Share

6. Pesan Mereka Terlalu Misterius

"Kenapa kita pindah?" tanya Gina dengan wajah kesal yang amat ketara.

Tentu saja kesal, siapa yang tidak akan kesal. Mendadak Gentari mengajaknya pindah rumah, sementara rumah lama mereka adalah rumah peninggalan kedua orang tua. Gina yang masih belum bisa menerima kepergian mamanya jelas tidak ingin pergi jauh dari rumah yang menyimpan banyak kenangan indah bersama itu.

Gentari mendekati Gina, lantas dia mengelus puncak kepala adiknya. Walau sekarang sikap Gina berubah 180° kepadanya menjadi sangat kasar. Gentari akan tetap sayang pada gadis itu. Karena sekarang hanya Gina keluarga yang dia punya.

"Maaf, Ya. Gin, Kakak tau. Kamu pasti berat ninggalin rumah itu. Sama, Kakak juga berat, tapi Gina. Kakak nggak mau kamu juga menjadi bahan omongan tetangga karena punya Kakak seperti aku," papar Gentari dengan sabar, sekuat tenaga dia menahan air mata yang akan lolos. 

Gentari harus bisa menjadi sosok ayah dan ibu sekaligus kakak yang baik untuk adiknya. Maka, Gentari tidak akan membiarkan Gina menjadi stres mendengarkan bisik-bisik tetangga mereka yang mulai asik membahas kehamilan Gentari.

"Bilang aja, Kakak. Malu karena aib Kakak udah kesebar, iya. Kan? Nggak usah jadiin aku alasan, deh. Mangkanya harusnya berpikir dulu sebelum berbuat sesuatu," hardik Gina lantas dia pergi dengan tas berisi barang-barang bawaannya.

Satu tetes lolos dari pelupuk mata yang sarat akan lelah itu. Gentari lelah sungguh, jika mungkin dia ingin meninggalkan dunia ini bersama dengan kesedihannya yang mendalam. Tapi, mengingat ada Gina. Maka, Gentari menggeleng untuk mengenyahkan pikiran buruk itu.

"Kamu kuat, Gentari. Kamu pasti bisa," kata Gentari menyemangati dirinya sendiri. Seraya menghapus jejak air matanya.

Suara klakson mobil yang membawa perabotan rumah lamanya datang. Gentari lantas keluar.

"Neng, ini kami turunin aja, ya. Maaf, nih. Kita nggak bisa bantu bawa masuk. Soalnya Neng sendiri kasih uang cuma pas buat ongkos anter, nih. Perabotan," kata sopir truk yang membawa perabotan rumah.

"Mas, nggak bisa bantu bawa masuk. Sampe depan pintu aja, Mas?" bujuk Gentari, dia sendiri yakin. Dirinya tidak akan kuat untuk mengangkat perabotan itu. Walau barang mereka tidak banyak, tapi tetap saja barang yang paling berat di sana adalah dua lemari pakaian dan satu lemari piring.

"Bisa, asal Neng. Juga kasih uangnya lebih, gimana?"

Gentari langsung diam, mana mungkin dia membayar lebih. Uangnya semakin menipis, sedangkan uang untuk sewa kontrakan baru yang berukuran kecil itu saja tabungannya hampir terkuras. Jika, Gentari membayar mereka lebih maka nanti malam dia dan Gina tidak akan bisa makan.

"Yaudah, Mas. Turunin aja, nanti saya masukin sendiri ke dalem," kata Gentari seraya tersenyum canggung.

Supir itu tampak sedikit kesal, dengan malas dia mulai menurunkan perabotan Gentari. 

Beberapa saat berselang, perabotan sudah diturunkan. Gentari memandangi semua barang-barang itu, bagaimana mungkin dia bisa mengangkat semuanya sampai ke dalam kontrakannya.

Menarik napasnya perlahan, lalu Gentari mulai mengangkat barang yang ada dalam kardus, terhitung ada lima kardus. Mungkin isinya adalah alat makan lama mereka.

Setelah dia meletakkan ke dalam kontrakannya. Gentari kembali keluar, dia kembali mengangkat semua kardus dengan amat hati-hati. Kardus sudah dimasukkan semua, dan itu sukses membuat Gentari kelelahan.

Gentari langsung terduduk di tanah, karena mendadak pusing mendera kepalanya. Wanita yang malang, dia sedang hamil muda. Tapi, harus mengangkat semua barang berat itu seorang diri.

Gina jelas tidak mau membantu, terbukti karena sekarang Gina malah sibuk mengunci dirinya di dalam kamar. Ya, kamar di kontrakan mereka itu hanya ada satu. Gentari tidak punya cukup uang untuk menyewa kontrakan yang memiliki dua kamar. Gentari mungkin akan tidur di ruang depan yang langsung terhubung dengan pintu.

"Kamu tetangga baru, ya?" sapa seorang ibu-ibu dengan plastik belanjaan di tangannya. 

Karena disapa, lantas Gentari langsung berdiri. Dia melemparkan senyumnya, dan mengangguk. Gentari mengelap peluh keringatnya yang bercucuran di dahi, lantas membersihkan tangannya lalu mengulurkan tangannya bermaksud ingin berjabat tangan dengan tetangga baru itu.

Ibu itu tidak menyambut baik uluran tangan Gentari, karena ibu itu malah membuang muka tampak tak minat. Melihat itu Gentari pun lagi-lagi hanya bisa tersenyum dan menurunkan tangannya.

"Maaf, tangan saya memang kotor sehabis membersihkan kontrakan," kata Gentari sopan. Dia kira ibu di depannya itu enggan menjabat tangannya karena kotor. 

"Hm, semoga aja kamu betah tinggal di lingkungan ini. Dan, ya. Ngomong-ngomong jika malam sudah menjelang pukul delapan sebaiknya kamu dan adik kamu nggak usah keluar kontrakan lagi, kunci semua pintu dan jendela kalau ingin tetap aman. Sudah, ya. Saya permisi dulu," pesan ibu itu lantas dia pergi ke lontarkan yang berjarak lima kontrakan dengan Gentari.

Alis Gentari menyatu, apa maksud ibu tadi? Kenapa tidak boleh keluar malam? Gentari lantas memerhatikan sekitarnya. Walau di sana berjejer kontrakan, tapi di dalamnya masih kosong.

Bahkan kontrakan di samping kanan dan kiri Gentari kosong belum berpenghuni. Mendadak bulu kuduk wanita itu merinding. Gentari pun cepat-cepat masuk ke dalam rumah, meninggalkan tiga lemari yang belum sempat dia bawa masuk. Hari sudah menjelang malam, setelah mendengar perkataan ibu tadi. Mendadak dia jadi was-was. Mungkin besok pagi baru dia akan memasukkan lemari itu dengan berbagai cara.

***

"Gina, ayo makan!" ajak Gentari seraya mengetuk pintu kamar yang terbuat dari triplek itu dengan pelan dan penuh kesabaran.

Gina tak menyahut, gadis di dalam sana sibuk bermain ponsel. Dia masih saja enggak melihat wajah Gentari, sebenarnya Gina lapar. Mungkin Gina baru akan keluar kamar setelah Gentari tertidur.

"Gina, kamu nggak mau makan?" tanya Gentari lagi disertai dengan ketukan.

Satu menit senyap, maka Gentari menghela napasnya. Dia pun beranjak dari sana. Gentari masuk ke dapurnya, jarak dapur, ruang tengah, kamar, dan pintu keluar sangatlah dekat. Ya, kontrakan itu memang sangat kecil.

"Kakak sisain nasi sama lauknya, ya. Dek, nanti kamu liat aja di meja dapur," teriak Gentari pada malam hari itu. Maksudnya supaya Gina dapat mendengar.

Setelah berteriak tadi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya, Gentari bahkan sampai terkejut. Setelah lepas dari keterkejutannya lantas dia membuka pintu.

Bapak-bapak dengan sarung dan baju manset serta kumis melintang menatap Gentari dengan sangat datar.

"Kalian penyewa baru?" tanya bapak itu.

Dengan canggung Gentari mengangguk.

"Mungkin kamu belum tau peraturan di lingkungan ini," kata bapak itu lagi, terkesan sangat misterius untuk Gentari.

"Peraturan apa, ya. Pak?" tanyanya takut-takut.

"Jangan berteriak di malam hari, jangan keluar kontrakan di malam hari. Kalau, memang mau keluar hanya disaat terdesak saja. Dan, tadi saya dengar kamu berteriak. Bukannya apa-apa, tapi kita nggak tau, kan. Mungkin aja ada tetangga yang merasa terganggu. Disini kita hidup berdampingan dan harus mengedepankan kenyamanan antar tetangga," papar bapak itu. Jadi, alasannya mengetuk kontrakan Gentari karena wanita itu berteriak tadi.

"Iya, Pak. Maaf," katanya.

Lantas bapak itu mengangguk dan meninggalkan Gentari. Gentari masih melihat bapak itu pergi dan ternyata kontraknya berjarak lima rumah dari kontarkan Gentari, itu berarti bapak tadi adalah suami dari ibu-ibu yang menemuinya tadi sore.

"Jaraknya lumayan jauh, kenapa dia bisa denger, sih?" monolog Gentari. Seketika angin melintasi tengkuknya, Gentari langsung menutup pintu dengan buru-buru.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status