LOGINArumi tengah duduk di sebuah kursi di beranda rumah. Tangannya sibuk menata bunga lavender yang baru saja ia beli dari toko bunga ke dalam sebuah vas cantik. Merangkai bunga memang menjadi hobinya, dan lavender selalu menjadi favoritnya karena aroma lembutnya yang menenangkan hati.
Dua minggu telah berlalu sejak Raka dan Maya pergi berbulan madu. Sejak saat itu pula, Raka sama sekali tidak menghubunginya. Meski pikirannya terus melayang memikirkan suaminya, Arumi berusaha menguatkan diri agar tak terlalu larut dalam perasaan itu. Bukankah seharusnya ia mulai belajar ikhlas? Bukankah itu satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan sekarang? Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pelataran rumah. Sopir pribadi Ratih segera turun dan membukakan pintu untuk majikannya. Arumi segera berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuanya untuk mencium punggung tangan mertuanya itu. “Kamu sudah mempersiapkan penyambutan untuk kedatangan Raka dan Maya, Rum?” tanya Ratih dengan wajah datar. “Belum, Bu. soalnya Mas Raka tidak memberi tahu apa pun pada Arumi tentang kapan mas Raka akan pulang,” jawab Arumi pelan. “Kamu ini bagaimana sih, Arumi? Masa tidak tahu kapan suamimu pulang?” suara Ratih terdengar sinis. Arumi menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri. Ia berusaha bersabar menghadapi sikap mertuanya itu. “Soalnya selama Mas Raka dan Maya pergi berbulan madu, Mas Raka sama sekali tidak menghubungi Arumi, Bu,” ucap Arumi lirih. Ratih hanya mendengus kesal melihat menantunya yang menurutnya terlalu banyak alasan. “Bukankah itu wajar? Mereka kan sedang bulan madu, Arumi. Harusnya kamu paham,” ucapnya ketus. Arumi hanya terdiam, tak mampu berkata apa-apa. “Sudah, sana cepat siapkan makan siang untuk mereka. Buatkan makanan kesukaan Raka dan Maya. Mereka pasti lelah dari perjalanan jauh. sebentar lagi mereka akan tiba,” perintah Ratih sebelum berlalu masuk ke dalam rumah. Dengan langkah pelan, Arumi mengikuti ibu mertuanya masuk ke dalam. Begitu berada di ruang tengah, ia langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan siang guna menyambut kepulangan suaminya dan juga adik madunya. _ _ _ Beberapa macam hidangan telah tertata rapi di meja makan, semuanya adalah makanan kesukaan Raka dan Maya, sesuai perintah Ibu mertuanya. Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari arah depan. Ratih, yang sejak tadi duduk santai di ruang keluarga, segera menoleh dan memerintahkan Arumi untuk membuka pintu. “Itu pasti mereka. Cepat bukakan pintunya,” ujar Ratih tegas. Arumi mengangguk pelan, lalu berjalan cepat menuju pintu. Begitu pintu terbuka, Maya masuk terlebih dahulu. Sekilas, pandangan gadis itu jatuh pada Arumi. Dalam detik berikutnya, Maya mendadak memekik kecil sambil memegangi perutnya. “Aduh… perutku sakit…” ucap Maya, tubuhnya limbung, hampir terjatuh. Raka yang berdiri tepat di belakangnya langsung sigap memegangi tubuh istri mudanya itu. “Sayang, kamu kenapa?” tanya Raka cemas. Ratih yang tadinya duduk di ruang keluarga sontak bangkit dan bergegas menghampiri. “Kamu kenapa, Maya?” ujarnya panik. Sementara itu, Arumi masih berdiri mematung di ambang pintu, tidak memahami kenapa adik madunya itu mendadak terlihat begitu kesakitan. “Nggak apa-apa, Bu…” Maya menjawab lirih. “Mungkin cuma kecapekan. Kan habis perjalanan jauh.” Raka segera menuntun istrinya itu menuju sofa, melewati Arumi tanpa melirik sedikitpun ke aranya, seolah keberadaan perempuan itu tidak berarti. “Arumi! Kamu ngapain diam aja di situ? Cepat ambilkan Maya minum!” tegur Ratih, melihat Arumi hanya terdiam. Arumi tersentak, lalu mengangguk cepat. “B-baik, Bu.” Ia pun bergegas ke dapur dan kembali membawa segelas air putih. “Mbak Arumi… nggak usah repot-repot,” ucap Maya lirih sambil tersenyum kecil, meski wajahnya masih terlihat pucat. “Nggak apa-apa kok…” Arumi tetap menyerahkan gelas itu. Setelah Maya meminumnya dan merasa sedikit membaik, gadis itu kembali bicara. “Oh iya, Bu… Maya bawa oleh-oleh buat Ibu.” Ia menyerahkan sebuah kotak kecil berlapis kertas kado emas. Ratih menerimanya dengan mata berbinar. Begitu membuka kotak tersebut dan melihat benda di dalamnya, ia menutup mulutnya. Itu adalah sebuah tes kehamilan dengan dua garis merah yang terlihat jelas. Air matanya langsung jatuh tanpa bisa dibendung. “Sayang… kamu hamil?” suara Ratih bergetar tak percaya. Maya tersenyum, lalu menatap Raka yang duduk di sampingnya sambil menggenggam tangan pria itu. “Iya, Bu. Sebentar lagi Ibu punya cucu.” Tanpa menahan diri, Ratih langsung memeluk Maya erat-erat. Tangis haru pecah begitu saja. “Syukurlah… akhirnya Ibu punya cucu juga. Sudah lama Ibu menantikan ini.” Maya tersenyum lembut. “Ibu senang?” “Senang banget! Terima kasih karena kamu sudah memberikan Ibu cucu… dan anak pertama untuk Raka,” ucap Ratih, tanpa sedikit pun memperhatikan Arumi yang berdiri tak jauh dari mereka. Arumi hanya dapat berdiri mematung, menyaksikan kebahagiaan itu. Senyum, pelukan, kata-kata syukur, semua bukan untuknya. Pandangan Arumi beralih pada Raka. Tatapan pria itu, ia bisa melihat kebahagiaan yang tidak dapat disembunyikan di sana. Tubuh Arumi sontak bergetar halus. Tanpa sadar, tangannya terangkat pelan dan menyentuh perutnya yang masih rata. Hamil… Sesuatu yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Harapan yang selalu ia simpan dalam - dalam. Dan kini, kata-kata yang begitu ia tunggu justru keluar dari mulut wanita lain… wanita yang mengandung darah daging suaminya."Arumi." panggil Raka dari arah pintu.Arumi baru saja ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk beristirahat ketika ia terkejut melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak berbinar, ia sempat mengira bahwa malam ini suaminya akan tidur bersamanya.“Iya, Mas?” ucap Arumi pelan, tersenyum kecil.“Bisakah kamu buatkan Maya bubur sumsum? Dia ngidam dan ingin sekali memakannya,” ujar Raka langsung ke tujuan.Senyum Arumi sontak menghilang. Wajahnya berubah lesu dan kecewa.“Mas… aku capek. Aku baru saja menyelesaikan semua pekerjaan, dan aku ingin beristirahat,” katanya lirih.“Mas bisa beli di luar, kan?” tambahnya, menolak pelan karena benar-benar lelah setelah mengerjakan segalanya seorang diri.“Ini sudah malam, Arumi. Mana ada yang jual bubur sumsum jam segini?” jawab Raka. Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 malam.“Tidak bisa besok saja, Mas?” tanya Arumi, suaranya semakin pelan.Suara Maya tiba-tiba terdengar dari belakang.“Mba
“Arumi, cepat kamu belanja beberapa bahan makanan. Kita harus mengadakan syukuran untuk kehadiran cucu pertama di keluarga ini,” ucap Ratih penuh antusias.Raka yang sejak tadi duduk di samping Maya hanya bisa menatap Arumi yang diam tanpa banyak berkata-kata.“Bu, tidak perlu terburu-buru. Kita bisa lakukan ini lain waktu,” tegur Raka pelan pada ibunya.“Tidak bisa,” balas Ratih cepat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ibu juga ingin memberi tahu teman-teman sosialita Ibu bahwa sebentar lagi Ibu akan punya cucu.”Ratih kemudian melirik Arumi. “Lagi pula Arumi juga tidak keberatan, kan? Bukankah anak yang ada di kandungan Maya itu juga anakmu? Begitu, kan, Arumi?”Arumi tersenyum kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan. kemudian ia mengangguk pelan.Raka menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku saja yang pergi bersama Arumi.”“Jangan,” dengan cepat Ratih menolak. “Kamu kan baru pulang, pasti lelah. Istirahatlah di rumah. Temani Maya, dia sedang mengandung anakmu.
Arumi tengah duduk di sebuah kursi di beranda rumah. Tangannya sibuk menata bunga lavender yang baru saja ia beli dari toko bunga ke dalam sebuah vas cantik. Merangkai bunga memang menjadi hobinya, dan lavender selalu menjadi favoritnya karena aroma lembutnya yang menenangkan hati.Dua minggu telah berlalu sejak Raka dan Maya pergi berbulan madu. Sejak saat itu pula, Raka sama sekali tidak menghubunginya.Meski pikirannya terus melayang memikirkan suaminya, Arumi berusaha menguatkan diri agar tak terlalu larut dalam perasaan itu.Bukankah seharusnya ia mulai belajar ikhlas? Bukankah itu satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan sekarang?Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pelataran rumah. Sopir pribadi Ratih segera turun dan membukakan pintu untuk majikannya.Arumi segera berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuanya untuk mencium punggung tangan mertuanya itu.“Kamu sudah mempersiapkan penyambutan untuk kedatangan Raka dan Maya, Rum?” tanya Ratih dengan wajah
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu. Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan. Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya. Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapan
Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm
Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me







