“Maaf,” bisik Kevin sembari mengecup kepala Jeceline dengan lembut. Setelah beberapa menit mencari di semua ruangan akhirnya dia berhasil menemukan Jeceline. Dugaan Kevin benar kalau saat ini Jeceline pasti diam-diam sedang melepaskan semua kesedihan dan kekecewaan di dalam hati. Sebenarnya sejak hari di mana Hillary mengungkapkan hubungan gelap mereka kepada Jeceline, Kevin benar-benar merasa bersalah dan takut jika dia benar-benar ditinggalkan oleh istri yang sangat dia cintai. Mungkin hal ini terdengar egois karena jika mencintai tentu tak akan mengkhianati, tapi dalam kasus hubungan gelap bersama Hillary benar-benar di luar dugaan dan tak pernah terpikirkan. Saat itu dia hanya tertarik dengan kepribadian Hillary yang mirip dengan Jeceline hingga tanpa sadar telah terbawa suasana dengan kenikmatan unik di balik hubungan sembunyi-sembunyi. Namun hal itu tidak berlangsung begitu lama sebab kasih sayang dan kesabaran Jeceline telah berhasil menyadarkan Kevin kalau sudah saatn
Mendengar hal itu, Jeceline segera membukakan pintu dan mendapati Julius yang berdiri di depannya dengan memasang wajah kaku bercampur cemas. “Bu Selin, ma-maaf ... aku tak bisa menghentikan Pak Kevin minum alkohol,” ucap Julius terbata-bata. Jeceline melotot, tubuhnya merespon cepat dengan melangkahkan kaki, berjalan menuju koridor kecil di samping kanan. “Dasar! Kenapa juga harus menggunakan cara seperti ini untuk menarik perhatianku?!” gumamnya menggerutu kesal. Begitu membuka pintu ruang kerja Kevin, Jeceline masuk ke dalam. Tak ada bayangan Kevin di sana, hanya sambutan aroma alkohol yang kuat masuk ke indera penciumannya dan beberapa botol minuman berserakan di lantai. Jeceline mengerutkan kedua alis kening bersamaan meletakkan jemari tangan menutupi hidung, lalu berjalan ke arah pintu balkon begitu pandangan matanya tertuju ke sana. “Julius, kenapa kau lama sekali? Cepat berikan padaku!” Kevin menengadah pelan ke arah pintu koridor. Dia tersenyum kecil begitu
Jauh di dalam lubuk hati Jeceline tidak pernah terpikirkan untuk membalas Kevin dengan cara yang sama, tapi karena emosi dan rasa sakit sudah tak tertahankan lagi hingga akhirnya kalimat kasar itu terucap begitu saja dan berhasil membungkam Kevin. Melihat ekspresi Kevin yang terpaku dalam diam, Jeceline memilih pergi meninggalkan Kevin. Perkataan yang baru terlontarkan membuatnya merasa bersalah juga, sebab baru kali ini dia lepas kendali di depan Kevin. Namun mau bagaimana lagi, Jeceline juga manusia biasa, tak mungkin akan tetap bersabar di saat kebahagiaannya dirusak oleh orang yang dia cintai sendiri. *** “Ada urusan apa kau memintaku kemari?” Jeceline duduk berhadapan dengan Fenesya di antara meja. Sebelumnya, saat dia terbangun Fenesya menghubungi dan mengajaknya bertemu karena ada hal penting yang ingin dikatakan. Kebetulan saat itu Kevin sudah pergi, jadi dia memiliki kesempatan untuk menemui Fenesya. Rasa penasarannya begitu tinggi sebab sangat jarang Fenesya memin
“Kalau aku jadi kamu, tidak akan kuterima pengkhianatan ini. Untuk apa menyembunyikan hal buruk Kevin di depan semua orang dan berpura-pura bahagia? Dasar wanita bodoh!” lanjut Feneysa mendengus kesal. “Sejak kapan kau mengetahui hal ini, Fenesya? Kenapa kau selalu membuntuti kehidupan rumah tanggaku?!” Jeceline menatap Fenesya, sementara berusaha membendung bening yang mulai menumpuk di kelopak matanya. “Aku sudah memperingatimu sebelumnya, hanya saja kau tidak waspada, malah memarahiku karena sengaja memprovokasi hubungan kalian berdua.” Jeceline terdiam memikirkan masalah lain yang akan datang jika Fenesya memberitahukan tentang keturunan Kevin yang dikandung Hillary. Leanora pasti akan senang dan sangat menerima cucu pertamanya meski status anak yang akan lahir itu hasil dari hubungan gelap Kevin. Tentu garis keturunan dari Kevin tak mungkin dibuang begitu saja. Air mata Jeceline mengalir di pipi. Meski ingin menahan karena tak mau jika Fenesya tertawa dalam kem
Jeceline segera bersiap. Sekretaris kantor menghubunginya tepat waktu, dengan begini dia bisa melupakan sejenak perbuatan Kevin dengan menyibukkan diri mengatasi masalah perusahaan. Begitu sampai di depan bangunan besar bertingkat, Jeceline memarkirkan mobilnya dan keluar dari dalam sana. Dia memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada bayangan para wartawan. Bukannya berpikir terlalu jauh, tapi dia hanya mencoba untuk mewaspadai keadaan karena sejak dulu ada beberapa orang yang tak suka dengan keberhasilan Kevin di usia muda sehingga berbagai cara selalu datang untuk mencemarkan nama baiknya. Di tambah lagi persaingan politik membuat mereka berdua harus ekstra hati-hati dalam bertindak. “Tolong parkirkan mobilku, dan pastikan tidak ada wartawan di sekitar sini,” ucap Jeceline saat salah satu karyawan laki-laki menyambutnya. Begitu masuk ke dalam gedung, beberapa karyawan yang berpapasan menyapa dengan memasang wajah cemas. Hal ini membuat Jeceline semakin penasaran
“Julius, apa Bu Selin menitipkan pesan padamu? Maksudku, apa dia memberitahumu ke mana dia akan pergi?” Pagi ini Kevin kembali ke rumah dan mendapati kamar Jeceline kosong. Pikirnya mungkin saja dia berada di taman atau di kolam, tapi setelah mencari di seluruh rumah tetap tak menemukan bayangan Jeceline. Nomor ponselnya juga tidak aktif setelah berkali-kali dihubungi, bahkan sms darinya pun tidak ada. Kevin semakin terbeban sebab setelah Hillary datang mengganggu, keharmonisan mereka berdua hilang. Biasanya Jeceline akan meninggalkan pesan sms atau menitipkan pesan pada Julius ke mana dia akan pergi, tapi kali ini tidak lagi seperti dulu. Mendengar pertanyaan Kevin, Julius menghentikan pergerakkan tangannya yang menggosok mobil dengan spons. Dia menengok ke arah Kevin lalu menggelengkan kepala, “Pak Kevin, wanita kalau terlanjur sakit hati harus segera dibujuk. Apalagi kesalahan Pak Kevin sangat fatal di mata semua wanita. Lebih baik Pak Kevin menghubungi Bu Selin saja da
Mata Jeceline mengernyit, perlahan dia mencoba membuka, membiasakan terang cahaya lampu di dalam ruangan. Jeceline meraih selimut di pundaknya, belum menyadari hal aneh yang dialami. Dia menengok ke kiri dan ke kanan, mencari Eiren di sekitar tapi hanya tas belanjaan makanan yang nampak jelas di meja belakang. “Ke mana dia?” gumam Jeceline berdiri dari kursi sambil membetulkan selimut yang menutupi badannya. Dia berjalan menghampiri tas belanjaan makanan di atas meja dan menengok sekilas. Pikirnya makanan itu pasti disediakan oleh Eiren, jadi tanpa berpikir panjang segera membuka dan mengeluarkan box dari dalam sana. Begitu membuka box makanan, Jeceline terpaku sejenak lalu menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya, “sangat kebetulan kau tahu apa yang ingin aku makan, Eiren.” “Nyonya, kau sudah bangun?” Jeceline sedikit terkejut mendengar suara Eiren, dia membalikkan badannya, “kau dari mana saja, Eiren? Kenapa tidak membangunkanku?” “Oh, aku, aku baru saja kem
Begitu membuka pintu, Jeceline terpaku melihat Hillary dengan perut membesar di depan pintu. Adegan yang sama persis saat pertama kali kebenaran pahit terungkap. Jika dulu wanita di depannya terasa asing, tapi sekarang tak lagi. Seberapa keras Jeceline menghindari masalah ini, tetap tak bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi. Justru semakin membuat luka lebih besar. “Untuk apa kau datang kemari?” tanya Jeceline masih memasang wajah datar. Hillary tak menjawab, dia segera menerobos masuk, bahkan dengan sengaja menggunakan perut besarnya untuk menyingkirkan Jeceline yang menghalangi pintu masuk. Tentu saja Jeceline tak mungkin mendorongnya keluar dan mencelakai dua nyawa sekaligus. “Jangan melewati batas, Hillary. Meski kau mengandung anak Kevin, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya masuk ke rumah orang!” Jeceline menutup kembali pintu rumah lalu mengikuti Hillary dari belakang yang dengan santainya berjalan dan duduk di sofa ruang tamu. “Bu Selin juga tahu sendi