Share

Bab 3 : Kenyataan Pahit

“Mai,” desis Razi sembari berusaha melepaskan pelukan Maida.

“Maaaaaf, kamu sih lama banget perginya,” ujar Maida sembari melepaskan pelukannya lalu mengaitkan tangannya di lengan Razi.

“Mai.” Razi melepaskan genggaman Maida di lengannya.

Hana memalingkan pandangan ke halaman rumah di depannya, tak ingin melihat suami dan perempuan yang menurutnya sangat tidak sopan.

Maida memandang ke arah Hana. “Ini siapa, Raz? Sodaramu dari kampung?” tanya Maida sembari menunjuk Hana dengan telunjuknya.

“Itu ...." Razi menjeda ucapannya lalu menggenggam tangan Maida dan membawanya ke halaman menuju mobil Maida berada.

“Hana, nanti aku jelaskan,” ucap Razi kepada Hana sebelum mereka berdua masuk ke mobil.

Hana hanya mematung menyaksikan suaminya pergi bersama wanita lain. Tanpa terasa, buliran bening jatuh melewati pipinya.

Razi menghentikan mobil Maida di suatu tempat yang agak sepi. Dirinya bingung harus mulai menjelaskan semuanya dari mana. Ini sungguh di luar prediksinya. Lelaki bertubuh tinggi itu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Maida masih menunggu lelaki di sampingnya berbicara.

“Mai, mulai sekarang kita harus menjaga jarak,” ujar Razi pelan, matanya lurus menatap jalanan yang cukup sepi.

“Kenapa?" tanya Maida, tangannya memainkan ujung blazer yang dikenakannya.

Razi memberi isyarat untuk keluar, kemudian keduanya duduk di bagian depan mobil.

Hening. Tak satu pun dari mereka yang mulai membuka percakapan.

“Raz,” bisik Maida. Netranya menatap lelaki di sampingnya. “Apa ada sesuatu?”

Razi menarik napas berat, pandangannya lurus menatap pemandangan di depannya. Dia masih terdiam, seolah ada suatu gembok yang mengunci bibirnya. Maida berusaha menyelami keadaan lelaki di sampingnya. Dia tak ingin bertanya lagi, membiarkan lelaki yang dicintainya membuka suara sendiri tanpa harus dia tanya lagi.

Langit sore mulai menguning, tanda senja akan segera datang. Deru mobil sesekali terdengar memecah kebisuan antara dua manusia yang sibuk menata rasa.

“Mai.”

“Hmm.”

“Aku ... aku sudah menikah.”

Sontak Maida menatap ke arah lelaki di sampingnya. “Jangan bercanda! Gak lucu, tau!”

“Aku serius.”

Apa yang diucapkan lelaki itu bagai petir yang menyambar hati Maida. Wanita yang terlahir sebagai orang berada itu menggeleng tak percaya.

“Bilang kalau apa yang kamu katakan itu bercanda, Razi!” pekik Maida.

Razi hanya diam mendengar ucapan Maida. Pandangannya tertuju ke arah tanah yang dipijaknya.

Netra gadis itu mulai mengembun, lalu luruh bersamaan dengan rasa sedih dan kecewa.

“Jadi, apakah ini balas dendam karena saat itu aku menolakmu? Jawab, Raz!” Maida mengguncang -guncang tubuh Razi sembari menangis.

“Kenapa kamu melakukan ini padaku?”

Tangisnya semakin menjadi, dia terduduk di tanah dengan kedua tangan menggenggam celana Razi. Maida meraung bagai anak kecil yang ditinggal oleh ibunya.

Razi berjongkok, lalu menggenggam kedua lengan Maida dan berusaha mengajaknya berdiri, tapi Maida berontak. Dia tetap duduk di tanah sembari menangis.

Razi menutup matanya sejenak. Dirinya baru menyadari bahwa keputusannya membuat orang-orang di dekatnya tersakiti. Bukan hanya wanita yang sekarang berada di hadapannya, tetapi juga ibu dan wanita yang kini menjadi istrinya.

‘Maafkan aku, Mai,’ batinnya.

●●●●

Hana mulai gelisah, pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Ada banyak pertanyaan di benaknya tentang siapa wanita itu dan hubungan apa yang mereka miliki.

“Hana, Razi mana?” tanya Bu Ratna yang baru saja keluar dari kamarnya yang hendak mengambil air wudu untuk salat magrib.

“A Razi ke luar dulu sebentar, ibu butuh sesuatu?”

Bu Ratna menggeleng, lalu duduk di sebelah menantunya. Hana berusaha menyembunyikan kegelisahannya di depan sang mertua. Dia bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Senja berganti malam. Lampu-lampu jalan menyala menerangi malam yang telah menggulita. Awan hitam menggelayut menutupi sebagian langit, tampaknya akan segera turun hujan. Benar saja, tak selang berapa lama hujan mulai mengguyur. Daun-daun menari tertimpa butir-butir air yang jatuh mengenainya. Aroma petrichor tercium menusuk indra penciuman.

Seorang gadis terduduk di kursi teras. Sesekali berjalan mondar mandir kemudian duduk kembali. Tampak jelas kekhawatiran di raut wajahnya. Sorot lampu mobil mengenai wajah cantiknya, dia beranjak lalu berjalan menuju ujung teras mendekati mobil yang berhenti di halaman.

Sesosok lelaki keluar dari mobil itu. Segera wanita itu membuka payung dan menjemput lelaki yang sejak tadi ditunggunya. Lalu mobil itu pergi, melesat menembus hujan meninggalkan mereka berdua.

“Aa dari mana?” tanya Hana sesampainya di teras. Dia menutup payung lalu membuntuti suaminya masuk ke rumah.

“Ibu mana?”

“Sudah tidur.”

Dengan sigap wanita itu melayani suaminya. Setelah mandi air hangat dan berganti pakaian, lelaki itu berbaring di ranjang menyelimuti diri.

“Makan dulu yuk,” ajak Hana setelah menyiapkan makanan di meja.

“Aku sudah makan.”

Jawaban suaminya cukup membuatnya kecewa, padahal sejak sore dirinya menahan lapar agar bisa makan bersama.

Hana membereskan kembali makanan yang sudah disiapkannya. Dia tak lagi berselera untuk menyantapnya. Setelah selesai, wanita berparas cantik itu kembali ke kamar, dilihatnya Razi yang sudah memejamkan mata. Hana mendengkus karena tak bisa bertanya tentang wanita itu. Disibakkannya selimut dengan sedikit kasar, lalu berbaring di samping suaminya dengan hati yang masih kesal.

“Hana,” panggil Razi dengan tetap menutup matanya.

Hana sedikit kaget karena dia mengira suaminya sudah tidur.

Razi mengubah posisi tidurnya menghadap ke arah istrinya. Dipandanginya wajah gadis yang beberapa hari lalu dinikahinya. Ada perasaan bersalah menyelimuti hati lelaki itu. Walau bagaimanapun juga dia telah melibatkan gadis itu ke dalam hidupnya. Dia pun tak mungkin menyia-nyiakan wanita yang begitu telaten merawat dirinya dan sang ibu.

“Apa ibu tahu soal yang tadi?”

Hana menggeleng pelan.

Razi menarik napas lega. “Makasih, ya,” ucap Razi sembari tersenyum.

“Kenapa berterima kasih?” tanya Hana tanpa menatap suami yang tengah memandangnya.

“Aku ingin berterima kasih aja.” Razi mengubah posisi tubuhnya menghadap ke langit-langit.

“Siapa dia?” tanya Hana dengan suara tertahan.

“Teman di kantor.”

“Apa semua teman-teman Aa seperti itu kalau ketemu?”

“Tentu aja enggak, sudahlah lebih baik kita tidur.”

Razi mulai memejamkan mata, berusaha menyudahi pembicaraan agar Hana tak terus bertanya. Perasaan kecewa menyelimuti hati perempuan yang dilanda cemburu itu. Dia merasa kalau pernikahan yang dijalaninya sedikit tak normal bagi dirinya. Bahkan hingga saat ini, Razi belum sekali pun menyentuh wanita pemilik mata teduh itu.

●●●●

“Hana, apa kamu belum ada tanda-tanda hamil? Mual-mual, atau ngidam sesuatu?” tanya Bu Ratna saat sarapan bersama.

Hana yang akan menyuapkan sendok berisi nasi ke mulutnya mendadak berhenti, ditaruhnya kembali sendok yang dipegangnya.

‘Mana mungkin aku hamil, sedang suamiku belum sekalipun menyentuhku.’ Hana membatin dengan pandangan masih tertuju ke arah piring di depannya.

“Bu, kami kan baru beberapa hari menikah,” ucap Razi mengingatkan sang ibu, kemudian matanya melirik perempuan di sebelahnya.

“Oh iya, habisnya ibu sudah gak sabar ingin menimang cucu.”

Hana dan Razi saling pandang dengan perasaan yang berbeda. Hana segera menghabiskan sarapannya lalu pamit ke dapur. Di sana, dia termenung. Sungguh, bukan seperti ini pernikahan yang diinginkannya. Tak terasa, setetes bulir bening meluncur dari sudut matanya.

“Hana, aku pamit dulu.” Suara laki-laki itu membuyarkan lamunannya. Buru-buru dia mengusap pipi.

“Oh ya, nanti kita beli perabotan, ya? Aku usahakan untuk pulang cepat,” tambahnya.

Hana hanya mengangguk, lalu membuntuti suaminya hingga ke teras. Perasaannya masih kesal, apa lagi dengan sikap Razi yang seolah tak terjadi apa-apa.

Dari jalan, melaju sebuah mobil masuk ke halaman. Lalu keluar lelaki bertubuh tinggi memakai kemeja krem dengan dasi berwarna coklat bergaris.

“Hei, bro!” sapa lelaki itu sembari berjalan menuju ke arah Razi dan Hana.

Razi melambaikan tangannya.

“Ini laporan yang lu minta,” lanjutnya.

Lelaki itu memandang wajah Hana tanpa berkedip. Razi yang melihatnya menyikut lelaki dengan alis tebal itu.

“Eh, siapa bidadari ini, Raz? Setau gue lu anak tunggal. Apa dia sepupu atau ponakan lu? Kenalin gue, kayanya dia jodoh gue yang selama ini gue cari,” cerocos pemuda yang biasa di sapa Bian itu.

“Istri gue.”

“Hah? Becanda lu!” 

“Udah yuk berangkat. Gue numpang mobil lu, ya.” Razi mendorong lelaki itu agar segera pergi.

“Gue belum kenalan.”

“Udaaahh.” Razi mendorong punggung Bian hingga ke mobil.

“Hai, namaku Bian, kamu siapa?” tanya Bian kepada Hana setengah berteriak.

Razi tak menghiraukan sahabatnya yang ingin berkenalan dengan Hana. Dia membuka pintu mobil lalu menarik pemuda itu dan memasukkannya ke dalam.

“Eh eh, Raz. Ah elu!” sungut Bian.

“Hana, berangkat dulu, ya. Assalamu’alaikum.”

●●●●

Sebuah kamar dengan desain minimalis modern tampak serasi dengan warna cat dan interiornya. Seorang gadis terbaring di sebuah ranjang yang cukup luas. Matanya sembab dengan sedikit bengkak di keduanya. Dipeluknya sebuah boneka beruang berwarna coklat muda pemberian dari seorang yang spesial di hatinya.

Seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi khas wanita sosialita menghampiri gadis itu.

“Mai, kok belum bangun, kamu gak ke kantor?” tanya wanita itu sembari mengusap kepala putrinya.

Gadis itu menggeleng pelan.

“Kamu sakit? Mama ada urusan ke Surabaya sama papa. Kamu istirahat aja, ya! Nanti mama suruh kakakmu datang ke sini,” ucap wanita yang bernama Regina, kemudian mengecup kening putrinya.

Setelah wanita itu pergi, Maida bangun dan duduk di tepi ranjang. Rambutnya kusut dengan wajah yang tampak pucat.

“Kamu tidak bisa melakukan ini padaku. Wanita kampung itu sama sekali tak pantas untukmu. Lihat saja apa yang akan aku lakukan untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku,” gumam Maida.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status