Keputusan Jeceline jelas ditolak oleh Kevin, sebab dia sangat mencintai sang istri. Masalah perselingkuhannya hanya kekhilafan dan sekedar rasa kekaguman akan sosok Hillary. Meski setelah mengetahui kehamilan itu ada sedikit rasa bahagia di hati Kevin, tapi dia jelas mengerti bagaimana perasaan Jeceline.
“Aku tahu aku salah, Selin. Tapi jika kau meminta cerai, aku tidak akan menyetujuinya! Jadi, jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku begitu saja!” “Kau egois! Sejak dulu aku selalu mematuhi dan memaklumimu, rasa cintaku padamu begitu besar, tapi apa yang kau balas?!” bentak Jeceline dengan suara lantang. Dalam pikirannya mulai timbul bayangan-bayangan tentang kedekatan dan kemesraan Kevin bersama Hillary. Terasa nyeri di pelipisnya karena menahan rasa yang bercampur aduk di dalam hati. Bahkan mata kini mulai membengkak dan terasa panas ketika memikirkan hubungan Kevin dan Hillary sehingga bisa menghasilkan buah dari perselingkuhan mereka. Jeceline terduduk kembali di sofa, seluruh tubuhnya sudah tak bisa menerima kenyataan atas pengkhianatan Kevin. Dia terisak, bahkan menjerit menahan dada dengan tangan kanan. Semua ini adalah kesalahannya juga sebab tidak memperhatikan Kevin dan sampai sekarang belum bisa memberikan keturunan. Jika hubungan Kevin dan Hillary tidak membuahkan hasil, mungkin Jeceline bisa memberikan satu kali kesempatan agar Kevin boleh menebus kesalahannya, tapi dengan kondisi tubuh Hillary yang telah mengandung keturunan Kevin, jelas telah memperkuat hubungan gelap mereka. Melihat ekspresi Jeceline yang menangis tersedu, Kevin tahu kalau kesalahannya kali ini telah di luar batas kesabaran Jeceline. Namun dia jelas tidak bisa menyetujui keputusan Jeceline untuk bercerai karena baginya Jeceline adalah wanita sempurna yang sangat dia cintai. “Terserah kau mau melakukan apa, membenciku, memukulku, atau pun mau memakiku, terserah ... tapi jika kau ingin bercerai dariku, tentu saja tidak bisa. Kau tahu jelas kalau aku sangat mencintaimu, Selin.” Kevin berucap pelan sambil mendekati Jeceline. Dia duduk di samping, lalu memberanikan diri meraih kepala Jeceline dan membelai lembut rambutnya. “Jauhkan tanganmu dariku!” bentak Jeceline menepis tangan Kevin dengan cepat, “aku tidak ingin tangan yang kau gunakan menyentuh wanita Berengsek itu digunakan padaku!” Sorot mata Jeceline memaku tegas pada tangan Kevin lalu berpindah tepat ke manik hitamnya. Kevin sontak terkejut lalu berdiri perlahan tanpa berucap sepatah kata. Sorot mata Jeceline telah memberikan tamparan keras baginya, terutama dari perkataan itu menjelaskan betapa Jeceline telah merasa jijik dengan dirinya. “Aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi, Selin. Hubungan kami sudah lama berakhir.” Sayang sekali pembelaan Kevin tidak berpengaruh pada Jeceline, karena meski hubungan gelap itu sudah berakhir tetap tidak bisa menyangkal kalau Kevin pernah mengkhianatinya. “Tidak! Belum berakhir, Kev. Justru hubungan gelap kalian sekarang menjadi lebih erat lagi karena adanya benih di dalam rahim wanita itu!” Jeceline berdiri dari sofa, “sekarang semua keputusan ada di tanganmu, kabari aku setelah kau sudah menentukan keputusanmu.” Jeceline berjalan meninggalkan Kevin. Berada seruang dan melihat Kevin semakin membuat hatinya terasa perih sebab bayangan kemesraan dengan Hillary yang ditunjukan di ponsel masih muncul dalam ingatannya. Dia terus melangkah pergi meski suara Kevin mencoba menghentikan dan menanyakan ke mana tujuannya.*** “Julius, apa semuanya sudah kau bereskan? Aku tidak mau timbul masalah baru atau pun mendengar kabar tidak baik beredar di luar sana,” tanya Kevin sembari melirik foto mini yang terbingkai di atas meja kerjanya. “Jangan Khawatir, semuanya sudah saya bereskan. Para wartawan, media, dan Nona Hillary sudah aman terkendali. Tapi Tuan....” Julius memandang gugup ke arah Kevin, dia memainkan jemari tangannya yang saling mengunci di depan tubuh. Kevin sontak menoleh dari foto Jeceline yang dipandangnya sejak tadi. Ekspresi Julius membuatnya begitu penasaran dengan hal apa yang tak bisa diselesaikan, “katakan saja ada apa?” “Nona Hillary meminta Pak Kevin untuk menemuinya sekarang, jika tidak dia sendiri yang akan datang menemuimu.” Kevin mendengus kesal. Dia segera berdiri dan mendekati Julius, “berikan kunci mobilnya padaku.” Julius menatap bingung sementara tangannya perlahan merogoh saku lalu menyerahkan kunci mobil ke telapak tangan Kevin yang sejak tadi menengadah. “Kau gunakan mobil lain dan awasi Selin. Jangan biarkan dia tahu ke mana aku pergi malam ini,” ucap Kevin melewati Julius begitu saja dan meninggalkannya. Beberapa jam berlalu mobil Kevin memasuki gerbang pintu rumah besar yang berada tak jauh dari perkotaan. Tempat teraman untuk menetapkan Hillary agar tidak diketahui oleh para wartawan. Baru saja mendekati pintu rumah, bahkan belum sempat Kevin menekan bel rumah, Hillary telah membukakan pintu dan menariknya cepat masuk ke dalam. “Kevin, aku tahu kau pasti akan datang,” seru Hillary dengan nada bicara manja dan tatapan sayu. Hillary dengan cepat mengalungkan kedua tangannya ke leher Kevin bersamaan dengan kedua kaki yang berjinjit. Tanpa menunggu lama dia mengecup Kevin. Namun baru beberapa detik hal itu berlangsung sudah dihentikan oleh Kevin dengan melerai paksa. “Katakan apa lagi yang kau inginkan dariku?” Pertanyaan Kevin diabaikan oleh Hillary dengan menarik tangannya dan berjalan mendekati sofa. “Hill, aku serius. Katakan apa maumu,” sekali lagi Kevin berucap begitu dia duduk di sofa bersama dengan Hillary. Hillary tersenyum santai lalu mengambil tangan Kevin dan membiarkan telapak tangannya menyentuh perut yang mulai membesar, “bukan aku, tapi anakmu sendiri yang meminta kau datang.”Tangan Jeceline bergetar.Sayang sekali semua adegan itu hanya dalam pikiran. Hatinya tak cukup kuat untuk bertindak jahat.Selang beberapa jam bel rumah berbunyi.Ting!Tong!Bunyi bel yang tak berhenti membangunkan Jeceline yang saat itu tengah tertidur.Tak mau Hillary mendahuluinya membukakan pintu, ia pun bergegas keluar dari kamar.Klek!“Paket Makanannya, Bu.”Jeceline menatap bingung ke arah tas belanjaan yang dijinjing lelaki pengantar pesanan.“Maaf, Pak. Tapi aku tidak memesan apapun.”Lelaki yang berdiri di depan Jeceline kembali lagi mengecek nama pengirim di ponselnya lalu menunjukkan riwayat pemesanan.Jeceline akhirnya sadar. Ia menerima pesanan dan membayarnya.“Apa itu pesananku?”Baru saja berbalik, Hillary telah berdiri di depannya.“Kau membeli sebanyak ini, apa bisa dihabiskan?”Hillary tersenyum menantang sambil mengelus perutnya, “ini bukan keinginanku. Aku juga tak mengerti dengan perasaan ini.”“Aku harap, Bu Selin bisa memakluminya,” tambahnya lagi lalu mera
Rasanya seperti mimpi buruk yang berulang kali muncul dalam alam bawah sadar, seolah tak ingin membuatnya tersadar. Begitu masuk ke dalam rumah, bayangan seseorang yang dia kenali duduk bersandar di sofa tepat di ruang tamu. Rasa lelah bercampur dengan kekesalan mendesak langkah kaki Serafhine menuju ke ruang tamu. “Bagaimana kau bisa masuk?” Pertanyaan Jeceline tersela oleh suara yang sangat dikenali. Sontak dia menengok ke samping tepat dimana suara itu berasal. “Selin, kau sudah pulang? Maaf karena panik aku lupa memberitahukan hal ini padamu.” Lupa? Bagaimana mungkin hal sebesar ini bisa dilupakan. Pikiran Jeceline mulai mengada-ada dengan alasan yang kurang tepat dari Kevin. Bahkan ketika hendak berucap, kesabaran Jeceline diuji lagi sebab Kevin berjalan melewatinya dan justru memilih duduk di samping Hillary sambil memberikan segelas air minum. Berharap pemandangan yang ada di depan hanya mimpi. Kevin tidak mungkin
Bentakkan Leonora membuat semua terdiam. Kedua telapak tangannya yang masih menempel di meja kaca dikepalkan kuat bersamaan dengan tatapan kesal ke arah Bryan. “Lelaki tertua? Kau lupa perbuatan apa yang kau lakukan hingga membuat keluarga kita hancur!? Perlu aku mengingatkanmu lagi?!” Kedua lelaki yang tadinya begitu percaya diri kini memasang ekspresi berbeda. Bryan memilih diam dan pergi dari sana, sedangkan Kevin yang berusaha untuk menenangkan diri justru tak tahan dengan perkataan yang mengingatkan kembali tragedi yang terjadi pada ayahnya hingga dia terpaksa pergi meninggalkan Jeceline dan Leonora. Suasana makan malam yang dikira akan penuh dengan kehangatan, ternyata hanya membangkitkan dendam membara di masa lalu. Ditatapnya manik hitam milik dari wanita yang dikenal tegas dan tak pernah menunjukkan kelemahan. Kecanggungan Jeceline berubah saat melihat sepasang mata Leonora memerah. Meski sengaja disembunyikan, tapi sebagai seoran
Bryan melerai rangkulannya lalu tertawa kecil melihat Leanora, “apa Ibu sedang mengkhawatirkanku? Terima kasih! Aku sangat terharu. Kalau aku tidak di penjara hal semenarik ini tidak akan pernah aku nikmati.” “Apa maksudmu, Bryan? Kau adalah anakku juga—” “Sayang sekali,” sela Bryan memotong perkataan Leanora, “ucapanmu ini sedikit tak masuk akal. Diakui anak olehmu setelah keluar penjara membuatku merasa berada dalam mimpi.” “Tapi tak masalah, semua itu hanya masa lalu. Sekarang adalah lembaran baru bagiku, dan bagi keluarga besar kita, bukan?” “Baik! Kalau begitu lakukan saja sesukamu,” sambung Jeceline mengakhiri topik pembicaraan, “aku dan Ibu akan menyiapkan makan malam kita. Kevin, kau juga harus beristirahat.” Jeceline melirik Kevin sebelum menarik tangan Leanora untuk pergi meninggalkan mereka berdua. “Kau lihat, sikap anak itu sama sekali tidak berubah! Dia sama sekali tidak menghormatiku dan tidak mengan
“Lama tak jumpa, Selin. Bagaimana kabarmu?”!!! Mata Jeceline memaku melihat seorang pria yang tak asing berdiri di depan, menghalangi jalannya. “Bryan?—” “Sudah begitu lama, aku pikir kau telah melupakanku, Selin. Tak menyangka kau mengenaliku. Apa kau tak merindukanku?” Jeceline masih terpaku. Potongan rambut dan bentuk tubuh Bryan telah banyak berubah, tapi tetap saja cara berbicara dan tindakannya tidak berubah. “Berhenti di sana!” cegat Jeceline mengarahkan telapak tangannya ke depan hingga menghentikan langkah kaki Bryan yang sebentar lagi memposisikan begitu dekat jarak mereka berdua. “Kenapa? Apa Nyonya Andriko malu karena berbicara dengan seseorang sepertiku? Apa ini alasannya kalian tak menjemput kepulanganku?” “Bukan seperti itu, Bryan. Aku tak mau menimbulkan rumor buruk jika kita berdua bertemu di tempat umum seperti ini. Kevin dan Ibu baru-baru saja ke penjara tapi kau telah keluar sebelu
Leanora menundukkan wajahnya, “anggap saja Ibu tak pernah mengatakan hal ini. Dan tolong jangan memberitahukan pada Kevin kalau Ibu telah mengatakannya padamu. Dia akan marah besar pada Ibu.” ?? Apa hubungannya dengan dia? Rahasia keluarga apa lagi yang tersembunyi? “Aku justru akan mencari tahu lewat Kevin jika Ibu tidak mengatakannya dengan jelas.” Sorot mata Jeceline menjadi tegas. Diamnya mengartikan penantian penjelasan dari Leanora. Beberapa detik berlalu Leanora terlihat gelisah dengan tatapan Jeceline. Baru kali ini dia bimbang untuk mengatakan sesuatu. Biasanya dia tak pernah mementingkan perasaan orang lain dengan kata-kata menusuk, tapi sekarang seperti ada yang membungkam bibirnya agar tak berucap. “Karena Ibu sudah datang, apa salahnya jika memberitahukan semua padaku.” “Selin, sebenarnya….” Leanora menghentikan perkataannya, dia merogoh ke dalam tas lalu mengeluarkan map dan segera disodorkan ke arah Jeceline. Tanpa ragu-ragu, Jeceline yang ter