“Kau boleh keluar sekarang!” Ucapan Jeceline yang begitu kuat bersamaan dengan munculnya Hillary yang keluar dari balik dinding pemisah ruangan.
Jeceline terdiam, memperhatikan bagaimana reaksi Kevin begitu melihat Hillary dalam keadaan perut mulai membesar. Manik hitam Kevin membesar dan terpaku melihat Hillary yang berjalan mendekatinya. Dia menelan saliva. Udara di dalam ruangan yang tadinya sejuk kini mulai memanas hingga membuat peluh keluar di dahi. “Kevin, kau ke mana saja? Kenapa kau menghindariku?” sapa Hillary begitu berdiri tepat di hadapan Kevin dan di samping Jeceline. “Hill, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin mengerutkan kedua alis keningnya. “Aku kemari untuk meminta tanggung jawabmu sebagai Ayah biologis dari bayi dalam kandunganku!” Mata Kevin melotot, “apa katamu? Bayiku?!” Kevin menggelengkan kepalanya bersamaan dengan jari telunjuk yang ikut digerakkan di depan wajahnya, “kita sudah lama tidak berhubungan, itu tidak mungkin milikku.” Mendengar argumen mereka berdua, Jeceline menarik napas panjang. Setidaknya dia bisa mendengar sendiri pengakuan dari suaminya kalau mereka berdua sudah lama tidak berhubungan, dan itu berarti kemungkinan besar bayi dalam kandungan Hillary bukanlah milik Kevin. Meski pun luka besar yang membenarkan kalau Kevin telah mengkhianatinya sudah pasti, tapi setidaknya masalah tidak akan tambah panjang dan hubungan gelap mereka berdua sudah berakhir. Namun meski begitu tetap saja kekecewaan besar sudah menghancurkan semua kepercayaannya terhadap Kevin. “Usia kandunganku berjalan empat bulan, Kevin. Kau lebih tahu bayi di dalam kandunganku ini milikmu atau bukan!” pekik Hillary dengan suara serak menunjuk ke arah perutnya berulang kali sambil terisak. Perkataan itu membuat Kevin terbungkam. Dia berjalan lesu melewati Jeceline dan Hillary yang masih berdiri pada posisi mereka. Sebenarnya kenyataan bayi dalam kandungan Hillary yang adalah miliknya merupakan kabar bahagia, tapi dia berada dalam pilihan sulit sebab mengingat janji terhadap Jeceline bahwa akan menunggu sampai kapan pun untuk kehadiran buah hati mereka. Namun sekarang, calon bayinya ternyata harus dikandung oleh wanita lain. Kevin terduduk pasrah di atas sofa sambil menumpu kepalanya dengan kedua tangan. Ada rasa bersalah besar terhadap sang istri. Dia tak akan pernah menyangka masalah bisa menjadi sebesar ini. Di sisi lain, Jeceline yang memperhatikan sikap Kevin sudah bisa menebak kalau kenyataan pahit yang baru saja diterima adalah kebenaran. Dengan langkah tertatih Jeceline berjalan mendekati Kevin dan duduk di hadapannya. “Aku ingin penjelasan darimu, Kev.” Jeceline menatap Kevin yang tengah menundukkan kepala. Matanya mulai berkaca-kaca, membendung bening yang mengantarkan rasa sakit di dalam hati meski belum mendengar kepastian dari Kevin. Kevin mengangkat wajahnya, menatap Jeceline beberapa detik dalam diam. “Selin ... maaf ... aku Khilaf,” ucap Kevin memasang wajah penyesalan. Jeceline melotot, berupaya membendung bening di kelopaknya, “kau sebut ini khilaf hingga bisa menyebabkan masalah sebesar ini?” “Aku