Share

05

last update Last Updated: 2025-10-16 16:59:42

Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.

Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.

Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.

“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.

Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.

“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.

Deg.

Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?

Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?

Sekelebat rasa nyeri menghujam dadanya. Luka yang selama ini ia coba sembunyikan, terasa terbuka kembali. Ia masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan pahit ini, kenyataan bahwa suaminya kini bukan hanya miliknya.

Namun ia tidak ingin terlihat lemah. Dengan senyum yang dipaksakan, Arumi mengangguk pelan dan melangkah mendekat ke arah adik madunya serta mertuanya itu.

Ia duduk di hadapan mereka. Maya segera menyodorkan majalah itu ke arah Arumi, matanya berbinar penuh semangat.

 “Kalau Mbak Arumi yang disuruh milih, kira-kira tempat wisata mana yang paling bagus?” tanyanya ceria.

Ratih ikut tersenyum dan menimpali.

“Lusa, Maya dan Raka akan berangkat bulan madu. Menurutmu, tempat mana yang cocok buat mereka, Arumi?” tanyanya penuh antusias.

Arumi mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seakan diremas. Pandangannya kosong menatap lembaran majalah itu, melihat foto pantai biru yang tampak menenangkan namun terasa jauh dari kedamaian hatinya.

 “Mungkin... Lombok tempat yang cocok,” ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.

“Lombok?” ulang Maya penasaran. “Mbak Arumi dan Mas Raka pernah ke sana?”

Arumi mengangguk pelan.

“Oh, kalau begitu jangan deh,” balas Maya cepat sambil tertawa kecil.

“Masa aku dan Mas Raka harus berbulan madu di tempat yang dulu pernah kalian datangi? Nggak spesial dong.”

Senyum Arumi perlahan memudar. Ia hanya menunduk, mencoba menahan getir di dadanya. Ucapan Maya terdengar ringan, tapi baginya terasa seperti sayatan halus yang menyakitkan.

“Kalau Bali? Mbak Arumi sudah pernah ke sana?” tanya Maya lagi.

Arumi kembali mengangguk, tanpa kata.

“Raja Ampat?”

“Pernah juga,” jawab Arumi lirih.

Sebenarnya, ia ingin segera beranjak dari sana. Tapi ia tahu, jika meninggalkan percakapan ini, mertuanya pasti akan menganggapnya tidak sopan terhadap Maya. Maka ia tetap duduk di sana, meski hatinya seolah di hancurkan secara perlahan.

Maya tampak berpikir sejenak, lalu menatap Arumi.

“Kalau begitu... tempat mana ya yang belum pernah Mas Raka datangi sama Mbak Arumi? Aku maunya ke tempat yang baru, biar ada kesan tersendiri. Aku ingin bulan madu kami jadi kenangan paling indah sebelum kami punya anak nanti.”

Arumi menarik napas pelan. Kata anak meluncur begitu mudah dari bibir Maya, sementara ia sendiri sudah bertahun-tahun mendengar kata itu hanya sebagai luka.

Beberapa detik kemudian, Maya kembali bertanya.

“Kalau Mbak Arumi sendiri, ada tempat yang pengin banget Mbak datangi tapi belum kesampaian sampai sekarang?”

Arumi menatap jauh, seolah mencari kekuatan untuk menjawab.

 “Ada,” jawabnya singkat.

“Di mana?” tanya Maya lagi, penuh rasa ingin tahu.

 “Swiss,” ucap Arumi dengan nada pelan. “Aku dulu ingin sekali ke sana... bersama Mas Raka.”

Maya sempat terdiam sesaat, lalu tersenyum cerah.

 “Swiss? Wah, sepertinya itu ide yang bagus! Aku dan Mas Raka juga harus ke sana aja deh untuk bulan madu,” katanya riang.

Ia lalu menoleh ke arah Ratih yang duduk di sampingnya.

 “Boleh ya, Bu? Maya janji nanti pulang dari sana, pasti kasih Ibu cucu,” ucapnya manja, sambil tersenyum lembut.

Ratih tertawa kecil, menepuk tangan Maya dengan penuh kasih.

“Boleh dong, sayang. Apa pun yang kamu mau, Ibu dukung. Kamu kan menantu kesayangan Ibu.” ucap Ratih, tanpa memperdulikan perasaan Arumi yang berada tak jauh dari mereka.

Arumi tercekat. Dadanya terasa sesak.

Swiss... tempat impiannya bersama Raka. Tempat yang dulu sering mereka bicarakan, kini akan menjadi tempat di mana suaminya akan berbulan madu dengan wanita lain.

Ia menunduk, menatap jemarinya yang bergetar pelan. Ia ingin menangis, tapi tak boleh. Ia tahu, satu tetes air mata saja akan membuat mereka puas melihat kelemahannya. Maka ia menahan semuanya di dalam dada.

...

Malam itu, setelah makan malam selesai, suasana rumah tampak tenang. Di ruang keluarga yang tak jauh dari meja makan, Raka, Maya, dan Ratih tampak duduk bersama sambil berbincang ringan. Tawa kecil mereka sesekali terdengar, menciptakan kehangatan yang terasa asing bagi seseorang di sudut ruangan.

Sementara itu, Arumi masih sibuk membereskan piring-piring bekas mereka makan seorang diri. Jika dilihat sekilas, ia tidak tampak seperti seorang istri. Ia lebih mirip seorang pembantu yang tengah membersihkan sisa makan majikannya. Dari tempatnya berdiri, Arumi bisa melihat jelas mereka bertiga yang begitu hangat bercengkerama.

Maya duduk di samping Raka, bersandar manja di dada pria itu. Pemandangan itu membuat hati Arumi kembali terasa nyeri. Air matanya menetes perlahan, namun segera ia gigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan isak nya agar tak terdengar. Tak ada yang tahu, tak satu pun menyadari bahwa hatinya tengah terluka parah. Ia menangis tanpa suara, hanya tangannya yang bergetar saat mengumpulkan piring-piring kotor. Sesekali, ia mengusap air matanya dengan punggung tangan.

Tempat itu dulu miliknya, tempat ia biasa bersandar, tempat ia menemukan ketenangan. Kini tempat itu telah diisi oleh wanita lain, dan Raka tampak menikmatinya tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.

Apa Mas Raka mulai melupakanku? batin Arumi lirih.

Dari arah meja makan, ia masih bisa mendengar jelas percakapan mereka. Mereka membicarakan tentang rencana bulan madu yang tadi siang sempat dibahas Maya bersama Ratih. Raka menanggapinya dengan nada tenang, sesekali tersenyum kecil. Arumi hanya bisa menunduk, menahan perih yang semakin mengiris. Mungkin pria itu benar-benar telah melupakan dirinya, wanita yang dulu katanya paling ia cintai. Kini, perlahan, cinta itu seolah telah pudar.

Perlahan Arumi menunduk, tangannya terangkat menyentuh perutnya yang masih datar. Ia meremasnya pelan, seolah mencoba menyalurkan rasa sakit di hatinya. Bibirnya bergetar, dan dengan suara yang sangat lirih, ia berucap pada sesuatu yang tak pernah hadir.

“Nak… kenapa kamu tak kunjung datang ke rahim Bunda? Apa kamu tak ingin melihat Bunda bahagia bersama Ayahmu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak untuk suamiku    07

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya

  • Anak untuk suamiku    06

    Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm

  • Anak untuk suamiku    05

    Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me

  • Anak untuk suamiku    04

    Malam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya.Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya.Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu.Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya.“Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.”Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirny

  • Anak untuk suamiku    03

    Hari itu akhirnya tiba.Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.“Kamu sudah siap, Mas?”Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”Arumi tersenyum, meski di

  • Anak untuk suamiku    02

    Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.“Capek, Mas?” tanyanya lembut.Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mand

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status