Masuk“Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?”
Pesan itu muncul begitu aku menyalakan ponsel. Belum sempat membuka tirai jendela, layar sudah menyala dengan nama yang tak seharusnya ada di jam sesepi ini. Nomor tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemiliknya. Dadaku langsung dingin, sementara telapak tangan justru panas. Aku menatap huruf-huruf itu lama, seolah setiap kata bisa berubah makna kalau kulihat dari sudut berbeda. WA semalam ? Aku menerawang.. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali ada yang menungguku membalas pesan. Kolonel Damar masih di halaman, memberi perintah kepada prajurit yang membersihkan mobil dinas. Suaranya berat, jelas, dan berjarak. Sementara suaraku, hanya bergema di kepala sendiri. Kuingin menghapus pesan itu. Tapi jariku ragu di atas ikon delete. Bagaimana kalau pesan itu sebenarnya urusan pekerjaan? Bagaimana kalau Damar melihat? Tubuhku mematung di antara dua ketakutan: ketahuan dan kehilangan. Getar kecil muncul lagi; pesan kedua. “Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud lancang.” Aku menelan ludah. Kali ini tak kubalas. Tapi bayangan wajahnya semalam, tegap dalam cahaya lampu markas, muncul begitu saja. Entah kenapa, aku merasa bersalah. Entah kepada siapa. Aku mematikan ponsel, menaruhnya di meja rias, lalu menarik napas panjang. Dingin pagi menempel di kulit, tapi keningku berkeringat. Rasanya seperti berdiri di antara dua dunia: satu dunia penuh disiplin, satu lagi penuh gema suara yang tak bisa kuhentikan. *** Pukul sepuluh pagi, grup WA Istri Perwira Batalyon mulai ramai. Pesan-pesan masuk seperti peluru. Bu Ratna: “Bu Nara, sore ini ada rapat kegiatan sosial di gedung serbaguna. Kolonel Damar berhalangan hadir kan?” Aku: “Iya, Bu. Ada rapat staf katanya.” Bu Ratna: “Baik. Nanti logistik dibantu Arsa ya. Biar cepat.” Tanganku terhenti di atas layar. Aku membaca ulang, memastikan aku tak salah lihat. Nama itu tertulis jelas di sana, di antara kalimat ringan dan emotikon senyum. Arsa. Lagi-lagi Arsa. Dadaku bergetar pelan. Ada bagian diriku yang ingin mengetik “tidak usah, Bu”, tapi jari-jariku tak bergerak. Kalimat itu sudah terlanjur dikirim. Keputusan sudah dibuat, bukan olehku, tapi oleh dunia yang entah sedang mempermainkan atau mengujiku. *** Sore itu, gedung serbaguna markas seperti sarang lebah. Bau karpet baru bercampur dengan kopi sachet yang diseduh di pojok ruangan. Aku datang lebih awal, berusaha terlihat profesional. Seragam hijau hijauku disetrika sempurna, tapi tanganku dingin. Jantungku berdetak seolah ada yang memanggil dari balik dinding. “Ibu Nara,” sapa seorang prajurit muda di pintu. “Iya?” “Bintara Arsa akan datang sebentar lagi, Bu. Bawa berkas dan perlengkapan.” Aku hanya mengangguk. Tapi tenggorokanku kering. Aku menata kursi-kursi, mencoba fokus. Namun setiap derit kursi terdengar seperti langkah yang mendekat. Dan ketika suara itu benar-benar muncul, suara langkah yang kukenal, punggungku otomatis menegak. “Permisi, Bu.” Suara itu. Lembut, tapi membawa gema komando. Aku menoleh. Ia berdiri di sana, seragam lapangan rapi, topi hitam di tangan. Keringat di pelipisnya memantulkan cahaya sore. Senyumnya sekilas, hanya formalitas, tapi cukup membuat udara berhenti di paru-paruku. “Taruh di sini saja,” kataku. Suara sendiri terdengar asing, seperti milik orang lain. Ia menunduk, meletakkan map, lalu berbalik, namun selembar kertas terlepas dari tangannya. Refleks aku menunduk, begitu pula dia. Jari kami bersentuhan. Hanya sepersekian detik. Tapi dari sentuhan itu, listrik kecil merambat ke tulang. Aku menarik tangan cepat-cepat. Ia pun begitu. Tak ada yang bicara. Tapi keheningan itu justru paling berisik yang pernah kurasakan. *** Acara berlangsung singkat. Bu Ratna bicara panjang soal program bakti sosial, tapi aku tak benar-benar mendengar. Kata-katanya hilang di antara bunyi kipas dan napasku sendiri. Sesekali aku menatap kaca jendela, melihat pantulan Arsa yang berdiri di belakang, tegap, fokus pada tugasnya. Setiap kali mataku menangkap bayangan