Beranda / Rumah Tangga / Antara Hormat dan Hasrat / Tugas yang Tak Diminta

Share

Tugas yang Tak Diminta

Penulis: Jihan Jaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-06 21:29:34

Udara di aula siang itu seperti ditahan napas seratus pasang sepatu bot. Bau semir, keringat, dan kain seragam berbaur dengan panas lampu neon. Langkah-langkah berat terdengar dari ujung ruangan, bergema seperti suara waktu yang disiplin.

Nara berdiri di tepi panggung, mencoba menyatu dengan dinding, tapi jantungnya berdetak tak sesuai aba-aba.

“Bintara Arsa, bantu ibu-ibu menyiapkan ruang jamuan sore ini.”

Suara Kolonel Damar memotong udara tajam dan bersih. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara; Nara menahan napas. Nama itu, Arsa, menyelinap ke telinganya seperti gema yang belum sempat padam sejak kemarin.

“Siap, Komandan!”

Suara itu dalam dan jernih, terlalu mudah diingat.

Nara berusaha fokus pada catatan di tangannya, tapi huruf-huruf di kertas seperti menari. Nama itu seharusnya netral, seperti pangkat lain. Tapi di kepalanya, nama itu menyalakan sesuatu: bukan keinginan, mungkin kesadaran bahwa dirinya masih bisa bergetar.

Ia menunduk, pura-pura membaca ulang daftar, menyembunyikan wajah yang mulai panas.

***

Sore menjelang. Ruang jamuan mulai disiapkan. Taplak putih membentang di atas meja panjang, bendera kecil berdiri di sudut, dan di udara mengambang aroma mawar yang baru disemprot air. Kipas angin di langit-langit berputar malas, menebarkan debu tipis di cahaya lampu sore.

Nara menunjuk ke sudut ruangan,

“Yang ini di pojok kiri, biar jaraknya pas.”

Arsa mengangguk, lalu memindahkan vas bunga. Suara langkah sepatunya di lantai marmer terdengar teratur, tapi setiap langkah menekan dada Nara seperti irama yang ingin ia hentikan.

“Cukup dekat, Bu?” Ia menatap sekilas; hanya sedetik.

Namun di balik detik itu, waktu seolah berhenti bernapas.

“Sudah,” jawabnya pelan.

Arsa menunduk, lalu memutar tubuhnya, menahan sesuatu yang tak sempat dinamai.

Di markas, jarak sekian senti pun bisa disebut pelanggaran.

***

Kolonel Damar muncul beberapa menit kemudian.

“Bagus. Rapi.”

Matanya singgah ke arah istrinya, lalu ke Arsa.

“Bintara, antar Ibu ke rumah setelah ini. Sekalian bawa laporan kegiatan.”

“Siap, Kolonel.”

Perintah itu sederhana, tapi di dada Nara terasa seperti peringatan. Ia mengangguk sopan, seolah itu urusan kecil, padahal pikirannya menolak percaya bahwa dunia ini sekecil itu, dan sekompleks perintah yang tak bisa ia tolak.

***

Mobil dinas bergerak pelan melewati gerbang markas. Langit berwarna tembaga, suara jangkrik mulai menggantikan komando. Nara duduk di kursi belakang; Arsa di depan bersama sopir. Tak ada yang berbicara. Hanya suara mesin, dan di sela-sela dengungnya, gema napas yang ditahan.

Begitu sampai di rumah dinas, Arsa turun lebih dulu. Ia membuka pintu untuk Nara, lalu berdiri tegap.

“Lapor berkasnya, Bu. Saya titip di meja makan.”

“Iya, terima kasih.” Suara Nara terlalu pelan, hampir tertelan angin.

Ketika ia melangkah masuk, cahaya sore menyusup melalui kisi-kisi jendela, menimpa bahu Arsa yang masih di ambang pintu. Nara menatap punggung itu: tegap, sederhana, tapi meninggalkan gema yang aneh di dadanya

“Arsa.”

Ia menoleh cepat. “Ya, Bu?”

“Terima kasih sudah membantu.”

“Sama-sama, Bu.”

Lalu ia pergi, meninggalkan wangi sabun dan debu di udara.

***

Rumah dinas itu tenang seperti museum. Jam berdetak, menandai waktu yang tak bergerak.

Nara duduk di kursi ruang makan, menatap berkas laporan di atas meja. Sampulnya bertuliskan Kegiatan Sosial Wanita TNI.

