Share

Kebenaran

'Jadi, selama ini, ibu menyembunyikan diri dari keluarga bapak! Kenapa? Apakah aku bukan anak yang diinginkan?' gumam Aiman.

Ia masih merenung menatap langit-langit kamar yang telah ditempatinya sepuluh tahun terakhir, saat ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Ia bergegas bangkit membukakan pintu.

"Masuk saja, Bu, sejak kapan pintu kamar Aiman tertutup untuk ibu," ujarnya sambil menuntun sang ibu menuju ranjang.

Hera menatap putranya lekat, ketika sudah duduk di tepi ranjang. Kesedihan, penyesalan juga amarah bercampur jadi satu, terpancar dari sorot matanya yang berkaca-kaca.

Aiman menciumi tangan ibunya takzim. Ia paham, perasaan bersalah dan penyesalan telah menyelimuti hati ibunya. Sesaat kemudian, ia menatap mata ibunya lembut.

"Nak, Ibu minta maaf, Nak.” Hera menggenggam kedua tangan Aiman erat, "tidak seharusnya ibu menghindar. Berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain agar bapakmu kehilangan jejak kita," ujarnya sesenggukan.

Tangis Hera pecah, ia benar-benar merasa kacau. Pelariannya selama ini, ternyata sia-sia. Aiman bahkan menghadapi persoalan yang lebih pelik, jauh dari harapannya.

"Ibu menyesal, Nak. Sangat menyesal. Tak pernah Ibu menyangka anak Ibu akan menghadapi hal ini,” ujar Hera, Aiman mengeratkan gengaman tangan mereka.

"Bu, permasalahan ini, bukan sepenuhnya kesalahan ibu. Ini takdir Allah, Bu. Beginilah garis takdir kita." Aiman mengusap punggung tangan sang ibu dengan lembut.

"Tapi, ibu benar-benar tidak pernah menyangka, Nak. Tak pernah sedikit pun terbayang di pikiran ibu, kita akan kembali bertemu bapakmu. Setelah ibu mencoba menghindarinya selama 27 tahun ini.” Hera menarik nafas, "dan yang paling ibu sesali, adalah rasa benci ibu kepada bapakmu selama ini, hilang hanya dengan melihat wajahnya." Hera semakin terisak.

Aiman menghela napas, bingung. Ia tak pernah tahu, kebencian menyelimuti hati ibu kepada bapaknya. Yang ia tahu, selama ini, ibunya selalu mengalihkan pembicaraan saat ia menanyakan di mana pusara sang bapak.

***

Malam itu, setelah kepergian Agus. Tidak lama, Vina datang dengan wajah penuh amarah.

"Ternyata di sini, mas Agus menyembunyikan gundiknya." Vina menyapu pandangannya ke seluruh sudut halaman rumah mungil tempat Hera menetap.

"Maaf, dengan siapa, ya?" Hera berbalik kaget dengan sapaan sinis milik wanita cantik di hadapannya.

"Saya Vina," jawabnya pongah. "Ravina Hamiza, istri sah dari Agus Winarko," ucap Vina sambil mengulurkan tangannya.

Hera tertegun sesaat, lalu ia mengangkat tangannya hendak menyambut uluran tangan Vina. Namun, saat tangan mereka belum tertaut, Vina menarik tangannya dengan senyum mengejek.

"Kecurigaan seorang istri tidak pernah salah! Ternyata ini, alasan Mas Agus lembur dan pergi keluar kota. Ternyata, ia ada main dengan, mmm, saya harus ebut kamu apa, ya?" Vina menelisik penampilan Hera yang tampak kusut akibat kurang tidur. Dari info suruhannya, ia tahu bahwa Hera baru melahirkan dua bulan lalu.

"Maaf, Mbak. Saya..." Tangis Aiman bayi menghentikan kata-katanya, "maaf, saya harus melihat anak saya dulu. Mbak bisa masuk jika mbak mau. Saya akan menjelaskan." Hera berlari masuk ke kamarnya.

Vina mematung. Tak menyangka, ia akan ditinggalkan begitu saja di depan pintu. Emosinya naik, ia merasa dipermainkan oleh wanita simpanan suaminya. Namun, sesaat kemudian, ia menarik napas. Ia paham, amarah hanya akan merusak akal sehatnya. Ia harus bermain cantik saat ini karena ia hanya perlu menyingkirkan wanita ini, bukan suaminya.

Meski berat, Vina melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mungil yang asri dan nyaman. Pantas, tiga bulan terakhir, hampir tiap weekend Agus menghabiskan waktunya di rumah ini. Air matanya hampir menyeruak, merusak ketahanan yang sedang ia bangun. Sesaat kemudian, Hera telah duduk di hadapannya sambil menunduk. Tangisan bayinya sudah reda.

"Mas Agus tidak pernah cerita tentang saya, kah, sampai kamu rela dijadikan simpanan?" ucap Vina tajam.

Hera mengangkat kepalanya, menatap Vina sendu, “Kak Agus, sudah cerita tentang mbak, jauh sebelum dia meminang saya." Suara Hera terdengar bergetar. Tampaknya ia sedang berusaha menguasai hatinya.

Vina tersentak, “lantas, kenapa kamu...?" Kalimatnya tergantung. Ia tercekat. Hera menarik nafasnya berat, tidak percaya apa yang di dengarnya.

"Saya minta maaf, Mbak. Tapi, apa kak Agus tidak pernah cerita tentang saya?" Hera menatap Vina penuh penekanan. Air mata akhirnya menetes di pipi mulus Vina.

"Siapa pun kamu. Kamu tidak berhak merusak rumah tangga orang lain!" Vina menatap Hera sengit. Dengan sekuat tenaga, amarah yang hampir memuncak, ditahannya.

"Saya tidak pernah berpikir bahwa saya telah merusak rumah tangga mbak Vina dan kak Agus. Buktinya, kak Agus masih berbagi dengan adil, kan?" Kali ini, Hera membalas tatapan Vina dengan tegas. Tampaknya Hera telah mempersiapkan banyak hal untuk momen seperti ini.

Nafas Vina memburu. Dia tak menyangka, Hera akan melawan. Ketika Vina ingin berdiri dan melayangkan satu tamparan ke Hera, Agus datang dengan tergopoh-gopoh. Agus diberitahu oleh orang kepercayaannya yang sengaja dia taruh di dekat rumah Hera tanpa sepengetahuan istrinya itu.

"Vina, tolong dengarkan penjelasan saya." Agus menangkap tangan Vina cepat.

"Wah, tidak kusangka, kamu datang secepat ini, Mas!" Mata Vina menyipit melihat kedatangan Agus yang tiba-tiba.

Vina membenarkan posisi duduknya, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Agus mendekatinya dan duduk di samping Vina.

"Vin, kita bisa bicarakan semua baik-baik.” Agus menatap Vina penuh harap, "saya akan menjelaskan semuanya." Agus menangkap tangannya dan di gengam erat olehnya, Vina membuang wajahnya ke arah lain.

"Tidak perlu, Mas. Kau tahu, kan, apa yang akan terjadi kalau aku meminta cerai darimu?" Vina mengangkat wajahnya pongah.

Terlihat keraguan di wajah Agus. Sebenarnya dia tahu, hal ini akan di ketahui oleh Vina--istri keduanya. Tapi, dia belum siap dengan situasi ini.

"Sekarang, Mas harus pilih. Aku atau wanita ini?" Vina memberikan pilihan.

"Vina, please. Ini tidak semudah itu.” Wajah Agus memelas.

"Aku tunggu jawabanmu di rumah." Vina berdiri dan melangkah pergi, tidak peduli dengan suaminya yang mencegahnya. Air matanya kini mengalir tanpa bisa dia tahan, dengan cepat dia menaiki mobilnya.

***

Hera mendekati Agus yang duduk lesu dan mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kak.” Hera mengusap punggung Agus. Ia yakin, lelaki yang sudah dikenalnya selama tujuh tahun itu sangat gusar mendengar ancaman Vina.

"Dek, kakak minta maaf.” Agus menghela nafasnya berat, "seharusnya, sejak awal kakak tidak menyembunyikan hal ini dari Vina dan keluarga yang lain." Dirasainya pelukan Hera di belakang punggungnya. Digenggamnya tangan Hera erat.

"Kakak tenang saja. Adek akan menemani kakak apa pun yang terjadi. Kakak sudah membuktikan cinta kakak selama ini. Adek pasti akan tetap berada di sisi kakak.” Dikecupnya punggung Agus penuh khidmat.

"Kakak harus kembali kepada Vina, Dek." Agus mengeratkan genggamannya.

Hera menghela napas perlahan. Ia seharusnya sadar, bagaimanapun posisinya di hati Agus, Ia tetap wanita kedua di kehidupannya. Agus begitu mencintai keluarganya, hingga dia belum bisa merebut restu keluarga suaminya.

"Kakak, akan pergi meninggalkan adek dan Aiman?" Hera mengendurkan pelukannya.

Agus berbalik, "hanya sampai situasi bisa kakak kuasai, Dek. Tidak akan lama. Kakak janji." Agus mengecup tangan Hera.

Hera menghela nafas. Satu tahun bukan waktu sebentar menjadi istri siri Agus Winarko. Dan tujuh tahun waktu hidupnya dengan Agus, berlalu tanpa menghasilkan apa pun. Ia tetap tak bisa mendapat restu dari keluarga Agus, terutama ibunya.

"Baiklah." Hera tersenyum pasrah, "satu pekan dari sekarang. Jika kakak tidak kembali, tolong. Jangan cari kami lagi!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status