Share

2. Hubungan Berakhir

Pagi-pagi sekali Gentari bangun, dia bergegas pergi ke sekolah tanpa memita izin terlebih dahulu kepala mamanya. Padahal itu adalah kebiasaan yang baik, tapi kali ini tidak. Gentari masih belum berani memandang mamanya. 

Sampainya dia di sekolah, Gentari langsung menuju kelas XII IPA 1, yaitu kelas pacarnya. Gentari melihat sang pacar kini tengah duduk anteng di kursinya seraya memainkan ponsel sambil tersenyum-senyum tidak jelas. 

"Ibnu!" panggil Gentari cukup keras. Ibnu Amatya namanya, pria tampan nan populer. 

Ibnu melangkah menuju Gentari, pemuda itu pun belum tahu soal kehamilan kekasihnya, sebab semalaman dia tak mau mengangkat panggilan dari Gentari, alasannya adalah. Karena dia malas, harus Ibnu akui dia mulai bosan bersama Gentari. Setelah menjalin hubungan hampir tiga tahun. 

"Apa?" tanya Ibnu malas-malasan, dia bahkan masih sibuk bermain ponsel dia sedang berbalas pesan dengan seseorang. 

"Aku mau bicara, tapi nggak di sini." Gentari berkata, tangannya meremas jemari satu dan yang lain. 

"Kamu mau ngomong apa? Di sini ajalah," kata Ibnu. Sedikit pun fokusnya tak lepas dari ponsel. Padahal pacarnya tengah berdiri di depan dia. 

"Tapi aku nggak mau ngomong di sini." Gentari tampaknya bersikeras ingin bicara di tempat yang lebih sepi, tantu saja. Dia takut jika ada yang mendengar pembicaraan mereka. 

Ibnu menghela napas panjang, dia lalu berjalan duluan mencari tempat yang menurutnya cukup privasi. Gentari sedikit lega karena Ibnu mau menurutinya, itu artinya Ibnu masih sayang, kan. Padanya? Semoga saja bagitu. 

Sampai di belakang sekolah, di sana amat sepi. Sebab tempat itu tidak ada suatu hal yang menarik yang dapat membuat murid ingin ke sana. 

"Jadi, kamu mau ngomong apa?" Ibnu kini menatap dalam manik Gentari. Tiba-tiba saja Gentari gugup, padahal moment ini yang dia tunggu-tunggu. 

"A--aku, aku hamil," ungkapnya pelan. 

Kepalanya menunduk membuat rambut yang tadinya tergerai kini menutupi kedua sisi pipinya. 

Ibnu tak merespons, tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Tubuhnya kini sudah menegang. Ibnu cukup terkejut pada fakta sialan itu. 

Dua menit berikutnya Ibnu lalu menggeleng, pemuda itu memegang kedua pundak Gentari dengan begitu erat lalu berkata. 

"Aku nggak menginginkan ini, Tari." Bisikan Ibnu membuat jantung Gentari terpacu cepat, perlahan kepalanya terangkat. Gentari balas menatap dalam manik Ibnu yang kecoklatan. 

"Maksud kamu?"

"Gugurin aja, Tari. Aku belum siap nanggung beban ini."

Gentari ingin menangis rasanya, dia menjauh dari Ibnu. Membuat pegangan pada pundaknya terlepas. Gentari menggeleng tak yakin. Air mata kembali lolos tanpa melintasi pipinya terlebih dahulu, ini sangat menyakitkan. Bagaimana bisa Ibnu bilang belum siap menanggung beban ini, sementara Gentari sendiri sudah menanggungnya dari semalam. Bukan, kah. Itu sangat tidak adil. 

"Ibnu, kamu udah janji bakal bertanggung jawab, kan?" Kini Gentari mengungkit janji manis Ibnu sebulan yang lalu saat sebelum mereka melakukan perbuatan yang buruk itu di sebuah kamar hotel. 

Ibnu memijat kepalanya, sekarang kepala pemuda itu mulai terasa pusing. Apa-apaan Gentari itu. 

"Tari, aku bakal tepatin janji kalau aku udah tamat sekolah kalau aku udah mapan dan bekerja, tapi kamu lihatkan? Kita masih sekolah, Sayang. Jadi gugurin aja, ya. Nggak ada gunanya juga anak itu nantinya kalau lahir," bujuk Ibnu. Pemuda itu mendekati Gentari lagi. Menghapus air mata Gentari. Berharap Gentari mau mengerti. 

Gentari diam, dia juga ingin tapi ... dia juga tidak mau dosanya semakin bertambah. 

"Ibnu, aku juga nggak menginginkan anak ini, tapi aku juga nggak bisa bunuh dia." 

Air mata semakin tak terbendung. Dan semakin ke sini Ibnu pun semakin kesal. Mengapa Gentari tidak mau menurutinya saja. 

"Tari, kamu dengerin aku. Anak ini akan bawa masalah buat kita, Sayang." Ibnu tak menyerah. Dia terus meyakinkan dengan menggegam telapak sang kekasih. 

"Lagian ini juga demi kebaikan kita, kita masih sekolah, tolong jangan bodoh dengan mempertahankan kandungan kamu."

Gentari menghempaskan tanganya membuat pegangan Ibnu terlepas. Gentari mundur satu langkah. Hatinya berdenyut nyeri, Ibnu bilang dia bodoh. Apakah hanya Gentari yang bersalah di sini? 

"Kamu bilang aku bodoh? Terus kamu apa? Kamu pintar gitu? Ibnu inget anak ini bisa ada karna kita, lebih tepatnya karna kebodohan kita," tekan Gentari. Dia kini tersulut emosi. 

"Kamu yang bodoh!" bentak Ibnu. Gentari tersentak kaget. Sedari tadi Ibnu sudah berusaha sabar, tapi keras kepala gadis itu membuatnya mulai kesal. 

Ibnu melihat sekitar, memastikan kalau di sana tidak ada orang. Lalu Ibnu menekan kedua pipi Gentari dengan kasar menggunakan jari telunjuk dan ibu jarinya. 

"Kamu yang bodoh! Kamu nggak nolak aku waktu itu, kenapa? Hah? Karna kamu mau, kan? Itu artinya kamu bodoh."

Sakit? Tentu saja. 

"Ib--ibnu?" Suara Gentari tercekat, selain sesak atas kenyataan pahit yang kini harus ia terima Gentari juga sakit hati atas bentakan dan perlakuan Ibnu. 

Dengan sisa-sisa tenaganya yang tak seberapa, Gentari memegang tangan Ibnu yang masih menekan pipinya dengan begitu kasar. Gentari yakini pasti pipinya sudah memerah saat ini. 

"Aku mohon, Ibnu. Kamu harus tanggung jawab." 

Ibnu melepaskan tangannya dari pipi Gentari, dia lalu menunjuk wajah Gentari dengan telunjuk kanannya. Wajah lelaki tampan itu berubah kesal saat ini. 

"Kalau kamu nggak mau dengerin aku buat gugurin kandungan itu, terserah kamu. Aku nggak bakal tanggung jawab. Dan...." Ibnu memberi jeda. Dia kembali melihat kesekelilingnya. Memastikan di sana sepi. Baru Ibnu kembali melanjutkan kalimatnya. 

"Dan, kalau kamu berani mendesak aku terus, kamu sendiri yang akan malu, Tari. Beberapa bulan ke depan perut kamu akan membesar, dan orang-orang akan tau kalau kamu sedang hamil. Di saat-saat itu aku nggak akan hadir buat bantuin kamu, karna mulai sekarang kita putus, Sayang. Maaf, tapi aku nggak mau pacaran sama gadis yang udah hamil." Ibnu tersenyum licik di akhir kalimatnya. 

Langkah lebar pemuda itu membawa sang empu mejauh dari Gentari. Langkah Ibnu terlihat sangat enteng, seakan tidak ada beban yang tengah dia pikul, tentu saja semua malu kini hanya ditanggung oleh Gentari. Gadis yang malang. 

Hancur? Tentu, sesak? Sangat. Ini adalah hal yang paling buruk yang pernah menimpah dirinya. Gentari terduduk lemas di atas tanah. Dia menjambak rambutnya sendiri, menangis dengan keras tidak akan ada yang mendengarnya. Biarkan saja kini dia melepas segala sesak di dadanya. 

Gentari menatap ke langit tinggi, pandangannya benar-benar sayu. Dia sungguh lelah. Bibirnya bergetar hebat. Dia meremas perutnya, Gentari sangat-sangat menyesal dan Gentari tak bisa pula membunuh nyawa di dalam sana. Dia belum siap jika harus mendapatkan dosa berkali lipat. Gentari tak ingin kembali melakukan hal bodoh, tapi. Tapi, bagaimana sekarang. 

"Papa, Gentari anak yang buruk, kan?" katanya pada langit. Gentari tak punya tenaga lagi untuk sekedar berdiri dari tanah yang membuat rok abu-abunya kotor. 

"Papa pasti kecewa, maafin Gentari, Pa. Gentari kira lelaki yang selama ini Gentari cintai adalah lelaki kedua yang akan menjaga Gentari dengan sepenuh hati setelah papa, tapi. Gentari salah, dan Gentari sekarang benar-benar nyesel, pa." Tanganya terangkat menghapus dengan lemah jejak air matanya. 

"Pa, tolong bawa Gentari sama papa. Gentari nggak mau di sini. Gentari takut, pa." Gentari tak henti mengadu, seakan sang papa benar-benar ada di depannya dan sedang mendengarkan dia. 

Isakan demi isakan lolos Dari bibirnya. Pandangan Gentari tiba-tiba menjadi putih semua. Telinganya mulai berdegung, lalu suara bising tidak bisa ditangkap indra pendengarannya. 

"Pa, jemput Gentari. Bawa Gentar...."

Tubuhnya ambruk begitu saja di tanah. Gentari pingsan, kegelapan sedang memeluknya saat ini, ya. Gelap seperti masa depannya. 

                         •••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status