itu, tubuhku seolah bereaksi sendiri: jantung berpacu, telapak tangan berkeringat, lalu cepat-cepat kualihkan pandang. Aku benci perasaan itu, karena tak ada cara yang pantas untuk menjelaskannya. “Bu Nara, kau kelihatan pucat,” bisik Bu Ratna di sampingku. “Tidak, Bu. Hanya kurang tidur.” “Jangan terlalu sering ikut suami kerja. Tubuh wanita itu mudah lelah.” Aku tersenyum kecil. “Iya, Bu.” Tapi yang lelah sebenarnya bukan tubuhku, melainkan hati yang terus menahan sesuatu yang tak boleh tumbuh. *** Acara berakhir menjelang magrib. Semua orang mulai berkemas. Aku sengaja menunggu paling akhir, berharap bisa pergi tanpa kebetulan. Namun ketika kubuka pintu keluar, langkah itu sudah ada di sana. “Boleh saya bantu, Bu?” Arsa berdiri membawa dua kotak file. Aku hendak menolak, tapi kalimat itu tak keluar. Kami berjalan beriringan menuju mobil. Langit memerah, udara lembab, dan di antara kami hanya terdengar derit sepatu. “Terima kasih,” kataku akhirnya. “Sama-sama, Bu.” Suaranya pelan, tapi membuat udara berubah suhu. Kami berhenti di depan mobil dinas. Ia menaruh kotak ke bagasi, lalu menutupnya perlahan. Ketika ia berdiri lagi, jarak kami begitu dekat hingga aku bisa melihat urat di lehernya berdenyut pelan. “Hati-hati di jalan, Bu.” “Kamu juga.” Ia mundur setengah langkah, memberi hormat, lalu berbalik. Aku masuk mobil, tapi tak segera menutup pintu. Mataku mengikuti punggung itu sampai hilang di balik pagar. Ada sesuatu di dalam diriku yang berteriak, berhenti memandang, tapi tubuhku menolak. *** Di rumah, Kolonel Damar sudah menunggu di ruang tamu. Ia menatap jam tangannya. “Kau pulang terlambat.” “Acaranya molor sedikit.” “Arsa ikut bantu?” Pertanyaan itu seperti ujian. Aku menelan ludah. “Iya.” Damar mengangguk. “Bagus. Dia anak baik.” Aku ingin menjawab, tapi tenggorokanku kaku. Ia menatapku sebentar, tatapan seorang komandan, bukan suami. Lalu ia kembali pada berkas di tangannya. Percakapan pun berakhir di sana. Aku masuk kamar, mengganti pakaian. Tangan masih gemetar. Setiap kali membuka laci atau merapikan rambut, aku merasa seolah seseorang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Mungkin hanya bayangan yang menempel di pikiranku, tapi rasanya terlalu nyata. Ponselku bergetar di meja rias. Aku menatapnya lama. Satu pesan masuk, tanpa nama. “Sudah sampai rumah, Bu?” Aku menutup mata. Udara di kamar tiba-tiba dingin, padahal AC belum dinyalakan. Kepalaku berdenyut pelan. Kujawab hanya dengan satu kata. “Sudah.” Lalu kukunci layar, tapi tanganku tetap gemetar. Karena saat mataku kembali ke cermin, wajahku memantulkan sesuatu yang menakutkan: senyum kecil yang tak seharusnya ada. *** “Kadang, dosa tidak datang dari perbuatan besar. Ia tumbuh dari satu pesan pendek yang tidak semestinya membuat jantung berdebar.” Dan malam itu, sebelum tidur, aku tahu satu hal, bahwa getar di ponselku bukan sekadar notifikasi. Ia adalah awal dari sesuatu yang takkan bisa kuredam.“Aku kangen… sekangen-kangennya.”Aku mengucapkannya begitu pelan, sampai suaraku sendiri terdengar seperti sesuatu yang samar, seperti bayangan yang berusaha bersembunyi di pinggir kesadaran. Seolah kata itu tidak benar-benar diucapkan, hanya jatuh dari dada ke mulut, tanpa peran pikiranku.Aku seharusnya tidak mengatakannya.Aku tahu. Tiap bagian dari hidupku; nama suamiku, pangkatnya, tatapan para istri perwira lain, semua adalah pagar.Dan pagar itu tinggi. Terlalu tinggi untuk dilewati. Bahkan untuk sekadar melihat keluar.Tapi rindu tidak peduli pada pagar.Rindu adalah sesuatu yang datang tanpa mengetuk, tanpa menunggu ruang, tanpa bertanya apakah ia diinginkan atau tidak.Rindu datang ketika tubuh mengingat lebih dulu daripada pikiran.Aku menutup mata.Dan seperti kemarin…rahang itu muncul dulu.Rahang yang tegas, bukan yang dipahat untuk dipamerkan,tetapi yang terbentuk karena kerja panjang, disiplin, matahari, dan kesunyian lapangan apel.Lalu mata itu, bukan mata yang ind
