MasukSiang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.
Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu. Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang. “Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat. Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya. “Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias. Deg. Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu? Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu? Sekelebat rasa nyeri menghujam dadanya. Luka yang selama ini ia coba sembunyikan, terasa terbuka kembali. Ia masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan pahit ini, kenyataan bahwa suaminya kini bukan hanya miliknya. Namun ia tidak ingin terlihat lemah. Dengan senyum yang dipaksakan, Arumi mengangguk pelan dan melangkah mendekat ke arah adik madunya serta mertuanya itu. Ia duduk di hadapan mereka. Maya segera menyodorkan majalah itu ke arah Arumi, matanya berbinar penuh semangat. “Kalau Mbak Arumi yang disuruh milih, kira-kira tempat wisata mana yang paling bagus?” tanyanya ceria. Ratih ikut tersenyum dan menimpali. “Lusa, Maya dan Raka akan berangkat bulan madu. Menurutmu, tempat mana yang cocok buat mereka, Arumi?” tanyanya penuh antusias. Arumi mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seakan diremas. Pandangannya kosong menatap lembaran majalah itu, melihat foto pantai biru yang tampak menenangkan namun terasa jauh dari kedamaian hatinya. “Mungkin... Lombok tempat yang cocok,” ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Lombok?” ulang Maya penasaran. “Mbak Arumi dan Mas Raka pernah ke sana?” Arumi mengangguk pelan. “Oh, kalau begitu jangan deh,” balas Maya cepat sambil tertawa kecil. “Masa aku dan Mas Raka harus berbulan madu di tempat yang dulu pernah kalian datangi? Nggak spesial dong.” Senyum Arumi perlahan memudar. Ia hanya menunduk, mencoba menahan getir di dadanya. Ucapan Maya terdengar ringan, tapi baginya terasa seperti sayatan halus yang menyakitkan. “Kalau Bali? Mbak Arumi sudah pernah ke sana?” tanya Maya lagi. Arumi kembali mengangguk, tanpa kata. “Raja Ampat?” “Pernah juga,” jawab Arumi lirih. Sebenarnya, ia ingin segera beranjak dari sana. Tapi ia tahu, jika meninggalkan percakapan ini, mertuanya pasti akan menganggapnya tidak sopan terhadap Maya. Maka ia tetap duduk di sana, meski hatinya seolah di hancurkan secara perlahan. Maya tampak berpikir sejenak, lalu menatap Arumi. “Kalau begitu... tempat mana ya yang belum pernah Mas Raka datangi sama Mbak Arumi? Aku maunya ke tempat yang baru, biar ada kesan tersendiri. Aku ingin bulan madu kami jadi kenangan paling indah sebelum kami punya anak nanti.” Arumi menarik napas pelan. Kata anak meluncur begitu mudah dari bibir Maya, sementara ia sendiri sudah bertahun-tahun mendengar kata itu hanya sebagai luka. Beberapa detik kemudian, Maya kembali bertanya. “Kalau Mbak Arumi sendiri, ada tempat yang pengin banget Mbak datangi tapi belum kesampaian sampai sekarang?” Arumi menatap jauh, seolah mencari kekuatan untuk menjawab. “Ada,” jawabnya singkat. “Di mana?” tanya Maya lagi, penuh rasa ingin tahu. “Swiss,” ucap Arumi dengan nada pelan. “Aku dulu ingin sekali ke sana... bersama Mas Raka.” Maya sempat terdiam sesaat, lalu tersenyum cerah. “Swiss? Wah, sepertinya itu ide yang bagus! Aku dan Mas Raka juga harus ke sana aja deh untuk bulan madu,” katanya riang. Ia lalu menoleh ke arah Ratih yang duduk di sampingnya. “Boleh ya, Bu? Maya janji nanti pulang dari sana, pasti kasih Ibu cucu,” ucapnya manja, sambil tersenyum lembut. Ratih tertawa kecil, menepuk tangan Maya dengan penuh kasih. “Boleh dong, sayang. Apa pun yang kamu mau, Ibu dukung. Kamu kan menantu kesayangan Ibu.” ucap Ratih, tanpa memperdulikan perasaan Arumi yang berada tak jauh dari mereka. Arumi tercekat. Dadanya terasa sesak. Swiss... tempat impiannya bersama Raka. Tempat yang