LOGINMalam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.
Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya. Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya. Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu. Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya. “Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.” Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirnya mengangguk. Ia memilih menelan luka itu dalam diam, demi cinta, demi rumah tangga yang telah ia jaga selama sepuluh tahun. Kini, di tengah keheningan malam, air matanya mengalir tanpa bisa ia hentikan. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan tentang apa yang sedang terjadi di kamar atas berkelebat di benaknya. Bayangan Raka, suaminya, tengah memeluk wanita lain dengan kelembutan yang dulu hanya miliknya. Hatinya sesak. Nafasnya pun terasa berat. Malam ini adalah malam pertama bagi Raka dan Maya, dan bagi Arumi, malam itu adalah neraka yang tak berapi. ... Pagi harinya, seperti biasa, Arumi bangun lebih awal. Tubuhnya masih lemah karena semalaman tak bisa tidur, namun ia tetap memaksakan diri untuk menunaikan salat Subuh. Dalam sujudnya, ia berdoa lirih, “Ya Allah, berikan aku ketabahan dan kekuatan untuk menjalani takdir ini.” Usai salat, ia menuju dapur. Tangannya mulai sibuk memotong sayuran, menanak nasi, menyiapkan sarapan seperti hari-hari biasanya. Ia berusaha menenangkan hati dengan rutinitas. Namun suaranya Ratih memecah kesunyian itu. “Arumi, jangan lupa siapkan jus buah untuk Maya,” ucap sang mertua dari arah belakang. Arumi terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Bu,” jawabnya singkat. Hatinya berdesir. Dulu, di tahun-tahun awal pernikahan nya bersama Raka, Ratih selalu membuatkan jus buah untuknya setiap pagi, katanya, agar tubuhnya sehat dan bisa cepat hamil. Kini, ia harus menyiapkannya hal yang sama untuk perempuan lain… adik madunya sendiri. Sungguh ironis yang pahit. Tangannya sedikit gemetar saat menuang jus ke dalam gelas. Ia menatap cairan oranye itu lama, mengingat betapa keras ia dulu berusaha agar bisa memberi Raka seorang anak. Tapi yang didapatnya hanya tuduhan mandul, dan kini pengganti. Tak lama kemudian, suara langkah menuruni anak tangga membuat Arumi menoleh. Raka muncul dengan kemeja kerja rapi, wajahnya segar, rambutnya sedikit basah, pertanda baru saja mandi. Arumi berusaha tersenyum, tapi jantungnya berdegup nyeri. Dan ketika Maya menyusul turun di belakangnya, masih dengan handuk yang melilit rambut, senyuman itu perlahan memudar. "Ya Tuhan… jangan biarkan aku hancur di hadapannya," batinnya lirih. Ia tahu apa yang terjadi di kamar itu tadi malam. Ia tak butuh penjelasan. Namun, seperti biasa, Arumi memilih menelan semua perihnya dan menyambut mereka dengan senyum. “Selamat pagi, Mas,” ucapnya lembut. Raka menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis dan mengecup kening Arumi. “Selamat pagi, sayang.” Seketika ada rasa hangat yang menembus dinding dingin hatinya. Tapi juga rasa sakit yang tak terlukiskan. Mereka duduk di meja makan, Ratih, Raka, Maya, dan Arumi. Sarapan pagi berjalan dalam diam… hingga suara Ratih memecah suasana. “Bagaimana malam pertama kalian, Nak?” tanya Ratih dengan nada ringan tapi tajam, matanya menatap penuh arti ke arah Maya. Suasana langsung berubah kaku. Sendok di tangan Raka berhenti bergerak. Tatapannya menegang. “Ibu…” ucapnya dengan nada menahan amarah. “Jangan bicarakan itu di depan Arumi.” Ratih mendengus. “Kenapa? Bukankah dia sendiri yang mengizinkan pernikahan ini terjadi? Ibu rasa Arumi juga tidak keberatan dengan pertanyaan yang ibu berikan.” Arumi hanya menunduk. Ia tak ingin mempermalukan dirinya