Share

Bab 4 : Bertemu Di Kantor

“Jadi, siapa cewek yang tadi?” tanya Bian sambil tetap konsentrasi menyetir.

“Kepo,” jawab Razi sekenanya. 

“Aaahhh ... gak asik, Lu!”

Razi tersenyum puas. “Heh, playboy kaya lu gak cocok sama cewek kaya Hana. Lu liat dong penampilan dia! Pake jilbab gede, pake gamis, alim kaya gitu. Nah, elu?”

“Oh, jadi namanya Hana.” Bian tersenyum. “Gue tuh bukan playboy. Gue cuma belum menemukan cinta sejati aja, jadi yaaa selama ini gue lagi dalam masa pencarian cinta sejati gitu lah pokoknya,” lanjutnya sambil terkekeh.

Razi hanya geleng-geleng mendengarkan ocehan sahabatnya. Pandangan pemuda itu masih tertuju kepada kertas-kertas laporan di pangkuannya.

Tring!

Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.

[Aku sakit, kamu bisa ke sini?]

Sebuah pesan dari Maida.

[Kerja]

Balas Razi singkat, lalu mematikan ponselnya.

●●●●

Maida masih berkutat di kamarnya. Dia berjalan ke arah meja rias, lalu duduk di hadapan sebuah cermin dengan ukuran yang cukup besar. Dia membereskan rambutnya yang kusut.

“Aku lebih cantik dari wanita itu kan?” tanyanya kepada bayangan dirinya di cermin.

Wanita berambut sebahu itu merenung, bagaimana bisa dirinya dicampakkan begitu saja hanya karena menolak lamaran.

“Kamu tega, Razi. Aku bukan menolakmu, aku hanya menundanya,” gumamnya.

Maida mengambil kembali ponselnya, lalu mencoba menghubungi Razi tetapi tak bisa tersambung.

“Menyebalkan!” keluhnya. Gadis itu menenggelamkan kepalanya di atas meja rias.

●●●

Razi pulang sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia sudah berjanji bahwa hari ini akan membeli perabotan bersama Hana.

“Ibu gak ikut?” tanya Razi kepada ibunya.

“Ibu mau duduk di mana? Kalian naik motor,” jawab Bu Ratna.

“Kalau ibu mau ikut kita bisa pesan taksi,” timpal Razi.

“Gak usah, kalian berdua aja. Ibu percaya sama Hana, dia bisa memilih perabotan yang bagus,” ujar Bu Ratna.

Hana tersenyum mendengar ucapan mertuanya. Bu Ratna sejak dulu memang menaruh kepercayaan yang besar kepada Hana. Bukan hanya dalam masalah perabotan, tapi juga begitu memercayai wanita itu dalam segala hal.

Mereka berdua pun berangkat untuk membeli furnitur dan beberapa alat elektronik.

Persis seperti yang dikatakan Bu Ratna, Hana mampu memilih perabotan mana saja yang penting dan dibutuhkan. Dia menolak dengan lembut ketika Razi menawarkan beberapa barang yang menurutnya belum terlalu butuh. Dalam hal ini, Razi pun setuju bahwa Hana memang bisa diandalkan.

“Bagaimana belanjanya?” tanya Bu Ratna saat anak dan menantunya baru menginjakkan kaki di rumah.

Razi mengacungkan jempolnya. “Bentar lagi barangnya sampai.”

●●●●

Sebelum subuh, Hana sudah beres-beres rumah. Dia merapikan barang-barang yang kemarin tersisa belum dirapikan. Dirinya kini juga sudah mulai bisa memasak untuk suami dan mertuanya.

Setelah Razi berangkat bekerja, Bu Ratna mengajak menantunya ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Setelah itu keduanya memasak bersama. Bu Ratna hari itu sengaja ingin membuatkan makanan untuk makan siang putranya.

●●●●

Rintik gerimis menyambut kedatangan Hana yang baru saja menginjakkan kaki di trotoar selepas turun dari bis, dia berjalan sembari matanya memandang takjub gedung-gedung yang menjulang. Dengan sedikit terburu-buru dia mempercepat jalannya agar segera sampai di kantor Razi. Ditentengnya sebuah rantang berisi makanan kesukaan suaminya.

“Ini dia,” gumamnya tatkala melihat gedung besar dengan beberapa lantai yang tersusun.

“Maaf mbak, mau ke mana?” tanya seorang lelaki berseragam satpam menghentikan langkah Hana.

“Saya mau bertemu suami saya, Pak.” Jawab Hana ramah.

“Nama suaminya siapa, Mbak?”

“Razi ... Arrazi El Fathan.”

Satpam tersebut mengernyitkan keningnya. Dia heran karena setahunya Razi belum menikah. Bahkan hampir semua orang tahu bahwa Razi memiliki hubungan dengan Maida. Razi memang terbilang akrab dengan sosok lelaki paruh baya yang biasa dipanggil Pak Sardi itu. Sepuluh tahun lebih dia telah bekerja di perusahaan milik ayah Maida. Mereka sedikit berbincang di luar pos satpam.

Tak lama, meluncur sebuah mobil Mini Cooper berwarna merah melewati Hana dan Pak Sardi, lalu keluar seorang wanita memakai dress berwarna marun selutut yang dipadukan dengan stoking hitam dan sepatu dengan warna senada. Sebuah kaca mata hitam membingkai menutupi netranya. Anggun dan elegan.

“Itu siapa, Pak?” tanya Hana menunjuk wanita yang masuk ke dalam kantor dengan dagunya.

“Oh, itu Bu Maida, anaknya Pak Robi pemilik perusahaan ini.”

Hana menganggukkan kepalanya. Dia sadar bahwa wanita itu adalah orang yang datang ke rumah sehari sebelumnya. Ingin rasanya Hana bertanya mengenai hubungan wanita itu dengan suaminya. Namun urung dia lakukan karena merasa tak pantas bertanya hal itu kepada orang lain.

“Saya masuk dulu ya, Pak.” Pamit Hana lalu berjalan ke arah kantor.

Pak Sardi mengangguk. “Duh, bisa rame ini,” celetuknya.

Waktu makan tiba sejak beberapa menit yang lalu. Beberapa pegawai lain mulai keluar mencari makan. Ada juga yang masih duduk-duduk mengobrol di ruangan cukup besar yang diisi oleh beberapa pekerja termasuk Razi.

Razi menggeliat merenggangkan badannya yang terasa kaku berjam-jam duduk di depan komputer. Kemudian dia merapikan berkas-berkas dan mematikan komputer sebelum beranjak dari kursinya.

“Kantin yuk bro!” ajak Bian melambaikan tangannya.

“Salat dulu.”

Bian berjalan malas ke arah Razi. Pemuda itu memang tipe orang yang semaunya. Salat pun semaunya jika sedang ingin saja. Itu pun dilakukan setelah dirinya berteman dekat dengan Razi. Selesai salat, mereka berjalan hendak menuju kantin yang terletak di lantai bawah untuk makan siang. Saat lift terbuka, di dalam ternyata sudah ada Maida yang hendak menemui Razi. Akhirnya dia ikut turun kembali untuk ke kantin.

“Kamu sudah sembuh, Mai?” tanya Razi mencairkan suasana yang sedari tadi hening.

“Belum, tapi aku sengaja datang ke sini karena dari kemarin kamu gak bisa dihubungi,” jawab Maida.

“Emang, lu sakit apa Mai?” sela Bian yang berdiri di belakang Maida.

Maida tak menjawab pertanyaan sepupunya itu.

“Mai, lu tahu gak? Di rumah cowok lu ada cewek cakep banget. Masa Razi bilang doi istrinya. Kurang ajar banget kan? Hajar Mai, hajar!” ujar Bian meledek Maida.

Maida menoleh ke arah Bian, lalu mengepalkan tangannya. Lelaki itu tertawa merasa candanya berhasil membuat sepupunya jengkel.

Pintu lift terbuka, pada saat bersamaan muncul Hana yang bermaksud akan menggunakan lift untuk menemui Razi.

Razi kaget melihat Hana ada di kantornya. Buru-buru Razi menghampiri istrinya.

“Hana, ada apa ke sini?” bisik Razi.

“Ini, A, ibu nyuruh Hana nganterin ini ke kantor Aa, katanya buat makan siang.”

“Oh iya, makasih,” ucap Razi sambil meraih rantang dari tangan Hana.

Bian yang berdiri dengan Maida di depan lift menghampiri Razi dan Hana yang tampak saling berbisik.

“Eh, Hana, kita ketemu lagi. Ada apa ke sini, Han?” tanya Bian sok akrab. “Wah apa itu?” tanyanya kala melihat rantang di tangan Razi.

“Oh, itu makanan kesukaan A Razi, tadi saya dan ibu yang masak dan suruh diantar ke sini.”

“Wah, pasti enak tuh.”

Mereka bertiga sedikit berbincang, hingga lupa dengan keberadaan Maida di depan lift.

Maida memerhatikan Hana dari ujung kaki hingga kepala. Gamis berwarna ungu tua yang dipadukan dengan jilbab ungu muda sepaha memang terlihat begitu sederhana dikenakan wanita itu. Maida tersenyum sinis melihat penampilan Hana.

“Kamu, siapanya Razi? Sepupu atau ponakan? Kayanya kamu lebih muda dari orang ini,” tanya Bian menunjuk Razi.

Hana hanya tersenyum mendapat pertanyaan dari Bian. Sedang mulut Razi bergerak-gerak menggerutu.

Maida yang sejak tadi berdiri dekat lift merasa diabaikan. Dia berdehem untuk menarik perhatian mereka. Lalu, tangannya memegang kepala dan bersandar ke dinding. Maida bertingkah seperti orang yang akan pingsan. Melihat hal itu, Razi dan Bian berlari ke arah Maida. Dengan sigap, Razi menyangga tubuhnya yang mau ambruk. Rantang yang sejak tadi ditentengnya diserahkan kepada Bian.

“Mai, kamu kenapa?” tanya Razi dengan raut wajah khawatir.

“Aku pusing,” jawab Maida pura-pura.

“Kita ke dokter, ya?”

“Gak usah, tolong bawa aku ke ruanganku aja.”

Mereka pun naik lagi ke lantai atas. Hana yang bingung akhirnya ikut naik karena khawatir juga melihat Maida yang hampir pingsan.

Razi mendudukkan Maida di sofa panjang berwarna biru muda. Lalu mengambil air mineral dan memberikannya kepada wanita itu. Rasa panas menjalari hati Hana kala Melihat Razi memperlakukan Maida. Dia bisa melihat, kalo suaminya begitu khawatir dengan wanita itu.

“Makasih ya, aku tahu kamu masih peduli padaku,” ucap Maida kepada Razi, dia menyenderkan kepalanya di bahu Razi. Sengaja untuk membuat Hana cemburu.

Hana memalingkan muka, dia mencoba bersabar dengan apa yang dilakukan Maida kepada suaminya. Sedang Bian geleng-geleng mendengar ucapan Maida yang dianggapnya terlalu lebay.

“Wah, nasi liwet sama ikan asin, tumis kangkung, sambal terasi, lalapan, enak ini,” seru Bian yang duluan membongkar rantang milik Razi.

“A, Hana pulang dulu, ya. Kasihan ibu sendirian di rumah.” Hana pamit kepada Razi.

Dirinya juga sudah tak tahan melihat pemandangan menyebalkan di depannya.

“Ya, hati-hati di jalan.” Razi beranjak bermaksud mengantarkan Hana ke luar, tetapi dicegah oleh Maida dengan menggenggam tangannya.

Hana berjalan ke luar dari ruangan Maida dengan perasaan tak menentu. Dia semakin yakin bahwa pernikahan yang dijalaninya memang tidak baik-baik saja. Gadis berjilbab besar itu pun masuk lift, saat pintu hendak tertutup, tangan seseorang menahan pintu itu. Seorang lelaki tersenyum dan ikut masuk ke dalam lift.

“Hana, aku antar kamu pulang ya? Sepertinya di luar masih gerimis.” Bian mengangkat-angkat alisnya.

Hana tersenyum dan menggeleng.

“Kenapa? Oh ya, kita belum sempat kenalan. Aku Bian ... Fabian Satya Perdana, teman Razi sekaligus sepupu Maida.” Bian mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Hana tak menyambut uluran tangan Bian, dia hanya menangkupkan tangannya di dada.

“Hana Faqiha.”

Pintu lift terbuka, Hana pamit kepada Bian dan berjalan cepat menuju pintu kaca besar tempat keluar dan juga masuk.

“Hana, tunggu!” Bian mengejar. “Kamu saudaranya Razi yang dari Tasik?” Bian masih penasaran. Memang, wanita dengan pakaian tertutup bukanlah tipenya, tapi entah mengapa perempuan itu memiliki daya tarik yang berbeda baginya.

“Saya istrinya.” Hana berlalu meninggalkan Bian yang bengong.

“Dasar! Dua orang ini ngebecandain gue,” gumam Bian sambil garuk-garuk kepala.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status