dulu sering mereka bicarakan, kini akan menjadi tempat di mana suaminya akan berbulan madu dengan wanita lain. Ia menunduk, menatap jemarinya yang bergetar pelan. Ia ingin menangis, tapi tak boleh. Ia tahu, satu tetes air mata saja akan membuat mereka puas melihat kelemahannya. Maka ia menahan semuanya di dalam dada. ... Malam itu, setelah makan malam selesai, suasana rumah tampak tenang. Di ruang keluarga yang tak jauh dari meja makan, Raka, Maya, dan Ratih tampak duduk bersama sambil berbincang ringan. Tawa kecil mereka sesekali terdengar, menciptakan kehangatan yang terasa asing bagi seseorang di sudut ruangan. Sementara itu, Arumi masih sibuk membereskan piring-piring bekas mereka makan seorang diri. Jika dilihat sekilas, ia tidak tampak seperti seorang istri. Ia lebih mirip seorang pembantu yang tengah membersihkan sisa makan majikannya. Dari tempatnya berdiri, Arumi bisa melihat jelas mereka bertiga yang begitu hangat bercengkerama. Maya duduk di samping Raka, bersandar manja di dada pria itu. Pemandangan itu membuat hati Arumi kembali terasa nyeri. Air matanya menetes perlahan, namun segera ia gigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan isak nya agar tak terdengar. Tak ada yang tahu, tak satu pun menyadari bahwa hatinya tengah terluka parah. Ia menangis tanpa suara, hanya tangannya yang bergetar saat mengumpulkan piring-piring kotor. Sesekali, ia mengusap air matanya dengan punggung tangan. Tempat itu dulu miliknya, tempat ia biasa bersandar, tempat ia menemukan ketenangan. Kini tempat itu telah diisi oleh wanita lain, dan Raka tampak menikmatinya tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Apa Mas Raka mulai melupakanku? batin Arumi lirih. Dari arah meja makan, ia masih bisa mendengar jelas percakapan mereka. Mereka membicarakan tentang rencana bulan madu yang tadi siang sempat dibahas Maya bersama Ratih. Raka menanggapinya dengan nada tenang, sesekali tersenyum kecil. Arumi hanya bisa menunduk, menahan perih yang semakin mengiris. Mungkin pria itu benar-benar telah melupakan dirinya, wanita yang dulu katanya paling ia cintai. Kini, perlahan, cinta itu seolah telah pudar. Perlahan Arumi menunduk, tangannya terangkat menyentuh perutnya yang masih datar. Ia meremasnya pelan, seolah mencoba menyalurkan rasa sakit di hatinya. Bibirnya bergetar, dan dengan suara yang sangat lirih, ia berucap pada sesuatu yang tak pernah hadir. “Nak… kenapa kamu tak kunjung datang ke rahim Bunda? Apa kamu tak ingin melihat Bunda bahagia bersama Ayahmu?”Arumi bergerak di dapur seperti robot yang kehilangan baterai. Tangannya secara otomatis mengupas apel dan memotong melon, meski matanya masih terasa panas dan kepalanya berdenyut hebat. Di ruang makan, sayup-sayup terdengar tawa renyah Ratih yang sedang memuji kecantikan Maya pagi ini."Mbak Arum," suara Maya tiba-tiba terdengar di ambang pintu dapur.Arumi tidak menoleh. Ia terus mengiris buah dengan ritme yang konstan."Mbak jangan marah ya sama Ibu. Ibu cuma terlalu senang karena akhirnya rumah ini bakal ada suara bayi," Maya mendekat, berdiri tepat di samping Arumi. Suaranya dipelankan, hanya cukup untuk didengar mereka berdua. "Dan soal kejadian semalam... terima kasih ya, Mbak. Gara-gara insiden bubur itu, Mas Raka jadi makin sayang sama aku."Pisau di tangan Arumi terhenti. Ia menatap potongan apel di depannya dengan tatapan kosong. "Kamu sengaja menjegal kakiku, kan?"Maya tertawa kecil, sangat pelan hingga terdengar seperti desiran angin. "Sengaja atau tidak, hasilnya tetap
Kesunyian di meja makan itu terasa mencekik. Arumi perlahan berlutut, mengabaikan rasa perih di hatinya yang jauh lebih menyakitkan daripada bentakan Raka. Dengan tangan gemetar, ia mulai memunguti pecahan mangkuk satu per satu. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, jatuh tepat di atas ceceran bubur putih yang kini tampak seperti reruntuhan martabatnya sebagai seorang istri."Sengaja atau tidak, hasilnya tetap sama. Aku yang salah di mata mereka," bisiknya lirih.Pikirannya melayang pada Maya. Ia yakin merasakan ada sentuhan kaki yang menjegal langkahnya tadi. Namun, siapa yang akan percaya? Di rumah ini, Maya adalah porselen indah yang sedang menyimpan permata keluarga, sedangkan dirinya hanyalah bejana retak yang tak berguna.Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak agar tak terdengar ke luar. Bahunya terguncang hebat, napasnya tersengal. Ia bukan menangis karena bubur yang tumpah, bukan pula karena dimarahi Raka. Ia
"Arumi." panggil Raka dari arah pintu.Arumi baru saja ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk beristirahat ketika ia terkejut melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak berbinar, ia sempat mengira bahwa malam ini suaminya akan tidur bersamanya.“Iya, Mas?” ucap Arumi pelan, tersenyum kecil.“Bisakah kamu buatkan Maya bubur sumsum? Dia ngidam dan ingin sekali memakannya,” ujar Raka langsung ke tujuan.Senyum Arumi sontak menghilang. Wajahnya berubah lesu dan kecewa.“Mas… aku capek. Aku baru saja menyelesaikan semua pekerjaan, dan aku ingin beristirahat,” katanya lirih.“Mas bisa beli di luar, kan?” tambahnya, menolak pelan karena benar-benar lelah setelah mengerjakan segalanya seorang diri.“Ini sudah malam, Arumi. Mana ada yang jual bubur sumsum jam segini?” jawab Raka. Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 malam.“Tidak bisa besok saja, Mas?” tanya Arumi, suaranya semakin pelan.Suara Maya tiba-tiba terdengar dari belakang.“Mba
“Arumi, cepat kamu belanja beberapa bahan makanan. Kita harus mengadakan syukuran untuk kehadiran cucu pertama di keluarga ini,” ucap Ratih penuh antusias.Raka yang sejak tadi duduk di samping Maya hanya bisa menatap Arumi yang diam tanpa banyak berkata-kata.“Bu, tidak perlu terburu-buru. Kita bisa lakukan ini lain waktu,” tegur Raka pelan pada ibunya.“Tidak bisa,” balas Ratih cepat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ibu juga ingin memberi tahu teman-teman sosialita Ibu bahwa sebentar lagi Ibu akan punya cucu.”Ratih kemudian melirik Arumi. “Lagi pula Arumi juga tidak keberatan, kan? Bukankah anak yang ada di kandungan Maya itu juga anakmu? Begitu, kan, Arumi?”Arumi tersenyum kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan. kemudian ia mengangguk pelan.Raka menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku saja yang pergi bersama Arumi.”“Jangan,” dengan cepat Ratih menolak. “Kamu kan baru pulang, pasti lelah. Istirahatlah di rumah. Temani Maya, dia sedang mengandung anakmu.
Arumi tengah duduk di sebuah kursi di beranda rumah. Tangannya sibuk menata bunga lavender yang baru saja ia beli dari toko bunga ke dalam sebuah vas cantik. Merangkai bunga memang menjadi hobinya, dan lavender selalu menjadi favoritnya karena aroma lembutnya yang menenangkan hati.Dua minggu telah berlalu sejak Raka dan Maya pergi berbulan madu. Sejak saat itu pula, Raka sama sekali tidak menghubunginya.Meski pikirannya terus melayang memikirkan suaminya, Arumi berusaha menguatkan diri agar tak terlalu larut dalam perasaan itu.Bukankah seharusnya ia mulai belajar ikhlas? Bukankah itu satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan sekarang?Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pelataran rumah. Sopir pribadi Ratih segera turun dan membukakan pintu untuk majikannya.Arumi segera berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuanya untuk mencium punggung tangan mertuanya itu.“Kamu sudah mempersiapkan penyambutan untuk kedatangan Raka dan Maya, Rum?” tanya Ratih dengan wajah
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu. Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan. Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya. Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapan







