Share

Kita Cerai!

last update Last Updated: 2025-09-29 15:51:44

Angan-angan Senja untuk beristirahat setelah beberapa hari dirawat, gagal total karena pekerjaan rumah kompak menunggunya. Meski terhitung orang berada, Rivan dan Senja memang tak pernah mempekerjakan pelayan. Dulu, Senja malah senang bisa menjadi ibu rumah tangga yang totalitas. Mengurus keperluan Rivan, dari makan, pakaian, dan lain sebagainya.

Namun kini, Senja sedikit keberatan. Pasalnya, kondisinya belum pulih total. Masih membutuhkan istirahat yang cukup. Akan tetapi, baju kotor sudah menggunung. Pakaian kering yang menunggu disetrika pun sudah menumpuk. Belum lagi lantai dan halaman yang sangat kotor. Selama dirinya sakit, mungkin Rivan tak pernah menyapunya.

Sampai beberapa hari ini, hubungan Senja dan Rivan belum membaik. Rivan masih dingin dan bicara seperlunya. Malah makannya mendadak rewel dan minta masakan ini itu. Senja yang tak berani membantah, hanya bisa pasrah dan menuruti keinginan Rivan, meski sambil menahan lelah yang begitu kuat mendera tubuhnya.

"Mas ... aku ingin bicara," ucap Senja pada suatu malam, ketika dirinya baru menyajikan makan malam untuk Rivan.

"Apa?"

Perlahan, Senja duduk di hadapan Rivan. Menatap lelaki itu dalam-dalam, memcoba mengais cinta yang mungkin masih tersisa di sana. Sayang ia tak menemukannya. Perasaan itu sepertinya sudah sirna.

"Bagaimana kalau kamu periksa lagi, Mas? Mungkin, sekarang kamu udah nggak mandul. Karena sumpah, Mas, aku nggak pernah mengkhianatimu." Senja bicara dengan hati-hati, pun dengan kepala yang perlahan menunduk.

Ia takut Rivan kembali marah. Namun, ia juga ingin mempertahankan haknya, termasuk hak anak yang masih ada dalam kandungan.

"Kamu nggak percaya dengan hasil tes kemarin?"

"Bukan nggak percaya, Mas. Aku cuma ingin memastikan aja. Pemeriksaan itu kan udah bertahun-tahun yang lalu. Mungkin, sekarang kamu sudah sembuh."

"Oke. Besok kita ke rumah sakit," jawab Rivan dengan tegas. Tidak ada ketakutan di wajahnya, karena dia tahu pasti yang dikandung Senja memang bukan anaknya.

Di hadapan Rivan, Senja setengah lega setengah was-was. Di satu sisi lega karena Rivan bersedia memberikan kesempatan, tetapi juga khawatir kesempatan itu tidak sesuai dengan yang ia harapkan.

Namun karena Rivan sudah setuju, Senja tak bisa menarik kata-katanya. Kalaupun resah dan gelisah, ia akan tetap maju. Demi pernikahan, demi buah hati yang harus diperjuangkan masa depannya.

Keesokan harinya, Senja dan Rivan benar-benar pergi ke rumah sakit. Rivan sampai izin tidak masuk kerja demi menuruti keinginan Senja.

"Maaf, Pak Rivan, mungkin hasil ini akan mengecewakan. Tapi, harus kami sampaikan dengan jujur. Anda memang mandul, Pak, tidak ada kemungkinan memiliki anak."

Wajah Senja pucat pasi saat mendengar penjelasan dokter. Suaminya memang mandul. Lantas, bagaimana mungkin dirinya bisa mengandung?

"Dokter, ini tidak mungkin! Sekarang saya hamil, Dok. Mas Rivan tidak mungkin mandul," teriak Senja. Emosinya tidak terkontrol lagi saat mendengar fakta mengejutkan barusan.

Namun, dokter itu justru mengernyitkan kening, seperti bingung mendengar kalimat yang keluar dari bibir Senja.

"Dokter ...." Senja memohon.

"Maaf, Bu Senja, tapi ... Pak Rivan memang mandul. Tidak ada kemungkinan untuk memiliki anak."

"Tapi, Dok. Ini ... ini ...."

"Apa perlu tes DNA, Dek? Aku berani. Dan bisa kupastikan anak itu memang bukan anakku," sahut Rivan.

"Tes DNA janin lebih akurat dilakukan saat kandungan berusia tiga bulan ke atas. Apa kandungan Bu Senja sudah memasuki bulan ketiga?" tanya dokter.

"Baru dua bulan, Dok." Senja menjawab lirih.

Lantas, Rivan menyela, "Mungkin bulan depan kami akan kembali ke sini, Dok. Terima kasih untuk hari ini. Permisi."

Usai pamit, Rivan langsung beranjak sambil menggenggam tangan Senja. Sebuah genggaman yang makin lama menjadi cengkeraman kuat.

Senja ketakutan dibuatnya. Ia yakin sang suami sedang diselimuti amarah yang membuncah. Hingga Senja tak berani bicara, apalagi membantah perlakuan kasarnya.

Selama di mobil, masih tak ada masalah. Rivan hanya menatap dingin ke depan, melajukan mobil secara ugal-ugalan. Namun, tak ada sindiran atau perkataan pedas yang keluar dari bibirnya.

Sesampainya di rumah, barulah ia menarik kasar tangan Senja dan mengempaskannya di sofa ruang tamu.

"Apa lagi penjelasanmu, Dek? Masih bilang nggak selingkuh?" bentak Rivan sambil melepas ikat pinggangnya.

"Aku memang nggak selingkuh, Mas. Aku—"

"Cukup! Kamu hamil sekarang! Apa namanya kalau nggak selingkuh? Kamu pikir ada benih nyasar yang tiba-tiba masuk ke rahimmu! Iya?" pungkas Rivan sambil merentangkan ikat pinggangnya di depan Senja.

"Mas, kamu mau ngapain, Mas?" Senja beringsut takut. Ekspresi Rivan seolah-olah dia ingin menghajarnya.

"Katakan! Berapa kali kamu melakukannya? Bagian mana saja yang sudah kamu bagi dengannya? Katakan, Senja! Katakan!"

Suara Rivan keras menggema, memenuhi ruang tamu yang menjadi saksi bisu kesakitan Senja kala itu. Bukan hanya hati yang tercabik-cabik, melainkan juga fisik. Kulit mulusnya menjadi sasaran amukan Rivan, menyisakan bilur-bilur merah kebiruan. Menggambarkan betapa menyakitkannya ikat pinggang itu ketika menyentuhnya.

Senja menangis. Sekujur tubuhnya perih dan sakit. Hati pun pedih tak terkata. Cinta yang pernah ia puja, kini tega menyiksanya atas dasar kesalahan yang tak pernah ia lakukan.

"Senja Pramudita, dengar baik-baik ucapanku ini! Mulai sekarang, kamu bukan istriku lagi. Hilang sudah tanggung jawabku atas dirimu. Kita cerai! Kamu pergilah dan urus hidupmu sendiri! Aku tidak sudi berbagi istri dengan lelaki lain. Menjijikkan!"

Tangis Senja pecah tanpa suara. Air matanya mengalir dalam diam. Terlalu menyakitkan alur hidup yang ia jalani kala itu. Memar di sekujur tubuh belum hilang perihnya, sang suami sudah terang-terangan menceraikan.

Pupus sudah. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari pernikahan yang ia rajut lima tahun lamanya. Semuanya telah berakhir dengan tragis.

Di sofa tempatnya bersandar, Senja mengusap air matanya dengan lengan yang lebam. Belum terbayang langkah selanjutnya. Ia masih terpaku merenungi rasa sakit yang menusuk dari berbagai sisi.

Senja lupa berapa lama ia terdiam di tempat yang sama. Tahu-tahu di luar sudah petang. Ruang tamu pun gelap karena lampunya belum dinyalakan. Entah ke mana Rivan. Sejak meninggalkan Senja usai pertengkaran tadi, ia belum keluar lagi.

"Ya Allah, beri kesabaran dan ketabahan untuk hamba agar sanggup melewati ini semua," batin Senja sambil mengusap wajah berulang kali dengan lengan baju. Namun, sisa air mata tetap saja meninggalkan bekas yang jelas.

Tak sampai dua menit, lampu menyala. Senja terperanjat dan mendapati sang suami berjalan mendekatinya. Tatapannya tidak segarang tadi. Malah lebih teduh dan tampak penuh sesal.

"Dek," panggil Rivan dengan pelan.

Tanpa dipinta, ia langsung duduk di samping Senja. Merengkuh tubuhnya dengan erat, sekaligus mengusap sisa-sisa air mata di pipinya.

"Maafkan aku. Aku terlalu cemburu dan kecewa, Dek. Sampai nggak sadar udah membuatmu luka-luka seperti ini."

Senja tidak tahu harus menjawab apa. Terharu, muak, atau kecewa. Entahlah.

"Tunggu di sini, Dek, aku akan mengambilkan obat dan minum untukmu," lanjut Rivan.

Kemudian, ia pergi sebentar dan ketika datang kembali sambil membawa segelas air putih dan juga kotak obat.

Meski tak bicara, tetapi Senja langsung mengambil air itu dan meminumnya. Sementara Rivan, meraih tangan Senja dan mengolesi luka memarnya dengan obat.

"Dari dulu aku sangat benci dengan pengkhianatan, Dek. Aku tahu kamu juga mengerti itu. Tiga kali aku dekat wanita, tapi berujung gagal karena mereka selingkuh di belakangku. Kamu adalah satu-satunya wanita yang kupercaya, Dek, makanya nggak ragu untuk menikahimu. Tapi, kenapa? Kenapa di saat kita sudah menikah dan bahagia, kamu menodai pernikahan kita sampai sejauh ini, Dek? Kenapa?"

"Mas, aku—"

"Kamu tahu betapa sakit dan kecewanya aku saat tahu kamu hamil, Dek. Hancur sudah semua harapanku atas pernikahan kita. Rasanya sia-sia aku berjuang dan merencanakan masa depan. Impian-impian indahku lenyap dengan kenyataan ini, Dek."

Senja menunduk. Menatap tangan Rivan yang masih mengobati luka-lukanya dengan telaten. Ia ingin menjelaskan. Namun, tak ada bukti yang kuat untuk dijadikan landasan. Sedangkan Rivan sudah tak punya kepercayaan lagi padanya.

"Dek, maaf kalau tadi aku sangat kasar. Aku menyesalinya, Dek. Tapi ...." Rivan mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Aku juga sangat kecewa, Dek. Aku terus bertanya-tanya, kurang apa aku ke kamu," lanjutnya.

"Mas, tapi aku beneran nggak selingkuh. Hanya denganmu aku melakukan itu. Aku—"

"Dek, tolong cukup! Jangan menguji kesabaranku lagi. Aku bisa hilang kendali jika dikuasai cemburu," potong Rivan.

Senja menatap iba, seakan mengemis kepercayaan dari suaminya. Namun, Rivan seperti tak peduli.

"Membentakmu, memukulmu, aku khilaf. Tapi, menceraikan kamu, aku nggak khilaf, Dek. Dengan kesadaran penuh, jalan itu yang akan kupilih. Maaf, aku nggak bisa bertahan dengan wanita yang telah membagi cintanya dengan orang lain di belakangku. Sebut aku egois, berlebihan, atau apalah sesukamu. Tapi, aku memang nggak bisa. Terlalu menyakitkan. Aku nggak mau menyiksa diri terus-menerus, jadi lebih baik berpisah meski sebenarnya juga sama beratnya."

"Mas Rivan ...."

"Dulu kita mengawali hubungan dengan baik-baik, sekarang mari kita akhiri semua ini dengan baik-baik juga, Dek. Jangan ada pertengkaran lagi. Kita cerai, kita berpisah, tanpa menyimpan dendam."

Senja tidak menyahut. Masih terlalu menyakitkan baginya jika pernikahan itu benar-benar kandas.

"Aku akan mencarikan tempat kontrakan untukmu, Dek. Nanti aku yang bayar sewanya. Selama anak itu belum lahir, aku juga akan tetap memberimu nafkah, untuk mencukupi kebutuhanmu selama masa iddah. Nanti juga bawalah perhiasanmu, simpan sebagai tabungan jika kamu butuh uang sewaktu-waktu."

Senja masih diam.

"Kamu cukup tanda tangan saja, Dek, aku yang mengurus perceraiannya. Kita nggak perlu meributkan harta gono-gini di depan hakim. Selain perhiasan dan nafkah selama masa iddah, aku juga akan memberimu uang tambahan. Anggap saja itu untuk mengganti biaya renovasi rumah ini dan membayar sisa angsuran mobil. Tunggu beberapa hari lagi, nanti aku akan mengajukan pinjaman ke pabrik. Kalau sudah dapat, nanti langsung kukasih ke kamu."

Senja hanya mengangguk pelan. Tidak ada protes atau bantahan. Bahkan, saat Rivan memapahnya menuju kamar, Senja tidak mengatakan apa pun.

Selepas Rivan pergi, barulah dia menitikkan air mata yang sedari tadi mendesak keluar.

Sementara Rivan, ia langsung mengeluarkan ponselnya tepat setelah menutup kamar tempat Senja berada. Ia buka satu pesan dari seseorang yang cukup istimewa.

'Jangan ceroboh, Mas, kamu masih membutuhkannya.'

Rivan tersenyum penuh arti saat membaca pesan tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bintang Anjani
Asem Rivan ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Anak Siapa di Rahimku   Kita Cerai!

    Berbeda dengan Chandra yang pulang membawa kemenangan dan membagi kebahagiaan dengan wanita pujaan, sore ini Sintia pulang dengan langkah gontai.Niat hati mencari jawaban dengan menemui Benny, tetapi bukannya lega, ia malah makin hancur. Bisa-bisanya selama ini dimanfaatkan oleh pria sialan itu.Sudah totalitas dirinya dalam memberikan pelayanan di ranjang, berharap ada timbal balik yang memuaskan. Bahkan, dia sampai berani bermimpi untuk meninggalkan Dion dan berpaling pada Benny.Namun, balasan dari pria itu ternyata sangat kejam. Selain menikmati tubuhnya, Benny juga menjual informasi pada Chandra. Tak cukup itu saja, Benny masih merekam setiap adegan yang pernah mereka lakukan. Sialnya lagi, wajah Benny membelakangi kamera. Berbeda jauh dengan dirinya yang terpampang jelas.'Jadilah wanita yang patuh! Jual Altera pada Chandra dan jangan ikut campur lagi di perusahaan itu. Jika tidak ... maka video-video ini bisa menyebar di publik. Kamu pasti tidak ingin, kan, lekuk tubuhmu dinik

  • Anak Siapa di Rahimku   Seperti Suami Istri

    Tepat tengah hari, Chandra tiba di tempat Senja. Tanpa memberi kabar, tanpa meminta izin, ia langsung datang begitu saja. Dengan senyum dan hati yang berbunga-bunga tentunya.Kebetulan siang itu pelayan sedang sibuk di dapur, berkutat menyiapkan makan siang. Jadi Senja sendiri yang keluar membuka pintu, sembari membawa Askara dalam gendongan.Lantas, ia tertegun dalam beberapa detik lamanya. Menatap wajah Chandra yang begitu tenang mengulum senyum, perasaan Senja mendadak tidak nyaman. Terlebih lagi, hati malah dengan tidak tahu malunya berdebar tak karuan, seakan sengaja melawan kehendak otak yang makin gigih membangun tembok pertahanan."Aku boleh masuk, kan?" tanya Chandra dengan senyuman yang lebih manis, seolah sengaja menyadarkan Senja bahwa dirinya memiliki paras rupawan yang wajib dijadikan bahan pertimbangan."Silakan, Pak!" Senja menyahut gugup.Lantas, ia melangkah masuk dan membiarkan Chandra mengekor di belakangnya. Meski agak enggan, tetapi Senja duduk jua di sofa ruang

  • Anak Siapa di Rahimku   Masuk Jebakan

    "Cukup, Mas! Berhenti membentak! Berhenti memukul! Kamu nggak pantas melakukan ini padaku!" teriak Sintia sambil berusaha bangkit.Habis sudah kesabarannya. Tak mau lagi direndahkan sang suami, apalagi membiarkan diri dihajar secara fisik sampai babak belur. Oh tidak!Tamparan barusan saja sudah menyisakan rasa perih dan panas di kedua pipi. Sintia tak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Cukup! Dia harus melawan dan membuka mata Dion, agar pria itu paham bagaimana caranya berkaca."Aku melakukan semua ini demi kebaikan kita! Aku berkorban agar perusahaan nggak jatuh ke tangan Chandra brengsek itu! Aku—""Kamu sudah gila, Sintia! Berkorban apa yang kamu katakan, hah? Kamu selingkuh, kamu tidur dengan pria lain. Itu yang kamu sebut berkorban?" pungkas Dion."Itu adalah imbalan yang harus kubayar agar dia mau membantu perusahaan kita, Mas. Kamu pikir aku bisa mengandalkan siapa? Kamu sendiri malah terkapar di rumah sakit, nggak bisa melakukan apa-apa. Kamu kira aku rela melihat pe

  • Anak Siapa di Rahimku   Dipermalukan

    "Bu Sintia, tidak menyangka Anda akan mengurusi masalah pribadi saya juga. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kecuali ... saya pacarannya di sini, sambil rapat seperti ini." Chandra kembali mengulas senyum. Lagi-lagi masih tenang dan tidak terpancing emosi Sintia yang sudah menggebu-gebu. "Tapi—""Saya akui, memang tidak sekali dua kali menjalin hubungan dengan wanita. Karena memang ... ada saja masalah yang membuat hubungan berakhir. Ada saja ketidakcocokan yang membuat kami memilih berhenti dan tidak melanjutkan hubungan pada tahap yang lebih serius. Tapi, saya rasa ini masih termasuk hal wajar. Saya yakin di luar sana, baik laki-laki maupun perempuan, banyak juga yang berkali-kali gagal dalam hubungan. Dan ... tidak otomatis karena merekanya yang tak bermoral. Terkadang sudah niat serius, tapi masih saja ada masalah yang membuat hubungan putus. Jadi, saya rasa ini bukan hal yang patut dibesar-besarkan, Bu Sintia."Chandra memotong ucapan Sintia dengan

  • Anak Siapa di Rahimku   Mendapat Dukungan Penuh

    "Bu Sintia, beliau-beliau sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap berinvestasi di Altera. Dan ...."Chandra menggantungkan kalimatnya sesaat. Menyisihkan sedikit waktu untuk menyodorkan dokumen yang sedari tadi ia bawa."Ini adalah surat kontrak yang baru dari Voltanic. Ke depannya, Altera akan kembali menjadi distributor utama bagi perusahaan tersebut. Jadi ... dua janji saya sudah terpenuhi," lanjut Chandra dengan sangat tenang, malah disertai senyuman lebar, seakan sengaja menertawakan kekalahan Sintia.Melihat itu semua, Sintia hanya bisa menggeram lirih. Ini tak masuk akal, pikirnya. Para investor yang sebelumnya sudah berjanji menghancurkan Chandra, nyatanya hanya omong kosong. Voltanic yang katanya akan tersandung kasus, faktanya sampai sekarang belum ada kabar kedatangan polisi di sana."Bu Sintia, bagaimana tanggapan Anda?" ucap Chandra lagi, masih dengan senyum yang sama.Sebuah pertanyaan yang dibiarkan mengabur bersama keheningan dalam ruang rapat tersebut. Alih-alih mem

  • Anak Siapa di Rahimku   Dikhianati

    Menurut jadwal yang ditentukan, rapat akan dimulai jam setengah sembilan. Namun, baru jam setengah delapan, beberapa peserta sudah hadir di sana. Sintia beserta keluarganya, Chandra yang didampingi Norman, dan juga beberapa investor yang sebelumnya sempat mengundurkan diri.Setelah Chandra yang mengambil alih kursi kepemimpinan, mereka bersedia menjadi investor lagi untuk Altera. Karena dari sebelumnya, mereka sudah berdiri di pihak Chandra. Namun, entah akan bertahan lama atau tidak kesetiaan tersebut. Hanya waktu yang akan memberikan jawaban akurat."Kamu boleh bersikap angkuh sekarang, tapi lihat saja nanti. Kamu ... akan menangis darah, Chandra! Dan asal kamu tahu, menyesal pun sudah tidak akan ada gunanya," batin Sintia dengan tatapan yang memicing, meremehkan Chandra yang saat itu tampak tenang dan penuh percaya diri.Awalnya, Sintia sekadar bicara sendiri dalam hati, meluapkan kepuasan atas kemenangan yang sudah terpampang di depan mata. Namun, melihat Chandra yang seolah tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status