LOGINArumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.
Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti. Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya. “Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja. “Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat. Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali. “Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis. “Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya. Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa diremas. Kenapa semua orang di rumah ini tak pernah sekali pun mencoba mengerti perasaannya? Apa karena selama ini ia berusaha terlihat tegar, hingga mereka merasa bebas mempermainkan dirinya sesuka hati? ... Malam itu, Arumi baru saja selesai menunaikan salat malam, ibadah yang hampir tak pernah ia lewatkan. Udara kamar terasa hening, hanya suara lirih detak jam yang terdengar di antara kesunyian. Saat ia hendak membuka mukena yang menutupi tubuhnya, suara pintu kamar terdengar berderit pelan. Raka melangkah masuk dengan langkah tenang. Wajahnya tampak tenang diterangi cahaya lampu kamar yang temaram. “Belum tidur, Sayang?” tanyanya, suaranya hangat seperti dulu. Arumi terkejut melihat kedatangannya. Ia hanya mengangguk pelan. “Baru saja selesai salat tahajud, Mas,” ucapnya dengan suara lembut yang khas, suara yang selalu menenangkan Raka setiap kali ia merasa lelah. Raka tersenyum kecil. “Maaf ya, Mas baru bisa menemuin kamu sekarang. Mas harus nunggu Maya tidur dulu, dia dari tadi merengek nggak mau ditinggal,” katanya, nada suaranya menyiratkan rasa bersalah. berusaha menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tak perlu dijelaskan. Senyum getir muncul di bibir Arumi. Ia menunduk sebentar, menelan rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. “Iya, Mas. Nggak apa-apa kok,” jawabnya pelan, mencoba terdengar setegar mungkin meski hatinya terasa hancur perlahan. Raka kemudian berjalan ke ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Lalu dengan suara pelan ia berkata “Kemarilah.” Tanpa banyak kata, Arumi melangkah mendekat, lalu berbaring di sisi suaminya. Tak butuh waktu lama sampai Raka menariknya ke dalam pelukannya. Tubuh pria itu terasa hangat, begitu familiar, seolah pelukan itu ingin menghapus jarak yang sempat tercipta. “Mas kangen banget sama kamu,” bisik Raka di telinganya, napasnya terasa hangat di kulit Arumi. Wanita itu terdiam. Ia menenggelamkan wajahnya ke dada pria itu, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. aroma yang dulu selalu menenangkan hatinya, aroma yang kini justru menghadirkan rindu sekaligus luka. Dalam diam, Arumi berusaha meyakinkan hatinya sendiri. Mungkin aku salah… mungkin aku terlalu cemburu. Mungkin Mas Raka masih mencintaiku, hanya saja… sekarang ia harus membagi cintanya. ... Hari ini adalah hari di mana Arumi harus berpisah dengan Raka untuk waktu yang cukup lama. Raka akan pergi berbulan madu bersama Maya, seperti yang sudah mereka rencanakan sejak beberapa waktu lalu. Begitu pula dengan ibu mertuanya, Ratih yang juga akan pulang ke kediamannya sendiri setelah beberapa hari tinggal bersama mereka. Sebelumnya, Raka tak pernah meninggalkan Arumi sendirian di rumah. Ke mana pun ia pergi, Arumi selalu dibawa serta, bahkan ketika Raka harus melakukan perjalanan dinas. Ia tidak pernah tega membiarkan Arumi merasa kesepian di rumah besar itu seorang diri. Namun kali ini, Arumi harus belajar ikhlas. Meski hatinya terasa berat menyaksikan suaminya bersiap pergi bersama wanita lain, ia berusaha untuk bersabar. Ia tahu, Raka tengah berjuang keras agar bisa berlaku adil, membagi kasih sayangnya di antara dua perempuan yang kini menyandang status sebagai istrinya. Pagi itu, semua orang sudah berkumpul di pelataran rumah untuk mengantar kepergian Raka dan Maya. Raka mendekati Arumi, lalu memeluknya erat seolah enggan melepaskan. “Maaf, Mas harus ninggalin kamu sendiri dulu,” ucap Raka lembut di telinganya. Arumi hanya bisa tersenyum tipis, meski hatinya terasa sesak. “Nggak apa-apa, Mas. Bersenang-senanglah,” balasnya pelan, mencoba terdengar tegar. Raka mengusap lembut puncak kepala istrinya sebelum akhirnya berbalik menuju mobil. Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil terdengar. Perlahan, kendaraan yang membawa Raka dan Maya melaju menjauh, meninggalkan halaman rumah besar itu. Kini hanya tersisa Bu Ratih dan Arumi di sana. Sebelum pergi, Ratih sempat menatap Arumi dengan tatapan dingin. “Ibu pulang dulu. Nanti kalau mereka sudah kembali dari bulan madu, Ibu datang lagi,” ucapnya datar, kasih sayang yang dulu ada telah menguap bersama dengan harapan untuk memiliki cucu yang tak kunjung datang. Arumi hanya bisa mengangguk pelan, lalu menunduk sambil mencium punggung tangan mertuanya itu. “Baik, Bu. Hati-hati di jalan,” ujarnya dengan suara lirih. Tak lama, mobil Ratih pun ikut melaju meninggalkan rumah. Kini, hanya kesunyian yang tersisa. Arumi berdiri di ambang pintu, menatap kosong ke arah jalan yang mulai lengang. Di dadanya, ada rasa hampa yang sulit dijelaskan, seolah separuh dari dirinya ikut pergi bersama mobil yang membawa Raka menjauh.Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya
Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm
Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me
Malam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya.Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya.Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu.Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya.“Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.”Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirny
Hari itu akhirnya tiba.Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.“Kamu sudah siap, Mas?”Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”Arumi tersenyum, meski di
Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.“Capek, Mas?” tanyanya lembut.Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mand