Ia tersenyum pahit. Ironis, judul yang terlalu rapi untuk menutupi kekacauan kecil di hatinya.

Ia membuka halaman pertama, tapi huruf-hurufnya kabur. Yang muncul di kepala justru suara langkah seseorang, suara yang tidak seharusnya dikenang.

Ia memejamkan mata, berharap semua kembali tenang, tapi yang datang malah lebih nyata: bayangan tangan yang pernah menahannya di tengah lapangan.

“Aku seharusnya lupa,” bisiknya.

Namun tubuhnya menolak patuh.

***

Malam turun.

Kolonel Damar tiba pukul delapan. Langkahnya berat tapi teratur, seperti semua yang ia lakukan. Ia menaruh topi di meja dan menatap istrinya sekilas.

“Mereka bilang ruang jamu rapi. Terima kasih sudah bantu.”

“Hanya sedikit.”

“Arsa cepat tanggap. Aku senang ada prajurit seperti dia.”

Nara menatap teh di tangannya, lalu menjawab lirih, “Oh ya?”

“Ya. Disiplin, sopan, dan tidak banyak bicara.”

Damar menyesap teh, lalu menatap layar ponsel.

Tak ada percakapan lanjutan. Hening.

Nara mendengar detik jam lebih jelas dari napas mereka. Ia ingin berkata sesuatu, tentang ruang yang makin kosong di antara mereka, tentang sesuatu yang perlahan hidup kembali dalam dirinya, tapi tak satu pun kata keluar.

Damar sudah bergeser ke ruang kerja, meninggalkan kursi yang masih hangat.

Ia berdiri di dekat jendela. Di luar, motor prajurit melintas cepat, membawa sisa bau bensin dan sabun ke dalam rumah.

Nara menatap pantulan wajahnya di kaca: rapi, tapi matanya menyimpan cahaya yang tak mau padam. Dalam dunia yang diatur komando, tak ada yang berani bergerak tanpa perintah. Tapi malam itu, hatiku sudah melangkah lebih dulu, sebelum siapa pun sempat memberi izin.

Dan ketika lampu markas di kejauhan berkelip, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya:

“Terima kasih, Bu. Sudah baik pada saya.”

Nama pengirimnya tak tercantum, tapi Nara tahu. Ia menatap layar lama-lama, lalu mematikan ponsel tanpa menjawab.

Di luar, malam terasa lebih hidup daripada siang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Hormat dan Hasrat   Yang Membuatku Lupa Bernapas

    “Aku kangen… sekangen-kangennya.”Aku mengucapkannya begitu pelan, sampai suaraku sendiri terdengar seperti sesuatu yang samar, seperti bayangan yang berusaha bersembunyi di pinggir kesadaran. Seolah kata itu tidak benar-benar diucapkan, hanya jatuh dari dada ke mulut, tanpa peran pikiranku.Aku seharusnya tidak mengatakannya.Aku tahu. Tiap bagian dari hidupku; nama suamiku, pangkatnya, tatapan para istri perwira lain, semua adalah pagar.Dan pagar itu tinggi. Terlalu tinggi untuk dilewati. Bahkan untuk sekadar melihat keluar.Tapi rindu tidak peduli pada pagar.Rindu adalah sesuatu yang datang tanpa mengetuk, tanpa menunggu ruang, tanpa bertanya apakah ia diinginkan atau tidak.Rindu datang ketika tubuh mengingat lebih dulu daripada pikiran.Aku menutup mata.Dan seperti kemarin…rahang itu muncul dulu.Rahang yang tegas, bukan yang dipahat untuk dipamerkan,tetapi yang terbentuk karena kerja panjang, disiplin, matahari, dan kesunyian lapangan apel.Lalu mata itu, bukan mata yang ind

  • Antara Hormat dan Hasrat   Bukan Rindu Tapi Sesuatu yang Menyerupainya

    Rahangnya dulu yang muncul di kepalaku.Bukan senyumnya. Bukan suaranya.Tapi garis rahangnya yang tegas, seolah ditarik dengan penggaris oleh seseorang yang terlalu serius pada pekerjaannya.Aku belum membuka mata.Pagi belum benar-benar tiba. Tapi bayangan itu datang begitu saja, menempel seperti embun yang enggan hilang.Hidungnya.Lurus, bersih, tidak tajam seperti aktor drama, tapi seperti seseorang yang belajar bernapas teratur agar tidak gugup saat menerima perintah.Matanya.Aku bahkan tidak tahu warnanya dengan pasti. Cokelat gelap, mungkin.Tapi yang kuingat bukan warnanya, melainkan cara ia menatap tajam padaku sebelum dia menundukkan pandang, seolah menjaga sesuatu yang tidak boleh jatuh. Seolah dunia akan retak kalau ia menatap orang terlalu lama.Dan cambang tipis itu. Bayangan halus di sepanjang rahang, bukan karena ia sengaja menumbuhkannya, tapi karena hari terlalu panjang dan ia tidak sempat bercukur.Ada kelelahan yang jujur di sana.Kelelahan yang tidak pernah kul

