Share

Chapter 2 : Ternyata Dia!

    Di tengah keheningan mencekam di kantorku saat semua orang sedang sibuk dengan deadline masing-masing. 

    "Hazeeeeell!! Mana staples gueee??" seru Wahyu, teman akrab sekantorku.

    "Gue nggak pinjam, Bro!" Aku balas berseru meskipun meja kami berhadapan dan hanya dipisahkan oleh partisi setinggi satu meter.

    "Sial... Mana benda satu itu...," gerutu Wahyu.

    Tanpa melihat pun aku tahu Wahyu sedang menggeledah setiap sudut di mejanya. Temanku ini memang selalu kehilangan barang padahal hanya lupa letaknya.

    "Yes ketemu!" Wahyu mengangkat staples pink-nya tinggi-tinggi seolah merayakan kemenangan perang.

    "Yeay, horeee," timpalku tanpa semangat.

    "Kenapa gue selalu kehilangan barang ya, Bro? Apa gue harus melatih barang-barang gue supaya bisa nyahut kalau dipanggil?" cerocos Wahyu.

    "Bukannya begitu, Bro. Lo aja yang pelupa." Aku tidak bisa memberikan jawaban yang lebih intelijen karena pikiranku terfokus pada pekerjaan di layar laptop.

    Detik berikutnya Wahyu sudah bernyanyi-nyanyi ala Whitney Houston lengkap dengan cengkoknya yang meliuk-liuk. Aku meremas selembar kertas dan melempar sekenanya. Tidak kusangka gumpalan kertas itu malah mengenai jidatku.

    Secepat itu Wahyu membalas?

    Aku mengangkat wajah dan melihat Daniel, Creative Director kami. Wajahnya tampak tegang seperti biasa.

    "Hazel, nanti jam sebelas ikut meeting dengan saya," kata Daniel.

    "Di mana? Perlu bawa apa?" tanyaku heran.

    "Portfolio perusahaan selama tiga bulan terakhir. Kamu bisa tarik dari server saya kalau tidak punya."

    "Oh, oke. Di mana?" Aku mengulangi satu pertanyaan yang belum terjawab.

    "Lantai duapuluh."

    "Hah? Lantai duapuluh? Di atas?"

    "Yes, betul."

    "Gedung ini?" Aku memperjelas.

    Daniel menggeram.

    "Aku ikut nggak?" Wajah Wahyu muncul dari balik partisi.

    "No. You stay." Daniel meninggalkan meja kami.

    "Huh, dingin sekali jadi lelaki." Wahyu menggigil.

    Aku tergelak, "Lagian lo nyosor aja kayak bebek. Udah jelas-jelas nama lo nggak disebut, Bro!" ledekku.

    "Ah, gue udah nggak dibutuhkan lagi di perusahaan ini." Wahyu meletakkan satu tangan di kepala dengan dramatis.

    Aku dan Wahyu sudah berteman sejak hari pertama bekerja di biro iklan ini. Meskipun sama-sama wanita tapi kami saling memanggil 'Bro'. Sikap Wahyu yang cuek dan dramatis selalu membuatku tergelak. Saat yang lain sedang down yang satu lagi akan menghibur.

    Sesuai instruksi Daniel aku mengumpulkan file desain selama tiga bulan terakhir. Lumayan banyak. Tidak sampai satu jam dua bundel buku hardcover sudah tersusun rapi di mejaku. Inilah enaknya punya percetakan in house. Aku tidak perlu pontang-panting lari ke luar kantor untuk mencari tempat penjilidan.

    Pukul sebelas kurang limabelas menit Daniel memanggilku dari ujung ruangan. Aku bergegas dengan segenap bawaanku. Kami berdampingan di depan lift.

    "Meeting dengan siapa sih?" tanyaku penasaran.

    "Rekanan baru perusahaan."

    "Oh. Jabatannya apa? Bos besar?"

    Daniel terkekeh, "Bos besar itu yang punya gedung. Ini anaknya."

    "Orangnya seperti apa?"

    "Kamu lihat saja nanti."

    Aku mengangguk paham.

    Perjalanan kami menuju lantai duapuluh memakan waktu tiga menit karena hanya berselisih lima lantai. Daniel mendahuluiku berjalan ke meja resepsionis. Aku membuntuti dengan ketat.

    Resepsionis mengantarkan kami ke sebuah ruang meeting berukuran besar. Daniel dan aku duduk berjejer. Dua bundel portfolio perusahaan kuletakkan di atas meja.

    Tidak lama terdengar suara langkah kaki. Pintu ruangan terbuka. Seorang lelaki tinggi berwajah blasteran masuk. Seulas senyum terkembang di bibirnya.

    Mataku melebar. Jantungku berhenti berdetak.

    Lelaki itu melihat ke arahku dan senyumnya sirna. Sorot matanya berubah penuh emosi.

