Share

5. Sahabat Terbaik

Sebulan sudah berlalu, harusnya hari ini Gentari ikut ujian akhir semester. Tapi, sayang dia sudah dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula mana mungkin pihak sekolah mempertahankan siswi seperti Gentari. 

Sebulan berlalu dengan sangat cepat, hubungannya dengan Gina juga belum membaik. Gina masih kerap menyalahkan Gentari atas kepergian mama mereka. 

Mey sering berkunjung ke rumah Gentari guna menanyakan kabar gadis itu. Mey sahabatnya sangat menghawatirkan Gentari. Mey tahu Gentari hamil, kabar itu sudah tersebar sejak lama. 

Hari ini pun sama, selesai ujian Mey datang ke rumah Gentari. Pintu rumah masih tertutup seperti yang sudah-sudah.

Mey mengketuk berkali-kali tapi Gentari tak kunjung keluar, Mey tahu Gentari di rumah. 

"Gentari, aku Mey. Aku tau kamu di dalem, buka pintunya. Tolong, aku mau bicara sama kamu. Gentar." 

Dua menit berlalu tak ada tanda-tanda Gentari akan membukakan pintu. Mey sudah putus asa, Mey sudah berbalik memutuskan akan pulang, tapi suara pintu dibuka membuat Mey kembali berbalik dengan senyuman lebar. 

"Gentari aku khawatir sama kamu." Mey mendekat ingin memeluk Gentari, tapi Gentari malah mundur. 

"Aku perempuan menjijikkan, Mey. Nggak pantas gadis baik kayak kamu meluk aku." 

Mey terkejut, dia tidak pernah menganggap Gentari seperti itu. 

Mey dengan gerakan cepat langsung memeluk Gentari, Gentari berontak minta dilepas. Tapi, Mey semakin erat memeluknya. Jujur Mey sangat sedih mendengar perkataan Gentari, Mey juga sempat terkejut saat melihat wajah Gentari sangat pucat tubuh gadis itu juga sedikit kurus. 

"Jangan ngomong begitu, Gentar. Aku sahabat kamu. Aku ada buat kamu, aku nggak pernah anggap kamu kayak gitu. Aku udah anggap kamu kayak saudaraku sendiri," bisik Mey. Mampu membuat Gentari diam. Gentari tak membalas pelukan Mey. Jujur Gentari pun merindukan Mey dan sekolahnya, tapi sadar akan keadaan dia pun kembali menangis. 

"Aku terlalu buruk, Mey."

Mey menggeleng, dia melepas pelukan. Lalu menarik Gentari masuk ke dalam. Mereka duduk lesehan di lantai papan beralaskan tikar. 

"Kamu yang terbaik, Gentar."

"Aku buruk, aku buruk. Bahkan adikku sendiri membenci aku Mey. Mama meninggal karna aku. Karna aku." Gentari memukul kepalanya dengan keras. Melampiaskan amarahnya. 

Mey menghentikan aksi ceroboh Gentari dengan memegangi tangan gadis itu. 

"Jangan lukai diri kamu, ingat kamu sekarang lagi ...." Mey tak melanjutkan dia takut Gentari tersinggung. 

"Aku bakal ngomong sama Gina, aku kasih dia pengertian supaya nggak marah lagi sama kamu, oke?" Mey tersenyum hangat dia ingin Gentari tahu kalau Mey akan selalu ada untuknya dalam suka mau pun duka. 

"Gina marah sama aku, Mey. Dia nggak akan mudah maafin aku." Tatapan Gentri amat kosong, sepertinya gadis itu tidak punya selera untuk tetap menjalani hidupnya. 

Jika tidak mengingat dia masih mempunyai adik yang masih bersekolah dan harus dia rawat, maka Gentari tidak akan segan untuk menghabisi nyawanya sendiri. 

Mey menyentuh lengan Gentari.

"Kamu harus kuat, aku yakin kamu bisa lalui semua ini."

Gentari mengangguk. Dia sungguh bersyukur masih mempunyai Mey dalam hidupnya. Mey adalah satu-satunya sahabat yang Gentari punya. 

"Eum, Mey. Kamu nggak takut ditatap hina karena masih mau temenan sama aku?" 

Dahi Mey berkedut. Secepat kilat gadis bermata sipit itu menggeleng. 

"Buat apa aku takut?"

"Aku, kan. Cewek nggak bener, hamil di luar nikah." Gentari sebenarnya amat sakit meningat hal memalukan itu. Tangannya meremas baju dengan erat. 

"Denger, ya. Gentar, aku sahabatan sama kamu, ya. Karna kamu baik, aku tau ini semua pasti bukan keinginan kamu. Siapa pun yang udah buat kamu kayak ini pasti bajingan," ungkap Mey menggebu-gebu. Ya, Mey masih belum tahu siapa yang sudah membut sahabatnya sampai seterpuruk ini. 

Gentari menelan ludahnya dia ingin berbagi cerita dengan Mey. Gentari sangat berharap beban di pundaknya bisa sedikit berkurang. 

"Orang yang buat aku begini, itu...."

"Nggak usah cerita kalau kamu memang belum siap, aku janji saat kamu udah siap, aku pasti bakal dengerin semua cerita kamu, ak--"

"Ibnu, dia yang hamilin aku. Dia nggak mau tanggung jawab." Dengan satu tarikan napas Gentari mengatakan segalanya. Gentari masih menunduk dia malu, sangat-sangat malu. 

Mey sendiri terdiam mengetahui fakta tersebut. Mey tidak pernah menduga Ibnu sebejat itu. Mey kira Ibnu sangat mencintai sahabatnya ini. Tapi, nyatanya tidak! Ibnu tidak mencintai Gentari, Ibnu hanya mempermainkan Gentari bahkan pemuda sialan itu sangat brengsek sampai-sampai tega menghancurkan kedhidupan gadis yang seharusnya masih duduk di bangku SMA. 

"Ib--Ibnu?"

Gentari mengangguk. Emosi Mey sampai pada puncaknya gadis bermata sipit itu bangkit dengan gerakan cepat, membuat Gentari turut bangkit dan memegang pergelangan Mey. 

"Kamu mau ke mana, Mey?" tanya Gentari. 

"Aku mau temuin si brengsek itu, Gentar. Dia harus tanggung jawab, aku kira bukan dia yang buat kamu kayak gini. Aku kira dia cowok baik, aku kira dia bakal selalu ada buat kamu di saat kamu dalam masa sulit, tapi aku salah. Aku nyesel restuin hubungan kamu sama dia." Mey tampaknya sangat kesal. Suaranya juga sedikit keras dari biasanya. 

Wajah putih Mey kini memerah lantran kesal bukan main. Dadanya naik-turun dengan cepat. 

Gentari menggeleng wajahnya berubah cemas. Gentari tidak menginginkan Ibnu lagi, penolakan Ibnu sebulan yang lalu sudah cukup sangat membuat Gentari terluka. Gentari yakin Ibnu tetap tidak akan mau bertanggung jawab. 

"Jangan, Mey! Aku nggak mau berurusan sama dia lagi," ucap Gentari yakin. 

"Kamu kenapa, sih. Gentar, cowok brengsek itu harus bertanggung jawab. Apa yang udah dia rusak harus dia pertanggung jawabkan. Kamu nggak harus menanggungnya sendiri." Ya, Mey. Benar, kesalahan itu mereka lakukan berdua. Maka seharusnya mereka yang menanggungnya bersama. Tidak pantas jika hanya Gentari saja yang tersiksa di sini. 

"Aku udah coba bicara sama dia, Mey. Tapi, dianya nggak mau tanggung jawab. Aku yakin sekarang pasti dia udah punya pacar baru," ungkap Gentari. Sebenarnya sakit mengingat pemuda yang dia cintai begitu jahat padanya. Tapi, mau bagaimana pun Gentari berusaha jika Ibnu memang tidak mau. Maka dia bisa apa. 

"Gentari, jangan lemah begini, dong! Aku nggak suka liat kamu begini, kamu harus mendapat hak kamu. Hak kamu itu adalah pertanggung jawaban dari Ibnu. Ibnu harus mau tanggung jawab, karena ini bukan pilihan tapi memang kewajibannya. Jangan seenaknya aja mentang-mentang dia laki-laki dia kira dia bisa bebas gitu aja, aku nggak mau tau. Pokoknya cowok brengsek itu harus tanggung jawab sama kamu dan kandungan kamu, titik!" tegas Mey. 

Gentari menegang, dia bukan terkejut karena omongan Mey, tapi karena suara Mey yang lumayan keras saat bicara menarik perhatian tetangganya. Habis sudah, para tetangga kini pun sudah tahu. 

Sepertinya mereka sangat tidak suka dengan kabar itu sebab kini tatapan garang mereka arahkan pada Gentari. 

"Gentari?" Mey menggerakkan tanganya di depan wajah Gentari. Sebab Gentari hanya diam memandang lurus ke belakangnya. Karena penasaran Mey juga turut melihat ke belakang dan Mey sama tegangnya sekarang. 

"Jadi itu yang membuat, Bu Mia sampai kena serangan jantung mendadak?"

"Wah, saya nggak nyangka."

"Saya juga, kata almarhum dulu anak gadisnya satu ini yang paling terbaik, tapi nyatanya enggak."

"Gimana ceritanya, sih. Kok, dia jadi nggak bener gitu, ya?"

Begitulah bisikan demi bisikan yang Gentari dengar. Sakit sekali rasanya, setelah ini Gentari yakin pasti dia akan dipandang rendah juga oleh orang di lingkungannya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status