sendiri dengan air mata. Karena benar, semua ini terjadi atas keputusannya juga. Tapi bukan karena ia rela… melainkan karena ia terpaksa. Raka menatap istrinya lama. Ada rasa bersalah di matanya, tapi juga kebingungan. Sedangkan Maya hanya menunduk, wanita itu tidak berkata apa-apa sejak tadi. Dan di tengah semua itu, Arumi tersenyum lemah, menatap kosong piring di hadapannya. Dalam hati ia berbisik, “Aku tidak apa-apa… selama Raka bahagia.” Tapi hatinya tahu itu bohong. ... Saat Raka bersiap berangkat ke kantor, suasana pagi di rumah itu terasa tenang di permukaan, namun penuh riak halus yang sulit dijelaskan. Langkahnya mantap menuju pintu depan, sementara Arumi mengikuti dari belakang dengan langkah berat, membawa tas kerja sang suami seperti kebiasaannya selama sepuluh tahun terakhir. Di sisi lain, Maya ikut melangkah bersamanya, mengenakan senyum manis yang masih terasa asing di mata Arumi. Begitu tiba di depan pintu, Raka berhenti sejenak. Ia menatap kedua istrinya dengan sorot mata yang berusaha menenangkan, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, meski kenyataannya jauh dari itu. Dengan gerakan lembut, ia mengulurkan tangannya. Arumi menunduk, menyentuh punggung tangan suaminya, dan menciumnya dengan penuh hormat. Aroma sabun dari kulit Raka yang masih segar selepas mandi membuat dada Arumi terasa sesak, ada rindu, ada luka, ada kepasrahan yang bercampur jadi satu. Setelahnya, Maya melakukan hal yang sama. Wajahnya tampak sedikit malu, tapi di balik itu ada sorot bangga yang tak bisa disembunyikan. Raka tersenyum kecil, lalu membalas dengan mencium kening Arumi terlebih dahulu. Sentuhan hangat itu seolah menjadi sisa kasih yang masih tertinggal di antara reruntuhan hatinya. Namun sesaat kemudian, bibir Raka berpindah ke kening Maya, memberi kecupan yang sama, tepat di depan mata Arumi. Seolah menegaskan satu hal, keadilan yang ia perjuangkan kini terasa seperti belati bermata dua. Arumi tersenyum getir, menahan gemuruh di dadanya. Ia tahu, suaminya sedang berusaha bersikap adil. Tapi dalam hati kecilnya, ia juga tahu, tidak ada yang benar-benar adil dalam sebuah cinta yang dibagi dua.Arumi bergerak di dapur seperti robot yang kehilangan baterai. Tangannya secara otomatis mengupas apel dan memotong melon, meski matanya masih terasa panas dan kepalanya berdenyut hebat. Di ruang makan, sayup-sayup terdengar tawa renyah Ratih yang sedang memuji kecantikan Maya pagi ini."Mbak Arum," suara Maya tiba-tiba terdengar di ambang pintu dapur.Arumi tidak menoleh. Ia terus mengiris buah dengan ritme yang konstan."Mbak jangan marah ya sama Ibu. Ibu cuma terlalu senang karena akhirnya rumah ini bakal ada suara bayi," Maya mendekat, berdiri tepat di samping Arumi. Suaranya dipelankan, hanya cukup untuk didengar mereka berdua. "Dan soal kejadian semalam... terima kasih ya, Mbak. Gara-gara insiden bubur itu, Mas Raka jadi makin sayang sama aku."Pisau di tangan Arumi terhenti. Ia menatap potongan apel di depannya dengan tatapan kosong. "Kamu sengaja menjegal kakiku, kan?"Maya tertawa kecil, sangat pelan hingga terdengar seperti desiran angin. "Sengaja atau tidak, hasilnya tetap
Kesunyian di meja makan itu terasa mencekik. Arumi perlahan berlutut, mengabaikan rasa perih di hatinya yang jauh lebih menyakitkan daripada bentakan Raka. Dengan tangan gemetar, ia mulai memunguti pecahan mangkuk satu per satu. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, jatuh tepat di atas ceceran bubur putih yang kini tampak seperti reruntuhan martabatnya sebagai seorang istri."Sengaja atau tidak, hasilnya tetap sama. Aku yang salah di mata mereka," bisiknya lirih.Pikirannya melayang pada Maya. Ia yakin merasakan ada sentuhan kaki yang menjegal langkahnya tadi. Namun, siapa yang akan percaya? Di rumah ini, Maya adalah porselen indah yang sedang menyimpan permata keluarga, sedangkan dirinya hanyalah bejana retak yang tak berguna.Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak agar tak terdengar ke luar. Bahunya terguncang hebat, napasnya tersengal. Ia bukan menangis karena bubur yang tumpah, bukan pula karena dimarahi Raka. Ia
