Share

Anak Untuk Mas Agam
Anak Untuk Mas Agam
Penulis: Boru Sinaga

1. Dua Garis Biru

Dua garis biru adalah hal pertama yang membuat jantung seorang gadis berusia 17 tahun terpacu cepat. Dia menutup mulutnya merasa tak yakin pada apa yang kini dilihatnya. 

Bagaimana bisa, ada dua garis di tespack itu. Tidak, itu adalah pertanyaan bodoh, yang pasti dia tahu betul mengapa dia menjadi seterpuruk ini. 

Satu bulan yang lalu, dia dan kekasihnya yang sama-sama masih duduk di bangku SMA pergi ke sebuah hotel. Dan sialnya lagi dirinya tak menolak saat sang kekasih meminta sesuatu yang harusnya ia jaga dengan baik, tapi sayang janji manis dari kekasihnya membuat mata dan pikirannya seakan buta. 

Sekarang apa yang bisa dia lakukan, tidak ada. Dia hanya bisa menangis di balik pintu kamar mandi sambil menutup mulutnya erat-erat. Tangan bergetar miliknya sedari tadi berusaha menghubungi pacarnya, tapi selalu saja. Tidak diangkat, perubahan ini sekarang yang semakin membuatnya takut luar biasa. 

"Gentari?" Suara ketukan dari luar membuat jantungnya berdetak tak karuan. 

Dia Gentari Parwani, gadis yang kini berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang sudah mati rasa. Mamanya sudah memanggil, itu artinya makan malam sudah siap. 

Dia tinggal bertiga di rumah sederhana tak bertingkat itu, dengan mama dan adik prempuannya. 

Ayah dari Gentari sudah meninggal sejak lima tahun lalu akibat penyakit, adiknya bernama Gina Saputri saat itu baru saja memasuki jenjang SMA yang Gentari yakini akan semakin membuat beban mamanya berkali-kali lipat. Lalu sekarang, dia hamil? Astaga, musibah macam apa ini. 

"Gentari, ayo makan, Nak. Makanan udah siap lho," kata sang mama lagi seraya mengetuk pintu lebih keras,  siapa tahu putrinya tak mendengar. 

Gentari menghapus jejak air matanya, yang kini hanya terlihat sia-sia sebab matanya sangat sembab. Siapa pun yang melihatnya akan mudah menebak kalau dia sehabis menangis. 

Gentari membuang alat sialan itu begitu saja di dalam tong sampah yang terdapat di dalam sana. Seakan jijik, Gentari membersihkan tangannya dengan mengelap pada baju. Gentari menarik napas panjang,  lalu membuang dan setelahnya Gentari membuka pintu. 

"Ayo, Ma." Gentari menunduk, dia berjalan duluan. Sungguh dia tak sanggup menatap mata sang mama, Gentari tidak bisa, dirinya merasa amat berdosa. Sekarang bernpas pun menjadi hal yang sulit baginya. 

Ami--mama Gentari menatap bingung anaknya itu, dilihatnya kini punggung Gentari sudah keluar dari kamar mandi. Ami ikut menyusul. 

Di dapur tidak ada meja makan, di sana sudah terhidang lauk pauk seadanya. Beralaskan tikar mereka akan makan. Beginilah suasana rumah Gentari, sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. 

Gina tampak antusias menatap kehadiran sang kakak, jujur saja dia sudah amat lapar. Gina menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya meminta Gentari agar duduk di sana. Gentari dengan kepalanya yang masih menunduk duduk di sana. 

Gina tersenyum manis ke arah kakaknya, tapi Gentari masih enggan mengangkat kepala, kedua tangannya saat ini tengah meremas kuat baju yang ia kenakan tepat di bagian perut. 

"Kak Gentar, nasinya mau berapa centong?" Gina mengambil satu piring lalu mengisi piring tersebut dengan nasi. 

"S--satu," jawab Gentari. 

Gina mengangguk cepat, dia lalu berpindah pada wadah lain yang berisi ayam rendang. Ini adalah kejadian langka, ya. Gina bahkan lupa kapan terakhir kali dia makan daging ayam. 

"Hari ini gorengan yang aku jual laku keras, Kak. Jadi, mama masak ayam, deh. Ya, kan. Ma?" tanya Gina sambil menatap sang mama. 

Mia yang duduk tepat di depan putri-putrinya mengangguk singkat. 

"Iya, Gentar. Ayo makan! Jarang-jarang loh kita makan ayam," ungkap sang mama. Hal itu terdegar perih sekali bagi Gentari. Satu tetes air matanya kembali jatuh tanpa sepengetahuan adik dan mamanya. 

Untuk makan enak saja mereka harus menunggu hasil yang lebih dari hasil jual gorengan, tapi. Bukannya membantu meringankan beban Gentari malah membuat malu keluarganya. 

Satu piring dengan lauk ayam rendang sudah Gina letakkan di depan Gentari. 

"Ayo, Kak. Makan!" suruh Gina. 

Tangan Gentari masih saja bergetar hebat, dia sudah memegang sendoknya. Tapi, tak kuasa megangkat benda mati itu. Namun, karena desakan dari sang adik, akhirnya Gentari menyendokkan nasi ke mulutnya. Setelah itu Gentari menangis lagi, dia kini terisak dan itu berhasil menarik perhatian mama dan adiknya. 

Gina yang pertama kali menyentuh pundak Gentari. Mendapatkan sentuhan itu Gentari langsung memeluk erat sang adik. 

Gina amat terkejut ada apa dengan kakaknya. Tidak biasanya Gentari menangis pilu sambil memeluknya begitu erat. Terakhir kali Gentari menangis begini saat dia mendapat kabar meninggalnya sang papa. 

"Kak, kenapa?" tanya Gina dengan panik. Dia sudah melupakan makanannya yang sedap itu. 

Mia pun kini ikut mendekat dia cemas melihat Gentari menangis saat makan padahal Mia sangat yakin sekarang mereka sedang baik-baik saja. 

"Nak, kamu kenapa Gentari. Sayang?"

Pertanyaan dari Mia kembali menyayat-nyayat hati Gentari, mendengar suara mamanya membuat dia merasa sangat berdosa, dia tahu suara mamanya sarat akan keletihan. Gentari amat tahu bagaimana lima tahun belakangan ini sang mama mati-matian bekerja keras di rumah orang besar. 

Mamanya bekerja menjadi asisten rumah tangga, bos mamanya terkenal baik. Tapi, walaupun begitu Gentari tetap saja merasa tak tega melihat Mia harus pergi pagi pulang siang dari sana. 

"Gentari, ada apa, Nak? Kamu ada masalah di sekolah, cerita sama Mama, Sayang," desak Mia, dari nada bicara begitu kentara kecemasan. 

Gentari tak sanggup dia tidak mau semakin digerogoti rasa bersalah. Buru-buru Gentari bangkit dia berlari cepat menuju kamarnya. Melihat itu semakin membuat Mia serta Gina bingung. 

Mereka pun akhirnya ikut menyusul Gentari. Mia mengetuk-ngetuk pintu kamar anak gadisnya, tapi Gentari tampaknya enggan membukakan pintu. 

Gentari kembali menangis, kali ini benar-benar histeris. Dia menjambaki rambutnya bahkan sampai memukul tubuhnya sendiri. 

Ketukan dari luar semakin kuat saja, tentu saja mereka cemas melihat Gentari menangis tanpa sebab yang jelas. 

"Gentari kamu kenapa? Jangan buat Mama takut, Nak." Terdegar suara Mia yang kini sudah bergetar. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca. 

Apa yang bisa Gentari lakukan, dia tidak bisa apa-apa. Gentari rasanya ingin mati saja saat ini. Melihat adik dan mamanya terlalu sakit baginya sekarang. Dan begitulah malam itu berlalu, dengan Gentari yang masih menangis di dalam kamar, sedangkan Mia dan Gina kini semakin cemas di depan pintu. 

                  •••

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mas Goen
next part mana .....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status