Share

Bab 6 : Tak Ingin Kalah

Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.

“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”

Maida semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”

Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”

Maida melepaskan pelukannya.

Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.

“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Tapi sekarang aku bukan Razi yang dulu lagi, sekarang aku sudah menikah, menjadi seorang suami. Aku berharap kita tetap berteman setelah ini. Maafkan aku, Mai.”

Razi melepaskan genggamannya dan meninggalkan Maida. Gadis itu hanya mematung melihat punggung lelaki yang dicintainya pergi.

Setelah Razi keluar, tak lama Bian masuk. Dilihatnya sepupunya yang masih berdiri dengan air mata yang bercucuran.

“Mai.” Bian memeluk Maida, berusaha menenangkan sepupunya.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu setiap orang ingin pergi lagi ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan, menghindari tindakan bodoh, atau sekedar mengenang masa yang dirindukan. Namun, Tuhan menciptakan waktu itu terus berjalan ke depan. Agar manusia bisa menggunakan waktu sebaik-sebaiknya, agar manusia bisa menemukan jawaban atas semua doanya, juga bisa jadi sebagai hukuman atas keegoisan yang pernah dilakukan.

“Gue gak akan menyerah,” Maida menatap wajah sepupunya.

“Mai! Lupakan Razi, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia.”

“Gak! Gue gak mungkin kalah dari wanita kampung itu." Maida berjalan menuju sofa dan menghempaskan bobot tubuhnya di sana.

“Mai.” Bian mendekat, lalu duduk di sebelahnya.

“Bian, lo mau bantuin gue kan?” tanya Maida penuh harap.

Bian benar-benar khawatir dengan sepupunya saat ini. Dia tahu benar bagaimana Maida jika sudah menginginkan sesuatu.

Bian menghela napas berat. "Mai, biarkan Razi dengan kehidupannya sekarang," bujuk Bian lembut.

“Enggak, Bian. Lo pikir gue pantas kalah dari wanita kampung itu?”

“Ini bukan perkara menang atau kalah, Mai. Sekarang Razi tak sendiri lagi, apa lu mau jadi perusak rumah tangga orang lain? Lu mau dipanggil pelakor?”

Maida terdiam, dia mendengkus sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Lu gak mau kan dipanggil pelakor? Nanti orang bilang, Maida pelakor gitu. Emang lu mau?" tanya Bian dengan muka lucunya.

Maida mendengkus kemudian berdiri. “Gue gak peduli!” Gadis manja itu berlalu meninggalkan Bian ke luar. 

●●● 

Waktu kepulangan pun tiba, seperti biasa Razi membereskan berkas-berkas laporan yang setiap hari menjadi santapannya di kantor.

“Bisakah kita pergi?” ajak Maida yang membuat Razi sedikit kaget karena sedang fokus beres-beres.

“Maaf, aku gak bisa,” jawab Razi tanpa menoleh sedikit pun.

“Untuk terakhir kalinya, ya?” Maida memaksa.

Bian yang melihat tingkah sepupunya hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Tidak, aku ada urusan,” ujar Razi berusaha menolak ajakan Maida.

“Oke kalo sore ini kamu gak bisa, nanti malam aku hubungi lagi ya.” Maida beranjak meninggalkan Razi dengan perasaan kesal. 

●●●● 

“Assalamu'alaikum.”

“W*'alaikumussalam.” Seperti biasa Hana menyambut Razi dengan senyum manisnya. Setelah mencium tangan suaminya, dia bergegas mengambilkan minum.

“Capek?” tanya Hana seraya menyodorkan segelas air putih.

“Iya, tapi setelah lihat kamu capeknya hilang,” goda Razi, yang membuat pipi Hana bersemu merah.

“Ibu mana?”

“Ada di kamar, katanya punggungnya sakit. Sana dilihat dulu.”

Razi pun masuk ke kamar ibunya untuk melihat keadaannya.