"Arumi." panggil Raka dari arah pintu.Arumi baru saja ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk beristirahat ketika ia terkejut melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak berbinar, ia sempat mengira bahwa malam ini suaminya akan tidur bersamanya.“Iya, Mas?” ucap Arumi pelan, tersenyum kecil.“Bisakah kamu buatkan Maya bubur sumsum? Dia ngidam dan ingin sekali memakannya,” ujar Raka langsung ke tujuan.Senyum Arumi sontak menghilang. Wajahnya berubah lesu dan kecewa.“Mas… aku capek. Aku baru saja menyelesaikan semua pekerjaan, dan aku ingin beristirahat,” katanya lirih.“Mas bisa beli di luar, kan?” tambahnya, menolak pelan karena benar-benar lelah setelah mengerjakan segalanya seorang diri.“Ini sudah malam, Arumi. Mana ada yang jual bubur sumsum jam segini?” jawab Raka. Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 malam.“Tidak bisa besok saja, Mas?” tanya Arumi, suaranya semakin pelan.Suara Maya tiba-tiba terdengar dari belakang.“Mba
“Arumi, cepat kamu belanja beberapa bahan makanan. Kita harus mengadakan syukuran untuk kehadiran cucu pertama di keluarga ini,” ucap Ratih penuh antusias.Raka yang sejak tadi duduk di samping Maya hanya bisa menatap Arumi yang diam tanpa banyak berkata-kata.“Bu, tidak perlu terburu-buru. Kita bisa lakukan ini lain waktu,” tegur Raka pelan pada ibunya.“Tidak bisa,” balas Ratih cepat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ibu juga ingin memberi tahu teman-teman sosialita Ibu bahwa sebentar lagi Ibu akan punya cucu.”Ratih kemudian melirik Arumi. “Lagi pula Arumi juga tidak keberatan, kan? Bukankah anak yang ada di kandungan Maya itu juga anakmu? Begitu, kan, Arumi?”Arumi tersenyum kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan. kemudian ia mengangguk pelan.Raka menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku saja yang pergi bersama Arumi.”“Jangan,” dengan cepat Ratih menolak. “Kamu kan baru pulang, pasti lelah. Istirahatlah di rumah. Temani Maya, dia sedang mengandung anakmu.
Arumi tengah duduk di sebuah kursi di beranda rumah. Tangannya sibuk menata bunga lavender yang baru saja ia beli dari toko bunga ke dalam sebuah vas cantik. Merangkai bunga memang menjadi hobinya, dan lavender selalu menjadi favoritnya karena aroma lembutnya yang menenangkan hati.Dua minggu telah berlalu sejak Raka dan Maya pergi berbulan madu. Sejak saat itu pula, Raka sama sekali tidak menghubunginya.Meski pikirannya terus melayang memikirkan suaminya, Arumi berusaha menguatkan diri agar tak terlalu larut dalam perasaan itu.Bukankah seharusnya ia mulai belajar ikhlas? Bukankah itu satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan sekarang?Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pelataran rumah. Sopir pribadi Ratih segera turun dan membukakan pintu untuk majikannya.Arumi segera berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuanya untuk mencium punggung tangan mertuanya itu.“Kamu sudah mempersiapkan penyambutan untuk kedatangan Raka dan Maya, Rum?” tanya Ratih dengan wajah
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu. Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan. Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya. Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapan







