Share

4. Meninggalnya Sang Mama

Jika ada kesempatan boleh meminta satu hal pada Tuhan dan akan langsung dikabulkan, maka Gentari akan meminta untuk mati dan dihilangkan dari muka bumi. 

Di sekolah tadi benar-benar kacau, satu sekolah geger dengan kabar kehamilan Gentari. Tentu mereka tahu, saat melihat Dokter Ina--dokter kandungan yang terkenal di kota mereka datang ke sekolah dan memasuki UKS. 

Spekulasi tentang siswi hamil langsung menjadi momok yang empuk untuk diperbincangkan. Setelah dokter kandungan memeriksa Gentari dan meminta Gentari menggunakan alat sialan itu lagi dan lalu muncul garis dua maka Gentari benar-benar mati, kepala sekolah. Bahkan satu sekolah sudah tahu tentang kandungan yang harusnya belum ada itu. Di UKS Gentari diceramahi habis-habisan oleh Kepala sekolah dan beberapa guru lain.

Begitu Gentari keluar UKS dan disuruh pulang. Jelas sudah kecuringaan murid satu sekolah. Gentari hamil! Maka Gentari adalah buruk. Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah bisik-bisik tentang dirinya terus mengusik sepanjang perjalanan Gentari hanya bisa menunduk. 

Tidak berakhir di sekolah, saat di rumah. Gentari malah disambut tangisan histeris dari Gina. Melihat rumahnya ramai dikunjungi orang Gentari semakin kalut. 

Gadis itu masuk dan melihat Gina memeluk kepala mamanya yang tak berdaya di lantai yang beralaskan tikar bergambar yang sudah bolong-bolong. Wajah mamanya tampak sangat pucat dengan mata terpejam rapat. 

Gentari mendekat, matanya mulai memanas lagi. Baru saja air matanya berhenti. Kini malah kembali jatuh melihat adiknya menangisi sang mama.  

Gentari terduduk di depan Mia.  Begitu dia mengedipkan matanya air mata kembali lolos membasahi pipi. 

"Mama kenapa?" tanya Gentari pada Gina. Digenggamnya tangan Mia, dingin. Sungguh baru kali ini Gentari menyentuh tangan Mia, tapi tidak bisa merasa kehangatan di tangan mamanya. 

Gina yang sesenggukan mengangkat kepada melihat kakaknya dengan tatapan garang, mata gadis itu memerah. Sarat akan kebencian, jika Gina sudah begini pasti hal buruk baru saja terjadi. 

"Mama, meninggal!" tekan Gina. 

Seakan tuli Gentari kembali bertanya dengan bodohnya. Padahal dia dengar dengan baik apa kata Gina, Gentari hanya berharap semoga dia salah dengar. 

"Kamu bilang apa?" Mungkin mulutnya bisa berbohong tapi suara terbatanya tak bisa. Mata Gentari melihat mama yang kemarin malam dia tolak. 

"Mama meninggal dan itu karna kakak!" terik Gina akhirnya.

"Gina kamu sabar," kata salah satu tetangga mereka.

"Aku?" tanyanya lagi. Gentari tak mengerti, Gina pasti bercanda. Pasti. 

"Hahaha jangan bercanda, Gina. Mama sehat." Gentari memeluk mamanya, dia meletakakan kepalanya pada dada sang mama. Begitu kepalanya terletak. Gentari menegang, seakan seluruh oksigen dalam bumi habis. Gentari sesak. 

Dia tidak lagi mendengar suara detak jantung mamanya. 

Gentari bangkit dia buru-buru meletakkan telunjuknya didekat lubang hidung Mia. Tidak ada napas, apa mamanya sedang menahan napas, apa mamanya sedang bercanda. 

Gentari sangat takut, dia mengambil tangan mamanya lalu mulai menggosok tangan sang mama yang sudah dingin sejak awal. 

"Kenapa mama nggak napas?" Gentari menangis. Dia seperti orang gila terus menggosok telapak mamanya dan memeriksa napas mamanya. Begitu seterusnya dia lakukan tanpa henti. 

"Mama bangun!" teriak Gentari. Gentari menggoyangkan pundak mamanya berkali-kali berharap dengan itu Mia mau bangun dan memeluknya dengan erat. 

Tidak Mia tidak merespons. Hari ini benar-benar buruk bagi Gentari, sakit yang lima tahun lalu dia rasakan saat kepergian papanya, kini kembali dia rasakan.

***

Rumah duka kecil dipenuhi dengan orang-orang serba berbaju hitam. Tenda hijau dipasang di teras rumah. Acara pemakaman sebentar lagi dilakukan, tapi anak tertua di rumah itu malah sibuk mengurung diri di dalam kamar yang dibiarkan gelap. 

Gentari gadis yang malang, saat satu nyawa kini akan hadir dalam kehidupannya, mengapa nyawa lain harus pergi meninggalkan dia. 

Meringkuk di sudut ruangan, Gentari masih menangis, kilasan masa lalu saat bersama Mia masih sangat kental dalam ingatannya. Gentari bahkan masih bisa merasakan bagaimana belaian lembut dari tangan Mia. Sekarang Gentari rindu sentuhan itu, Gentari merindukan mamanya. Gentari ingin Mia datang dan memeluk dirinya dengan erat. 

"Gentari mana, Gina?" tanya tetangga mereka. 

Gina dengan mata sembabnya hanya bisa bilang. 

"Di kamar, lagi nangisin kesalahannya." Begitulah yang Gina katakan setiap kali ada tetangga yang bertanya. Gina sudah bilang pada Gentari, mama mereka meninggal saat tak segaja melihat hasil tespeck di dalam keranjang sampah dalam kamar mandi. 

Lalu Mia ingat Gentari menangis hebat dan mengunci diri di dalam kamar sepanjang malam, alasannya adalah karena dia tengah mengandung. Melihat itu Mia langsung kena serangan jantung, dan tak dapat tertolong lagi. 

Gina bahkan sempat tak yakin mamanya yang sejak dulu sehat bisa tiba-tiba saja terkena serangan jantung, mungkin mamanya benar-benar terpukul dan syok mengetahui fakta menjijikkan itu sampai-sampai mama mereka terkena serangan jantung, dan pergi meninggalkan anak gadisnya. 

Gina melihat dengan jelas bagaimana Mia sempat menangis lantaran kecewa oleh Gentari. 

Para tetangga masih belum mengetahui apa penyebab Mia terkena serangan jantung mendadak. Mengingat Mia selalu terlihat sehat-sehat saja. Mereka pun tidak ingin terlalu banyak bertanya, karena tak ingin menyinggung perasaan Gina dan Gentari yang masih sangat berduka. 

Suara-suara yang mengisi rumah duka seketika lenyap. Kala melihat seorang lelaki dengan jas hitam, serta kaca mata hitam mengkilap turun dari dalam mobil mewah diikuti oleh dua orang pengawal di belakangnya. 

"Kalian tunggu sini," katanya. Pada kedua pengawal. 

Dia lalu masuk, rumah yang sempit semakin terasa gerah. Baru dia masuk dia langsung berkeringat. Sepertinya dia tidak tebiasa berada di tempat seperti rumah Mia ini. 

"Saya bosnya, Bi Mia. Bi Mia bekerja di rumah saya. Saya sekeluarga turut berduka atas kepergian beliau," katanya pada Gina seraya melepaskan kaca mata hitam. 

"Terima kasih, Pak." Gina menatap wajah tampan bos mamanya ini. Padangan Gina masih sama terlihat kosong dan amat tak bergairah. 

"Ini ada sedikit uang untuk jaga-jaga, maaf saya tidak bisa lama-lama. Karna ada beberapa urusan, saya harus segera pergi. Sekali lagi saya turut berduka cita. Kamu dan sekeluarga harus sabar."

Gina mengangguk. Sepeninggalan bos Mia tadi aktivitas kembali berlangsung. 

                               ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status