Share

Apa Warna Hatimu?
Apa Warna Hatimu?
Author: Giovanna Bee

Chapter 1 : Lelaki Kurang Ajar

    "Sekali-sekali bawa pacarnya dong. Kenalin sama Ibu," goda Bu Ani, wanita paruh baya penjual makanan di pantai.

    "Aku nggak punya pacar," sahutku sambil mengunyah tahu goreng.

    "Buruan cari! Banyak kan di pantai sini. Mau yang kayak apa tinggal pilih aja. Ada yang hitam manis, ada yang putih bening. Asal jangan yang nggak kelihatan."

    Aku tergelak. Gaya bicara Bu Ani sangat lucu tanpa dibuat-buat, "Nggak lah, Bu. Aku nggak--"

    "Non, lihat tuh ada bule!" Bu Ani memotong kata-kataku dengan heboh. Tangannya menyikut rusukku dengan keras.

    "Bu, ini orang loh, bukan balok kayu." Aku meringis kesakitan. Tanganku mendekap bagian yang terkena sikutan. Mudah-mudahan tidak terjadi keretakan pada tulang rusukku.

    "Makanya lihat dulu sono! Tuh! Tuh!" Bu Ani menyorongkan bibirnya ke satu arah.

    Aku melihat ke arah yang ditunjuk Bu Ani. Tampak dua orang lelaki berjalan ke arah kami. Paras mereka tinggi dan berwajah blasteran. Kulit putih mereka sangat kontras dengan rambut sehitam arang.

    "Ih, mereka kesini, Non..!" bisik Bu Ani keras-keras, "Buruan...!"

    "Buruan apa?"

    "Lipstik mana lipstik..." Bu Ani mengaduk isi tasnya. Wajahnya sumringah saat menemukan benda yang dimaksud.

    Aku melongo melihat Bu Ani memoles lipstik merah muda ke bibirnya. Buset deh, begitu antusiasnya melihat lelaki ganteng?

    "Pake juga, Non, siapa tahu jadian..!"

    "Nggak mau..."

    "Mumpung ada yang ganteng mampir..!"

    "Ihhh, kurang kencang ngomongnya, Bu...," desisku.

    Dua lelaki itu duduk di tikar dengan anggun. Aku mengamati. Wajah mereka tampak seperti baru bangun tidur. Mungkin sehabis menikmati malam Minggu yang liar?

    "Minta kopi hitam dua," kata salah satu dari mereka. Suaranya berat dan seksi. Matanya yang menatap kagum tidak lepas dari wajahku.

    Aku sudah terbiasa ditatap seperti itu. Orang-orang belum pernah melihat wanita Asia bermata hijau cerah. Aku memalingkan wajah menatap cakrawala.

    Bu Ani selalu melayani pelanggan dengan baik siapa pun mereka. Bonus untuk yang berwajah ganteng. Hatiku geli mendengar obrolan heboh Bu Ani dengan dua lelaki itu.

    "Aku keliling lagi ah," kataku sambil berdiri.

    "Wah, nggak temanin Ibu sampai sore, Non? Biasanya betah duduk. Kalau bosan tuh pakai bantal Ibu. Rebahan," cerocos Bu Ani.

    "Nggak, Bu. Kakiku pegal pingin jalan."

    Sebenarnya aku memang ingin duduk berlama-lama di lapak Bu Ani, tapi tatapan lelaki itu membuatku merasa tidak nyaman. Apakah lelaki itu sedang mabuk? Seharusnya tidak, aku tidak mencium bau alkohol sih.

    Aku berjalan santai di jalan aspal yang diperuntukkan bagi kendaraan pengunjung. Pepohonan rimbun ditambah hembusan angin semilir membuat sejuk.

    "Hei."

    Aku mendengar suara panggilan tapi kuabaikan.

    "Hei, Cantik."

    Aku menoleh waspada. Lelaki yang menatapku tadi! Mau apa dia mengikutiku?

    "Siapa?"

    "Kamu." Senyum menawan terkembang di wajah yang ganteng.

    "Siapa nanya?" cetusku sebal.

    Melihatku mempercepat langkah lelaki itu menyamai. Aku senang-senang saja melihat lelaki ganteng, tapi jangan harap aku mau berkenalan sembarangan di tempat umum. Apalagi di kawasan pantai ini terkenal banyak lelaki mencari mangsa wanita yang sedang sendirian.

    "Mau kenalan, boleh?" Lelaki itu mengulurkan tangan.

    Aku melengos.

    "Sendirian aja?" 

    Aku menulikan telinga dan bernyanyi dalam hati.

    "Berhenti dong, Cantik. Aku mau kenalan sama kamu," bujuk si lelaki.

    Aku terkejut saat lelaki itu menyentuh lenganku. Berani sekali! Aku menepis dengan sengit.

    "Wow, tenang saja, aku cuma mau berteman. Siapa tahu kita bisa hang out bareng. Oke?"

    "Sori, gue nggak berminat."

    "Oh, terus minatnya apa?"

    Rasanya kesal sekali menghadapi orang yang tidak dapat membaca situasi. Sudah jelas-jelas ditolak kok masih berusaha. Aku mempercepat langkahku yang sudah cepat tapi menahan diri untuk tidak lari. Aku tidak mau terlihat seperti adegan kejar-kejaran di film India.

    "Hei, sombong banget sih." 

    Aku mendelik marah saat lelaki itu memegangi lengan kananku. Langkahku terhenti.

    "Lepasin," kataku dengan suara bergetar menahan emosi.

    "Kalau aku nggak mau, gimana?" kata si lelaki sambil menyeringai.

    "Gue peringatkan sekali lagi. Lepasin."

    Lelaki itu masih saja menyeringai.

    Aku menarik lengan kuat-kuat. Sudah kuduga lelaki itu akan mencengkeram dengan lebih kuat. Nyaris tersenyum karena pancinganku berhasil, aku bergerak maju ke arahnya. Memanfaatkan tenaga lawan, bahuku mendorong dada lelaki itu dengan keras.

    "Hei!" seru si lelaki terkejut.

    Merasakan cengkeraman di lenganku melonggar, aku menyilangkan kaki kiri di belakang badan dan melayangkan deol chagi yaitu tendangan yang berpusat pada tumit untuk menghantam kepala lawan secara vertikal.

    Tidak disangka lelaki itu menghindar dengan cepat. Mataku melebar. Tampaknya aku bertemu lawan yang seimbang. Dari segi tenaga pastinya aku kalah, tapi banyak teknik yang bisa dilakukan untuk menghadapi lawan bertubuh lebih besar.

    Lelaki itu tersenyum senang, "Gerakan yang bagus," pujinya.

    "Jadi anak baik dan kembali ke tempat teman lo," kataku tegas.

    "Nama kamu siapa?"

    Aku melangkah mundur. Malas meladeni.

    "Tunggu...." Lelaki itu mengulurkan tangan untuk menangkap lenganku. 

    "Hei, lihat situasi dong! Gue nggak mau kenalan sama lo! Pergi sana!" Aku menepis tangannya keras-keras.

    "Kamu cantik kalau sedang marah." Si lelaki bergerak mendekat.

    Aku mendorong dadanya dengan dua tangan. Lelaki itu menangkap kedua pergelangan tanganku. Cengkeramannya sangat kuat.

    "Ayo, keluarkan jurusmu, Cantik," rayu si lelaki.

    "Lo yang minta!" bentakku. Lututku beradu dengan perutnya yang keras.

    "Sial," maki lelaki itu. Cengkeramannya segera terlepas. Tubuhnya terbungkuk. Wajahnya merah padam.

    "Lo nggak paham bagian mana dari perkataan gue? Nggak mau artinya nggak mau!" Darahku sudah naik ke ubun-ubun.

    "Ngomong baik-baik lah, nggak usah pakai kekerasan!" bentak si lelaki meringis menahan sakit.

    Aku geleng-geleng kepala. Kenapa dia malah membalikkan situasi?

    Orang-orang mulai memperhatikan pertikaian yang terjadi. Aku tahu lelaki itu tidak akan berbuat lebih jauh.

    Benar saja. Lelaki itu bergegas pergi sebelum kerumunan merapat. Aku bernafas lega. Aku pun segera berbaur dengan kerumunan dan menghilang. Mood-ku untuk bersantai di pantai sudah lenyap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status