Rahangnya dulu yang muncul di kepalaku.Bukan senyumnya. Bukan suaranya.Tapi garis rahangnya yang tegas, seolah ditarik dengan penggaris oleh seseorang yang terlalu serius pada pekerjaannya.Aku belum membuka mata.Pagi belum benar-benar tiba. Tapi bayangan itu datang begitu saja, menempel seperti embun yang enggan hilang.Hidungnya.Lurus, bersih, tidak tajam seperti aktor drama, tapi seperti seseorang yang belajar bernapas teratur agar tidak gugup saat menerima perintah.Matanya.Aku bahkan tidak tahu warnanya dengan pasti. Cokelat gelap, mungkin.Tapi yang kuingat bukan warnanya, melainkan cara ia menatap tajam padaku sebelum dia menundukkan pandang, seolah menjaga sesuatu yang tidak boleh jatuh. Seolah dunia akan retak kalau ia menatap orang terlalu lama.Dan cambang tipis itu. Bayangan halus di sepanjang rahang, bukan karena ia sengaja menumbuhkannya, tapi karena hari terlalu panjang dan ia tidak sempat bercukur.Ada kelelahan yang jujur di sana.Kelelahan yang tidak pernah kul
“Kenapa wajahmu tersipu begitu ?” Aku tidak mendengar pintu kamar terbuka. Tapi tiba-tiba suamiku, Damar, sudah berdiri di belakangku, suaranya datar, namun terlalu dekat. Tangan yang memegang ponsel langsung berkeringat. Aku refleks memalingkan wajah, tapi gerakanku justru terlalu cepat,terlalu defensif. “Siapa yang kirim pesan ?” Nada suaranya tidak meninggi. Justru tenang. Dan ketenangan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. “Ada… grup Persit,” jawabku, suaraku terdengar seperti milik orang lain. Damar memperhatikan. Bukan menatap, mengamati. Seperti menilai taktik musuh. “Kamu terlihat gugup.” Jantungku jatuh sampai ke lutut. Aku mencoba tersenyum, tapi sudut bibirku tidak terangkat. “Aku cuma… kaget dengar suara mu mendadak.” Damar mendekat satu langkah. Bukan langkah suami. Langkah seorang komandan yang ingin memastikan sesuatu tidak melenceng. “Aku tanya sekali lagi.” “Siapa yang menghubungi kamu tadi pagi.” Hening. Aku menggenggam ponsel begitu kuat
“Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?”Pesan itu muncul begitu aku menyalakan ponsel.Belum sempat membuka tirai jendela, layar sudah menyala dengan nama yang tak seharusnya ada di jam sesepi ini. Nomor tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemiliknya.Dadaku langsung dingin, sementara telapak tangan justru panas. Aku menatap huruf-huruf itu lama, seolah setiap kata bisa berubah makna kalau kulihat dari sudut berbeda.WA semalam ? Aku menerawang..Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali ada yang menungguku membalas pesan.Kolonel Damar masih di halaman, memberi perintah kepada prajurit yang membersihkan mobil dinas. Suaranya berat, jelas, dan berjarak. Sementara suaraku, hanya bergema di kepala sendiri.Kuingin menghapus pesan itu. Tapi jariku ragu di atas ikon delete. Bagaimana kalau pesan itu sebenarnya urusan pekerjaan? Bagaimana kalau Damar melihat? Tubuhku mematung di antara dua ketakutan: ketahuan dan kehilangan.Getar kecil muncul lagi; pesan kedua.“Maaf, B
Udara di aula siang itu seperti ditahan napas seratus pasang sepatu bot. Bau semir, keringat, dan kain seragam berbaur dengan panas lampu neon. Langkah-langkah berat terdengar dari ujung ruangan, bergema seperti suara waktu yang disiplin.Nara berdiri di tepi panggung, mencoba menyatu dengan dinding, tapi jantungnya berdetak tak sesuai aba-aba.“Bintara Arsa, bantu ibu-ibu menyiapkan ruang jamuan sore ini.”Suara Kolonel Damar memotong udara tajam dan bersih. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara; Nara menahan napas. Nama itu, Arsa, menyelinap ke telinganya seperti gema yang belum sempat padam sejak kemarin.“Siap, Komandan!” Suara itu dalam dan jernih, terlalu mudah diingat.Nara berusaha fokus pada catatan di tangannya, tapi huruf-huruf di kertas seperti menari. Nama itu seharusnya netral, seperti pangkat lain. Tapi di kepalanya, nama itu menyalakan sesuatu: bukan keinginan, mungkin kesadaran bahwa dirinya masih bisa bergetar.Ia menunduk, pura-pura membaca ulang daftar, menyem
“Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian. Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Bu.”Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada







