"Aku bisa memberimu Surat Peringatan 1 saat ini juga karena kelalaianmu.", ujar Anneth.
"Ya, Pak, maaf, saya tau kesalahan saya, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Halah… Sudah tiga kali ini kau berjanji, kau masih terus saja melakukan kesalahan. Kapan hari masuk ke kamar hotel pelanggan tanpa mengetuk pintu dulu sampai mereka melakukan pengaduan, tidak becus membersihkan debu di meja kamar sampai tamu komplain dan sekarang lupa mengganti linen bernoda. Besok kesalahan apa lagi yang kau buat sampai tamu akan melakukan pengaduan lagi ?"
"Tidak akan ada pengaduan lagi karena kesalahan yang saya buat, Pak. Saya bukannya lupa mengganti linen bernoda itu hanya saja tadi bapak menyuruh saya untuk membuang..."
"Sssttt… sudah… sudah... tidak perlu banyak alasan. Kau seharusnya melakukan pekerjaan yang menjadi prioritasmu dulu baru melakukan pekerjaan lain. Kau bisa mengatakan akan membuang sampah di kamar lain setelah pekerjaan mengganti linen kotor sudah dilakukan."
"Ya, Pak, maafkan saya, akan saya ingat terus perkataan Bapak mengenai pekerjaan yang menjadi prioritas dan..."
"Begini ya, saya terpaksa memberimu Surat Peringatan pertama karena kesalahanmu kali ini. Sebagai Kepala Tata Graha aku ingin bawahanku benar - benar belajar untuk lebih disiplin, tidak ceroboh dan bekerja dengan sungguh - sungguh karena ini mempertaruhkan nama baik hotel Pandawa ini, aku tidak ingin semakin banyak tamu yang akan mengadu karena kesalahan - kesalahan kecil yang dibuat oleh pegawai disini terutama kau karena sudah tiga kali ini melakukan kekhilafan yang disengaja. Kau paham ?"
"Maaf Pak, tapi itu tidak saya sengaja dan saya berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama dan saya akan bekerja lebih baik lagi kedepannya."
"Bukan hanya kesalahan yang sama tapi juga kesalahan - kesalahan lainnya. Kau harus lebih berhati - hati dan cermat jika bekerja. Sekarang kau bisa keluar dari ruanganku karena sebentar lagi aku ada rapat."
SP pertama. Sialan, padahal itu bukan murni kesalahanku. Dia yang menyuruhku membuang sampah di kamar lain sekarang bicara soal prioritas kerja, apa dia sengaja melakukan itu agar aku mendapat pengaduan dari tamu dan dia bisa seenaknya mengeluarkan SP itu untukku.
Anneth berhenti di sebuah kedai kopi usai jam kerja dan memesan segelas moccacino dingin dan sepotong burger untuk sejenak menenangkan hatinya yang sedang kacau karena mendapat SP pertama dari Savvy, Kepala Tata Graha yang sok bossy menurutnya.
Hah… Pantas saja dia belum juga menikah di usianya yang sudah seharusnya sudah punya anak, mana ada wanita yang betah hidup seatap dengan pria seperti itu. Memikirkannya saja sudah membuatku mual.
Pikiran Anneth berputar - putar tak jelas arah dan jemari tangannya sibuk mengaduk - aduk gelas moccacino dengan sedotan tanpa berniat meminumnya. Sesaat kemudian dia tersadar, dia telah menghabiskan waktu di kedai kopi itu hanya untuk memikirkan Savvy dan lupa tujuan utamanya berada di kedai kopi itu.
Aku kesini untuk mencari kedamaian dan ketenangan pikiran, bukan malah memikirkan si Savvy itu. Bodoh sekali aku ini, kenapa juga memikirkannya.
Anneth mulai menyeruput moccacino ice-nya, kesegaran dahaga telah memenuhi kerongkongannya. Tak luput, dia juga melahap sepotong burger berukuran jumbo dengan isian daging berbentuk bulat, telur, keju dan berbagai isian lainnya di dalamnya. Dia sengaja memesan burger size jumbo agar perutnya benar - benar kenyang dan tidak terbangun karena kelaparan ketika malam semakin larut.
Anneth membayar sejumlah uang di kasir dan berjalan keluar dari kedai kopi. Ia terus melangkah di jalanan yang lengang menuju halte bus terdekat dan tiba - tiba… ia mendengar jeritan minta tolong dari seorang wanita paruh baya. Anneth melihatnya berlari sekuat tenaga untuk mengejar seseorang. Tidak tinggal diam, ia pun mempercepat langkahnya untuk menghampiri wanita paruh baya itu. Saat langkahnya sudah mulai mendekati wanita itu, Anneth berteriak meminta wanita itu untuk berhenti. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah suara Anneth dan menghentikan langkahnya. Dengan napas terengah - engah, Anneth menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan suara cepat dan berlinangan keringat wanita itu mengatakan seorang pria berbaju hitam telah mencopet tasnya saat sedang menunggu taksi. Ia menunjuk sosok pencopet yang sedang berlari beberapa meter di depannya. Muka wanita itu berpaling dari Anneth dan bersiap berlari lagi mengejar pencopet itu. Namun, Anneth meminta wanita itu untuk berhenti saja, dia mempunyai inisiatif untuk mengejar pencopet itu dan berjanji akan membawa kembali tas wanita paruh baya itu. Dengan sigap Anneth mengejar pencopet yang sosoknya masih terlihat dalam pandangannya.
Langkah kakinya semakin dipercepat dan ia berteriak untuk meminta pencopet itu berhenti. Namun, tentu saja, pencopet itu tidak akan berhenti. Kemudian, tiba - tiba seorang pria bertubuh tinggi tegap memakai kemeja biru berlengan panjang digulung sampai siku berhenti tepat di depan arah pencopet itu dan menghajar pencopet itu sampai babak belur lalu mengambil tas yang telah dirampasnya dan melemparkannya pada Anneth.
Dengan sigap dan ekspresi melongo tak percaya, Anneth menangkap tas merah milik wanita paruh baya itu. Pria itu berteriak pada Anneth untuk segara menelepon polisi agar secepatnya datang menangkap pencopet itu. Pria misterius itu terlihat sibuk mencopot tali sneakernya sementara pria pencopet itu dengan muka lebamnya terlihat duduk mengerang kesakitan di tanah akibat pukulan di perut dan mukanya. Anneth melihat pria misterius itu menggerakkan tangan si pencopet ke arah belakang punggung dan secepatnya mengikatnya dengan tali sneakernya. Kaki pencopet itu pun tak luput terikat sempurna.
"Apa yang kau lihat, cepat hubungi 911 dan katakan telah terjadi pencopetan."
"Eh… iya baiklah."
Anneth yang sedari tadi sudah mengeluarkan ponselnya dari tas tapi belum memencet keyboard ponsel karena masih tercengang dengan kejadian yang baru saja terjadi segera tersadar. Ia menunduk menatap layar ponsel dan memencet angka 911 di ponsel yang menghubungkannya dengan polisi. Namun, saat Anneth mengangkat kepala dan mulai berbicara dengan operator polisi, ia tak melihat pria berkemeja biru misterius itu. Ia telah raib menghilang, sementara pencopet itu masih tampak duduk mengerang di tanah. Sambil terus berbicara dengan operator polisi, ia menoleh ke berbagai arah untuk mencari keberadaan pria misterius itu tapi nihil hasilnya. Anneth hanya melihat wanita paruh baya yang tak lain korban dari si pencopet itu berdiri tak jauh darinya. Anneth memutuskan sambungan ponselnya karena sudah selesai melaporkan kejadian kriminal itu dan memberikan tas yang dirampas itu pada pemiliknya. Wanita paruh baya itu mengucapkan terima kasih berulang kali pada Anneth meski Anneth sudah mengatakan bahwa yang menolongnya adalah seorang pria yang tadi menghajar pencopet tadi. Namun, wanita itu seperti tak menggubris perkataannya.
Mungkin karena pria misterius itu telah menghilang, pikirnya.
Wanita itu lalu mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya pada Anneth sebagai ungkapan terima kasih karena telah menolongnya. Anneth menolaknya secara halus. Tak lama kemudian bunyi sirene mobil polisi bergaung dan segera menangkap pencopet itu sebelum digelandang ke kantor polisi. Sementara itu, Anneth dan wanita paruh baya juga dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat