Share

Bab 5 : Pilihan Yang Sulit

Hana menepati janjinya untuk belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usianya yang baru sembilan belas tahun, dia memilih untuk berhenti kuliah yang baru dijalaninya selama dua semester. Dia ingin menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami juga ibu mertuanya.

Nilai-nilai agama yang meresap dalam dirinya, 'memaksanya' untuk lebih mendahulukan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Meski memang hal tersebut sangat berat baginya. Meninggalkan keluarga, pendidikan, kampung halaman, semua dilakukan demi bisa berbakti kepada lelaki yang telah menghalalkannya.

“Assalamu'alaikum.”

“W*'alaikumusalam, Hana, kok lama?” tanya Bu Ratna saat menantunya sampai di rumah.

“Maaf, Bu. Tadi temannya A Razi sakit,” jawab Hana sambil melepas jilbabnya. Udara di ibukota memang terasa begitu panas baginya, terlebih selama ini dia tinggal di daerah yang hawanya sejuk.

“Sakit kenapa, Han?”

“Gak tahu, Bu. Oh ya, apa ibu butuh sesuatu?”

“Gak, ibu gak butuh apa-apa. Oh ya Hana, ini ibu belikan pisang sama jamu buat suamimu.”

Bu Ratna mengeluarkan sebuah botol berisi jamu dari kresek hitam di meja.

“Jamu apa, Bu?” Hana mengambil botol itu dan memerhatikannya.

“Itu ... jamu penambah stamina, buat suamimu biar ....” Bu Ratna sengaja tak melanjutkan ucapannya.

“Biar apa?” tanya Hana semakin penasaran.

“Ah, kamu. Masa harus ibu jelaskan. Sudah, sana istirahat dulu.” Bu Ratna mengambil jamu itu lalu membawanya ke dapur.

●●●●

Razi dan Bian makan dengan lahap makanan yang dibawa oleh Hana.

“Lu beneran gak mau, Mai?” tanya Bian kepada Maida yang sedari tadi hanya minum air putih.

Maida mendelik, tak ingin menjawab pertanyaan sepupunya.

“Lu kenapa sih? Sensi amat sama gue?” tanya Bian dengan mulut yang penuh makanan.

“Gue lagi males ngomong sama lu. Dah ah gue mau pulang.”

“Kamu baik-baik aja, Mai?” tanya Razi.

“Sebenarnya masih pusing. Kamu anterin aku ya, nanti kamu bawa lagi aja mobilku ke sini.”

Razi mengangguk, dia segera menyelesaikan makan siangnya dan bersiap mengantar Maida pulang.

Di dalam mobil, mereka lebih banyak diam. Maida menatap Razi yang sedang fokus menyetir.

Razi yang sadar tengah diperhatikan melirik Maida sekilas. “Kamu kenapa liatin aku terus?”

“Karena kamu gak bikin bosan untuk dilihat,” jawab Maida sambil tersenyum.

“Ah kamu.” Razi tertawa kecil.

“Hari ini aku seneng banget, makasih ya.”

“Untuk?”

“Untuk perhatian kamu saat di kantor tadi.”

“Ya, apa pun yang sudah terjadi, kita kan masih tetap berteman.”

Seketika kalimat Razi melunturkan senyum yang sejak tadi menghiasi wajah Maida.

Perempuan itu mendengkus, dan mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil di sampingnya.

Mereka pun sampai. Razi mengantar Maida hingga ke ruang tamu. Lelaki dengan rahang kokoh itu pamit untuk kembali ke kantor, tetapi Maida menahannya dengan memegang lengan Razi.

“Bagaimana perasaanmu kepadanya?” tanya Maida, ditatapnya mata Razi seolah ingin mencari jawaban di sana. “Kamu tidak mencintainya kan?” lanjutnya.

Razi hanya terdiam, dia tak tahu harus menjawab apa.

“Jika sekarang aku setuju menikah denganmu, apakah kamu akan meninggalkannya?”

Razi terkejut mendengar pertanyaan Maida, dia tidak menyangka bahwa gadis di hadapannya akan bertanya demikian.

“Kamu terlambat Mai,” ujar Razi sambil melepaskan genggaman Maida di lengannya.

“Raz, aku cinta kamu.”

“Maaf Mai, aku harus segera kembali ke kantor.” Razi bergegas meninggalkan rumah Maida.

Hati wanita yang diliputi kepedihan itu terasa begitu sesak. Dia menyesal telah menolak lamaran lelaki yang dicintainya. Dirinya tidak menyangka bahwa penolakannya akan berujung dengan Razi menikahi wanita lain. Dulu dia terlalu percaya diri, bahwa dengan kecantikan dan kedudukan yang dimilikinya, Razi akan setia dan tak mungkin meninggalkannya.

Pertanyaan Maida tadi terngiang-ngiang di telinga Razi. Pikirannya kacau. Di satu sisi, dia masih belum bisa melupakan Maida. Bagaimana tidak, Maida adalah gadis yang disukainya sejak mereka duduk di bangku SMP. Tentu saja perasaan itu tak mudah untuk dihilangkan meski kini ada wanita lain disisinya. Dia menyadari, bahwa menikahi Hana adalah sebuah keputusan yang tidak tepat, karena pernikahan tersebut terjadi atas dasar rasa kecewa, dia khawatir tak mampu berbuat yang semestinya. Namun, dia juga tidak mungkin menyia-nyiakan Hana yang begitu baik kepada dirinya.

“Aaaaaah ....” Razi berteriak sambil memukul kemudi.

●●●●

“Bian, Lu ikut ke rumah Maida, ya! Nanti gue pulang numpang mobil lu,” ujar Razi saat mereka keluar kantor untuk pulang.

Bian berpikir sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk.

“Kenapa senyum-senyum?” Razi heran melihat sahabatnya.

“Nanti, gue boleh ketemu Hana, kan?”

Razi tak menggubris pertanyaan Bian. “Balikin dulu mobil, nanti gue cerita.”

●●●●

Setelah mengembalikan mobil Maida, Razi menumpang mobil Bian untuk kembali ke kantor mengambil motor.

“Lu mau ceritain apa? Kayanya serius amat,” tanya Bian.

“Sebenarnya, Hana itu ... istri gue,” aku Razi.

“Jangan bercandalah, gue lagi nyetir nih. Oleng gue nanti.”

“Gue serius,” bisik Razi.

Bian menghentikan laju mobilnya dan menepi. “Lu beneran? serius?” Pemuda itu menatap Razi, berharap bahwa sahabatnya itu tengah mengeprank dirinya.

Razi membalas tatapan Bian. “Gue serius,” ulangnya.

Bian masih tak percaya. “Gue lihat lu masih baik-baik aja dengan Maida. Atau, dia belum tahu?”

“Dia sudah tahu.”

“Apa?” Bian semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Kita ngobrol di luar.” Bian membuka pintu mobil, kemudian duduk di bagian depannya.

Razi mengikuti sahabatnya. “Gue tahu, gue salah. Saat itu gue kecewa dengan keputusan Maida. Pas gue pulang, ibu ....”

“Lu gila, Raz!” potong Bian. “Dengan keputusan lu, ada berapa orang yang lu sakitin?”

Razi hanya bisa terdiam mendengarkan ucapan Bian.

“Bagaimana perasaan lu sama Hana?”

Razi menatap sahabatnya. “Gue gak tahu.”

“Apa? Gak tahu? Lu ... ah, gue gak tahu harus ngomong apa. Lu pikir pernikahan itu mainan? Heh, dengar ya! Gue emang brengsek, selama ini gue gonta ganti cewek, tapi sebrengsek-brengseknya gue, gue gak akan mempermainkan pernikahan.” Bian marah, dia tak menyangka bahwa lelaki yang selama ini dianggapnya dewasa, alim, bisa berbuat seperti itu.

“Gue gak mempermainkan pernikahan. Anggap aja waktu itu gue khilaf,” timpal Razi membela diri.

“Khilaf lu bilang? Lu nikahin Hana, sementara hati lu masih cinta sama Maida. Gimana sih lu? Apa lu pikir Hana gak punya perasaan? Gimana kalau dia tahu kenyataan yang sebenarnya? Lu bukan cuma menipu Hana, tapi lu juga sudah menipu keluarga lu, ibu lu!” Bian meninggalkan Razi dan masuk ke mobil kemudian menyalakan mobilnya.

“Hei, Bian! Lu mau ninggalin gue sendiri di jalan?” Razi mengetuk-ngetuk kaca mobil. Tapi Bian tak menghiraukan, dia langsung tancap gas meninggalkan sahabatnya dengan kecewa.

Razi berjalan menyusuri trotoar di sore yang cukup panas. Pikirannya berusaha mengeja kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Bian. Dia tak menyangkal bahwa yang diucapkan sahabatnya itu memang benar. Namun, memilih satu dari wanita itu dan melepaskan satunya begitu berat untuknya. Sepanjang jalan, pikirannya tertuju kepada permasalahan itu hingga tak sadar sudah berada di depan rumahnya sendiri. Terlihat Hana sedang duduk di kursi teras, seperti biasa gadis itu menunggu untuk menyambut suaminya pulang.

Hana yang melihat Razi berjalan kaki tanpa menaiki motornya segera beranjak dan menghampiri.

“Loh A, kok keringetan gini? Trus, motornya mana?” tanya Hana heran.

“Tadi jalan kaki,” ucap Razi seraya masuk ke dalam rumah, dia menghempaskan tubuh ke sofa lalu membuka dua kancing kemeja paling atas.

Hana menyodorkan segelas air untuk suaminya dengan raut muka penuh tanya. Razi langsung meminumnya hingga habis, cukup membasahi kerongkongannya yang sejak tadi menyempit karena haus.

“Motor Aa rusak?” tanya Hana.

Razi menggeleng. “Enggak, tadi pulang bareng Bian. Cuma dia ada urusan, jadi gak bisa antar sampai sini,” ucap Razi bohong.

“Oh, ya udah, Aa mau mandi dulu?” tanya Hana. Sebenarnya ada begitu banyak pertanyaan di benaknya, tapi melihat suaminya yang tampak kelelahan, akhirnya dia menunda untuk bertanya hal lain.

Razi bangkit untuk mandi, sedang Hana menyiapkan teh hangat dan pisang goreng untuk disantap.

“Hana, Razi mana?” tanya Bu Ratna.

“Lagi mandi, Bu.”

Bu Ratna melangkah menuju dapur, tak lama dia kembali lagi dengan membawa botol jamu yang sudah disiapkannya.

“Ibu gak sabar pengen buru-buru ngasih ini.” Bu Ratna menunjukkan botol berisi jamu yang dipegangnya.

Hana hanya tersenyum melihat ibu mertuanya, dia pun sebenarnya tak terlalu paham isi dari jamu itu untuk apa.

Razi yang baru selesai mandi duduk di ruang televisi. Bu Ratna bergegas menemui anak lelaki satu-satunya, di susul Hana yang membawa sepiring pisang goreng dan teh hangat.

“Minum ini!” Bu Ratna menyodorkan botol jamu kepada Razi.

“Ini apa, Bu?” Razi melihat-lihat botol yang diberikan ibunya.

“Itu jamu.”

“Jamu apa?”

“Penambah stamina, kamu kan capek tiap hari kerja, minum ini biar gak cepat lelah,” ujar Bu Ratna yang tak sabar agar putranya segera meminum jamu itu.

Razi masih memerhatikan botol jamu itu.

“Ayo minum!” Bu Ratna mengambil botol yang digenggam Razi dan membuka tutupnya.

“Minum!” perintahnya lagi.

Razi menurut. “Pahit,” katanya.

“Gak apa-apa, yang penting khasiatnya,” ucap Bu Ratna sembari tersenyum.

●●●●

Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Seperti biasa Bu Ratna sejak dari setelah salat isya tak keluar kamar lagi.

Razi masih sibuk dengan laptop di pangkuannya. Hana menghampiri suaminya lalu duduk di sebelahnya.

“A, Maida itu siapa?”

Razi menutup laptop dan menaruhnya di nakas samping ranjang. Dia sudah menduga bahwa Hana akan bertanya tentang Maida lagi.