Razi berusaha untuk berubah. Dia sudah bertekad untuk melupakan Maida dan berusaha mencintai Hana. Meski mungkin itu akan terasa sulit baginya.

Lelaki pemilik wajah rupawan itu baru saja pulang dari masjid setelah salat isya. Setelah berganti pakaian, dirinya menghampiri Hana yang tengah bermain ponsel di ranjang.

“Lihat apa? Serius banget,” tanya Razi. 

“Ini, bagus banget kan?” Hana menunjukkan foto-foto pemandangan indah di Switzerland.

“Apa kamu mau bulan madu ke sana?”

“Ya enggak juga, ke luar negeri kan pasti mahal biayanya. Tapi ya, pengen sih ke sana. Tapi, kalo ada uangnya lebih baik buat Haji atau Umroh.”

“Kamu kebanyakan tapinya,” bisik Razi di telinga Hana. Hana tersenyum. Tak bisa dipungkiri, senyum Hana memang mampu menghipnotis dirinya. Keduanya saling memandang, dan semakin dekat hingga bisa saling merasakan napas yang berembus. Kemudian Razi mengecup kening istrinya lembut.

“Jalan-jalan, yuk!” ajak Razi.

“Ke mana?”

“Ke mana aja, keliling-keliling, muterin kota Jakarta kalo perlu.”

Hana mengangguk senang. "Hana ganti baju dulu, ya.” Wanita pemilik senyum manis itu dengan riang memilih pakaian di lemari.

Tring!

Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.

[Sekarang aku ada di dekat sekolah kita. Aku tunggu!]

Sebuah pesan dari Maida.

Razi bimbang harus melakukan apa.

“Dari siapa, A?" tanya Hana. Dirinya sudah selesai bersiap.

“Teman.” Razi ragu apakah dirinya tak perlu menemui Maida. Namun, dirinya tahu betul bagaimana sipat gadis itu. Maida tidak akan beranjak dari sana jika dirinya belum menemuinya.

“Aku pergi dulu, ya. Sebentar aja. Habis ini kita jalan-jalannya.” Razi mengecup kening Hana singkat, lalu menyambar jaket dan kunci motor.

Hana harus menelan kekecewaan. Padahal dirinya sudah bersiap, dan begitu bersemangat untuk pergi jalan-jalan.

Razi sampai di tempat Maida berada. Gadis itu terduduk memeluk lutut di bawah pohon dekat tembok tinggi sekolah mereka saat SMA. Maida yang menyadari kehadiran Razi tersenyum menyambut lelaki yang berjalan ke arahnya.

“Kamu lagi apa di sini malam-malam?” Razi melepaskan jaket dan memakaikannya kepada Maida yang hanya memakai dress selutut tanpa lengan.

“Lihat! Kamu ingat ini kan? Dulu kita mengukir ini dan berjanji akan selalu bersama.” Maida menunjukkan ukiran nama mereka berdua yang disatukan oleh gambar berbentuk hati di batang pohon yang menaungi keduanya.

Razi mengangguk. Tentu saja dia masih ingat, karena yang mengukir nama itu adalah dirinya saat acara perpisahan sekolah. Setelah itu mereka berpisah karena Maida melanjutkan kuliah di luar negeri.

Razi duduk di sebelah gadis itu. Matanya lurus menatap jalan yang dilalui banyak kendaraan.

“Tak bisakah kamu menepati janji tujuh tahun yang lalu?” tanya Maida dengan suara parau.

“Aku berusaha menepati janji itu, tapi kemudian kamu yang mematahkannya,” timpal Razi tanpa menoleh kepada gadis di sebelahnya.

Maida menangis sesenggukan. Penyesalan semakin menyeruak memenuhi hatinya.

“Jangan menangis! Kamu cantik, baik, kamu tidak akan kesulitan mencari pendamping hidup.”

“Tapi yang aku mau cuma kamu,” bisik Maida.

“Aku cuma lelaki biasa, Mai. Aku pun tak bisa menepati janji tujuh tahun lalu. Jadi, untuk apa kamu mengharapkan lelaki sepertiku?”

Maida semakin tenggelam dalam kesedihan.

“Temani aku di sini dulu, ya,” pinta Maida saat Razi berpamitan untuk pulang.

●●● 

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Hana masih menunggu Razi. Sesekali melihat jendela berharap saat membuka tirai, suaminya sudah ada di sana. Sejam berlalu, deru motor Razi membangunkan Hana yang tertidur di sofa. Buru-buru dia membuka pintu.

“Loh, A, jaketnya mana?” tanya Hana yang melihat Razi pulang tanpa memakai jaket.

“Oh iya, tadi ketinggalan.” Razi melihat Hana masih memakai pakaian yang tadi akan dipakai jalan-jalan. “Kita mau jalan-jalan sekarang?” tawar Razi merasa bersalah meninggalkan Hana.

“Gak usah, kapan-kapan aja ini udah kemaleman. Tadi Hana ketiduran jadi belum sempat ganti baju.”

Razi tersenyum. “Ya sudah, kita tidur aja.”

●●●● 

Cahaya mentari mengintip di balik jendela. Sejak pagi sekali Hana sudah masak dan beres-beres rumah. Dia memang sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sejak kecil.

“Bu, Razi berangkat dulu ya,” ucap Razi, lalu mencium punggung tangan ibunya.

“Hati-hati ya, nak. Jangan ngebut-ngebut!”

“Iya, Bu.”

Razi menuju luar diikuti Hana dari belakang.

“Berangkat dulu, ya.” Dikecupnya kening sang istri.

Hana tersipu, ini adalah pertama kalinya Razi mengecup keningnya sebelum berangkat kerja.

“Hati-hati.” Hana mencium punggung tangan suaminya.

“Assalamu'alaikum.”

“W*'alaikumussalam.”

Setelah Razi berangkat, Hana kembali masuk untuk membereskan bekas sarapan.

Tak lama, terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Hana meninggalkan pekerjaannya lalu bergegas membuka pintu.

Tampak sesosok wanita berdiri di depan pintu.

“Maida,” bisik Hana.

“Hai! hmm ... Hana. Ini, semalam ketinggalan.” Maida menyodorkan sebuah paper bag.

“Apa ini?” tanya Hana penasaran.

“Buka aja!” perintah Maida diiringi senyuman.

Hana mengeluarkan isi dari paper bag yang diberikan Maida. Itu adalah jaket Razi. Hana berusaha untuk tenang setelah mengetahui isinya.

“Kenapa diantarkan ke sini, bukankah kalian satu kantor?”

“Ya benar, aku antarkan ke sini barangkali kamu ingin tahu semalam Razi bersama siapa.”

Maida sengaja ingin membuat Hana cemburu dan kesal, dia ingin melihat bagaimana reaksi Hana setelah tahu suaminya pergi bersama dirinya.

Tak dipungkiri, Hana memang begitu kesal dan cemburu, ada rasa panas menjalari hatinya. Tapi dia berusaha untuk menahannya.

Hana tersenyum. “Kamu tahu kalau kami sudah menikah, tapi kenapa kamu berusaha menggodanya. Apakah kamu ingin menjadi orang ketiga di antara kami?”

Maida tertawa mendengar perkataan Hana.

“Orang ketiga? Heh, Hana, kamu ini tidak tahu atau memang kamu ini bodoh? Bertahun-tahun Razi memiliki hubungan denganku, lalu tiba-tiba saja dia menikah denganmu. Kamu bilang aku orang ketiga? Justru kamu yang orang ketiga!” Maida mendorong dada Hana dengan telunjuknya.

Hana terkejut mendengar perkataan wanita yang berdiri di depannya. selama ini dia memang tidak tahu mengenai hubungan Razi dengan Maida

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status