mohon beri aku kesempatan. Tolong bersabar dan memaklumiku lagi,” balas Kevin setengah membujuk Jeceline. “Aku bisa bersabar, memaklumimu, bahkan memberikan seribu kali kesempatan bagimu ... tapi jika harus menerima hasil dari perbuatanmu dengan wanita lain, takutnya aku atau pun semua Istri di dunia ini tidak akan sanggup!” bentak Jeceline di akhir kalimatnya. “Tapi bagaimana pun, anak dalam kandungannya adalah milikku. Aku tak mungkin menelantarkannya!” Bening di mata Jeceline mengalir di pipi sementara matanya tetap memaku pada manik hitam Kevin. Kesetiaan dan kepercayaan selama tujuh tahun ini dibalas dengan pengkhianatan yang datang secara tiba-tiba dan menghancurkan kebahagiaannya. Bahkan di saat ini, dia masih tak percaya dan menganggap semua hanya mimpi karena Kevin yang dia kenal adalah lelaki yang bisa dipercaya. Selama tujuh tahun menikah dan hidup bersama, sedikit pun pertengkaran tidak pernah terjadi di dalam kehidupan berkeluarga. Mereka saling menyayangi dan memahami satu sama lain, tapi kali ini begitu masalah datang, dia datang bagai badai di tengah lautan tenang. Jeceline menoleh ke arah Hillary, memperhatikan wajahnya sampai berhenti tepat di perut yang membesar. Dia tersenyum bersamaan dengan dengusan kesal yang membuat bibirnya setengah terangkat. Mungkin jika Kevin hanya kedapatan berselingkuh masih bisa diberikan kesmepatan sekali lagi meskipun terasa sulit, tapi sekarang ada nyawa lain di dalam rahim seorang wanita yang tidak diinginkan sedang menanti tanggung jawab dari suaminya. “Apa karena sampai sekarang aku belum juga memberikanmu keturunan, hingga kau mencarinya pada wanita lain?” “Pak Kevin, para wartawan itu telah pergi.” Suara seorang lelaki memutuskan perdebatan dan mengalihkan fokus mereka. Lelaki yang baru masuk itu adalah sopir sekaligus pengawal pribadi Kevin—Julius. Dia juga ikut terkejut begitu melihat Hillary, bahkan gugup saat melihat Jeceline. Mulutnya bergerak kaku seolah tak tahu harus berucap apa saat pandangan mata berpapasan dengan Kevin. “Julius, bawa selingkuhan tuanmu pergi dari sini!” gertak Jeceline melemparkan sorot mata tajam ke arah Julius lalu melirik Hillary. “Tidak bisa!” sergah Kevin sontak berdiri dari sofa, membantah perintah Jeceline.“Jadi kau ingin aku tinggal serumah dengan selingkuhanmu?!” Jeceline memelototi Kevin sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Hillary. “Bukan seperti itu, Selin. Aku hanya memikirkan calon anak yang ada di dalam rahimnya.” Hati Jeceline semakin sakit mendengar pernyataan Kevin yang memberikan kepastian kalau benih dalam kandungan Hillary benar-benar adalah milik sang suami. Sekarang dia tak tahu harus turut merasa senang atau kecewa karena anak pertama Kevin bukan dilahirkan olehnya. “Baik! Kalau begitu kau tinggal memilih, aku atau calon anakmu di dalam rahim wanita ini!” Pilihan yang diberikan Jeceline jelas membuat Kevin bingung sebab kedua hal ini sangat penting dan berarti bagi kehidupannya. Ada istri yang sangat dia cintai dan ada calon bayi yang selama ini dinanti-nantikannya. “Tak perlu aku jawab, kau pasti sudah tahu pilihanku. Tapi Selin, bagaimana pun anak yang akan lahir ini bukan hanya anakku melainkan anakmu juga—” “Aku tidak akan per
