"Sekali-sekali bawa pacarnya dong. Kenalin sama Ibu," goda Bu Ani, wanita paruh baya penjual makanan di pantai.
"Aku nggak punya pacar," sahutku sambil mengunyah tahu goreng. "Buruan cari! Banyak kan di pantai sini. Mau yang kayak apa tinggal pilih aja. Ada yang hitam manis, ada yang putih bening. Asal jangan yang nggak kelihatan." Aku tergelak. Gaya bicara Bu Ani sangat lucu tanpa dibuat-buat, "Nggak lah, Bu. Aku nggak--" "Non, lihat tuh ada bule!" Bu Ani memotong kata-kataku dengan heboh. Tangannya menyikut rusukku dengan keras. "Bu, ini orang loh, bukan balok kayu." Aku meringis kesakitan. Tanganku mendekap bagian yang terkena sikutan. Mudah-mudahan tidak terjadi keretakan pada tulang rusukku. "Makanya lihat dulu sono! Tuh! Tuh!" Bu Ani menyorongkan bibirnya ke satu arah. Aku melihat ke arah yang ditunjuk Bu Ani. Tampak dua orang lelaki berjalan ke arah kami. Paras mereka tinggi dan berwajah blasteran. Kulit putih mereka sangat kontras dengan rambut sehitam arang. "Ih, mereka kesini, Non..!" bisik Bu Ani keras-keras, "Buruan...!" "Buruan apa?" "Lipstik mana lipstik..." Bu Ani mengaduk isi tasnya. Wajahnya sumringah saat menemukan benda yang dimaksud. Aku melongo melihat Bu Ani memoles lipstik merah muda ke bibirnya. Buset deh, begitu antusiasnya melihat lelaki ganteng? "Pake juga, Non, siapa tahu jadian..!" "Nggak mau..." "Mumpung ada yang ganteng mampir..!" "Ihhh, kurang kencang ngomongnya, Bu...," desisku. Dua lelaki itu duduk di tikar dengan anggun. Aku mengamati. Wajah mereka tampak seperti baru bangun tidur. Mungkin sehabis menikmati malam Minggu yang liar? "Minta kopi hitam dua," kata salah satu dari mereka. Suaranya berat dan seksi. Matanya yang menatap kagum tidak lepas dari wajahku. Aku sudah terbiasa ditatap seperti itu. Orang-orang belum pernah melihat wanita Asia bermata hijau cerah. Aku memalingkan wajah menatap cakrawala. Bu Ani selalu melayani pelanggan dengan baik siapa pun mereka. Bonus untuk yang berwajah ganteng. Hatiku geli mendengar obrolan heboh Bu Ani dengan dua lelaki itu. "Aku keliling lagi ah," kataku sambil berdiri. "Wah, nggak temanin Ibu sampai sore, Non? Biasanya betah duduk. Kalau bosan tuh pakai bantal Ibu. Rebahan," cerocos Bu Ani. "Nggak, Bu. Kakiku pegal pingin jalan." Sebenarnya aku memang ingin duduk berlama-lama di lapak Bu Ani, tapi tatapan lelaki itu membuatku merasa tidak nyaman. Apakah lelaki itu sedang mabuk? Seharusnya tidak, aku tidak mencium bau alkohol sih. Aku berjalan santai di jalan aspal yang diperuntukkan bagi kendaraan pengunjung. Pepohonan rimbun ditambah hembusan angin semilir membuat sejuk. "Hei." Aku mendengar suara panggilan tapi kuabaikan. "Hei, Cantik." Aku menoleh waspada. Lelaki yang menatapku tadi! Mau apa dia mengikutiku? "Siapa?" "Kamu." Senyum menawan terkembang di wajah yang ganteng. "Siapa nanya?" cetusku sebal. Melihatku mempercepat langkah lelaki itu menyamai. Aku senang-senang saja melihat lelaki ganteng, tapi jangan harap aku mau berkenalan sembarangan di tempat umum. Apalagi di kawasan pantai ini terkenal banyak lelaki mencari mangsa wanita yang sedang sendirian. "Mau kenalan, boleh?" Lelaki itu mengulurkan tangan. Aku melengos. "Sendirian aja?" Aku menulikan telinga dan bernyanyi dalam hati. "Berhenti dong, Cantik. Aku mau kenalan sama kamu," bujuk si lelaki. Aku terkejut saat lelaki itu menyentuh lenganku. Berani sekali! Aku menepis dengan sengit. "Wow, tenang saja, aku cuma mau berteman. Siapa tahu kita bisa hang out bareng. Oke?" "Sori, gue nggak berminat." "Oh, terus minatnya apa?" Rasanya kesal sekali menghadapi orang yang tidak dapat membaca situasi. Sudah jelas-jelas ditolak kok masih berusaha. Aku mempercepat langkahku yang sudah cepat tapi menahan diri untuk tidak lari. Aku tidak mau terlihat seperti adegan kejar-kejaran di film India. "Hei, sombong banget sih." Aku mendelik marah saat lelaki itu memegangi lengan kananku. Langkahku terhenti. "Lepasin," kataku dengan suara bergetar menahan emosi. "Kalau aku nggak mau, gimana?" kata si lelaki sambil menyeringai. "Gue peringatkan sekali lagi. Lepasin." Lelaki itu masih saja menyeringai. Aku menarik lengan kuat-kuat. Sudah kuduga lelaki itu akan mencengkeram dengan lebih kuat. Nyaris tersenyum karena pancinganku