pernah. Rivan adalah lelaki pertama yang ia cintai. Tak ada hal lain yang lebih indah dibanding menikah dengan lelaki itu. Namun, siapa yang akan menduga kalau akhirnya akan seperti ini. Beberapa menit berselang, lamunan Senja dibuyarkan oleh kedatangan seseorang yang mengantarkan makan malam untuknya. Jatah dari rumah sakit. "Keluarganya di mana, Bu?" Senja menjawab gugup. "Masih pulang, mau mengambil sesuatu." "Oh, kalau begitu saya panggilkan suster saja ya, Bu. Soalnya infusnya di tangan kanan, Ibu nggak bisa makan sendiri. Kalau menunggu keluarga, takutnya lama, nanti keburu dingin." "Iya." *** Senja menghela napas berat, miris rasanya di rumah sakit sendirian. Setiap makan, minum obat, dan ke kamar mandi malah dibantu perawat. Rivan tidak muncul lagi setelah pulang kemarin malam. Sebagai yatim piatu yang kebetulan juga tidak punya mertua dan ipar, Rivan adalah satu-satunya keluarga Senja. Namun, entah ke mana lelaki itu. Sudah dua hari tiga malam ia belum datang lagi. "Bu, suaminya apa masih sibuk? Ini kondisi Bu Senja sudah baik loh, kemungkinan besar nanti siang sudah diizinkan pulang. Kalau suaminya belum bisa ke sini bagaimana nanti pulangnya, Bu?" Ditanya demikian, Senja hanya mengerjap cepat. Kemarin, ia sempat meminjam ponsel milik perawat dan menghubungi Rivan. Namun, nomor lelaki itu tidak aktif. Entah sengaja atau karena ponselnya kehabisan baterai. "Bu?" "Mmm, Sus, saya boleh pinjam HP-nya sebentar. Saya mau telfon suami, tapi kemarin tidak sempat bawa HP," ujar Senja. "Oh, silakan, Bu. Ini." Dengan harap-harap cemas, Senja menerima ponsel itu dan mulai menghubungi nomor Rivan. Untungnya dihafal di luar kepala. Lebih beruntung lagi, nomor itu aktif dan langsung direspon oleh sang empunya. "Mas, kamu di mana? Kata suster, kira-kira nanti siang aku boleh pulang." "Aku kerja, Dek. Di pabrik sibuk banget. Kamu pulang aja sendiri. Atau kalau mau aku jemput sore nanti, pulang kerja." Hati Senja kembali nyeri. Sejauh itu perubahan Rivan. Dulu, dia adalah lelaki berhati lembut dan penyayang. Namun sekarang, tampaknya sudah tak ada kepedulian dari lelaki itu. "Gimana?" "Pulang sore aja, Mas. Kamu jemput aku ya," sahut Senja. Tak ada pilihan. Bagaimana mungkin dia akan pulang sendiri, sementara uang seribu rupiah pun tidak membawa. Lantas, dengan apa ia membayar biaya administrasi dan transportasi nanti. Alhasil, dengan perasaan yang luar biasa sedihnya, Senja menunggu Rivan seharian. Hampir petang lelaki itu baru datang. Ekspresinya masih dingin dan datar. Baik saat melunasi administrasi, maupun ketika keduanya sudah duduk dalam satu mobil. Tak ada percakapan. Bahkan, dengan santainya Rivan tidak menanyakan bagaimana kabar Senja sekarang. Barulah ketika mereka tiba di rumah, Rivan bicara sambil melepas jasnya. "Aku lapar, tadi belum sempat makan." Senja langsung tanggap. Dengan ramah ia bertanya Rivan ingin makan apa, akan dia masakkan detik itu juga. "Apa saja asal kenyang." Senja sedikit bernapas lega karena Rivan tidak meminta masakan yang berat-berat. Kondisinya masih belum memungkinkan untuk berkutat lama-lama di dapur. Ayam goreng dan sambal tomat, menu simpel yang Senja masak sore itu. Sudah ada ayam bumbu di