Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.
“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”
Maida semakin mengeratkan pelukannya.
“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”
Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”
Maida melepaskan pelukannya.
Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.
“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Tapi sekarang aku bukan Razi yang dulu lagi, sekarang aku sudah menikah, menjadi seorang suami. Aku berharap kita tetap berteman setelah ini. Maafkan aku, Mai.”
Razi melepaskan genggamannya dan meninggalkan Maida. Gadis itu hanya mematung melihat punggung lelaki yang dicintainya pergi.
Setelah Razi keluar, tak lama Bian masuk. Dilihatnya sepupunya yang masih berdiri dengan air mata yang bercucuran.
“Mai.” Bian memeluk Maida, berusaha menenangkan sepupunya.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu setiap orang ingin pergi lagi ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan, menghindari tindakan bodoh, atau sekedar mengenang masa yang dirindukan. Namun, Tuhan menciptakan waktu itu terus berjalan ke depan. Agar manusia bisa menggunakan waktu sebaik-sebaiknya, agar manusia bisa menemukan jawaban atas semua doanya, juga bisa jadi sebagai hukuman atas keegoisan yang pernah dilakukan.
“Gue gak akan menyerah,” Maida menatap wajah sepupunya.
“Mai! Lupakan Razi, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia.”
“Gak! Gue gak mungkin kalah dari wanita kampung itu." Maida berjalan menuju sofa dan menghempaskan bobot tubuhnya di sana.
“Mai.” Bian mendekat, lalu duduk di sebelahnya.
“Bian, lo mau bantuin gue kan?” tanya Maida penuh harap.
Bian benar-benar khawatir dengan sepupunya saat ini. Dia tahu benar bagaimana Maida jika sudah menginginkan sesuatu.
Bian menghela napas berat. "Mai, biarkan Razi dengan kehidupannya sekarang," bujuk Bian lembut.
“Enggak, Bian. Lo pikir gue pantas kalah dari wanita kampung itu?”
“Ini bukan perkara menang atau kalah, Mai. Sekarang Razi tak sendiri lagi, apa lu mau jadi perusak rumah tangga orang lain? Lu mau dipanggil pelakor?”Maida terdiam, dia mendengkus sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Lu gak mau kan dipanggil pelakor? Nanti orang bilang, Maida pelakor gitu. Emang lu mau?" tanya Bian dengan muka lucunya.
Maida mendengkus kemudian berdiri. “Gue gak peduli!” Gadis manja itu berlalu meninggalkan Bian ke luar.
●●●Waktu kepulangan pun tiba, seperti biasa Razi membereskan berkas-berkas laporan yang setiap hari menjadi santapannya di kantor.
“Bisakah kita pergi?” ajak Maida yang membuat Razi sedikit kaget karena sedang fokus beres-beres.
“Maaf, aku gak bisa,” jawab Razi tanpa menoleh sedikit pun.
“Untuk terakhir kalinya, ya?” Maida memaksa.
Bian yang melihat tingkah sepupunya hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Tidak, aku ada urusan,” ujar Razi berusaha menolak ajakan Maida.
“Oke kalo sore ini kamu gak bisa, nanti malam aku hubungi lagi ya.” Maida beranjak meninggalkan Razi dengan perasaan kesal.
●●●●“Assalamu'alaikum.”
“W*'alaikumussalam.” Seperti biasa Hana menyambut Razi dengan senyum manisnya. Setelah mencium tangan suaminya, dia bergegas mengambilkan minum.
“Capek?” tanya Hana seraya menyodorkan segelas air putih.
“Iya, tapi setelah lihat kamu capeknya hilang,” goda Razi, yang membuat pipi Hana bersemu merah.
“Ibu mana?”
“Ada di kamar, katanya punggungnya sakit. Sana dilihat dulu.”
Razi pun masuk ke kamar ibunya untuk melihat keadaannya.
Razi berusaha untuk berubah. Dia sudah bertekad untuk melupakan Maida dan berusaha mencintai Hana. Meski mungkin itu akan terasa sulit baginya.
Lelaki pemilik wajah rupawan itu baru saja pulang dari masjid setelah salat isya. Setelah berganti pakaian, dirinya menghampiri Hana yang tengah bermain ponsel di ranjang.
“Lihat apa? Serius banget,” tanya Razi.
“Ini, bagus banget kan?” Hana menunjukkan foto-foto pemandangan indah di Switzerland.
“Apa kamu mau bulan madu ke sana?”
“Ya enggak juga, ke luar negeri kan pasti mahal biayanya. Tapi ya, pengen sih ke sana. Tapi, kalo ada uangnya lebih baik buat Haji atau Umroh.”
“Kamu kebanyakan tapinya,” bisik Razi di telinga Hana. Hana tersenyum. Tak bisa dipungkiri, senyum Hana memang mampu menghipnotis dirinya. Keduanya saling memandang, dan semakin dekat hingga bisa saling merasakan napas yang berembus. Kemudian Razi mengecup kening istrinya lembut.
“Jalan-jalan, yuk!” ajak Razi.
“Ke mana?”
“Ke mana aja, keliling-keliling, muterin kota Jakarta kalo perlu.”
Hana mengangguk senang. "Hana ganti baju dulu, ya.” Wanita pemilik senyum manis itu dengan riang memilih pakaian di lemari.
Tring!
Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.
[Sekarang aku ada di dekat sekolah kita. Aku tunggu!]
Sebuah pesan dari Maida.
Razi bimbang harus melakukan apa.
“Dari siapa, A?" tanya Hana. Dirinya sudah selesai bersiap.
“Teman.” Razi ragu apakah dirinya tak perlu menemui Maida. Namun, dirinya tahu betul bagaimana sipat gadis itu. Maida tidak akan beranjak dari sana jika dirinya belum menemuinya.
“Aku pergi dulu, ya. Sebentar aja. Habis ini kita jalan-jalannya.” Razi mengecup kening Hana singkat, lalu menyambar jaket dan kunci motor.
Hana harus menelan kekecewaan. Padahal dirinya sudah bersiap, dan begitu bersemangat untuk pergi jalan-jalan.
Razi sampai di tempat Maida berada. Gadis itu terduduk memeluk lutut di bawah pohon dekat tembok tinggi sekolah mereka saat SMA. Maida yang menyadari kehadiran Razi tersenyum menyambut lelaki yang berjalan ke arahnya.
“Kamu lagi apa di sini malam-malam?” Razi melepaskan jaket dan memakaikannya kepada Maida yang hanya memakai dress selutut tanpa lengan.
“Lihat! Kamu ingat ini kan? Dulu kita mengukir ini dan berjanji akan selalu bersama.” Maida menunjukkan ukiran nama mereka berdua yang disatukan oleh gambar berbentuk hati di batang pohon yang menaungi keduanya.
Razi mengangguk. Tentu saja dia masih ingat, karena yang mengukir nama itu adalah dirinya saat acara perpisahan sekolah. Setelah itu mereka berpisah karena Maida melanjutkan kuliah di luar negeri.
Razi duduk di sebelah gadis itu. Matanya lurus menatap jalan yang dilalui banyak kendaraan.
“Tak bisakah kamu menepati janji tujuh tahun yang lalu?” tanya Maida dengan suara parau.
“Aku berusaha menepati janji itu, tapi kemudian kamu yang mematahkannya,” timpal Razi tanpa menoleh kepada gadis di sebelahnya.
Maida menangis sesenggukan. Penyesalan semakin menyeruak memenuhi hatinya.
“Jangan menangis! Kamu cantik, baik, kamu tidak akan kesulitan mencari pendamping hidup.”
“Tapi yang aku mau cuma kamu,” bisik Maida.
“Aku cuma lelaki biasa, Mai. Aku pun tak bisa menepati janji tujuh tahun lalu. Jadi, untuk apa kamu mengharapkan lelaki sepertiku?”
Maida semakin tenggelam dalam kesedihan.
“Temani aku di sini dulu, ya,” pinta Maida saat Razi berpamitan untuk pulang.
●●●Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Hana masih menunggu Razi. Sesekali melihat jendela berharap saat membuka tirai, suaminya sudah ada di sana. Sejam berlalu, deru motor Razi membangunkan Hana yang tertidur di sofa. Buru-buru dia membuka pintu.
“Loh, A, jaketnya mana?” tanya Hana yang melihat Razi pulang tanpa memakai jaket.
“Oh iya, tadi ketinggalan.” Razi melihat Hana masih memakai pakaian yang tadi akan dipakai jalan-jalan. “Kita mau jalan-jalan sekarang?” tawar Razi merasa bersalah meninggalkan Hana.
“Gak usah, kapan-kapan aja ini udah kemaleman. Tadi Hana ketiduran jadi belum sempat ganti baju.”
Razi tersenyum. “Ya sudah, kita tidur aja.”
●●●●
Cahaya mentari mengintip di balik jendela. Sejak pagi sekali Hana sudah masak dan beres-beres rumah. Dia memang sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sejak kecil.
“Bu, Razi berangkat dulu ya,” ucap Razi, lalu mencium punggung tangan ibunya.
“Hati-hati ya, nak. Jangan ngebut-ngebut!”
“Iya, Bu.”
Razi menuju luar diikuti Hana dari belakang.
“Berangkat dulu, ya.” Dikecupnya kening sang istri.
Hana tersipu, ini adalah pertama kalinya Razi mengecup keningnya sebelum berangkat kerja.
“Hati-hati.” Hana mencium punggung tangan suaminya.
“Assalamu'alaikum.”
“W*'alaikumussalam.”
Setelah Razi berangkat, Hana kembali masuk untuk membereskan bekas sarapan.
Tak lama, terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Hana meninggalkan pekerjaannya lalu bergegas membuka pintu.
Tampak sesosok wanita berdiri di depan pintu.
“Maida,” bisik Hana.
“Hai! hmm ... Hana. Ini, semalam ketinggalan.” Maida menyodorkan sebuah paper bag.
“Apa ini?” tanya Hana penasaran.
“Buka aja!” perintah Maida diiringi senyuman.
Hana mengeluarkan isi dari paper bag yang diberikan Maida. Itu adalah jaket Razi. Hana berusaha untuk tenang setelah mengetahui isinya.
“Kenapa diantarkan ke sini, bukankah kalian satu kantor?”
“Ya benar, aku antarkan ke sini barangkali kamu ingin tahu semalam Razi bersama siapa.”
Maida sengaja ingin membuat Hana cemburu dan kesal, dia ingin melihat bagaimana reaksi Hana setelah tahu suaminya pergi bersama dirinya.
Tak dipungkiri, Hana memang begitu kesal dan cemburu, ada rasa panas menjalari hatinya. Tapi dia berusaha untuk menahannya.
Hana tersenyum. “Kamu tahu kalau kami sudah menikah, tapi kenapa kamu berusaha menggodanya. Apakah kamu ingin menjadi orang ketiga di antara kami?”
Maida tertawa mendengar perkataan Hana.
“Orang ketiga? Heh, Hana, kamu ini tidak tahu atau memang kamu ini bodoh? Bertahun-tahun Razi memiliki hubungan denganku, lalu tiba-tiba saja dia menikah denganmu. Kamu bilang aku orang ketiga? Justru kamu yang orang ketiga!” Maida mendorong dada Hana dengan telunjuknya.
Hana terkejut mendengar perkataan wanita yang berdiri di depannya. selama ini dia memang tidak tahu mengenai hubungan Razi dengan Maida
Keterkejutan Hana belum usai, ribuan tanya berkecamuk dalam hatinya.“Maksud kamu apa?” tanya Hana dengan raut muka penuh tanya, matanya mulai menghangat.“Hana, ada tamu? Kok gak diajak masuk?” Bu Ratna berbicara dari dalam rumah, lalu menghampiri menantunya yang berdiri di depan pintu.“Loh, Neng Maida?” ujar Bu Ratna saat melihat gadis itu.Maida tersenyum. “Iya, Bu.”Hana tidak menyangka kalau mertuanya mengenal Maida. Dia semakin merasa tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Sudah lama ya? Sekarang Neng Maida tambah cantik. Hayuk masuk dulu,” ujar Bu Ratna ramah.“Iya , Bu, pengen sih ngobrol-ngobrol sama ibu lagi. Tapi sekarang Maida harus kerja, tadi kebetulan aja lewat sini jadi mampir.”“Kalau begitu kapan-kapan main ke sini, ya? Sudah nikah?”“Belum, Bu.&rd
Bisakah cinta sejati itu dikenali sejauh mana kesucian dan ketulusannya? Apakah cinta sejati itu berarti harus bisa menyatukan dua orang yang saling mencinta?Hidup manusia sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum manusia diciptakan. Dengan siapa dia berjodoh, dengan siapa cinta pada akhirnya berlabuh, pun sudah ada dalam suratan takdir. Terkadang, manusia menjadi tak sadar, juga tak mampu menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Terlebih dalam urusan cinta, sebagian manusia telah dibutakan olehnya.Dalam pepatah Arab dinyatakan : “Cintamu kepada sesuatu menjadikanmu buta dan tuli.”Ketika badai asmara yang menggelora tak lagi mampu dibendung, mata seolah tak mampu melihat mana yang baik dan buruk. Telinga menolak untuk mendengar nasihat yang benar. Dan hati tak lagi peduli bahwa akan ada orang lain yang mungkin tersakiti.Tampaknya, cinta itu telah membutakan mata dan hati Maida. Dia tak lagi peduli akan kon
Kedua lelaki itu menghampiri Hana.“Hana, bisa kita bicara sebentar?” ucap Pak Robi dengan tersenyum.Hana mengangguk. Mereka berjalan ke kantin dan memilih satu meja yang cukup sepi di belakang. Memang, saat itu bukan jadwal makan siang, jadi belum banyak pengunjung di kantin Rumah Sakit tersebut.Seorang pramusaji mengantarkan minuman untuk ketiganya. Hana sedikit gelisah, ada perasaan tak enak menjalari hatinya. Gerangan apa yang membuat pak Robi ingin bicara dengannya, Hana masih menerka.“Kamu menjenguk Maida?” tanya Pak Robi.Hana mengangguk pelan.Pak Robi tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lelaki yang duduk di sebelah lelaki paruh baya itu menatap Hana lekat, seolah sedang memindai wajah perempuan berjilbab ungu itu.“Baik, langsung aja ke permasalahannya ya Nak Hana.” Pak Robi berhenti sejenak, lalu menyeruput kopi yang dipesan. Seraut kekhawatiran tam
Keadaan Maida semakin membaik dan sudah bisa pulang. Setelah di rumah, perempuan berambut sebahu itu lebih sering diam di balkon atau tiduran di kamar. Tak ada keinginan untuknya keluar.“Mai!”Bian datang menjenguk, membawa sekotak coklat kesukaan sepupunya.Maida yang sedang duduk di balkon hanya menoleh Bian sekilas. Pemuda tinggi tegap itu menghampirinya, lantas memberikan coklat.“Gue belum boleh makan coklat,” ujar Maida, tapi tetap saja dia membuka kotak dan memeriksa isinya.“Halah, emangnya lu sakit apaan? Lu udah sehat?” Bian menempelkan telapak tangannya di kening Maida.Maida menepis tangan Bian. “Gue gak demam.”“Mai, lu kenapa sih bisa senekat itu?” tanya Bian seraya mengambil sebungkus coklat di tangan Maida dan memakannya.“Gue juga gak tahu.”“Masa gak tahu? Aneh, Lu!”
Apa yang dirasakan seorang istri tatkala mengetahui perasaan suaminya yang masih mengharapkan perempuan lain? Tentu perih. Itulah yang tengah dirasakan Hana sekarang. Dia berusaha menerjemahkan hatinya yang kian poranda. Dicobanya menepis segala lara, akan tetapi tak bisa. Kenyataan itu bagaikan sebuah pisau yang mengiris hati.Hana berpura-pura tidur tatkala terdengar Razi membuka pintu kamar. Tak lama, terdengar dengkuran halus dari suaminya. Perempuan pemilik mata teduh itu menatap lekat lelaki yang dicintainya. Mengetahui kenyataan tentang adanya wanita lain dihatinya, membuat Hana putus asa mempertahankan rasa. 'Haruskah aku menyerah?' batinnya.Pagi menjelang. Seperti biasa mereka sarapan bersama. Hana lebih sering memainkan sendoknya, tampaknya dia sedang tak berselera. Pikirannya masih tertuju pada apa yang diucapkan Razi semalam kepada Bian. Andai dia mendengarkan ucapan suaminya hingga selesai, mungkin dia tak akan sesedih ini.&ldquo
Api mulai menjalar membakar dinding kamar. Beruntung, orang itu keburu ketahuan saat menyiramkan bensin, sehingga dia tidak sempat menyiramkan ke bagian rumah yang lain.“Hana.” Razi teringat istrinya masih di kamar, dia berlari mencari Hana tapi tak menemukannya.“Hana!” teriak Razi panik.“Hana di kamar ibu, A.” Rupanya Hana sudah bangun dan berusaha menyelamatkan mertuanya.Api sudah menjalar ke jendela. Kacanya pecah, dan api mulai membakar tirai, lalu merambat ke atap.Razi membawa istri dan ibunya keluar. Api begitu cepat menyebar hingga sudah membakar separuh kamar. Razi menyemprotkan air dengan selang dari keran yang berada di luar. Para tetangga pun berdatangan untuk membantu menghentikan amukan si jago merah. Api pun padam tanpa harus memanggil pemadam kebakaran.Tampak sebagian dinding kamar yang menghitam, dengan jendela yang tak bersisa.“
Cinta, sebuah kata singkat yang abstrak dalam kehidupan manusia. Katanya, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Ya, begitulah yang dikatakan para pencinta. Lalu, cinta seperti apakah yang mampu membutakan mata dan mengobrak abrik hati? ●●● “Razi,” ucap Maida kala pintu terbuka. Matanya sembab, penampilannya berantakan. “Siapa, Han?” Razi menghampiri Hana yang berdiri di depan pintu. Maida menoleh kepada Razi lalu melangkah ke arahnya. “Razi, kenapa kamu melakukan ini padaku?” Maida tak lagi bisa menahan perasaannya. Tubuhnya hampir ambruk jika Razi tak menahannya. Maida menangis, meraung tak bisa menerima pilihan Razi. Hana hanya terdiam menyaksikan ulah seorang wanita di hadapannya. “Ayo masuk dulu, malu dilihat tetangga,” ujar Hana lalu masuk terlebih dahulu ke rumah. Razi mendudukkan Maida di sofa, sedang Hana pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. “Mai, ada apa sama kamu?”
Hana memerhatikan sepatu itu, dia membawanya ke rak sepatu untuk mencocokkannya dengan yang lain, tetapi tak ada yang sama.“Ini sepatu siapa?” gumam Hana, lalu meletakan sepatu itu di rak paling bawah.●●●Maida pulang dengan perasaan puas. Dia yakin pasti saat ini Hana tengah menangis karena kata-katanya. Wanita itu bersenandung di dalam mobil, sembari memutar lagu kesukaannya.Mobil Mini Cooper berwarna kuning miliknya memasuki halaman rumah yang begitu luas. Bahkan jika dibandingkan dengan rumah Razi, halaman rumahnya tetap lebih besar. Dia keluar dari mobil, dilihatnya sang mama sedang menunggu di depan pintu.“Sayang, kamu dari mana? Katanya kamu gak ada di kantor, mama hubungi juga gak bisa,” ujar Bu Regina khawatir.“Maida gak apa-apa. Papa mana?”“Papa belum pulang.”“Mas Andrean?”“Ada di kama