Share

-3

Masakan Naya memang sudah menjadi candu bagi Damian dari semenjak menikah hingga sekarang, dia sudah menerapkan hidup sehat sedari kecil karena lebih memilih masakan rumahan yang dibuat langsung oleh ibunya.

Setelah selesai mengisi perut, semangat Damian kini kembali lagi. Naya menyusun piring kotor di meja diikuti oleh Damian yang membantunya.

"Eh ... nggak usah," ucap Naya takut.

"Biasanya juga saya bantuin," balas Damian.

Naya menghembuskan napasnya pasrah, kalau dilanjutkan, pastinya dia kalah berdebat dengan orang yang ada di hadapannya ini.

Jadilah, keduanya mencuci piring bersama-sama.

"Papa, emang Aslan mau punya adik?" pertanyaan itu seketika membuat kedua orang tuanya sontak kaget.

Damian melirik pada Naya sekilas, wajah wanita yang ada di sampingnya itu sudah memerah seperti udang.

"Siapa yang ngasih tahu, Aslan?" tanya Damian.

"Oma," balas Aslan.

Damian tidak menjawab lagi, hingga membuat rasa penasaran Aslan semakin bertambah. "Papa benaran mau kasih Aslan adik?" tanyanya sekali lagi.

"Aslan belum boleh tahu," balas Damian lagi.

"Loh, kok belum? Aslan mau tahu."

"Itu hanya rahasia Tuhan, Papa dan Mama. Nanti ada saatnya Aslan tahu."

Naya bersyukur Damian bisa menjawab pertanyaan random Aslan, lagian anak itu otaknya sudah mirip papanya sendiri. Harus mendapatkan jawaban yang pasti baru mau berhenti bertanya. Jika tidak, dia akan terus bertanya tanpa kenal lelah.

"Oh, rahasia. Berarti, mama sama papa harus tutup mulut dong. Nggak boleh kasih tahu Aslan," ujar anak itu setelah mengerti.

Usai mencuci piring, Naya memilih tinggal di kamarnya yang dulu. Apalagi, orang tuanya tidak pernah merekap kamarnya setelah menikah. Lagian, dia masih sering berkunjung ke sini.

Dibukanya lemari bernuansa pink yang dikira kosong, ternyata ada pakaian santainya bersama dengan Damian juga. Seketika, dia mengucap syukur karena tidak harus balik ke rumah untuk mengambilnya lagi.

"Sedang apa?" tanya Damian yang seketika masuk di kamarnya.

Naya menengok ke belakang Damian, tidak ada Aslan yang mengekori suaminya. "Mana Aslan?" tanya Naya balik tanpa menjawab pertanyaan Damian.

"Ke Oma dan Opanya," balas Damian yang kini telah berbaring santai di King size yang masih enak ditiduri itu.

Naya mengambil kaos hitam dan celana pendek menutupi lutut untuk Damian, lalu meletakkannya di samping sang empu.

"Ganti dulu kemejanya, terus jas kamu mana?"

"Di kursi." Damian langsung membuka kemejanya disusul kaos hitam yang segera menutup kulitnya.

Naya segera bergegas mengambil jas yang tidak jauh darinya, sepertinya saat mengantar Aslan tadi, Damian langsung masuk ke kamarnya untuk menaruh jas sementara.

Naya menaruhnya di hanger kayu lalu digantung pada lemari nuansa pink miliknya, baju-baju mereka ada di sini karena waktu sedang mengandung Aslan, Naya sering menginap di rumah orang tuanya.

"Axel benaran mau dijodohkan sama anaknya tante Mita?" tanya Damian mengingat percakapan mertuanya tadi di ruang tamu.

"Iya sih katanya tapi, kayaknya nggak mungkin. Soalnya, tuh cewek masih anak SMP," ucap Naya seperti ibu-ibu ngerumpi.

"Bisa tungguin, apa susahnya?" Damian melontarkan pertanyaan yang membuat Naya seolah merasa panas di kepalanya. Darahnya seakan ikut mendidih juga.

"Takutnya nih yah, Axel udah tua di saat anak itu sudah di usia matang buat nikah," balas Naya menahan diri untuk meledakkan kata-katanya.

"Nikah muda saja," balas Damian tanpa beban.

Naya tidak habis pikir, isi otak yang ada di kepala suaminya itu. Setidaknya jangan mengambil keuntungan untuk Axel saja, bagaimana dengan gadis kecil itu? Meskipun dia adalah adiknya Axel tetapi, sebagai sesama perempuan dia tetap mendukung anak tersebut.