“Dia anak Pak Robi, pemilik perusahaan tempatku bekerja.” Jawaban Razi persis seperti yang diucapkan satpam di kantornya.

“Hana tahu, maksudnya ada hubungan apa Aa dengan dia?”

Razi menatap wajah Hana yang dipenuhi oleh raut tanya. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Dia menggenggam tangan Hana dan menciumnya.

“Tolong jangan pedulikan apa yang aku lakukan terhadap Maida,” pinta Razi.

“Kenapa?”

Razi menarik napas lalu mengembuskannya pelan. Pandangannya menyorot wajah Hana yang jika diperhatikan, dia tak kalah cantik dengan Maida.

“Maaf ya A, tapi Hana melihat kalau ... ada sesuatu di antara kalian,” lanjut Hana.

Razi tersenyum. “Apa kamu cemburu?”

“Enggak, kenapa harus cemburu?” Hana melepaskan genggaman Razi dan berbalik memunggunginya. Razi tertawa melihat tingkah istrinya.

“Hana, kenapa ya malam ini panas sekali?”

Hana berbalik. “Apa kipasnya kurang kenceng?” Hana memencet tombol kipas agar embusan anginnya semakin besar.

Razi melepas bajunya, Hana yang melihat itu menutup mata.

“Kenapa tutup mata? Kita kan suami istri,” ujar Razi sambil menarik tangan Hana yang menutupi wajahnya.

Hana membuka matanya perlahan. "Maida itu, sudah cantik, kaya lagi. Dia memang sempurna,” ujar Hana.

“Kenapa bahas dia lagi?”

“Karena tampaknya Aa suka dia.”

“Tuh kaaan, kamu cemburu?” Razi mencolek hidung Hana.

“Enggak!”

“Kalo enggak, kenapa pipinya jadi merah,” ledek Razi.

Hana memegang kedua pipinya.

“Iya kan?” Razi tersenyum lalu menyerang menggelitik Hana. Hana tertawa geli hingga jatuh terbaring. Razi mendekatkan wajahnya, hingga embusan napasnya terasa di wajah Hana. Napas Razi semakin memburu, dia tak lagi bisa  menahannya. Hana memejamkan mata, lalu terjadilah apa yang seharusnya terjadi di antara pasangan yang telah halal.

Malam berganti pagi. Hana sudah selesai menyiapkan sarapan saat Razi menuju meja makan.

“Enak nih.” Razi mencubit pipi Hana.

Hanya tersenyum, lalu mengambilkan nasi dan menaruhnya di piring suaminya.

“Ehm.” Bu Ratna berdehem melihat anak dan menantunya. “Kayanya kamu seneng banget, Raz.”

“Masa sih, Bu?” Razi tersenyum lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.

Selesai sarapan Razi bersiap untuk berangkat bekerja, karena motornya tertinggal di kantor jadi dia memesan ojek Online. Sesampainya di kantor, Razi berpapasan dengan Bian, tetapi sahabatnya itu seperti menghindar darinya. Sikapnya tak seramah seperti biasa. Razi membiarkan hal itu, dia memberi waktu untuk Bian agar bisa memahami keadaan dirinya.

“Razi, dipanggil Bu Maida," ujar salah seorang kawan kerjanya.

Razi beranjak dari kursi kemudian berjalan menuju ruangan Maida. Dia mengetuk pintu.

“Masuk.” Perintah Maida.

Razi berdiri di depan meja.

“Duduklah!”

Razi menurut. “Ada apa?” tanyanya.

“Aku gak bisa menunggu jawaban kamu terlalu lama, jika aku mau menikah denganmu apa kamu akan meninggalkan wanita itu?” Maida kembali bertanya hal yang sama seperti kemarin.

“Ini bukan saatnya membahas itu, bukankah dulu kamu sendiri yang bilang bahwa saat jam kerja kita harus profesional. Kesampingkan kehidupan pribadi saat di kantor.” Razi beranjak dari kursi hendak keluar ruangan. Belum sampai menuju pintu, Maida mengejar Razi dan memeluknya dari belakang.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status