Keputusan Jeceline jelas ditolak oleh Kevin, sebab dia sangat mencintai sang istri. Masalah perselingkuhannya hanya kekhilafan dan sekedar rasa kekaguman akan sosok Hillary. Meski setelah mengetahui kehamilan itu ada sedikit rasa bahagia di hati Kevin, tapi dia jelas mengerti bagaimana perasaan Jeceline. “Aku tahu aku salah, Selin. Tapi jika kau meminta cerai, aku tidak akan menyetujuinya! Jadi, jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku begitu saja!” “Kau egois! Sejak dulu aku selalu mematuhi dan memaklumimu, rasa cintaku padamu begitu besar, tapi apa yang kau balas?!” bentak Jeceline dengan suara lantang. Dalam pikirannya mulai timbul bayangan-bayangan tentang kedekatan dan kemesraan Kevin bersama Hillary. Terasa nyeri di pelipisnya karena menahan rasa yang bercampur aduk di dalam hati. Bahkan mata kini mulai membengkak dan terasa panas ketika memikirkan hubungan Kevin dan Hillary sehingga bisa menghasilkan buah dari perselingkuhan mereka. Jeceline terduduk k
Kevin terbungkam sejenak, begitu merasakan telapak tangan menyentuh perut Hillary yang mulai membesar. Rasa kesal di dalam hati perlahan mulai luntur begitu mengingat kalau saat ini Hillary sedang mengandung anaknya sendiri. Meski dalam hati tak terima jika anak pertama harus dilahirkan oleh kekasih gelap, tapi kerinduan yang sudah begitu lama ditunggu berhasil menyingkirkan semua pemikirannya. Sudut bibir Kevin perlahan melengkung. Bahkan telapak tangannya juga merespon cepat dengan mengelus pelan perut Hillary. Suasana saat ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Terasa berbeda dengan tawaran kebahagiaan yang telah lama dinantikan. “Kev, maaf sudah merusak hubunganmu dengan Bu Selin. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud melakukannya, tapi karena kau kehilangan kontak dan tidak meladeniku jadi....” Hillary menghentikan perkataannya dengan memasang wajah bersalah lalu menundukkan kepala. Kevin masih terdiam, mengingat bagaimana dia berusaha menghindari Hillary bebe
Biip ... bip ... bip.... Bunyi alat elektrokardiograf mengisi keheningan ruangan kamar. Jeceline terbaring tak sadarkan diri dengan perban putih yang melingkar di dahinya. Beberapa jam lalu seorang lelaki datang membawa dia ke rumah sakit dengan kondisi kecelakaan ringan yang melukai dahi, lalu pergi setelah Jeceline mendapatkan perawatan. Di luar gedung rumah sakit Kevin berlari cepat ke tempat informasi untuk menanyakan dimana Jeceline dirawat. Pagi ini saat dia bangun, sepuluh panggilan tak terjawab terpampang di layar ponsel. Di waktu yang sama, Julius menghubunginya dan memberitahukan tentang kecelakaan Jeceline tadi malam. Tanpa menunggu lama, Kevin segera pergi dan meninggalkan Hillary yang masih tertidur. Setelah berhasil mengetahui ruang kamar rawat Jeceline dari petugas rumah sakit, Kevin segera pergi ke tempat tujuannya. Begitu membuka pintu, sorot matanya memaku pada Jeceline yang saat itu terbaring tak sadarkan diri. Langkah kaki Kevin menjadi kaku.
Sudut bibir Kevin melengkung cepat begitu melihat anggukkan kepala dari dokter di hadapannya. Kebahagiaan besar ini membuat manik Kevin sampai berkaca-kaca karena mengetahui sebentar lagi dia akan mendapatkan anak dari istri yang sangat dia cintai. Penantian mereka tidak sia-sia, dan tentu saja kabar baik ini pasti akan menghilangkan kemarahan Jeceline terhadapnya serta membuat perasaan masing-masing bahagia. “Pak Kevin, aku ingin meminta maaf. Kami para dokter spesialis sudah berusaha sebaik mungkin, bahkan melakukan segala upaya untuk menyelamatkan bayi dalam kandungan Bu Selin, tapi semuanya sia-sia. Janin di dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan.” Mata Kevin terpaku memelototi sang dokter. Lengkungan di sudut bibirnya perlahan mendatar. Kebahagiaan yang baru saja didengarkan hilang dalam beberapa menit. “Dok, a-aku akan membayar berapa pun biaya yang harus dikeluarkan untuk keselamatan janin dalam kandungan istriku,” ucap Kevin dengan wajah serius dan tatapan teg
“Katakan pada Ibu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua? Kenapa Selin seperti membencimu?” “Ibu, tidak ada masalah apa-apa, hanya kesalahpahaman saja.” Kevin terpasa menyembunyikan masalah penyebab pertengkaran dia dan Jeceline, sebab hal ini sama sekali tidak boleh diketahui Leanora karena pasti hanya akan membuat masalah lebih besar lagi bagi Jeceline. Leanora masih menatap Kevin, mencoba mencari celah kesalahan di manik hitam anaknya. “Ini sudah tujuh tahun Kevin, kalian belum memberikan Ibu seorang Cucu.” “Ibu! Bukan hanya Ibu yang menginginkannya, kami berdua justru lebih besar keinginan untuk memiliki seorang anak. Kalau Ibu kembali hanya untuk mempermasalahkan hal ini, lebih baik Ibu kembali saja!” “Kau juga tahu alasan Ibu begitu antusias ingin menimang Cucu.” Raut wajah Leanora berubah menjadi serius bercampur pasrah, “selain karena kerinduan, ada masa depan kalian berdua yang aku pikirkan!” Kevin yang hendak membantah kembali terdiam samb
“I-ini....” Julius menjeda perkataannya dengan menatap bingung ke arah Kevin setelah melihat buket bunga yang hancur, “apa yang harus aku lakukan dengan bunga yang hancur ini?” “Selidiki siapa pengirimnya! Lakukan secara diam-diam tanpa melibatkan banyak orang.” Dari ekspresi Kevin, Julius mengangguk serius. Dia melihat kembali nama toko bunga yang terpampang di kartu ucapan lalu pergi dari sana. *** Beberapa jam kemudian Kevin telah mendapatkan kabar dari Julius tentang identitas pengirim bunga. Meskipun sudah mengetahui melalui rekaman CCTV di rumah sakit bahwa pengirim bunga itu adalah seorang lelaki yang menolong dan membawa Jeceline ke rumah sakit, tapi Kevin belum bisa tenang sebelum bertemu langsung serta menanyakan maksud dari lelaki penolong itu. Kevin pergi dari rumah sakit saat Leanora tiba. Dia meminta Leanora untuk menemani Jeceline dan menghiburnya beberapa hari ini karena ada kegiatan penting yang harus dia hadiri. Dengan begini tak ada lagi r
“Kenapa kamu kemari?” ketus Jeceline membuang pandangannya. Senyuman santai yang manis terukir di wajah sang gadis. Dia mengacuhkan pertanyaan Jeceline dengan meletakkan buket bunga serta parcel buah ke atas meja, “aku mengkhawatirkanmu, Selin. Jadi sengaja datang tanpa kabar untuk memberikan kejutan.” “Terima kasih, kejutanmu berhasil, Fenesya,” balas Jeceline menoleh kembali ke arah Fenesya. Suasana di dalam ruangan menjadi tegang saat Fenesya datang. Leanora pun menjadi serba salah melihat menantu dan orang kepercayaannya memulai pertempuran mereka dengan pandangan mata. “Fenesya, kenapa tidak memberitahuku kau akan datang? Bagaimana dengan pekerjaan di sana, kau meninggalkannya begitu saja?” sela Leanora mencairkan suasana tegang di antara kedua wanita yang ada di hadapannya. Fenesya membalas santai. Semua pekerjaannya telah diselesaikan agar bisa menghadiri acara ulang tahun Leanora. Bertepatan mendapat kabar tentang kecelakaan Jeceline dia memutuskan