kulkas, jadi tinggal goreng. Tidak sampai setengah jam, hidangan sudah tersaji rapi di meja makan. "Ayam dan sambal ini aja? Nggak ada sayur atau kuah?" Senja terkesiap. Gerakannya yang hendak mencentong nasi terhenti seketika. "Buatkan sup sayur! Aku pusing, mau makan yang ada kuahnya." Rivan memberikan perintah sambil beranjak pergi, meninggalkan Senja yang mulai menitikkan air mata.Berbeda dengan Chandra yang pulang membawa kemenangan dan membagi kebahagiaan dengan wanita pujaan, sore ini Sintia pulang dengan langkah gontai.Niat hati mencari jawaban dengan menemui Benny, tetapi bukannya lega, ia malah makin hancur. Bisa-bisanya selama ini dimanfaatkan oleh pria sialan itu.Sudah totalitas dirinya dalam memberikan pelayanan di ranjang, berharap ada timbal balik yang memuaskan. Bahkan, dia sampai berani bermimpi untuk meninggalkan Dion dan berpaling pada Benny.Namun, balasan dari pria itu ternyata sangat kejam. Selain menikmati tubuhnya, Benny juga menjual informasi pada Chandra. Tak cukup itu saja, Benny masih merekam setiap adegan yang pernah mereka lakukan. Sialnya lagi, wajah Benny membelakangi kamera. Berbeda jauh dengan dirinya yang terpampang jelas.'Jadilah wanita yang patuh! Jual Altera pada Chandra dan jangan ikut campur lagi di perusahaan itu. Jika tidak ... maka video-video ini bisa menyebar di publik. Kamu pasti tidak ingin, kan, lekuk tubuhmu dinik
Tepat tengah hari, Chandra tiba di tempat Senja. Tanpa memberi kabar, tanpa meminta izin, ia langsung datang begitu saja. Dengan senyum dan hati yang berbunga-bunga tentunya.Kebetulan siang itu pelayan sedang sibuk di dapur, berkutat menyiapkan makan siang. Jadi Senja sendiri yang keluar membuka pintu, sembari membawa Askara dalam gendongan.Lantas, ia tertegun dalam beberapa detik lamanya. Menatap wajah Chandra yang begitu tenang mengulum senyum, perasaan Senja mendadak tidak nyaman. Terlebih lagi, hati malah dengan tidak tahu malunya berdebar tak karuan, seakan sengaja melawan kehendak otak yang makin gigih membangun tembok pertahanan."Aku boleh masuk, kan?" tanya Chandra dengan senyuman yang lebih manis, seolah sengaja menyadarkan Senja bahwa dirinya memiliki paras rupawan yang wajib dijadikan bahan pertimbangan."Silakan, Pak!" Senja menyahut gugup.Lantas, ia melangkah masuk dan membiarkan Chandra mengekor di belakangnya. Meski agak enggan, tetapi Senja duduk jua di sofa ruang
"Cukup, Mas! Berhenti membentak! Berhenti memukul! Kamu nggak pantas melakukan ini padaku!" teriak Sintia sambil berusaha bangkit.Habis sudah kesabarannya. Tak mau lagi direndahkan sang suami, apalagi membiarkan diri dihajar secara fisik sampai babak belur. Oh tidak!Tamparan barusan saja sudah menyisakan rasa perih dan panas di kedua pipi. Sintia tak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Cukup! Dia harus melawan dan membuka mata Dion, agar pria itu paham bagaimana caranya berkaca."Aku melakukan semua ini demi kebaikan kita! Aku berkorban agar perusahaan nggak jatuh ke tangan Chandra brengsek itu! Aku—""Kamu sudah gila, Sintia! Berkorban apa yang kamu katakan, hah? Kamu selingkuh, kamu tidur dengan pria lain. Itu yang kamu sebut berkorban?" pungkas Dion."Itu adalah imbalan yang harus kubayar agar dia mau membantu perusahaan kita, Mas. Kamu pikir aku bisa mengandalkan siapa? Kamu sendiri malah terkapar di rumah sakit, nggak bisa melakukan apa-apa. Kamu kira aku rela melihat pe