berhasil, aku bergerak maju ke arahnya. Memanfaatkan tenaga lawan, bahuku mendorong dada lelaki itu dengan keras. "Hei!" seru si lelaki terkejut. Merasakan cengkeraman di lenganku melonggar, aku menyilangkan kaki kiri di belakang badan dan melayangkan deol chagi yaitu tendangan yang berpusat pada tumit untuk menghantam kepala lawan secara vertikal. Tidak disangka lelaki itu menghindar dengan cepat. Mataku melebar. Tampaknya aku bertemu lawan yang seimbang. Dari segi tenaga pastinya aku kalah, tapi banyak teknik yang bisa dilakukan untuk menghadapi lawan bertubuh lebih besar. Lelaki itu tersenyum senang, "Gerakan yang bagus," pujinya. "Jadi anak baik dan kembali ke tempat teman lo," kataku tegas. "Nama kamu siapa?" Aku melangkah mundur. Malas meladeni. "Tunggu...." Lelaki itu mengulurkan tangan untuk menangkap lenganku. "Hei, lihat situasi dong! Gue nggak mau kenalan sama lo! Pergi sana!" Aku menepis tangannya keras-keras. "Kamu cantik kalau sedang marah." Si lelaki bergerak mendekat. Aku mendorong dadanya dengan dua tangan. Lelaki itu menangkap kedua pergelangan tanganku. Cengkeramannya sangat kuat. "Ayo, keluarkan jurusmu, Cantik," rayu si lelaki. "Lo yang minta!" bentakku. Lututku beradu dengan perutnya yang keras. "Sial," maki lelaki itu. Cengkeramannya segera terlepas. Tubuhnya terbungkuk. Wajahnya merah padam. "Lo nggak paham bagian mana dari perkataan gue? Nggak mau artinya nggak mau!" Darahku sudah naik ke ubun-ubun. "Ngomong baik-baik lah, nggak usah pakai kekerasan!" bentak si lelaki meringis menahan sakit. Aku geleng-geleng kepala. Kenapa dia malah membalikkan situasi? Orang-orang mulai memperhatikan pertikaian yang terjadi. Aku tahu lelaki itu tidak akan berbuat lebih jauh. Benar saja. Lelaki itu bergegas pergi sebelum kerumunan merapat. Aku bernafas lega. Aku pun segera berbaur dengan kerumunan dan menghilang. Mood-ku untuk bersantai di pantai sudah lenyap.Di tengah keheningan mencekam di kantorku saat semua orang sedang sibuk dengan deadline masing-masing. "Hazeeeeell!! Mana staples gueee??" seru Wahyu, teman akrab sekantorku. "Gue nggak pinjam, Bro!" Aku balas berseru meskipun meja kami berhadapan dan hanya dipisahkan oleh partisi setinggi satu meter. "Sial... Mana benda satu itu...," gerutu Wahyu. Tanpa melihat pun aku tahu Wahyu sedang menggeledah setiap sudut di mejanya. Temanku ini memang selalu kehilangan barang padahal hanya lupa letaknya. "Yes ketemu!" Wahyu mengangkat staples pink-nya tinggi-tinggi seolah merayakan kemenangan perang. "Yeay, horeee," timpalku tanpa semangat. "Kenapa gue selalu kehilangan barang ya, Bro? Apa gue harus melatih barang-barang gue supaya bisa nyahut kalau dipanggil?" cerocos Wahyu. "Bukannya begitu, Bro. Lo aja yang pelupa." Aku
Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker? Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan. Maaf Bang, aku mengecewakanmu! Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati. "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?" Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini." "Makanya," cetus Wahyu. "Makanya apa?"
Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong. Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin. Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline. "Woi!" Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial. "Apaan??" bentakku kesal. "Pulang yuk?" ajak Wahyu. "Kerjaan lo udah selesai?" "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang." "Emang jam berapa sih sekarang?
Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger. "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang. "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas. "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti." Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard." Wahyu tersedak. Matanya mendelik. "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?" Wahyu meringis sambil mengangguk samar. Sejuta topan badai! Ak
Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan. Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." &nb
Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?
Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 
Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat