Beranda / Rumah Tangga / Antara Hormat dan Hasrat / Di Bawah Bendera Kolonel

Share

Antara Hormat dan Hasrat
Antara Hormat dan Hasrat
Penulis: Jihan Jaya

Di Bawah Bendera Kolonel

Penulis: Jihan Jaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-06 21:02:42

“Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”

Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.

Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.

Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian.

Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.

Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.

Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan.

“Hati-hati, Bu.”

Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada kirinya tertulis: Arsa Wijaya.

“Terima kasih,” katanya cepat, hampir berbisik.

Arsa mundur setengah langkah, memberi hormat, lalu kembali ke barisan. Namun bagi Nara, waktu berhenti di antara jarak itu, jarak yang terlalu dekat untuk disebut sopan, tapi terlalu jauh untuk disebut salah.

***

Siang merayap perlahan. Upacara selesai, dan para istri perwira berkumpul di tenda VIP, menunggu giliran berfoto. Nara menatap langit-langit tenda yang panas, mendengarkan tawa kecil para perempuan yang membicarakan tas, seragam, dan promosi jabatan suami mereka. Ia tersenyum seperlunya, tapi matanya kosong.

Di luar tenda, Arsa sibuk memindahkan kursi lipat. Gerakannya mantap, efisien. Ia bekerja seperti seseorang yang tahu arti tanggung jawab. Nara memperhatikan dari balik tirai tenda; bukan karena ingin, tapi karena matanya menolak berpaling.

“Kamu baik-baik saja, Bu?” tanya Letnan Sari, ajudan Damar.

“Baik,” jawab Nara.

Namun dalam hatinya, kata itu terdengar seperti dusta yang sudah fasih diucapkan.

***

Kolonel Damar menghampiri. Wajahnya tampan, keras, dan rapi, seperti semua yang selalu ingin ia kendalikan.

“Nara, aku harus ke ruang rapat batalyon. Pulang dulu saja. Sopir siap di luar.”

Ia tidak mencium tangan istrinya, tidak menatap lebih dari satu detik.

Semua ucapan mereka terdengar seperti protokol, bukan percakapan rumah tangga.

“Iya, Kolonel.”

Nara jarang memanggilnya dengan nama; pangkat lebih aman.

Begitu Damar pergi, udara di sekitarnya seakan kehilangan arah.

***

Di perjalanan pulang, Nara menatap keluar jendela. Lapangan mulai kosong, hanya beberapa prajurit yang masih membereskan perlengkapan.

Ia melihat Arsa sedang menutup tenda besar, kaus dalamnya tampak lembap menempel di punggung. Satu helai rambut di pelipisnya jatuh oleh angin.

Sopir menegur, “Ibu, mau langsung ke rumah dinas?”

“Iya,” jawabnya cepat, menahan diri untuk tidak menoleh lagi. Tapi matanya sempat menangkap pantulan di kaca, sosok Arsa yang berdiri tegak sambil menatap kendaraan yang menjauh.

***

Rumah dinas Kolonel Damar luas tapi dingin. Jam dinding berdetak dengan suara berlebihan. Nara menggantung blazer seragamnya di kursi, melepas topi, lalu duduk. Ruang tamu itu terlalu bersih, terlalu rapi, seperti panggung yang tak pernah dipakai.

Ia membuka tirai jendela. Dari sini, markas masih terlihat samar di balik pepohonan. Suara peluit latihan sore terdengar jauh, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

“Ini konyol,” gumamnya.

Namun tubuhnya sendiri tak percaya.

Bayangan tangan yang tadi menahannya kembali muncul di kepala.

Tidak ada yang istimewa, tidak ada kata manis, tapi ada sesuatu yang mengingatkannya bahwa ia masih bisa merasa, dan itu menakutkan.

***

Senja datang.

Cahaya oranye masuk ke ruang makan, menyentuh cangkir teh di meja.

Nara duduk di kursi sendirian, menatap uap yang pelan-pelan hilang.

Ia memikirkan kata-kata suaminya pagi tadi, “Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan.”

Mungkin Damar tak bermaksud jahat.

Mungkin baginya, disiplin adalah bentuk cinta yang paling jujur.

Tapi bagi Nara, cinta tanpa kehangatan hanyalah perintah yang panjang umur.

Ia menatap tangannya sendiri.

Jari itu sempat hampir disentuh seseorang yang bukan suaminya, dan anehnya, bagian itulah yang terus berdenyut.

Rasa bersalah menyelinap cepat, tapi rasa hidupnya juga ikut bangkit dari kubur yang lama.

***

Pukul delapan malam, Damar pulang.

Langkahnya berat, seragamnya masih wangi bensin.

“Istriku sudah makan?” tanyanya sambil menaruh topi di meja.

“Sudah,” jawab Nara lembut.

Ia menyiapkan teh tanpa diminta, meletakkannya di hadapan Damar.

“Terima kasih.”

Hanya itu. Tidak lebih.

Ketika Damar masuk ke ruang kerja, Nara berdiri lama di depan jendela.

Dari kejauhan, lampu-lampu markas masih menyala.

Ada suara anjing menggonggong, lalu sunyi lagi.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca: wajah sempurna, tanpa cacat, tapi matanya menyimpan sesuatu yang baru; kerapuhan yang hidup.

Di markas, semua orang belajar menahan diri.

Tapi malam itu, Nara baru sadar, yang paling sulit ditahan bukanlah keinginan, melainkan ingatan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Hormat dan Hasrat   Yang Membuatku Lupa Bernapas

    “Aku kangen… sekangen-kangennya.”Aku mengucapkannya begitu pelan, sampai suaraku sendiri terdengar seperti sesuatu yang samar, seperti bayangan yang berusaha bersembunyi di pinggir kesadaran. Seolah kata itu tidak benar-benar diucapkan, hanya jatuh dari dada ke mulut, tanpa peran pikiranku.Aku seharusnya tidak mengatakannya.Aku tahu. Tiap bagian dari hidupku; nama suamiku, pangkatnya, tatapan para istri perwira lain, semua adalah pagar.Dan pagar itu tinggi. Terlalu tinggi untuk dilewati. Bahkan untuk sekadar melihat keluar.Tapi rindu tidak peduli pada pagar.Rindu adalah sesuatu yang datang tanpa mengetuk, tanpa menunggu ruang, tanpa bertanya apakah ia diinginkan atau tidak.Rindu datang ketika tubuh mengingat lebih dulu daripada pikiran.Aku menutup mata.Dan seperti kemarin…rahang itu muncul dulu.Rahang yang tegas, bukan yang dipahat untuk dipamerkan,tetapi yang terbentuk karena kerja panjang, disiplin, matahari, dan kesunyian lapangan apel.Lalu mata itu, bukan mata yang ind

  • Antara Hormat dan Hasrat   Bukan Rindu Tapi Sesuatu yang Menyerupainya

    Rahangnya dulu yang muncul di kepalaku.Bukan senyumnya. Bukan suaranya.Tapi garis rahangnya yang tegas, seolah ditarik dengan penggaris oleh seseorang yang terlalu serius pada pekerjaannya.Aku belum membuka mata.Pagi belum benar-benar tiba. Tapi bayangan itu datang begitu saja, menempel seperti embun yang enggan hilang.Hidungnya.Lurus, bersih, tidak tajam seperti aktor drama, tapi seperti seseorang yang belajar bernapas teratur agar tidak gugup saat menerima perintah.Matanya.Aku bahkan tidak tahu warnanya dengan pasti. Cokelat gelap, mungkin.Tapi yang kuingat bukan warnanya, melainkan cara ia menatap tajam padaku sebelum dia menundukkan pandang, seolah menjaga sesuatu yang tidak boleh jatuh. Seolah dunia akan retak kalau ia menatap orang terlalu lama.Dan cambang tipis itu. Bayangan halus di sepanjang rahang, bukan karena ia sengaja menumbuhkannya, tapi karena hari terlalu panjang dan ia tidak sempat bercukur.Ada kelelahan yang jujur di sana.Kelelahan yang tidak pernah kul

  • Antara Hormat dan Hasrat   Yang Seharusnya Tidak Diingat

    “Kenapa wajahmu tersipu begitu ?” Aku tidak mendengar pintu kamar terbuka. Tapi tiba-tiba suamiku, Damar, sudah berdiri di belakangku, suaranya datar, namun terlalu dekat. Tangan yang memegang ponsel langsung berkeringat. Aku refleks memalingkan wajah, tapi gerakanku justru terlalu cepat,terlalu defensif. “Siapa yang kirim pesan ?” Nada suaranya tidak meninggi. Justru tenang. Dan ketenangan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. “Ada… grup Persit,” jawabku, suaraku terdengar seperti milik orang lain. Damar memperhatikan. Bukan menatap, mengamati. Seperti menilai taktik musuh. “Kamu terlihat gugup.” Jantungku jatuh sampai ke lutut. Aku mencoba tersenyum, tapi sudut bibirku tidak terangkat. “Aku cuma… kaget dengar suara mu mendadak.” Damar mendekat satu langkah. Bukan langkah suami. Langkah seorang komandan yang ingin memastikan sesuatu tidak melenceng. “Aku tanya sekali lagi.” “Siapa yang menghubungi kamu tadi pagi.” Hening. Aku menggenggam ponsel begitu kuat

  • Antara Hormat dan Hasrat   Pesan Itu Datang Lagi

    “Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?”Pesan itu muncul begitu aku menyalakan ponsel.Belum sempat membuka tirai jendela, layar sudah menyala dengan nama yang tak seharusnya ada di jam sesepi ini. Nomor tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemiliknya.Dadaku langsung dingin, sementara telapak tangan justru panas. Aku menatap huruf-huruf itu lama, seolah setiap kata bisa berubah makna kalau kulihat dari sudut berbeda.WA semalam ? Aku menerawang..Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali ada yang menungguku membalas pesan.Kolonel Damar masih di halaman, memberi perintah kepada prajurit yang membersihkan mobil dinas. Suaranya berat, jelas, dan berjarak. Sementara suaraku, hanya bergema di kepala sendiri.Kuingin menghapus pesan itu. Tapi jariku ragu di atas ikon delete. Bagaimana kalau pesan itu sebenarnya urusan pekerjaan? Bagaimana kalau Damar melihat? Tubuhku mematung di antara dua ketakutan: ketahuan dan kehilangan.Getar kecil muncul lagi; pesan kedua.“Maaf, B

  • Antara Hormat dan Hasrat   Tugas yang Tak Diminta

    Udara di aula siang itu seperti ditahan napas seratus pasang sepatu bot. Bau semir, keringat, dan kain seragam berbaur dengan panas lampu neon. Langkah-langkah berat terdengar dari ujung ruangan, bergema seperti suara waktu yang disiplin.Nara berdiri di tepi panggung, mencoba menyatu dengan dinding, tapi jantungnya berdetak tak sesuai aba-aba.“Bintara Arsa, bantu ibu-ibu menyiapkan ruang jamuan sore ini.”Suara Kolonel Damar memotong udara tajam dan bersih. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara; Nara menahan napas. Nama itu, Arsa, menyelinap ke telinganya seperti gema yang belum sempat padam sejak kemarin.“Siap, Komandan!” Suara itu dalam dan jernih, terlalu mudah diingat.Nara berusaha fokus pada catatan di tangannya, tapi huruf-huruf di kertas seperti menari. Nama itu seharusnya netral, seperti pangkat lain. Tapi di kepalanya, nama itu menyalakan sesuatu: bukan keinginan, mungkin kesadaran bahwa dirinya masih bisa bergetar.Ia menunduk, pura-pura membaca ulang daftar, menyem

  • Antara Hormat dan Hasrat   Di Bawah Bendera Kolonel

    “Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian. Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Bu.”Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status