ホーム / Romansa / Antara Dua Hati / Bab 6 : Tak Ingin Kalah

共有

Bab 6 : Tak Ingin Kalah

作者: Latifah Tee
last update 最終更新日: 2021-11-25 21:17:39

Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.

“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”

Maida semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”

Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”

Maida melepaskan pelukannya.

Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.

“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Tapi sekarang aku bukan Razi yang dulu lagi, sekarang aku sudah menikah, menjadi seorang suami. Aku berharap kita tetap berteman setelah ini. Maafkan aku, Mai.”

Razi melepaskan genggamannya dan meninggalkan Maida. Gadis itu hanya mematung melihat punggung lelaki yang dicintainya pergi.

Setelah Razi keluar, tak lama Bian masuk. Dilihatnya sepupunya yang masih berdiri dengan air mata yang bercucuran.

“Mai.” Bian memeluk Maida, berusaha menenangkan sepupunya.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu setiap orang ingin pergi lagi ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan, menghindari tindakan bodoh, atau sekedar mengenang masa yang dirindukan. Namun, Tuhan menciptakan waktu itu terus berjalan ke depan. Agar manusia bisa menggunakan waktu sebaik-sebaiknya, agar manusia bisa menemukan jawaban atas semua doanya, juga bisa jadi sebagai hukuman atas keegoisan yang pernah dilakukan.

“Gue gak akan menyerah,” Maida menatap wajah sepupunya.

“Mai! Lupakan Razi, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia.”

“Gak! Gue gak mungkin kalah dari wanita kampung itu." Maida berjalan menuju sofa dan menghempaskan bobot tubuhnya di sana.

“Mai.” Bian mendekat, lalu duduk di sebelahnya.

“Bian, lo mau bantuin gue kan?” tanya Maida penuh harap.

Bian benar-benar khawatir dengan sepupunya saat ini. Dia tahu benar bagaimana Maida jika sudah menginginkan sesuatu.

Bian menghela napas berat. "Mai, biarkan Razi dengan kehidupannya sekarang," bujuk Bian lembut.

“Enggak, Bian. Lo pikir gue pantas kalah dari wanita kampung itu?”

“Ini bukan perkara menang atau kalah, Mai. Sekarang Razi tak sendiri lagi, apa lu mau jadi perusak rumah tangga orang lain? Lu mau dipanggil pelakor?”

Maida terdiam, dia mendengkus sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Lu gak mau kan dipanggil pelakor? Nanti orang bilang, Maida pelakor gitu. Emang lu mau?" tanya Bian dengan muka lucunya.

Maida mendengkus kemudian berdiri. “Gue gak peduli!” Gadis manja itu berlalu meninggalkan Bian ke luar. 

●●● 

Waktu kepulangan pun tiba, seperti biasa Razi membereskan berkas-berkas laporan yang setiap hari menjadi santapannya di kantor.

“Bisakah kita pergi?” ajak Maida yang membuat Razi sedikit kaget karena sedang fokus beres-beres.

“Maaf, aku gak bisa,” jawab Razi tanpa menoleh sedikit pun.

“Untuk terakhir kalinya, ya?” Maida memaksa.

Bian yang melihat tingkah sepupunya hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Tidak, aku ada urusan,” ujar Razi berusaha menolak ajakan Maida.

“Oke kalo sore ini kamu gak bisa, nanti malam aku hubungi lagi ya.” Maida beranjak meninggalkan Razi dengan perasaan kesal. 

●●●● 

“Assalamu'alaikum.”

“W*'alaikumussalam.” Seperti biasa Hana menyambut Razi dengan senyum manisnya. Setelah mencium tangan suaminya, dia bergegas mengambilkan minum.

“Capek?” tanya Hana seraya menyodorkan segelas air putih.

“Iya, tapi setelah lihat kamu capeknya hilang,” goda Razi, yang membuat pipi Hana bersemu merah.

“Ibu mana?”

“Ada di kamar, katanya punggungnya sakit. Sana dilihat dulu.”

Razi pun masuk ke kamar ibunya untuk melihat keadaannya.

Razi berusaha untuk berubah. Dia sudah bertekad untuk melupakan Maida dan berusaha mencintai Hana. Meski mungkin itu akan terasa sulit baginya.

Lelaki pemilik wajah rupawan itu baru saja pulang dari masjid setelah salat isya. Setelah berganti pakaian, dirinya menghampiri Hana yang tengah bermain ponsel di ranjang.

“Lihat apa? Serius banget,” tanya Razi. 

“Ini, bagus banget kan?” Hana menunjukkan foto-foto pemandangan indah di Switzerland.

“Apa kamu mau bulan madu ke sana?”

“Ya enggak juga, ke luar negeri kan pasti mahal biayanya. Tapi ya, pengen sih ke sana. Tapi, kalo ada uangnya lebih baik buat Haji atau Umroh.”

