Share

07

last update Last Updated: 2025-11-13 17:01:38

Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.

Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.

Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.

Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.

Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.

Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya sudah tertata secangkir kopi dan beberapa makanan yang dulu sering ia pesan bersama Raka. Namun tak satu pun ia sentuh. Pandangannya kosong, menatap hamparan laut biru yang berkilau di bawah sinar matahari.

Di tengah lamunannya, suara berat seorang pria tiba-tiba memecah kesunyian.

“Nyonya Raka,” panggil seseorang dengan nada datar namun tegas.

Arumi tersentak, lalu menoleh.

“Ah, ternyata benar. Saya kira saya salah orang,” ucap pria itu lagi, bibirnya menampilkan senyum tipis.

Pria itu adalah Erman Javier, CEO perusahaan tempat Raka bekerja. Di belakangnya berdiri seorang pria muda berwajah tampan yang tak lain adalah Leo, asisten pribadinya.

Arumi menatap keduanya dengan ekspresi datar. Ada sesuatu dalam diri Erman yang membuatnya merasa tak nyaman, entah karena caranya berbicara, atau tatapan matanya yang terasa terlalu berani.

“Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujar Erman sambil menarik kursi di hadapannya, berusaha tampak ramah.

Leo, sang asisten, hanya bisa menatap heran. Biasanya, sang atasan selalu tampil dingin dan menjaga jarak, tapi kali ini ia justru tampak berusaha membuka percakapan dengan seorang wanita, dan wanita itu adalah istri karyawannya sendiri.

Arumi mengangkat alis tipisnya, lalu berkata dengan nada tenang namun tajam,

“Saya tidak menyangka, selain menjabat sebagai CEO, Anda juga seorang penguntit rupanya.”

Ucapan itu membuat tawa Leo hampir saja pecah. Namun senyumnya langsung lenyap ketika tatapan tajam Erman menembus dirinya. Ia pun buru-buru menunduk sopan.

Erman terkekeh pelan, menutupi canggungnya.

“Ah, tentu tidak. Saya tidak bermaksud menguntit, Nyonya. Kebetulan saja kita bertemu di sini. Karena suami Anda sedang cuti untuk berbulan madu dengan istri mudanya, jadi mau tak mau saya yang harus menggantikan beberapa tugasnya. Saya kebetulan ada janji dengan klien di kafe ini.”

Arumi hanya mengangguk singkat, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

“Kalau begitu, semoga urusan Anda berjalan lancar. Karena urusan pribadi saya juga sudah selesai, saya permisi dulu,” ucapnya datar.

Wanita berhijab syar’i itu pun beranjak dari kursinya, mengambil tasnya, lalu berjalan meninggalkan Erman dan Leo tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Erman hanya menatap punggung Arumi yang semakin menjauh, matanya menyipit, entah menyimpan kekaguman atau sesuatu yang lain. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar.

“Dingin sekali,” gumamnya lirih.

Leo menatap atasannya dengan wajah tak percaya.

“Tuan, menggoda istri orang itu termasuk melanggar hukum,” ujarnya pelan.

Erman menoleh santai, lalu tersenyum miring. “Oh ya,... bukankah hukum di negara ini bisa dibeli?” katanya tenang, sebelum melangkah pergi, meninggalkan asistennya yang masih terpaku dengan ekspresi kaget bercampur tak habis pikir.

———

Di negara berbeda...

Raka tengah berdiri di balkon kamar hotel yang ia tempati bersama Maya. Tepat di hadapannya, hamparan danau hijau terbentang indah, dikelilingi tebing-tebing tinggi yang menjulang gagah di bawah langit Swiss yang cerah.

Tiba-tiba, sepasang tangan mungil melingkar di pinggangnya dari belakang.

“Mas, kenapa diam aja? Lagi mikirin Mbak Arumi, ya?” bisik Maya lembut.

Hari itu, wanita itu tampak memesona dalam balutan gaun tipis yang menampakkan keindahan bahunya dan sedikit lekuk punggungnya.

Raka terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, “Iya… Mas masih belum terbiasa meninggalkan Arumi sendirian. Apalagi Swiss adalah negara impiannya.”

Maya langsung cemberut, wajahnya berubah kesal.

“Mas Raka, sekarang kan istri Mas bukan cuma Mbak Arumi aja. Mas juga harusnya mikirin Maya dong… mikirin perasaan Maya. Kalau cuma kita berdua, jangan sebut-sebut nama Mbak Arumi lagi,” protesnya dengan nada manja.

Melihat sikap istri mudanya yang ngambek, Raka hanya bisa tersenyum kecil.

“Maaf, Mas akan berusaha bersikap adil sama kamu,” ujarnya lembut sambil meraih tubuh Maya ke dalam pelukannya.

“Janji, ya?” tanya Maya dengan mata berbinar.

“Iya, Mas janji,” jawab Raka tulus.

Senyum kembali merekah di wajah Maya. Ia mendongak menatap mata suaminya, lalu berjinjit perlahan hingga tinggi mereka sejajar.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Maya menempelkan bibirnya pada bibir Raka. Ciuman itu awalnya lembut dan hangat, namun perlahan berubah menjadi dalam dan penuh gairah.

Raka membalas ciuman itu dengan lebih intens. Tangannya terangkat, menggendong tubuh Maya tanpa memutuskan pagutan mereka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

"Emhh..." Desahan lirih lolos dari bibir Maya saat lidah mereka saling beradu.

Raka membaringkan tubuh Maya di atas ranjang, napas keduanya tersengal akibat ciuman panas itu.

“Mas…” ucap Maya lirih, suaranya bergetar.

“Hmm…” sahut Raka, bibirnya beralih menciumi leher jenjang Maya.

“Menurut Mas Raka, enakan main sama Maya atau sama Mbak Arumi?” tanya Maya di sela aktivitas mereka.

Raka menghentikan gerakannya sejenak. “Kenapa tanya seperti itu?”

“Nggak apa-apa, cuma ingin tahu saja,” ucap Maya.

Raka menatap wajah istri mudanya itu lalu tersenyum kecil.

“Kalian sama-sama enak, Sayang,” ucapnya, suaranya terdengar berat dan serak.

Bibir mereka pun kembali bertaut. Tangan Raka mulai bergerak menyusuri setiap lekuk tubuh Maya. Hingga akhirnya dengan mudah ia menyingkap gaun yang digunakan gadis itu, memperlihatkan dua gundukan kembarnya yang tampak kencang. Bibirnya berpindah, menjelajahi leher, dada, hingga perutnya.

"Ahh..." Maya sedikit menggeliat, merasakan sensasi yang ia rasakan.

Namun Raka tak berhenti sampai di situ. Wajahnya terus bergerak turun hingga akhirnya sampai pada titik di mana pusat kenikmatan itu berada. Ia mengangkat sedikit kedua kaki Maya agar memudahkan lidahnya menyusuri area sensitif itu.

“Ahh… Mas. Hisap yang kuat…” desah Maya sambil sedikit menekan kepala Raka.

“Kamu suka, Sayang?” tanya Raka di sela permainan lidahnya.

Maya mengangguk pelan.

“Suka banget, Mas.”

———

Setelah selesai dengan urusan ranjang mereka, udara hangat masih menggantung di kamar hotel. Raka kini tengah berdiri di kamar mandi, membersihkan diri dari sisa-sisa hasrat yang masih menempel di tubuhnya. Sementara itu, Maya masih terbaring di atas ranjang, tubuhnya yang polos hanya terselimuti selimut tipis.

Tatapan mata Maya awalnya penuh kepuasan dan tenang, namun perlahan berubah masam ketika suara dering ponsel milik Raka yang tergeletak di atas nakas kembali berbunyi nyaring untuk kesekian kalinya.

“Siapa sih?” gerutunya kesal sambil meraih ponsel itu.

Begitu layar menyala, nama Arumi terpampang jelas di sana. Beberapa panggilan tak terjawab dan pesan baru tampak berderet. Dan seketika ekspresi Maya berubah, matanya menyipit, rahangnya menegang.

Dengan wajah yang mulai memerah karena kesal, Maya membuka layar ponsel itu. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mendecak pelan.

“Dasar nggak tahu diri,” bisiknya.

Dengan cekatan, Maya mulai mengotak-atik ponsel itu. Jemarinya bergerak cepat membuka semua pesan dan log panggilan, menghapus semuanya satu per satu. Senyumnya semakin tipis dan penuh kemenangan, setiap detik yang berlalu membuatnya merasa semakin dekat dengan tujuannya, menyingkirkan Arumi dari hidup suaminya.

“Sudah cukup, Arumi. Kau nggak akan ganggu Raka di sini,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kemenangan.

Setelah semua pesan dan log panggilan hilang, Maya menaruh kembali ponsel itu di nakas, seolah tak terjadi apa-apa. Senyum manis kembali terpatri di wajahnya, menutupi rasa puas sekaligus perhitungan licik yang berputar di pikirannya.

Tak lama kemudian, Raka keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang, rambutnya masih basah menetes di lehernya dan dada bidangnya.

“Sayang, tadi ada yang nelpon?” tanyanya santai sambil mengambil pakaian dari koper.

Maya menoleh, menampilkan senyum manis yang sudah ia persiapkan.

“Nggak ada kok, mas,” jawabnya ringan.

Raka mengangguk tanpa curiga, lalu berjalan menghampirinya. Ia mengecup kening Maya lembut sebelum berbaring di sisinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk suamiku    bab 12

    Arumi bergerak di dapur seperti robot yang kehilangan baterai. Tangannya secara otomatis mengupas apel dan memotong melon, meski matanya masih terasa panas dan kepalanya berdenyut hebat. Di ruang makan, sayup-sayup terdengar tawa renyah Ratih yang sedang memuji kecantikan Maya pagi ini."Mbak Arum," suara Maya tiba-tiba terdengar di ambang pintu dapur.Arumi tidak menoleh. Ia terus mengiris buah dengan ritme yang konstan."Mbak jangan marah ya sama Ibu. Ibu cuma terlalu senang karena akhirnya rumah ini bakal ada suara bayi," Maya mendekat, berdiri tepat di samping Arumi. Suaranya dipelankan, hanya cukup untuk didengar mereka berdua. "Dan soal kejadian semalam... terima kasih ya, Mbak. Gara-gara insiden bubur itu, Mas Raka jadi makin sayang sama aku."Pisau di tangan Arumi terhenti. Ia menatap potongan apel di depannya dengan tatapan kosong. "Kamu sengaja menjegal kakiku, kan?"Maya tertawa kecil, sangat pelan hingga terdengar seperti desiran angin. "Sengaja atau tidak, hasilnya tetap

  • Madu untuk suamiku    bab 11

    Kesunyian di meja makan itu terasa mencekik. Arumi perlahan berlutut, mengabaikan rasa perih di hatinya yang jauh lebih menyakitkan daripada bentakan Raka. Dengan tangan gemetar, ia mulai memunguti pecahan mangkuk satu per satu. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, jatuh tepat di atas ceceran bubur putih yang kini tampak seperti reruntuhan martabatnya sebagai seorang istri."Sengaja atau tidak, hasilnya tetap sama. Aku yang salah di mata mereka," bisiknya lirih.Pikirannya melayang pada Maya. Ia yakin merasakan ada sentuhan kaki yang menjegal langkahnya tadi. Namun, siapa yang akan percaya? Di rumah ini, Maya adalah porselen indah yang sedang menyimpan permata keluarga, sedangkan dirinya hanyalah bejana retak yang tak berguna.Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak agar tak terdengar ke luar. Bahunya terguncang hebat, napasnya tersengal. Ia bukan menangis karena bubur yang tumpah, bukan pula karena dimarahi Raka. Ia

  • Madu untuk suamiku    bab 10

    "Arumi." panggil Raka dari arah pintu.Arumi baru saja ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk beristirahat ketika ia terkejut melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak berbinar, ia sempat mengira bahwa malam ini suaminya akan tidur bersamanya.“Iya, Mas?” ucap Arumi pelan, tersenyum kecil.“Bisakah kamu buatkan Maya bubur sumsum? Dia ngidam dan ingin sekali memakannya,” ujar Raka langsung ke tujuan.Senyum Arumi sontak menghilang. Wajahnya berubah lesu dan kecewa.“Mas… aku capek. Aku baru saja menyelesaikan semua pekerjaan, dan aku ingin beristirahat,” katanya lirih.“Mas bisa beli di luar, kan?” tambahnya, menolak pelan karena benar-benar lelah setelah mengerjakan segalanya seorang diri.“Ini sudah malam, Arumi. Mana ada yang jual bubur sumsum jam segini?” jawab Raka. Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 malam.“Tidak bisa besok saja, Mas?” tanya Arumi, suaranya semakin pelan.Suara Maya tiba-tiba terdengar dari belakang.“Mba

  • Madu untuk suamiku    bab 09

    “Arumi, cepat kamu belanja beberapa bahan makanan. Kita harus mengadakan syukuran untuk kehadiran cucu pertama di keluarga ini,” ucap Ratih penuh antusias.Raka yang sejak tadi duduk di samping Maya hanya bisa menatap Arumi yang diam tanpa banyak berkata-kata.“Bu, tidak perlu terburu-buru. Kita bisa lakukan ini lain waktu,” tegur Raka pelan pada ibunya.“Tidak bisa,” balas Ratih cepat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ibu juga ingin memberi tahu teman-teman sosialita Ibu bahwa sebentar lagi Ibu akan punya cucu.”Ratih kemudian melirik Arumi. “Lagi pula Arumi juga tidak keberatan, kan? Bukankah anak yang ada di kandungan Maya itu juga anakmu? Begitu, kan, Arumi?”Arumi tersenyum kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan. kemudian ia mengangguk pelan.Raka menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku saja yang pergi bersama Arumi.”“Jangan,” dengan cepat Ratih menolak. “Kamu kan baru pulang, pasti lelah. Istirahatlah di rumah. Temani Maya, dia sedang mengandung anakmu.

  • Madu untuk suamiku    bab 08

    Arumi tengah duduk di sebuah kursi di beranda rumah. Tangannya sibuk menata bunga lavender yang baru saja ia beli dari toko bunga ke dalam sebuah vas cantik. Merangkai bunga memang menjadi hobinya, dan lavender selalu menjadi favoritnya karena aroma lembutnya yang menenangkan hati.Dua minggu telah berlalu sejak Raka dan Maya pergi berbulan madu. Sejak saat itu pula, Raka sama sekali tidak menghubunginya.Meski pikirannya terus melayang memikirkan suaminya, Arumi berusaha menguatkan diri agar tak terlalu larut dalam perasaan itu.Bukankah seharusnya ia mulai belajar ikhlas? Bukankah itu satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan sekarang?Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pelataran rumah. Sopir pribadi Ratih segera turun dan membukakan pintu untuk majikannya.Arumi segera berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuanya untuk mencium punggung tangan mertuanya itu.“Kamu sudah mempersiapkan penyambutan untuk kedatangan Raka dan Maya, Rum?” tanya Ratih dengan wajah

  • Madu untuk suamiku    07

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu. Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan. Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya. Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status