"Nikah itu, seperti kayak lagi bekerjasama. Saling menguntungkan satu sama lain. Jika mereka berdua dijodohkan, yang untung banyak itu Axel. Sedangkan si wanita? mengorbankan semua mimpi dan masa mudanya hanya demi perjodohan yang konyol ini."

Damian sedikit menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis saat mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Naya.

Seketika, tangan Damian bergerak memanggil Naya untuk mendekat seperti isyarat tangan kepada seseorang.

Naya yang mengerti dengan sikap Damian langsung mendekat, duduk di samping pria itu meski sedikit bingung apa yang ingin dikatakan Damian padanya.

Puk.

Puk.

Dua tepukan kecil mendarat pada Naya, sang pelaku Damian menatap Naya dengan tatapan serius.

"Sebenarnya, yang ngelamar Axel, adalah tuan Abimanyu sendiri," ujar Damian yang membuat mata Naya membelalak kaget.

"Hah? Benaran?" tanya Naya benar-benar tidak percaya.

"Saya serius," balas Damian. Dia pun tahu hal ini, dari Axel sendiri.

"Kok bisa?"

"Tanya pada kakakmu."

Naya menatap Damian dengan senyum lebar, menahan rasa kesalnya yang sudah membumbung tinggi. Untungnya, dia selalu disadarkan dengan sikap Damian yang lebih sadis darinya sendiri.

"Itu ... aneh. Mana ada orang tua yang menjodohkan putri kecilnya dengan seseorang Om-om seperti Axel," ujar Naya berpikir keras sosok Abimanyu itu.

"Memangnya kenapa?" tanya Damian.

Naya memutar bola matanya malas, dia tidak ingin meladeni pertanyaan yang membuatnya sakit kepala. Jadi, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.

"Saya juga ingin bertanya soal itu pada Axel, agar kita bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan Abimanyu."

"Jadi, kamu setuju?" tanya Naya seolah tidak percaya.

Damian mengangguk menjawab pertanyaan Naya tanpa suara.

"Kamu ... nggak pernah pikir masa depan anak itu? Umur mereka beda," ujar Naya sedikit menasihati agar tidak membuat Damian kesal padanya.

"Umur kita juga beda," balas Damian.

"Iya, aku tahu. Namun, waktu itu aku udah siap. aku juga udah lulus sarjana, aku bahkan udah bisa kerja. Aku nggak bakal biarin, Axel ngelakuin hal itu."

Damian menatap Naya tajam, menarik tangan istrinya dengan kasar. "Kamu pikir pernikahan ini akan segera dilangsungkan? Kita akan tunggu dia selesai lulus sekolah menengah atas."

"Dia nggak kuliah? Nggak menggapai cita-citanya?" Naya tidak ingin, ada gadis yang seperti dirinya lagi. Cukup hanya dia yang mengalami, bagaimana pahitnya tidak bisa menggapai impian.

"Katakan, kamu menyesal menikah dengan saya?" tanya Damian dengan tatapan yang tidak lepas dari Naya.

Naya seketika terdiam, matanya tiba-tiba berkaca-kaca takut menjawab. Namun, dia merasa usahanya sia-sia. Lantaran, raut wajah Damian sudah bisa membuktikan bahwa dia sendiri tahu jawabannya.

"Bicara!" bentak Damian mengguncang tubuh Naya hingga bersandar pada dinding. Dia ingin mendengarkan sendiri, jawaban dari Naya.

"Iya! Aku menyesal nikah sama kamu, aku benci kamu Damian. Kamu mau nikahin aku hanya karena bisnis aja, dengan itu kamu udah hancurin semua impian aku!" balas Naya teriak, seiring dengan air matanya yang jatuh.

"Impian kamu?"

"Yah, impian yang udah sirna. Mimpi sebagai wanita berkarier kini hilang hanya karena keegoisan kamu, aku bukan hanya menjadi pajangan saat kamu bawa ke jamuan orang-orang berada tapi, juga seperti mayat hidup yang selalu diatur." 

"Diam, Naya!" suara Damian menggelegar dengan keras, tangannya sedikit lagi melayang menghantam pipi Naya. Namun, untungnya hanya menggantung di udara.

Naya menggigil ketakutan dengan mata yang sembab masih mengeluarkan tangisan, wanita itu baru sadar bahwa dia telah lancang berkata seperti tadi. Ini pertama kalinya, dia mengungkapkan isi hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status