Share

Bab 5

"Ya bisa, asal kamu tetep harus utamain Zehra dibanding pekerjaanmu nantinya."

Dewi terkejut, dia tak habis pikir, bisa-bisanya ada orang sebaik Nyonya Trissy. Di saat pada umumnya majikan meminta agar pegawainya lebih mengutamakan pekerjaan, ini malah urusan anak sendiri yang harus dinomor satukan. Luar biasa.

"Tapi sekarang kalian istirahat aja dulu, ya."

Dewi mengerjap. Sementara Nyonya Trissy bangkit dari posisinya, mengajak Dewi dan Zehra ke kamar belakang.

"Kalian tidur di sini gak apa-apa 'kan?"

Dewi celingukan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Trissy. Kamarnya cukup luas dan bersih, sudah lengkap dengan kasur, Ac dan lemari juga.

"Gak apa-apa Nyonya. Kami bisa tidur di mana saja."

Cepat, Dewi duduk di atas kasur empuk itu, Zehra mengikutinya.

"Ya sudah kalian istirahat aja dulu ya," kata Nyonya Trissy lagi.

Dewi cepat menggeleng, "tapi Nyonya saya udah istirahat tadi di posnya Pak Nes, sekarang mau langsung kerja saja."

"Beneran kamu mau langsung kerja?"

"Beneran, Nyonya."

"Ya udah kamu langsung ke dapur aja cuci piring, soalnya kalau masak sekarang saya yang handle."

"Baik, Nyonya "

Dewi gegas pergi ke dapur dan langsung menyambar piring kotor yang ada di wastafel.

Saat Dewi sedang mulai berjibaku dengan pekerjaannya, di kamar belakang Nyonya Trissy masih bersama Zehra.

"Zehra, tunggu di sini ya, Mamanya sedang kerja dulu, kalau Zehra butuh apa-apa bilang saya aja, oke."

Zehra yang sedang membaringkan tubuh di kasur empuk itu mengangguk.

"Oke, Nyonya."

Dilihatnya lagi oleh Trissy gadis balita di depannya yang berpakaian lusuh itu, rambutnya acak-acakan dan sedikit berminyak, ketara sekali rambut gadis kecil itu jarang dikeramas.

"Oh ya ampun." Nyonya Trissy membeliak, dia kaget saat melihat kuku jari kaki gadis kecil itu luka-luka.

"Kaki Zehra kenapa ini?"

"Atit Nyonya, tadi Mamah jalan lali-lali," jawab Zehra dengan wajah polosnya.

"Hah apa? Kamu lari?" tanya Trissy lagi sambil terus berusaha memahami ucapan cadel Zehra.

"No, enda Nyonya, tapi Mamah yang lali."

Trissy sedikit kebingungan memahami omongan Zehra yang belum jelas itu.

"Ya sudah tunggu ya, saya ambilkan obat luka dulu."

Trissy gegas pergi mengambil kotak P3K yang tertempel di tembok tak jauh dari kamar itu. Lalu cepat mengoleskan obat luka pada kaki Zehra.

"Sakit gak?"

"Enda, kata Mamah Cela tak boyeh cengeng."

Nyonya Trissy mengulum senyum, walau tak begitu paham dengan apa yang diucapkan Zehra tapi gadis itu sangat terlihat lucu di matanya.

"Sekarang Zehra tidur ya, biar kakinya gak sakit lagi."

Zehra mengangguk sambil memejamkan mata.

Trissy tak cepat pergi, walau Zehra sudah lelap ia masih merasa ingin duduk di dekat gadis kecil itu.

"Andai Laura juga udah punya anak, pasti bakal selucu ini," gumamnya sendiri seraya tak lepas memandangi wajah Zehra.

"Eh ya ampun, Dewi ini gimana sih, kuku anaknya masa dibiarkan panjang dan kotor gini, ini 'kan bisa jadi sarang kuman, kalau kuman masuk ke perut Zehra apa gak kasihan nanti anak ini sakit?" Nyonya Trissy lagi-lagi terkejut saat melihat kuku jari Zehra yang hitam.

Gegas ia pun bangkit mengambil gunting kuku. Dan tanpa merasa dirinya adalah seorang majikan, Nyonya Trissy dengan senang hati menggunting kuku-kuku Zehra hingga bersih.

"Nah 'kan kalau begini enak dilihatnya."

Selesai memotong kuku Zehra, Nyonya Trissy kembali ke dapur karena harus memasak. Di dapur Dewi masih sibuk mengelap piring yang tadi dicucinya.

"Kalau di kampung kamu kerja apa gimana Dew?" Nyonya Trissy membuka percakapan sambil mulai membersihkan sayuran yang akan diolahnya.

"Nggak Nyonya, saya jualan mainan anak sedikit-sedikit."

"Oh gitu, kalau Bik Asti?"

"Sehari-harinya pergi ke sawah aja, Nya."

"Emmm." Nyonya Trissy manggut-manggut.

"Oh ya Dew, jangan lupa perhatikan anakmu itu, tadi saya lihat kuku-kukunya panjang dan kotor, tapi sudah saya potong sekarang."

Dewi mengerling, lagi-lagi moodnya buruk saat ia mendengar soal Zehra.

"Oh iya, Nyonya."

"Kasihan, anak seusia dia sedang ada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat loh jadi kebersihan dan asupan makananya harus selalu diperhatikan," ujar Nyonya Trissy lagi.

Dewi menarik napas panjang, dia benar-benar malas membicarakan masalah Zehra terus menerus, tapi di sisi lain dia juga tak bisa melarang majikannya untuk berhenti.

"Iya Nyonya sedikit-sedikit saya juga paham soal itu, tapi sebetulnya Zehra itu agak bandel, saya bukan tak mau menggunting kuku atau yang lainnya, tapi emang dia sendiri yang gak mau, tiap kali mau saya mandikan atau potong kukunya Zehra pasti tantrum gak jelas."

"Oh gitu, sabar ya, anak-anak memang begitu, nanti masanya juga akan lewat kok."

Dewi mengangguk sambil senyum sekenanya, "ya, Nyonya."

"Di sini nanti kamu jangan sungkan-sungkan ya, anggap aja rumah sendiri, ambil makanan apa aja, semua udah tersedia di dalam kulkas, ambil buat kamu utamanya buat Zehra, pastikan anakmu itu gak kelaperan di sini."

Lagi, Dewi terperangah. Dia benar-benar tak percaya dia akan bertemu dengan orang sebaik Nyonya Trissy, dia juga merasa sangat beruntung, di saat orang lain mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari majikannya, dia malah diperlakukan bak ratu di tempat kerjanya sendiri.

"Kamu denger enggak, Dew?"

Dewi mengerjap, "iya Nyonya pasti, pasti saya akan lebih perhatikan Zehra lagi."

"Ngomong-ngomong, suamimu itu kemana? Kenapa kamu sampe harus cari kerja ke sini, Dew?" tanya Nyonya Trissy lagi.

Dewi bergeming alih-alih menjawab pertanyaan majikannya.

"Dew! Malah ngelamun."

Dewi mengerjap, "oh ya Nyonya, maaf."

"Jadi suamimu itu kemana Dew?"

Dewi menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Nyonya Trissy.

"Suami saya ... kabur Nyonya."

"Eh loh, kok bisa?" Nyonya Trissy kaget. Pisau yang tengah dipegangnya sampai terlepas begitu saja.

"Iya Nyonya, dia pergi dengan alasan mau kerja di kota, tapi sampai sekarang malah gak pernah balik lagi."

"Ya ampun, maafkan saya ya Dew, bukan maksud saya maksa-maksa kamu buat cerita yang gak enak begini."

"Tidak apa-apa, Nyonya."

"Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Nyonya Trissy lagi saat ia melihat kedua bola mata Dewi mulai mengembun.

Sementara Dewi mendadak tak kuasa menahan kesedihan, sampai air mata lolos begitu saja membentuk anak sungai di pipinya.

"Saya ... tidak apa-apa, Nyonya."

Sekuat-kuatnya wanita, memang ada saat di mana ia tak bisa lagi berpura-pura. Selama ini Dewi mencoba tegar, ia berusaha melupakan semuanya, tapi akhirnya ia juga tak bisa bohong, bahwa memorinya masih menyimpan begitu banyak kenangan pahit yang tak bisa ia lupakan begitu saja.

"Sekali lagi maafkan saya ya Dew, saya benar-benar nyesel." Nyonya Trissy mengelus pundak Dewi. Dia yang memang sudah berpengalaman bisa memahami betapa sakitnya ada di posisi Dewi sekarang. Terlebih Dewi harus membesarkan anak seorang diri, banting tulang cari uang hanya agar semuanya tetap berjalan normal. Trissy paham, sangat paham berada di posisi itu karena dia sendiri juga mengalaminya.

-

-

Tak butuh waktu lama untuk Dewi bersedih, cepat ia seka air matanya dan kembali kerja.

"Kamu udah selesai lap piringnya Dew?"

"Udah, Nyonya."

"Kalau udah tolong belikan santan kemasan ya ke minimarket deket rumah, deket banget kok di depan, tinggal jalan kaki."

"Baik, Nyonya."

Dewi gegas pergi, ia berjalan ke minimarket yang letaknya memang tak jauh dari rumah.

Sudah sore, tapi cuaca malah makin terasa panas, ya maklum saja namanya juga di kota padat penduduk.

"Ah gila panas sama gerah banget sih." Dewi mengelap keringat di keningnya lalu duduk sebentar di pilar pagar pinggir jalan.

Butuh waktu agak lama untuk dia duduk di sana, sambil sesekali mengipasi dirinya dengan telapak tangan, Dewi juga terus memperhatikan jalanan yang sedang ramai pengendara.

"Eh heh." Dewi spontan bangkit, sementara kedua bola matanya tertuju pada satu mobil yang baru saja berhenti pinggir jalan untuk membeli air.

"Apa itu Fras?"

Dewi refleks melangkah, tapi belum juga sampai mobil berwarna merah itu sudah kembali melaju kencang.

"Heii Fraaas! Fraaas!" teriaknya seraya melambai-lambaikan tangan.

"Argghh sial!" Dewi mendengus saat mobil itu makin menghilang.

"Awas saja kau Fras, secepatnya aku pasti akan menemukanmu, bagaimanapun caranya."

-

Selesai membeli santan, Dewi berjalan agak pelan sambil sibuk memperhatikan nomor kendaraan yang lewat di jalanan, ia berharap mobil yang tadi ia lihat akan lewat lagi.

Dia hanya ingin memastikan apakah lelaki yang tadi turun dari mobil berwarna merah itu benar Fras atau bukan.

Dan benar saja, mobil yang ditunggu-tunggunya itu kembali lewat di jalanan seberang.

"Heii Fras!! Fraaas!" teriaknya kencang.

Beberapa orang yang ada di sekitar jalan sana sampai memperhatikannya karena terkejut dengan teriakan Dewi.

"Fraaas! Arggghh sial, gagal lagi, gagal lagi." Dewi mendengus untuk yang kesekian kali. Diinjak-injaknya jalanan itu untuk melampiaskan kekesalannya.

"Awas saja, kalau aku ketemu sama pria itu lagi, akan aku pastikan anaknya ikut sama dia, enak aja aku harus gedein sendiri, banting tulang sendiri demi ngasih anak itu makan sementara dia sendiri ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaan, pergi-pergian aja naik mobil, udah kaya rupanya dia," gerutunya dengan emosi meledak-ledak.

-

-

Dewi sampai kembali di rumah.

"Kamu kelamaan di minimarketnya Dew, tadi menantu saya kesini, kalau kamu ada mau saya kenalkan supaya kalau ketemu di jalan kamu bisa menyapanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status