“Mai,” desis Razi sembari berusaha melepaskan pelukan Maida.
“Maaaaaf, kamu sih lama banget perginya,” ujar Maida sembari melepaskan pelukannya lalu mengaitkan tangannya di lengan Razi.“Mai.” Razi melepaskan genggaman Maida di lengannya.Hana memalingkan pandangan ke halaman rumah di depannya, tak ingin melihat suami dan perempuan yang menurutnya sangat tidak sopan.Maida memandang ke arah Hana. “Ini siapa, Raz? Sodaramu dari kampung?” tanya Maida sembari menunjuk Hana dengan telunjuknya.“Itu ...." Razi menjeda ucapannya lalu menggenggam tangan Maida dan membawanya ke halaman menuju mobil Maida berada.“Hana, nanti aku jelaskan,” ucap Razi kepada Hana sebelum mereka berdua masuk ke mobil.Hana hanya mematung menyaksikan suaminya pergi bersama wanita lain. Tanpa terasa, buliran bening jatuh melewati pipinya.Razi menghentikan mobil Maida di suatu tempat yang agak sepi. Dirinya bingung harus mulai menjelaskan semuanya dari mana. Ini sungguh di luar prediksinya. Lelaki bertubuh tinggi itu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Maida masih menunggu lelaki di sampingnya berbicara.“Mai, mulai sekarang kita harus menjaga jarak,” ujar Razi pelan, matanya lurus menatap jalanan yang cukup sepi.“Kenapa?" tanya Maida, tangannya memainkan ujung blazer yang dikenakannya.Razi memberi isyarat untuk keluar, kemudian keduanya duduk di bagian depan mobil.Hening. Tak satu pun dari mereka yang mulai membuka percakapan.
“Raz,” bisik Maida. Netranya menatap lelaki di sampingnya. “Apa ada sesuatu?”Razi menarik napas berat, pandangannya lurus menatap pemandangan di depannya. Dia masih terdiam, seolah ada suatu gembok yang mengunci bibirnya. Maida berusaha menyelami keadaan lelaki di sampingnya. Dia tak ingin bertanya lagi, membiarkan lelaki yang dicintainya membuka suara sendiri tanpa harus dia tanya lagi.Langit sore mulai menguning, tanda senja akan segera datang. Deru mobil sesekali terdengar memecah kebisuan antara dua manusia yang sibuk menata rasa.“Mai.”“Hmm.”“Aku ... aku sudah menikah.”Sontak Maida menatap ke arah lelaki di sampingnya. “Jangan bercanda! Gak lucu, tau!”“Aku serius.”Apa yang diucapkan lelaki itu bagai petir yang menyambar hati Maida. Wanita yang terlahir sebagai orang berada itu menggeleng tak percaya.“Bilang kalau apa yang kamu katakan itu bercanda, Razi!” pekik Maida.Razi hanya diam mendengar ucapan Maida. Pandangannya tertuju ke arah tanah yang dipijaknya.Netra gadis itu mulai mengembun, lalu luruh bersamaan dengan rasa sedih dan kecewa.“Jadi, apakah ini balas dendam karena saat itu aku menolakmu? Jawab, Raz!” Maida mengguncang -guncang tubuh Razi sembari menangis.“Kenapa kamu melakukan ini padaku?”Tangisnya semakin menjadi, dia terduduk di tanah dengan kedua tangan menggenggam celana Razi. Maida meraung bagai anak kecil yang ditinggal oleh ibunya.