  • Antara Hormat dan Hasrat   Yang Seharusnya Tidak Diingat

    “Kenapa wajahmu tersipu begitu ?” Aku tidak mendengar pintu kamar terbuka. Tapi tiba-tiba suamiku, Damar, sudah berdiri di belakangku, suaranya datar, namun terlalu dekat. Tangan yang memegang ponsel langsung berkeringat. Aku refleks memalingkan wajah, tapi gerakanku justru terlalu cepat,terlalu defensif. “Siapa yang kirim pesan ?” Nada suaranya tidak meninggi. Justru tenang. Dan ketenangan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. “Ada… grup Persit,” jawabku, suaraku terdengar seperti milik orang lain. Damar memperhatikan. Bukan menatap, mengamati. Seperti menilai taktik musuh. “Kamu terlihat gugup.” Jantungku jatuh sampai ke lutut. Aku mencoba tersenyum, tapi sudut bibirku tidak terangkat. “Aku cuma… kaget dengar suara mu mendadak.” Damar mendekat satu langkah. Bukan langkah suami. Langkah seorang komandan yang ingin memastikan sesuatu tidak melenceng. “Aku tanya sekali lagi.” “Siapa yang menghubungi kamu tadi pagi.” Hening. Aku menggenggam ponsel begitu kuat

  • Antara Hormat dan Hasrat   Pesan Itu Datang Lagi

    “Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?”Pesan itu muncul begitu aku menyalakan ponsel.Belum sempat membuka tirai jendela, layar sudah menyala dengan nama yang tak seharusnya ada di jam sesepi ini. Nomor tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemiliknya.Dadaku langsung dingin, sementara telapak tangan justru panas. Aku menatap huruf-huruf itu lama, seolah setiap kata bisa berubah makna kalau kulihat dari sudut berbeda.WA semalam ? Aku menerawang..Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali ada yang menungguku membalas pesan.Kolonel Damar masih di halaman, memberi perintah kepada prajurit yang membersihkan mobil dinas. Suaranya berat, jelas, dan berjarak. Sementara suaraku, hanya bergema di kepala sendiri.Kuingin menghapus pesan itu. Tapi jariku ragu di atas ikon delete. Bagaimana kalau pesan itu sebenarnya urusan pekerjaan? Bagaimana kalau Damar melihat? Tubuhku mematung di antara dua ketakutan: ketahuan dan kehilangan.Getar kecil muncul lagi; pesan kedua.“Maaf, B

  • Antara Hormat dan Hasrat   Tugas yang Tak Diminta

    Udara di aula siang itu seperti ditahan napas seratus pasang sepatu bot. Bau semir, keringat, dan kain seragam berbaur dengan panas lampu neon. Langkah-langkah berat terdengar dari ujung ruangan, bergema seperti suara waktu yang disiplin.Nara berdiri di tepi panggung, mencoba menyatu dengan dinding, tapi jantungnya berdetak tak sesuai aba-aba.“Bintara Arsa, bantu ibu-ibu menyiapkan ruang jamuan sore ini.”Suara Kolonel Damar memotong udara tajam dan bersih. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara; Nara menahan napas. Nama itu, Arsa, menyelinap ke telinganya seperti gema yang belum sempat padam sejak kemarin.“Siap, Komandan!” Suara itu dalam dan jernih, terlalu mudah diingat.Nara berusaha fokus pada catatan di tangannya, tapi huruf-huruf di kertas seperti menari. Nama itu seharusnya netral, seperti pangkat lain. Tapi di kepalanya, nama itu menyalakan sesuatu: bukan keinginan, mungkin kesadaran bahwa dirinya masih bisa bergetar.Ia menunduk, pura-pura membaca ulang daftar, menyem

  • Antara Hormat dan Hasrat   Di Bawah Bendera Kolonel

    “Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian. Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Bu.”Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status