Share

06

last update Last Updated: 2025-10-17 12:13:17

Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.

Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.

Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.

“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.

“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.

Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.

“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.

“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.

Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa diremas.

Kenapa semua orang di rumah ini tak pernah sekali pun mencoba mengerti perasaannya?

Apa karena selama ini ia berusaha terlihat tegar, hingga mereka merasa bebas mempermainkan dirinya sesuka hati?

...

Malam itu, Arumi baru saja selesai menunaikan salat malam, ibadah yang hampir tak pernah ia lewatkan. Udara kamar terasa hening, hanya suara lirih detak jam yang terdengar di antara kesunyian. Saat ia hendak membuka mukena yang menutupi tubuhnya, suara pintu kamar terdengar berderit pelan.

Raka melangkah masuk dengan langkah tenang. Wajahnya tampak tenang diterangi cahaya lampu kamar yang temaram.

“Belum tidur, Sayang?” tanyanya, suaranya hangat seperti dulu.

Arumi terkejut melihat kedatangannya. Ia hanya mengangguk pelan.

“Baru saja selesai salat tahajud, Mas,” ucapnya dengan suara lembut yang khas, suara yang selalu menenangkan Raka setiap kali ia merasa lelah.

Raka tersenyum kecil. “Maaf ya, Mas baru bisa menemuin kamu sekarang. Mas harus nunggu Maya tidur dulu, dia dari tadi merengek nggak mau ditinggal,” katanya, nada suaranya menyiratkan rasa bersalah. berusaha menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tak perlu dijelaskan.

Senyum getir muncul di bibir Arumi. Ia menunduk sebentar, menelan rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

“Iya, Mas. Nggak apa-apa kok,” jawabnya pelan, mencoba terdengar setegar mungkin meski hatinya terasa hancur perlahan.

Raka kemudian berjalan ke ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Lalu dengan suara pelan ia berkata

“Kemarilah.”

Tanpa banyak kata, Arumi melangkah mendekat, lalu berbaring di sisi suaminya. Tak butuh waktu lama sampai Raka menariknya ke dalam pelukannya. Tubuh pria itu terasa hangat, begitu familiar, seolah pelukan itu ingin menghapus jarak yang sempat tercipta.

“Mas kangen banget sama kamu,” bisik Raka di telinganya, napasnya terasa hangat di kulit Arumi.

Wanita itu terdiam. Ia menenggelamkan wajahnya ke dada pria itu, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. aroma yang dulu selalu menenangkan hatinya, aroma yang kini justru menghadirkan rindu sekaligus luka.

Dalam diam, Arumi berusaha meyakinkan hatinya sendiri.

Mungkin aku salah… mungkin aku terlalu cemburu. Mungkin Mas Raka masih mencintaiku, hanya saja… sekarang ia harus membagi cintanya.

...

Hari ini adalah hari di mana Arumi harus berpisah dengan Raka untuk waktu yang cukup lama.

Raka akan pergi berbulan madu bersama Maya, seperti yang sudah mereka rencanakan sejak beberapa waktu lalu. Begitu pula dengan ibu mertuanya, Ratih yang juga akan pulang ke kediamannya sendiri setelah beberapa hari tinggal bersama mereka.

Sebelumnya, Raka tak pernah meninggalkan Arumi sendirian di rumah. Ke mana pun ia pergi, Arumi selalu dibawa serta, bahkan ketika Raka harus melakukan perjalanan dinas. Ia tidak pernah tega membiarkan Arumi merasa kesepian di rumah besar itu seorang diri.

Namun kali ini, Arumi harus belajar ikhlas. Meski hatinya terasa berat menyaksikan suaminya bersiap pergi bersama wanita lain, ia berusaha untuk bersabar. Ia tahu, Raka tengah berjuang keras agar bisa berlaku adil, membagi kasih sayangnya di antara dua perempuan yang kini menyandang status sebagai istrinya.

Pagi itu, semua orang sudah berkumpul di pelataran rumah untuk mengantar kepergian Raka dan Maya.

Raka mendekati Arumi, lalu memeluknya erat seolah enggan melepaskan.

“Maaf, Mas harus ninggalin kamu sendiri dulu,” ucap Raka lembut di telinganya.

Arumi hanya bisa tersenyum tipis, meski hatinya terasa sesak.

“Nggak apa-apa, Mas. Bersenang-senanglah,” balasnya pelan, mencoba terdengar tegar.

Raka mengusap lembut puncak kepala istrinya sebelum akhirnya berbalik menuju mobil.

Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil terdengar. Perlahan, kendaraan yang membawa Raka dan Maya melaju menjauh, meninggalkan halaman rumah besar itu.

Kini hanya tersisa Bu Ratih dan Arumi di sana.

Sebelum pergi, Ratih sempat menatap Arumi dengan tatapan dingin.

“Ibu pulang dulu. Nanti kalau mereka sudah kembali dari bulan madu, Ibu datang lagi,” ucapnya datar, kasih sayang yang dulu ada telah menguap bersama dengan harapan untuk memiliki cucu yang tak kunjung datang.

Arumi hanya bisa mengangguk pelan, lalu menunduk sambil mencium punggung tangan mertuanya itu.

“Baik, Bu. Hati-hati di jalan,” ujarnya dengan suara lirih.

Tak lama, mobil Ratih pun ikut melaju meninggalkan rumah.

Kini, hanya kesunyian yang tersisa.

Arumi berdiri di ambang pintu, menatap kosong ke arah jalan yang mulai lengang. Di dadanya, ada rasa hampa yang sulit dijelaskan, seolah separuh dari dirinya ikut pergi bersama mobil yang membawa Raka menjauh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk suamiku    bab 12

    Arumi bergerak di dapur seperti robot yang kehilangan baterai. Tangannya secara otomatis mengupas apel dan memotong melon, meski matanya masih terasa panas dan kepalanya berdenyut hebat. Di ruang makan, sayup-sayup terdengar tawa renyah Ratih yang sedang memuji kecantikan Maya pagi ini."Mbak Arum," suara Maya tiba-tiba terdengar di ambang pintu dapur.Arumi tidak menoleh. Ia terus mengiris buah dengan ritme yang konstan."Mbak jangan marah ya sama Ibu. Ibu cuma terlalu senang karena akhirnya rumah ini bakal ada suara bayi," Maya mendekat, berdiri tepat di samping Arumi. Suaranya dipelankan, hanya cukup untuk didengar mereka berdua. "Dan soal kejadian semalam... terima kasih ya, Mbak. Gara-gara insiden bubur itu, Mas Raka jadi makin sayang sama aku."Pisau di tangan Arumi terhenti. Ia menatap potongan apel di depannya dengan tatapan kosong. "Kamu sengaja menjegal kakiku, kan?"Maya tertawa kecil, sangat pelan hingga terdengar seperti desiran angin. "Sengaja atau tidak, hasilnya tetap

  • Madu untuk suamiku    bab 11

    Kesunyian di meja makan itu terasa mencekik. Arumi perlahan berlutut, mengabaikan rasa perih di hatinya yang jauh lebih menyakitkan daripada bentakan Raka. Dengan tangan gemetar, ia mulai memunguti pecahan mangkuk satu per satu. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, jatuh tepat di atas ceceran bubur putih yang kini tampak seperti reruntuhan martabatnya sebagai seorang istri."Sengaja atau tidak, hasilnya tetap sama. Aku yang salah di mata mereka," bisiknya lirih.Pikirannya melayang pada Maya. Ia yakin merasakan ada sentuhan kaki yang menjegal langkahnya tadi. Namun, siapa yang akan percaya? Di rumah ini, Maya adalah porselen indah yang sedang menyimpan permata keluarga, sedangkan dirinya hanyalah bejana retak yang tak berguna.Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak agar tak terdengar ke luar. Bahunya terguncang hebat, napasnya tersengal. Ia bukan menangis karena bubur yang tumpah, bukan pula karena dimarahi Raka. Ia

  • Madu untuk suamiku    bab 10

    "Arumi." panggil Raka dari arah pintu.Arumi baru saja ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk beristirahat ketika ia terkejut melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak berbinar, ia sempat mengira bahwa malam ini suaminya akan tidur bersamanya.“Iya, Mas?” ucap Arumi pelan, tersenyum kecil.“Bisakah kamu buatkan Maya bubur sumsum? Dia ngidam dan ingin sekali memakannya,” ujar Raka langsung ke tujuan.Senyum Arumi sontak menghilang. Wajahnya berubah lesu dan kecewa.“Mas… aku capek. Aku baru saja menyelesaikan semua pekerjaan, dan aku ingin beristirahat,” katanya lirih.“Mas bisa beli di luar, kan?” tambahnya, menolak pelan karena benar-benar lelah setelah mengerjakan segalanya seorang diri.“Ini sudah malam, Arumi. Mana ada yang jual bubur sumsum jam segini?” jawab Raka. Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 malam.“Tidak bisa besok saja, Mas?” tanya Arumi, suaranya semakin pelan.Suara Maya tiba-tiba terdengar dari belakang.“Mba

  • Madu untuk suamiku    bab 09

    “Arumi, cepat kamu belanja beberapa bahan makanan. Kita harus mengadakan syukuran untuk kehadiran cucu pertama di keluarga ini,” ucap Ratih penuh antusias.Raka yang sejak tadi duduk di samping Maya hanya bisa menatap Arumi yang diam tanpa banyak berkata-kata.“Bu, tidak perlu terburu-buru. Kita bisa lakukan ini lain waktu,” tegur Raka pelan pada ibunya.“Tidak bisa,” balas Ratih cepat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ibu juga ingin memberi tahu teman-teman sosialita Ibu bahwa sebentar lagi Ibu akan punya cucu.”Ratih kemudian melirik Arumi. “Lagi pula Arumi juga tidak keberatan, kan? Bukankah anak yang ada di kandungan Maya itu juga anakmu? Begitu, kan, Arumi?”Arumi tersenyum kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan. kemudian ia mengangguk pelan.Raka menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku saja yang pergi bersama Arumi.”“Jangan,” dengan cepat Ratih menolak. “Kamu kan baru pulang, pasti lelah. Istirahatlah di rumah. Temani Maya, dia sedang mengandung anakmu.

  • Madu untuk suamiku    bab 08

    Arumi tengah duduk di sebuah kursi di beranda rumah. Tangannya sibuk menata bunga lavender yang baru saja ia beli dari toko bunga ke dalam sebuah vas cantik. Merangkai bunga memang menjadi hobinya, dan lavender selalu menjadi favoritnya karena aroma lembutnya yang menenangkan hati.Dua minggu telah berlalu sejak Raka dan Maya pergi berbulan madu. Sejak saat itu pula, Raka sama sekali tidak menghubunginya.Meski pikirannya terus melayang memikirkan suaminya, Arumi berusaha menguatkan diri agar tak terlalu larut dalam perasaan itu.Bukankah seharusnya ia mulai belajar ikhlas? Bukankah itu satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan sekarang?Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pelataran rumah. Sopir pribadi Ratih segera turun dan membukakan pintu untuk majikannya.Arumi segera berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuanya untuk mencium punggung tangan mertuanya itu.“Kamu sudah mempersiapkan penyambutan untuk kedatangan Raka dan Maya, Rum?” tanya Ratih dengan wajah

  • Madu untuk suamiku    07

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu. Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan. Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya. Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status