"Bu Sintia, tidak menyangka Anda akan mengurusi masalah pribadi saya juga. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kecuali ... saya pacarannya di sini, sambil rapat seperti ini." Chandra kembali mengulas senyum. Lagi-lagi masih tenang dan tidak terpancing emosi Sintia yang sudah menggebu-gebu. "Tapi—""Saya akui, memang tidak sekali dua kali menjalin hubungan dengan wanita. Karena memang ... ada saja masalah yang membuat hubungan berakhir. Ada saja ketidakcocokan yang membuat kami memilih berhenti dan tidak melanjutkan hubungan pada tahap yang lebih serius. Tapi, saya rasa ini masih termasuk hal wajar. Saya yakin di luar sana, baik laki-laki maupun perempuan, banyak juga yang berkali-kali gagal dalam hubungan. Dan ... tidak otomatis karena merekanya yang tak bermoral. Terkadang sudah niat serius, tapi masih saja ada masalah yang membuat hubungan putus. Jadi, saya rasa ini bukan hal yang patut dibesar-besarkan, Bu Sintia."Chandra memotong ucapan Sintia dengan
"Bu Sintia, beliau-beliau sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap berinvestasi di Altera. Dan ...."Chandra menggantungkan kalimatnya sesaat. Menyisihkan sedikit waktu untuk menyodorkan dokumen yang sedari tadi ia bawa."Ini adalah surat kontrak yang baru dari Voltanic. Ke depannya, Altera akan kembali menjadi distributor utama bagi perusahaan tersebut. Jadi ... dua janji saya sudah terpenuhi," lanjut Chandra dengan sangat tenang, malah disertai senyuman lebar, seakan sengaja menertawakan kekalahan Sintia.Melihat itu semua, Sintia hanya bisa menggeram lirih. Ini tak masuk akal, pikirnya. Para investor yang sebelumnya sudah berjanji menghancurkan Chandra, nyatanya hanya omong kosong. Voltanic yang katanya akan tersandung kasus, faktanya sampai sekarang belum ada kabar kedatangan polisi di sana."Bu Sintia, bagaimana tanggapan Anda?" ucap Chandra lagi, masih dengan senyum yang sama.Sebuah pertanyaan yang dibiarkan mengabur bersama keheningan dalam ruang rapat tersebut. Alih-alih mem
Menurut jadwal yang ditentukan, rapat akan dimulai jam setengah sembilan. Namun, baru jam setengah delapan, beberapa peserta sudah hadir di sana. Sintia beserta keluarganya, Chandra yang didampingi Norman, dan juga beberapa investor yang sebelumnya sempat mengundurkan diri.Setelah Chandra yang mengambil alih kursi kepemimpinan, mereka bersedia menjadi investor lagi untuk Altera. Karena dari sebelumnya, mereka sudah berdiri di pihak Chandra. Namun, entah akan bertahan lama atau tidak kesetiaan tersebut. Hanya waktu yang akan memberikan jawaban akurat."Kamu boleh bersikap angkuh sekarang, tapi lihat saja nanti. Kamu ... akan menangis darah, Chandra! Dan asal kamu tahu, menyesal pun sudah tidak akan ada gunanya," batin Sintia dengan tatapan yang memicing, meremehkan Chandra yang saat itu tampak tenang dan penuh percaya diri.Awalnya, Sintia sekadar bicara sendiri dalam hati, meluapkan kepuasan atas kemenangan yang sudah terpampang di depan mata. Namun, melihat Chandra yang seolah tidak