Razi berjongkok, lalu menggenggam kedua lengan Maida dan berusaha mengajaknya berdiri, tapi Maida berontak. Dia tetap duduk di tanah sembari menangis.Razi menutup matanya sejenak. Dirinya baru menyadari bahwa keputusannya membuat orang-orang di dekatnya tersakiti. Bukan hanya wanita yang sekarang berada di hadapannya, tetapi juga ibu dan wanita yang kini menjadi istrinya.‘Maafkan aku, Mai,’ batinnya.●●●●Hana mulai gelisah, pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Ada banyak pertanyaan di benaknya tentang siapa wanita itu dan hubungan apa yang mereka miliki.“Hana, Razi mana?” tanya Bu Ratna yang baru saja keluar dari kamarnya yang hendak mengambil air wudu untuk salat magrib.“A Razi ke luar dulu sebentar, ibu butuh sesuatu?”Bu Ratna menggeleng, lalu duduk di sebelah menantunya. Hana berusaha menyembunyikan kegelisahannya di depan sang mertua. Dia bersikap seolah tak terjadi apa-apa.Senja berganti malam. Lampu-lampu jalan menyala menerangi malam yang telah menggulita. Awan hitam menggelayut menutupi sebagian langit, tampaknya akan segera turun hujan. Benar saja, tak selang berapa lama hujan mulai mengguyur. Daun-daun menari tertimpa butir-butir air yang jatuh mengenainya. Aroma petrichor tercium menusuk indra penciuman.Seorang gadis terduduk di kursi teras. Sesekali berjalan mondar mandir kemudian duduk kembali. Tampak jelas kekhawatiran di raut wajahnya. Sorot lampu mobil mengenai wajah cantiknya, dia beranjak lalu berjalan menuju ujung teras mendekati mobil yang berhenti di halaman.Sesosok lelaki keluar dari mobil itu. Segera wanita itu membuka payung dan menjemput lelaki yang sejak tadi ditunggunya. Lalu mobil itu pergi, melesat menembus hujan meninggalkan mereka berdua.“Aa dari mana?” tanya Hana sesampainya di teras. Dia menutup payung lalu membuntuti suaminya masuk ke rumah.“Ibu mana?”“Sudah tidur.”Dengan sigap wanita itu melayani suaminya. Setelah mandi air hangat dan berganti pakaian, lelaki itu berbaring di ranjang menyelimuti diri.“Makan dulu yuk,” ajak Hana setelah menyiapkan makanan di meja.“Aku sudah makan.”Jawaban suaminya cukup membuatnya kecewa, padahal sejak sore dirinya menahan lapar agar bisa makan bersama.Hana membereskan kembali makanan yang sudah disiapkannya. Dia tak lagi berselera untuk menyantapnya. Setelah selesai, wanita berparas cantik itu kembali ke kamar, dilihatnya Razi yang sudah memejamkan mata. Hana mendengkus karena tak bisa bertanya tentang wanita itu. Disibakkannya selimut dengan sedikit kasar, lalu berbaring di samping suaminya dengan hati yang masih kesal.“Hana,” panggil Razi dengan tetap menutup matanya.Hana sedikit kaget karena dia mengira suaminya sudah tidur.Razi mengubah posisi tidurnya menghadap ke arah istrinya. Dipandanginya wajah gadis yang beberapa hari lalu dinikahinya. Ada perasaan bersalah menyelimuti hati lelaki itu. Walau bagaimanapun juga dia telah melibatkan gadis itu ke dalam hidupnya. Dia pun tak mungkin menyia-nyiakan wanita yang begitu telaten merawat dirinya dan sang ibu.“Apa ibu tahu soal yang tadi?”Hana menggeleng pelan.Razi menarik napas lega. “Makasih, ya,” ucap Razi sembari tersenyum.
“Kenapa berterima kasih?” tanya Hana tanpa menatap suami yang tengah memandangnya.“Aku ingin berterima kasih aja.” Razi mengubah posisi tubuhnya menghadap ke langit-langit.“Siapa dia?” tanya Hana dengan suara tertahan.“Teman di kantor.”“Apa semua teman-teman Aa seperti itu kalau ketemu?”“Tentu aja enggak, sudahlah lebih baik kita tidur.”Razi mulai memejamkan mata, berusaha menyudahi pembicaraan agar Hana tak terus bertanya. Perasaan kecewa menyelimuti hati perempuan yang dilanda cemburu itu. Dia merasa kalau pernikahan yang dijalaninya sedikit tak normal bagi dirinya. Bahkan hingga saat ini, Razi belum sekali pun menyentuh wanita pemilik mata teduh itu.●●●●“Hana, apa kamu belum ada tanda-tanda hamil? Mual-mual, atau ngidam sesuatu?” tanya Bu Ratna saat sarapan bersama.Hana yang akan menyuapkan sendok berisi nasi ke mulutnya mendadak berhenti, ditaruhnya kembali sendok yang dipegangnya.‘Mana mungkin aku hamil, sedang suamiku belum sekalipun menyentuhku.’ Hana membatin dengan pandangan masih tertuju ke arah piring di depannya.“Bu, kami kan baru beberapa hari menikah,” ucap Razi mengingatkan sang ibu, kemudian matanya melirik perempuan di sebelahnya.“Oh iya, habisnya ibu sudah gak sabar ingin menimang cucu.”Hana dan Razi saling pandang dengan perasaan yang berbeda. Hana segera menghabiskan sarapannya lalu pamit ke dapur. Di sana, dia termenung. Sungguh, bukan seperti ini pernikahan yang diinginkannya. Tak terasa, setetes bulir bening meluncur dari sudut matanya.“Hana, aku pamit dulu.” Suara laki-laki itu membuyarkan lamunannya. Buru-buru dia mengusap pipi.“Oh ya, nanti kita beli perabotan, ya? Aku usahakan untuk pulang cepat,” tambahnya.Hana hanya mengangguk, lalu membuntuti suaminya hingga ke teras. Perasaannya masih kesal, apa lagi dengan sikap Razi yang seolah tak terjadi apa-apa.Dari jalan, melaju sebuah mobil masuk ke halaman. Lalu keluar lelaki bertubuh tinggi memakai kemeja krem dengan dasi berwarna coklat bergaris.“Hei, bro!” sapa lelaki itu sembari berjalan menuju ke arah Razi dan Hana.Razi melambaikan tangannya.“Ini laporan yang lu minta,” lanjutnya.Lelaki itu memandang wajah Hana tanpa berkedip. Razi yang melihatnya menyikut lelaki dengan alis tebal itu.“Eh, siapa bidadari ini, Raz? Setau gue lu anak tunggal. Apa dia sepupu atau ponakan lu? Kenalin gue, kayanya dia jodoh gue yang selama ini gue cari,” cerocos pemuda yang biasa di sapa Bian itu.“Istri gue.”“Hah? Becanda lu!” “Udah yuk berangkat. Gue numpang mobil lu, ya.” Razi mendorong lelaki itu agar segera pergi.“Gue belum kenalan.”“Udaaahh.” Razi mendorong punggung Bian hingga ke mobil.“Hai, namaku Bian, kamu siapa?” tanya Bian kepada Hana setengah berteriak.Razi tak menghiraukan sahabatnya yang ingin berkenalan dengan Hana. Dia membuka pintu mobil lalu menarik pemuda itu dan memasukkannya ke dalam.“Eh eh, Raz. Ah elu!” sungut Bian.“Hana, berangkat dulu, ya. Assalamu’alaikum.”●●●●Sebuah kamar dengan desain minimalis modern tampak serasi dengan warna cat dan interiornya. Seorang gadis terbaring di sebuah ranjang yang cukup luas. Matanya sembab dengan sedikit bengkak di keduanya. Dipeluknya sebuah boneka beruang berwarna coklat muda pemberian dari seorang yang spesial di hatinya.Seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi khas wanita sosialita menghampiri gadis itu.“Mai, kok belum bangun, kamu gak ke kantor?” tanya wanita itu sembari mengusap kepala putrinya.Gadis itu menggeleng pelan.“Kamu sakit? Mama ada urusan ke Surabaya sama papa. Kamu istirahat aja, ya! Nanti mama suruh kakakmu datang ke sini,” ucap wanita yang bernama Regina, kemudian mengecup kening putrinya.Setelah wanita itu pergi, Maida bangun dan duduk di tepi ranjang. Rambutnya kusut dengan wajah yang tampak pucat.“Kamu tidak bisa melakukan ini padaku. Wanita kampung itu sama sekali tak pantas untukmu. Lihat saja apa yang akan aku lakukan untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku,” gumam Maida.-Bersambung-
“Jadi, siapa cewek yang tadi?” tanya Bian sambil tetap konsentrasi menyetir.“Kepo,” jawab Razi sekenanya.“Aaahhh ... gak asik, Lu!”Razi tersenyum puas. “Heh, playboy kaya lu gak cocok sama cewek kaya Hana. Lu liat dong penampilan dia! Pake jilbab gede, pake gamis, alim kaya gitu. Nah, elu?”“Oh, jadi namanya Hana.” Bian tersenyum. “Gue tuh bukan playboy. Gue cuma belum menemukan cinta sejati aja, jadi yaaa selama ini gue lagi dalam masa pencarian cinta sejati gitu lah pokoknya,” lanjutnya sambil terkekeh.Razi hanya geleng-geleng mendengarkan ocehan sahabatnya. Pandangan pemuda itu masih tertuju kepada kertas-kertas laporan di pangkuannya.Tring!Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.[Aku sakit, kamu bisa ke sini?]Sebuah pesan dari Maida.[Kerja]Balas Razi sing
Hana menepati janjinya untuk belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usianya yang baru sembilan belas tahun, dia memilih untuk berhenti kuliah yang baru dijalaninya selama dua semester. Dia ingin menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami juga ibu mertuanya.Nilai-nilai agama yang meresap dalam dirinya, 'memaksanya' untuk lebih mendahulukan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Meski memang hal tersebut sangat berat baginya. Meninggalkan keluarga, pendidikan, kampung halaman, semua dilakukan demi bisa berbakti kepada lelaki yang telah menghalalkannya.“Assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumusalam, Hana, kok lama?” tanya Bu Ratna saat menantunya sampai di rumah.“Maaf, Bu. Tadi temannya A Razi sakit,” jawab Hana sambil melepas jilbabnya. Udara di ibukota memang terasa begitu panas baginya, terlebih selama ini dia tinggal di daerah yang hawanya sejuk.“Sakit kenapa, Han?
Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”Maida semakin mengeratkan pelukannya.“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”Maida melepaskan pelukannya.Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Ta
Keterkejutan Hana belum usai, ribuan tanya berkecamuk dalam hatinya.“Maksud kamu apa?” tanya Hana dengan raut muka penuh tanya, matanya mulai menghangat.“Hana, ada tamu? Kok gak diajak masuk?” Bu Ratna berbicara dari dalam rumah, lalu menghampiri menantunya yang berdiri di depan pintu.“Loh, Neng Maida?” ujar Bu Ratna saat melihat gadis itu.Maida tersenyum. “Iya, Bu.”Hana tidak menyangka kalau mertuanya mengenal Maida. Dia semakin merasa tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Sudah lama ya? Sekarang Neng Maida tambah cantik. Hayuk masuk dulu,” ujar Bu Ratna ramah.“Iya , Bu, pengen sih ngobrol-ngobrol sama ibu lagi. Tapi sekarang Maida harus kerja, tadi kebetulan aja lewat sini jadi mampir.”“Kalau begitu kapan-kapan main ke sini, ya? Sudah nikah?”“Belum, Bu.&rd
Bisakah cinta sejati itu dikenali sejauh mana kesucian dan ketulusannya? Apakah cinta sejati itu berarti harus bisa menyatukan dua orang yang saling mencinta?Hidup manusia sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum manusia diciptakan. Dengan siapa dia berjodoh, dengan siapa cinta pada akhirnya berlabuh, pun sudah ada dalam suratan takdir. Terkadang, manusia menjadi tak sadar, juga tak mampu menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Terlebih dalam urusan cinta, sebagian manusia telah dibutakan olehnya.Dalam pepatah Arab dinyatakan : “Cintamu kepada sesuatu menjadikanmu buta dan tuli.”Ketika badai asmara yang menggelora tak lagi mampu dibendung, mata seolah tak mampu melihat mana yang baik dan buruk. Telinga menolak untuk mendengar nasihat yang benar. Dan hati tak lagi peduli bahwa akan ada orang lain yang mungkin tersakiti.Tampaknya, cinta itu telah membutakan mata dan hati Maida. Dia tak lagi peduli akan kon
Kedua lelaki itu menghampiri Hana.“Hana, bisa kita bicara sebentar?” ucap Pak Robi dengan tersenyum.Hana mengangguk. Mereka berjalan ke kantin dan memilih satu meja yang cukup sepi di belakang. Memang, saat itu bukan jadwal makan siang, jadi belum banyak pengunjung di kantin Rumah Sakit tersebut.Seorang pramusaji mengantarkan minuman untuk ketiganya. Hana sedikit gelisah, ada perasaan tak enak menjalari hatinya. Gerangan apa yang membuat pak Robi ingin bicara dengannya, Hana masih menerka.“Kamu menjenguk Maida?” tanya Pak Robi.Hana mengangguk pelan.Pak Robi tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lelaki yang duduk di sebelah lelaki paruh baya itu menatap Hana lekat, seolah sedang memindai wajah perempuan berjilbab ungu itu.“Baik, langsung aja ke permasalahannya ya Nak Hana.” Pak Robi berhenti sejenak, lalu menyeruput kopi yang dipesan. Seraut kekhawatiran tam
Keadaan Maida semakin membaik dan sudah bisa pulang. Setelah di rumah, perempuan berambut sebahu itu lebih sering diam di balkon atau tiduran di kamar. Tak ada keinginan untuknya keluar.“Mai!”Bian datang menjenguk, membawa sekotak coklat kesukaan sepupunya.Maida yang sedang duduk di balkon hanya menoleh Bian sekilas. Pemuda tinggi tegap itu menghampirinya, lantas memberikan coklat.“Gue belum boleh makan coklat,” ujar Maida, tapi tetap saja dia membuka kotak dan memeriksa isinya.“Halah, emangnya lu sakit apaan? Lu udah sehat?” Bian menempelkan telapak tangannya di kening Maida.Maida menepis tangan Bian. “Gue gak demam.”“Mai, lu kenapa sih bisa senekat itu?” tanya Bian seraya mengambil sebungkus coklat di tangan Maida dan memakannya.“Gue juga gak tahu.”“Masa gak tahu? Aneh, Lu!”
Apa yang dirasakan seorang istri tatkala mengetahui perasaan suaminya yang masih mengharapkan perempuan lain? Tentu perih. Itulah yang tengah dirasakan Hana sekarang. Dia berusaha menerjemahkan hatinya yang kian poranda. Dicobanya menepis segala lara, akan tetapi tak bisa. Kenyataan itu bagaikan sebuah pisau yang mengiris hati.Hana berpura-pura tidur tatkala terdengar Razi membuka pintu kamar. Tak lama, terdengar dengkuran halus dari suaminya. Perempuan pemilik mata teduh itu menatap lekat lelaki yang dicintainya. Mengetahui kenyataan tentang adanya wanita lain dihatinya, membuat Hana putus asa mempertahankan rasa. 'Haruskah aku menyerah?' batinnya.Pagi menjelang. Seperti biasa mereka sarapan bersama. Hana lebih sering memainkan sendoknya, tampaknya dia sedang tak berselera. Pikirannya masih tertuju pada apa yang diucapkan Razi semalam kepada Bian. Andai dia mendengarkan ucapan suaminya hingga selesai, mungkin dia tak akan sesedih ini.&ldquo