“Kamu kebanyakan tapinya,” bisik Razi di telinga Hana. Hana tersenyum. Tak bisa dipungkiri, senyum Hana memang mampu menghipnotis dirinya. Keduanya saling memandang, dan semakin dekat hingga bisa saling merasakan napas yang berembus. Kemudian Razi mengecup kening istrinya lembut.

“Jalan-jalan, yuk!” ajak Razi.

“Ke mana?”

“Ke mana aja, keliling-keliling, muterin kota Jakarta kalo perlu.”

Hana mengangguk senang. "Hana ganti baju dulu, ya.” Wanita pemilik senyum manis itu dengan riang memilih pakaian di lemari.

Tring!

Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.

[Sekarang aku ada di dekat sekolah kita. Aku tunggu!]

Sebuah pesan dari Maida.

Razi bimbang harus melakukan apa.

“Dari siapa, A?" tanya Hana. Dirinya sudah selesai bersiap.

“Teman.” Razi ragu apakah dirinya tak perlu menemui Maida. Namun, dirinya tahu betul bagaimana sipat gadis itu. Maida tidak akan beranjak dari sana jika dirinya belum menemuinya.

“Aku pergi dulu, ya. Sebentar aja. Habis ini kita jalan-jalannya.” Razi mengecup kening Hana singkat, lalu menyambar jaket dan kunci motor.

Hana harus menelan kekecewaan. Padahal dirinya sudah bersiap, dan begitu bersemangat untuk pergi jalan-jalan.

Razi sampai di tempat Maida berada. Gadis itu terduduk memeluk lutut di bawah pohon dekat tembok tinggi sekolah mereka saat SMA. Maida yang menyadari kehadiran Razi tersenyum menyambut lelaki yang berjalan ke arahnya.

“Kamu lagi apa di sini malam-malam?” Razi melepaskan jaket dan memakaikannya kepada Maida yang hanya memakai dress selutut tanpa lengan.

“Lihat! Kamu ingat ini kan? Dulu kita mengukir ini dan berjanji akan selalu bersama.” Maida menunjukkan ukiran nama mereka berdua yang disatukan oleh gambar berbentuk hati di batang pohon yang menaungi keduanya.

Razi mengangguk. Tentu saja dia masih ingat, karena yang mengukir nama itu adalah dirinya saat acara perpisahan sekolah. Setelah itu mereka berpisah karena Maida melanjutkan kuliah di luar negeri.

Razi duduk di sebelah gadis itu. Matanya lurus menatap jalan yang dilalui banyak kendaraan.

“Tak bisakah kamu menepati janji tujuh tahun yang lalu?” tanya Maida dengan suara parau.

“Aku berusaha menepati janji itu, tapi kemudian kamu yang mematahkannya,” timpal Razi tanpa menoleh kepada gadis di sebelahnya.

Maida menangis sesenggukan. Penyesalan semakin menyeruak memenuhi hatinya.

“Jangan menangis! Kamu cantik, baik, kamu tidak akan kesulitan mencari pendamping hidup.”

“Tapi yang aku mau cuma kamu,” bisik Maida.

“Aku cuma lelaki biasa, Mai. Aku pun tak bisa menepati janji tujuh tahun lalu. Jadi, untuk apa kamu mengharapkan lelaki sepertiku?”

Maida semakin tenggelam dalam kesedihan.

“Temani aku di sini dulu, ya,” pinta Maida saat Razi berpamitan untuk pulang.

●●● 

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Hana masih menunggu Razi. Sesekali melihat jendela berharap saat membuka tirai, suaminya sudah ada di sana. Sejam berlalu, deru motor Razi membangunkan Hana yang tertidur di sofa. Buru-buru dia membuka pintu.

“Loh, A, jaketnya mana?” tanya Hana yang melihat Razi pulang tanpa memakai jaket.

“Oh iya, tadi ketinggalan.” Razi melihat Hana masih memakai pakaian yang tadi akan dipakai jalan-jalan. “Kita mau jalan-jalan sekarang?” tawar Razi merasa bersalah meninggalkan Hana.

“Gak usah, kapan-kapan aja ini udah kemaleman. Tadi Hana ketiduran jadi belum sempat ganti baju.”

Razi tersenyum. “Ya sudah, kita tidur aja.”

●●●● 

Cahaya mentari mengintip di balik jendela. Sejak pagi sekali Hana sudah masak dan beres-beres rumah. Dia memang sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sejak kecil.

“Bu, Razi berangkat dulu ya,” ucap Razi, lalu mencium punggung tangan ibunya.

“Hati-hati ya, nak. Jangan ngebut-ngebut!”

“Iya, Bu.”

Razi menuju luar diikuti Hana dari belakang.