    "Selamat siang, Pak Richard." Daniel menyalami lelaki itu.

    "Daniel," sapa Richard.

    "Ini salah satu desainer kami, Hazel," kata Daniel.

    Richard menyodorkan tangan ke arahku. Aku menyalami dengan canggung.

    "Hazel." Richard menyebut namaku dengan lambat. Sorot matanya seolah melemparkan belati ke antara mataku. Tangannya meremas tanganku kuat-kuat.

    Aku memaksakan senyum.

    Syukurlah meeting berjalan dengan lancar. Sebagai rekanan baru Richard hanya ingin mengenal biro iklan yang berada di bawah pimpinannya. Daniel memberikan presentasi dengan jelas dan baik, sementara aku lebih banyak menundukkan kepala.

    "Baiklah. Tidak ada masalah bagi saya," kata Richard.

    "Kalau begitu kami kembali dulu." Daniel melirikku sebagai tanda untuk pergi.

    Aku bernafas lega. Meeting penuh tekanan ini akhirnya selesai. Sialnya baru saja aku bangkit dari kursi Richard berbicara.

    "Hazel, boleh bicara empat mata denganmu?" Suara Richard menusuk.

    Hatiku menciut. Mau apa dia?

    Daniel menatapku, lalu menatap Richard.

    "Kamu tidak keberatan Hazel kupinjam sebentar?" tanya Richard pada Daniel.

    "Oh, tidak. Silakan. Kalau begitu saya turun duluan." Daniel keluar dari ruang meeting.

    "Ya, nanti saya menyusul," kataku, padahal dalam hati aku menjerit supaya Daniel jangan pergi tanpaku.

    Aku melihat Richard tersenyum.

    "Mari ke ruanganku." Richard membuka pintu ruang meeting mempersilakanku keluar.

    "Oke."

    Aku membuntuti Richard ke sebuah ruangan besar. Tampaknya ini adalah ruang tempatnya bekerja. Richard duduk di belakang meja. Matanya mengamati gerak-gerikku.

    "Duduklah," kata Richard.

    Aku duduk di kursi berhadapan dengannya.

    "Nggak kusangka bisa bertemu disini." Gaya bicara Richard menjadi lebih santai.

    "Iya. Sama." Aku meringis.

    "Kamu sering ke pantai?"

    "Lumayan."

    "Sendirian?"

    Aku menghela nafas, "Iya."

    "Taekwondo?"

    Aku mengangkat alis, Richard menebak dengan tepat! Aku menyahut, "Kok tahu?"

    Richard tersenyum, "Deol chagi itu tendangan khas taekwondo. Teknikmu boleh juga. Sayang aku masih sedikit hangover, kalau tidak kita bisa sparring dengan lebih baik."

    "Maaf karena aku kasar. Kemarin kamu terlihat seperti lelaki brengsek sih," tukasku.

    "Aku tahu. Kapan kita bisa ketemu di pantai lagi?"

    "Nggak tahu. Aku nggak suka beramai-ramai."

    "Pacarmu?"

    Pipiku terasa hangat, "Ehm... Rasanya pertanyaan itu nggak pantas."

    "Aku cuma ingin tahu apa yang kuhadapi."

    Aku memalingkan wajah, percakapan ini mulai membuatku kesal. Ingin marah, dia bosku. Ingin sopan, jiwa pemberontakku..., yah memberontak.

    Keheningan mencekam saat tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Aku bisa merasakan Richard sedang mengamatiku. Tanganku meremas kursi.

    "Baiklah. Kurasa cukup untuk hari ini. Kamu boleh kembali," kata Richard.

    "Oke. Aku permisi." Aku cepat-cepat berdiri.

    "Oh, Hazel? Boleh minta nomormu?"

    "Nggak boleh." 

    Tanpa menunggu reaksi Richard aku bergegas keluar. Aku berlari turun lewat tangga darurat. Toh cuma lima lantai ke bawah.

    Daniel berdiri di meja resepsionis. Jarinya mengetuk meja dengan gelisah. Aku tahu dia menungguku. Begitu melihatku Daniel memepet.

    "Hazel, tadi itu apa? Kalian sudah saling kenal?" desis Daniel.

    "Ceritanya panjang," keluhku.

    "Maka sebaiknya kamu mulai bercerita."

    Aku menceritakan insiden di pantai dalam waktu sesingkatnya dan tanpa menyembunyikan apa pun. Alis Daniel berkerut dalam. 

    "Menurutmu apa dia akan membalas?" tanyaku.

    "Aku nggak tahu, Haze, tapi sebaiknya kamu berhati-hati," kata Daniel. "Aku nggak mau harus memilih antara kamu dan dia."

    "Aku mengerti."

    Job desc-ku kini bertambah, menghindari pertemuan dengan Richard semaksimal mungkin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status