LOGINDua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.
Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan. Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya. Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya sudah tertata secangkir kopi dan beberapa makanan yang dulu sering ia pesan bersama Raka. Namun tak satu pun ia sentuh. Pandangannya kosong, menatap hamparan laut biru yang berkilau di bawah sinar matahari. Di tengah lamunannya, suara berat seorang pria tiba-tiba memecah kesunyian. “Nyonya Raka,” panggil seseorang dengan nada datar namun tegas. Arumi tersentak, lalu menoleh. “Ah, ternyata benar. Saya kira saya salah orang,” ucap pria itu lagi, bibirnya menampilkan senyum tipis. Pria itu adalah Erman Javier, CEO perusahaan tempat Raka bekerja. Di belakangnya berdiri seorang pria muda berwajah tampan yang tak lain adalah Leo, asisten pribadinya. Arumi menatap keduanya dengan ekspresi datar. Ada sesuatu dalam diri Erman yang membuatnya merasa tak nyaman, entah karena caranya berbicara, atau tatapan matanya yang terasa terlalu berani. “Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujar Erman sambil menarik kursi di hadapannya, berusaha tampak ramah. Leo, sang asisten, hanya bisa menatap heran. Biasanya, sang atasan selalu tampil dingin dan menjaga jarak, tapi kali ini ia justru tampak berusaha membuka percakapan dengan seorang wanita, dan wanita itu adalah istri karyawannya sendiri. Arumi mengangkat alis tipisnya, lalu berkata dengan nada tenang namun tajam, “Saya tidak menyangka, selain menjabat sebagai CEO, Anda juga seorang penguntit rupanya.” Ucapan itu membuat tawa Leo hampir saja pecah. Namun senyumnya langsung lenyap ketika tatapan tajam Erman menembus dirinya. Ia pun buru-buru menunduk sopan. Erman terkekeh pelan, menutupi canggungnya. “Ah, tentu tidak. Saya tidak bermaksud menguntit, Nyonya. Kebetulan saja kita bertemu di sini. Karena suami Anda sedang cuti untuk berbulan madu dengan istri mudanya, jadi mau tak mau saya yang harus menggantikan beberapa tugasnya. Saya kebetulan ada janji dengan klien di kafe ini.” Arumi hanya mengangguk singkat, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. “Kalau begitu, semoga urusan Anda berjalan lancar. Karena urusan pribadi saya juga sudah selesai, saya permisi dulu,” ucapnya datar. Wanita berhijab syar’i itu pun beranjak dari kursinya, mengambil tasnya, lalu berjalan meninggalkan Erman dan Leo tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Erman hanya menatap punggung Arumi yang semakin menjauh, matanya menyipit, entah menyimpan kekaguman atau sesuatu yang lain. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar. “Dingin sekali,” gumamnya lirih. Leo menatap atasannya dengan wajah tak percaya. “Tuan, menggoda istri orang itu termasuk melanggar hukum,” ujarnya pelan. Erman menoleh santai, lalu tersenyum miring. “Oh ya,... bukankah hukum di negara ini bisa dibeli dengan uang?” katanya tenang, sebelum melangkah pergi, meninggalkan asistennya yang masih terpaku dengan ekspresi kaget bercampur tak habis pikir. _ _ _ Di negara yang berbeda, Raka tengah berdiri di balkon kamar hotel yang ia tempati bersama Maya. Tepat di hadapannya, hamparan danau hijau terbentang indah, dikelilingi tebing-tebing tinggi yang menjulang gagah di bawah langit Swiss yang cerah. Tiba-tiba, sepasang tangan mungil melingkar di pinggangnya dari belakang. “Mas, kenapa diam aja? Lagi mikirin Mbak Arumi, ya?” bisik Maya lembut. Hari itu, wanita itu tampak memesona dalam balutan gaun tipis yang menampakkan keindahan bahunya dan sedikit lekuk punggungnya. Raka terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, “Iya… Mas masih belum terbiasa meninggalkan Arumi sendirian. Apalagi Swiss adalah negara impiannya.” Maya langsung cemberut, wajahnya berubah kesal. “Mas Raka, sekarang kan istri Mas bukan cuma Mbak Arumi aja. Mas juga harusnya mikirin Maya dong… mikirin perasaan Maya. Kalau cuma kita berdua, jangan sebut-sebut nama Mbak Arumi lagi,” protesnya dengan nada manja tapi tersinggung. Melihat sikap istri mudanya yang ngambek, Raka hanya bisa tersenyum kecil. “Maaf, Mas akan berusaha bersikap adil sama kamu,” ujarnya lembut sambil meraih tubuh Maya ke dalam pelukannya. “Janji, ya?” tanya Maya dengan mata berbinar. “Iya, Mas janji,” jawab Raka tulus. Senyum kembali merekah di wajah Maya. Ia mendongak menatap mata suaminya, lalu berjinjit perlahan hingga tinggi mereka sejajar. Tanpa berkata apa-apa lagi, Maya menempelkan bibirnya pada bibir Raka. Ciuman itu awalnya lembut dan hangat, namun perlahan berubah menjadi dalam dan penuh gairah. Raka membalas ciuman itu dengan lebih intens. Tangannya terangkat, mengangkat tubuh Maya tanpa memutuskan ciuman, lalu melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan udara dingin Swiss di belakang mereka. _ _ _ Setelah selesai dengan urusan ranjang mereka, udara hangat masih menggantung di kamar hotel. Raka kini tengah berdiri di kamar mandi, membersihkan diri dari sisa-sisa hasrat yang masih menempel di tubuhnya. Sementara itu, Maya masih terbaring di atas ranjang, tubuhnya yang polos hanya terselimuti selimut tipis. Tatapan mata Maya awalnya penuh kepuasan dan tenang, namun perlahan berubah masam ketika suara dering ponsel milik Raka yang tergeletak di atas nakas kembali berbunyi nyaring untuk kesekian kalinya. “Siapa sih?” gerutunya kesal sambil meraih ponsel itu. Begitu layar menyala, nama Arumi terpampang jelas di sana. Beberapa panggilan tak terjawab dan pesan baru tampak berderet. Dan seketika ekspresi Maya berubah, matanya menyipit, rahangnya menegang. Dengan wajah yang mulai memerah karena kesal, Maya membuka layar ponsel itu. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mendecak pelan. “Dasar nggak tahu diri,” bisiknya. Dengan cekatan, Maya mulai mengotak-atik ponsel itu. Jemarinya bergerak cepat membuka semua pesan dan log panggilan, menghapus semuanya satu per satu. Senyumnya semakin tipis dan penuh kemenangan, setiap detik yang berlalu membuatnya merasa semakin dekat dengan tujuannya, menyingkirkan Arumi dari hidup suaminya. “Sudah cukup, Arumi. Kau nggak akan ganggu Raka di sini,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kemenangan. Setelah semua pesan dan log panggilan hilang, Maya menaruh kembali ponsel itu di nakas, seolah tak terjadi apa-apa. Senyum manis kembali terpatri di wajahnya, menutupi rasa puas sekaligus perhitungan licik yang berputar di pikirannya. Tak lama kemudian, Raka keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang, rambutnya masih basah menetes di lehernya dan dada bidangnya. “Sayang, tadi ada yang nelpon?” tanyanya santai sambil mengambil pakaian dari koper. Maya menoleh, menampilkan senyum manis yang sudah ia persiapkan. “Nggak ada kok, mas,” jawabnya ringan. Raka mengangguk tanpa curiga, lalu berjalan menghampirinya. Ia mengecup kening Maya lembut sebelum berbaring di sisinya.Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya
Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm
Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me
Malam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya.Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya.Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu.Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya.“Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.”Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirny
Hari itu akhirnya tiba.Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.“Kamu sudah siap, Mas?”Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”Arumi tersenyum, meski di
Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.“Capek, Mas?” tanyanya lembut.Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mand