“Berangkat dulu, ya.” Dikecupnya kening sang istri.

Hana tersipu, ini adalah pertama kalinya Razi mengecup keningnya sebelum berangkat kerja.

“Hati-hati.” Hana mencium punggung tangan suaminya.

“Assalamu'alaikum.”

“W*'alaikumussalam.”

Setelah Razi berangkat, Hana kembali masuk untuk membereskan bekas sarapan.

Tak lama, terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Hana meninggalkan pekerjaannya lalu bergegas membuka pintu.

Tampak sesosok wanita berdiri di depan pintu.

“Maida,” bisik Hana.

“Hai! hmm ... Hana. Ini, semalam ketinggalan.” Maida menyodorkan sebuah paper bag.

“Apa ini?” tanya Hana penasaran.

“Buka aja!” perintah Maida diiringi senyuman.

Hana mengeluarkan isi dari paper bag yang diberikan Maida. Itu adalah jaket Razi. Hana berusaha untuk tenang setelah mengetahui isinya.

“Kenapa diantarkan ke sini, bukankah kalian satu kantor?”

“Ya benar, aku antarkan ke sini barangkali kamu ingin tahu semalam Razi bersama siapa.”

Maida sengaja ingin membuat Hana cemburu dan kesal, dia ingin melihat bagaimana reaksi Hana setelah tahu suaminya pergi bersama dirinya.

Tak dipungkiri, Hana memang begitu kesal dan cemburu, ada rasa panas menjalari hatinya. Tapi dia berusaha untuk menahannya.

Hana tersenyum. “Kamu tahu kalau kami sudah menikah, tapi kenapa kamu berusaha menggodanya. Apakah kamu ingin menjadi orang ketiga di antara kami?”

Maida tertawa mendengar perkataan Hana.

“Orang ketiga? Heh, Hana, kamu ini tidak tahu atau memang kamu ini bodoh? Bertahun-tahun Razi memiliki hubungan denganku, lalu tiba-tiba saja dia menikah denganmu. Kamu bilang aku orang ketiga? Justru kamu yang orang ketiga!” Maida mendorong dada Hana dengan telunjuknya.

Hana terkejut mendengar perkataan wanita yang berdiri di depannya. selama ini dia memang tidak tahu mengenai hubungan Razi dengan Maida

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Antara Dua Hati   Bab 36 : Berlabuh Kepada Orang Yang Tepat

    Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.

  • Antara Dua Hati   Bab 35 : Selamat Tinggal Dunia

    Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap

  • Antara Dua Hati   Bab 34 : Pengorbanan

    “Kita ke mana?” tanya Maida.“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”

  • Antara Dua Hati   Tsabit Diculik!

    Ponsel Maida bergetar. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengambil gawai dan membukanya. Seketika matanya terbuka lebar, dadanya naik turun menahan amarah.“Kurang ajar kalian!”Maida menutup pesan yang memperlihatkan sebuah foto Razi dan Hana tengah duduk berdua.Perempuan itu mencoba menghubungi Razi, tetapi tak aktif. Maida memejamkan mata, baru saja dia ingin berubah menjadi lebih baik, mencoba membuka hati bagi Tsabit, tetapi melihat foto itu hatinya kembali memanas. Dia tak lagi bisa bersabar. Dirinya bermaksud untuk menyusul suaminya.●●●Razi menghela napas, tak menyangka bahwa perkataannya beberapa tahun yang lalu begitu membekas di hati Hana. Segurat penyesalan kembali hadir menyelusup hati.“Hana,” panggil lelaki itu sambil mengetuk pintu.Tak lama, Hana membuka pintu.“Hana ... sebena

  • Antara Dua Hati   Bab 32 : Rencana Lamaran

    Rinai hujan mendentum bumi. Gemercik airnya terasa merdu berpadu dengan tarian dedaunan yang tertimpa tetesnya. Seorang perempuan tengah menikmati indahnya rintikan air kali ini dari sudut jendela. Sesekali, ia mengulurkan tangannya agar terbasahi sang hujan.Secangkir teh hangat menemaninya menikmati sore yang cukup dingin kala itu. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya bersama kebimbangan akan sebuah pilihan.“Mantapkan hatimu, istikharah lebih baik,” ucap wanita di seberang meja.“Bagaimana mas Bian menurut Bibi?”“Dia baik, tampaknya juga sayang sama Tsabit.”Perempuan itu kembali menarik napas. ‘Haruskah aku menerimanya?’ tanyanya dalam hati.●●●Razi kembali melihat sosok lelaki yang saat itu dilihatnya tengah berbicara dengan Andrean di sebuah jalan. Lelaki itu melirik ke arah Razi. Tak lama, lelaki itu pun pergi.Razi melaju

  • Antara Dua Hati   Bab 31 : Tak Rela Dilamar Orang

    Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status